Setengah berlari, Prameswari ke kamar Mbak Honey. Satu-satu hal yang dia merasa wajib untuk dilakukan adalah membongkar meja kerja dan lemari pakaiannya. Karena apa? Beberapa detik yang lalu, saat dia mengunci pintu depan, terlintas dalam ingatan tentang permintaan Mbak Honey tentang Peony. Apa itu istilahnya? Nah iya, Mbak Honey meminta Prameswari untuk merebut Giga dari Peony. Paling tidak, bisa menikah dengan Giga mewakili dendam yang membara di dalam hati.
"Mytha, kalau nanti Mbak sudah nggak ada di dunia ini lagi … Rebut kembali Mas Giga dari tangan istrinya, Peony. Kamu tahu Mytha?" Mbak Honey mengutarakan hal yang menyesakkan dada itu di saat Prameswari sudah mulai menikmati dunia Honey Karaoke and Cafe, "Mas Giga itu cinta mati Mbak. Mbak nggak rela dia menikmati kebahagiaan hidup bersama perempuan lain kecuali kamu. Kamu adik Mbak … Kalau kamu berhasil merebut kem
Rasa kecewa dan marah yang kian membara di tungku hati, mendorong Prameswari untuk tetap tinggal di sini, Yogyakarta. Takkan pulang dia ke Tangerang, meskipun hanya satu detik. Meskipun hanya untuk melihat bagaimana keadaan Ummi dan Abah. Tidak, takkan pernah. Bahkan, dia sudah memutuskan untuk tidak pernah lagi berhubungan dengan Abang, Teh Hasna atau siapa saja yang berkaitan erat dengan pondok pesantren abahnya. Karena apa? Segala perasaan sakit, kecewa dan marah kini telah berubah menjadi dendam.Dendam kesumat!Karena merekalah, dirinya menjadi seperti ini sekarang. Menjadi Mytha yang terlampau jauh dari Wari. Hanya shalat yang tak dia tinggalkan tapi hijab? Ambyar! Itu semua karena dia jatuh ke tangan Mbak Honey, Malaikat penyelamat yang ternyata seorang pengusaha gelap. Gelap, karena di kafenya dia menjual minum-mi
Mendapati rumah Prameswari kosong, Abang terlihat sangat kecewa. Terlebih setelah chat dan sama sekali tak dibuka, rasanya sangat sedih. Jauh di dasar hatinya dia semakin yakin kalau Mytha yang selama ini dikenalnya adalah Wari, adik kandungnya. Begitu juga dengan Abah dan Ummi di Tangerang sana. Sampai-sampai, mereka juga ingin melihat langsung Prameswari dari dekat. Menyentuh, memeluk dan menyatukan detak jantung mereka agar semua terungkap nyata. Bukankah detak jantung mereka sama? Darah yang mengalir tubuh mereka juga sama. Adakah yang bisa memungkiri kenyataan itu? Tidak ada, kecuali mereka yang suka berdusta.Itulah mengapa, Abang datang ke rumahnya pagi ini. Pertama, untuk mengetahui bagaimana keadaan Prameswari setelah hampir dua minggu tak berjumpa. Ke dua, untuk mempertemukan Prameswari dengan Abah dan Ummi. Mereka akan tiba di Yogyakarta besok pagi, dalam rangka menjenguk anak, cuc
Prameswari memandangi pantulan wajah ayunya di kaca spion, menggambar senyum tipis. Sejenak dia berpikir, apa yang harus dilakukannya jika Giga benar-benar menceraikan Peony? Dia juga berpikir, bagaimana kalau pernyataan itu hanyalah kebohongan belaka? Bagaimana mungkin seorang suami lebih memilih orang lain yang sama sekali belum dikenalnya dari pada isteri sendiri? Bahkan, dia tengah mengandung buah hati mereka. Tidak mungkin, kan?'Mas Giga pasti bohong!' hati Prameswari menjerit sakit, 'Kalau nggak bohong, dia pasti sudah gila. Mendadak gila.'Sekarang, Prameswari menyisir lembut rambutnya dengan gaya rambut belah dua. Merapikan anak rambut yang mulai panjang mengikal, memperhatikan seluruh kulit wajahnya yang masih tersaput bedak warna natural. Spot terakhir yang menjadi perhatiannya adalah bibir. Lisptiknya sudah mulai me
Tentu saja, Peony tidak bisa menerima kedatangan Prameswari di rumah mereka, apa pun alasannya. Mau di sakit atau bahkan sekarat sekalipun karena itu bukan urusannya. Bukan urusan mereka. Memangnya, siapakah Prameswari itu sehingga Giga harus repot-repot merawatnya seperti ini?"Pokoknya aku nggak mau, Mas!" pungkas Peony dengan ketegasan level tinggi, "Sekarang … Mas bawa dia pergi dari rumah ini atau aku yang pergi, Mas?"Peony mengusap-usap perutnya yang terlihat kaku, "Pilih mana, Mas?"Giga menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal, "Jangan gitu lah, Dek. Aku nggak bisa milih kalau gitu."Detik berikutnya, dalam linangan air mata yang semakin tak terkendali, Peo
Tidak mungkin Peony membiarkan dirinya tergelincir dan terjatuh ke dalam jurang kebodohan untuk yang ke sekian kalinya. Cukup sekali saja, saat terjatuh ke dalam pelukan Giga dan membuat Mbak Honey murka. Dulu, sewaktu mereka sama-sama bekerja di Honey Karaoke and Cafe. Sungguh, itu adalah hal terbodoh yang pernah dia lakukan. Siapa sangka kalau tadi malam, dia kembali di hadapkan pada jurang kebodohan yang begitu curah? Sedikit saja melakukan kesalahan dalam bersikap apa tidak berarti bodoh secara hakiki? Langsung menyerang Prameswari, misalnya.Wah, selain sangat menyesal, bisa-bisa Peony juga menangis darah kelak, begitu tahu kalau ternyata Prameswari itu Njng Wari. Bagaimana tidak? Dulu, keluarganya susah menyelamatkan Peony dari belenggu kejahatan dunia dan sekarang malah membiarkan Prameswari dalam keterpurukan. Apa tidak terpuruk namanya, kalau seperti itu keada
Gegas, dengan perasaan tak menentu, Abah menekan tombol ANSWER di layar ponselnya. Entah mengapa tiba-tiba seluruh benaknya terisi penuh oleh bayang-bayang Prameswari. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Caranya tersenyum, tertawa, merujuk manja sampai saat dia tertidur pulas. Tak terasa air mata Abah merembes hangat di sudut-sudut matanya."Maaf … Ini dengan siapa?" gemetar, Abah bertanya pada Peony yang hampir melesat ke angkasa karena bahagia. Akhirnya setelah sekian tahun lamanya, bisa bertemu dengan Abah lagi walaupun melalui gelombang udara."Ini saya, Abah … Kharisma Peony. Santriwati Abah yang paling bandel, dulu. Peony yang dari Jogja, Abah." terang Peony yang yang semakin tak kuasa menahan haru, "Peony yang Abah suka panggil dengan sebutan Pipi."
Peony masih berlinang air mata usai menghubungi Abah, terlebih saat menghapus satu per satu foto dan video Prameswari dari memori ponselnya. Rasanya seperti ada sebelah belati tertancap dalam-dalam di dadanya. Pedih. Sakit. Sesak."Semua ini demi Abah dan Ummi," gumam Peony setelah menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, "Nggak tahu gimana kejadiannya waktu itu kalau nggak ada mereka. Mungkin, aku sudah bunuh diri karena nggak kuat menahan malu. Lebih tepatnya malu, kecewa, marah, sakit dan remuk hati. Ugh, jahat! Om Fandy jahat …!"Kini air mata Peony menetes lagi setelah sekian detik lamanya terhenti. Menggerimis tipis dalam kelam dan pilunya masa lalu. Bayang-bayang Om Fandy yang nyaris merenggut kesuciannya berkelebat-kelebat jahat di dalam ingatan. Tak habis pikir, jauh-jauh Om Fandy menyusulnya ke Tangerang dari Kalima
Perlahan-lahan namun pasti, Peony mengajak Abang masuk ke dalam rumah melalui pintu samping. Memintanya untuk tetap di dapur bersih sampai dia kembali dan memberikan kabar kepastian. Maksudnya, kepastian kalau Prameswari dan Giga masih di kamar dan bisa segera diangkut. Menurutnya itu posisi yang paling bagus."Mas Giga?" panggil Peony sambil mengetuk pintu kamar tamu, "Mas, Mytha … Kalian nggak makan malam? Aku sudah pesankan stik daging sapi sama ikan tuna untuk kalian. Sebenarnya aku juga sudah masak, sih. Sop ayam sama tempe krispi. Yuk, makan …?"Prameswari yang membukakan pintu, dengan senyum seindah mawar mekar, "Mbak Peony makan dulu aja ya, Mbak? Mytha sama Mas Giga masih main game ini, Mbak. Sebentar juga selesai, kok.""Oh, gitu ya