Mendapati rumah Prameswari kosong, Abang terlihat sangat kecewa. Terlebih setelah chat dan sama sekali tak dibuka, rasanya sangat sedih. Jauh di dasar hatinya dia semakin yakin kalau Mytha yang selama ini dikenalnya adalah Wari, adik kandungnya. Begitu juga dengan Abah dan Ummi di Tangerang sana. Sampai-sampai, mereka juga ingin melihat langsung Prameswari dari dekat. Menyentuh, memeluk dan menyatukan detak jantung mereka agar semua terungkap nyata. Bukankah detak jantung mereka sama? Darah yang mengalir tubuh mereka juga sama. Adakah yang bisa memungkiri kenyataan itu? Tidak ada, kecuali mereka yang suka berdusta.
Itulah mengapa, Abang datang ke rumahnya pagi ini. Pertama, untuk mengetahui bagaimana keadaan Prameswari setelah hampir dua minggu tak berjumpa. Ke dua, untuk mempertemukan Prameswari dengan Abah dan Ummi. Mereka akan tiba di Yogyakarta besok pagi, dalam rangka menjenguk anak, cuc
Prameswari memandangi pantulan wajah ayunya di kaca spion, menggambar senyum tipis. Sejenak dia berpikir, apa yang harus dilakukannya jika Giga benar-benar menceraikan Peony? Dia juga berpikir, bagaimana kalau pernyataan itu hanyalah kebohongan belaka? Bagaimana mungkin seorang suami lebih memilih orang lain yang sama sekali belum dikenalnya dari pada isteri sendiri? Bahkan, dia tengah mengandung buah hati mereka. Tidak mungkin, kan?'Mas Giga pasti bohong!' hati Prameswari menjerit sakit, 'Kalau nggak bohong, dia pasti sudah gila. Mendadak gila.'Sekarang, Prameswari menyisir lembut rambutnya dengan gaya rambut belah dua. Merapikan anak rambut yang mulai panjang mengikal, memperhatikan seluruh kulit wajahnya yang masih tersaput bedak warna natural. Spot terakhir yang menjadi perhatiannya adalah bibir. Lisptiknya sudah mulai me
Tentu saja, Peony tidak bisa menerima kedatangan Prameswari di rumah mereka, apa pun alasannya. Mau di sakit atau bahkan sekarat sekalipun karena itu bukan urusannya. Bukan urusan mereka. Memangnya, siapakah Prameswari itu sehingga Giga harus repot-repot merawatnya seperti ini?"Pokoknya aku nggak mau, Mas!" pungkas Peony dengan ketegasan level tinggi, "Sekarang … Mas bawa dia pergi dari rumah ini atau aku yang pergi, Mas?"Peony mengusap-usap perutnya yang terlihat kaku, "Pilih mana, Mas?"Giga menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal, "Jangan gitu lah, Dek. Aku nggak bisa milih kalau gitu."Detik berikutnya, dalam linangan air mata yang semakin tak terkendali, Peo
Tidak mungkin Peony membiarkan dirinya tergelincir dan terjatuh ke dalam jurang kebodohan untuk yang ke sekian kalinya. Cukup sekali saja, saat terjatuh ke dalam pelukan Giga dan membuat Mbak Honey murka. Dulu, sewaktu mereka sama-sama bekerja di Honey Karaoke and Cafe. Sungguh, itu adalah hal terbodoh yang pernah dia lakukan. Siapa sangka kalau tadi malam, dia kembali di hadapkan pada jurang kebodohan yang begitu curah? Sedikit saja melakukan kesalahan dalam bersikap apa tidak berarti bodoh secara hakiki? Langsung menyerang Prameswari, misalnya.Wah, selain sangat menyesal, bisa-bisa Peony juga menangis darah kelak, begitu tahu kalau ternyata Prameswari itu Njng Wari. Bagaimana tidak? Dulu, keluarganya susah menyelamatkan Peony dari belenggu kejahatan dunia dan sekarang malah membiarkan Prameswari dalam keterpurukan. Apa tidak terpuruk namanya, kalau seperti itu keada
Gegas, dengan perasaan tak menentu, Abah menekan tombol ANSWER di layar ponselnya. Entah mengapa tiba-tiba seluruh benaknya terisi penuh oleh bayang-bayang Prameswari. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Caranya tersenyum, tertawa, merujuk manja sampai saat dia tertidur pulas. Tak terasa air mata Abah merembes hangat di sudut-sudut matanya."Maaf … Ini dengan siapa?" gemetar, Abah bertanya pada Peony yang hampir melesat ke angkasa karena bahagia. Akhirnya setelah sekian tahun lamanya, bisa bertemu dengan Abah lagi walaupun melalui gelombang udara."Ini saya, Abah … Kharisma Peony. Santriwati Abah yang paling bandel, dulu. Peony yang dari Jogja, Abah." terang Peony yang yang semakin tak kuasa menahan haru, "Peony yang Abah suka panggil dengan sebutan Pipi."
Peony masih berlinang air mata usai menghubungi Abah, terlebih saat menghapus satu per satu foto dan video Prameswari dari memori ponselnya. Rasanya seperti ada sebelah belati tertancap dalam-dalam di dadanya. Pedih. Sakit. Sesak."Semua ini demi Abah dan Ummi," gumam Peony setelah menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, "Nggak tahu gimana kejadiannya waktu itu kalau nggak ada mereka. Mungkin, aku sudah bunuh diri karena nggak kuat menahan malu. Lebih tepatnya malu, kecewa, marah, sakit dan remuk hati. Ugh, jahat! Om Fandy jahat …!"Kini air mata Peony menetes lagi setelah sekian detik lamanya terhenti. Menggerimis tipis dalam kelam dan pilunya masa lalu. Bayang-bayang Om Fandy yang nyaris merenggut kesuciannya berkelebat-kelebat jahat di dalam ingatan. Tak habis pikir, jauh-jauh Om Fandy menyusulnya ke Tangerang dari Kalima
Perlahan-lahan namun pasti, Peony mengajak Abang masuk ke dalam rumah melalui pintu samping. Memintanya untuk tetap di dapur bersih sampai dia kembali dan memberikan kabar kepastian. Maksudnya, kepastian kalau Prameswari dan Giga masih di kamar dan bisa segera diangkut. Menurutnya itu posisi yang paling bagus."Mas Giga?" panggil Peony sambil mengetuk pintu kamar tamu, "Mas, Mytha … Kalian nggak makan malam? Aku sudah pesankan stik daging sapi sama ikan tuna untuk kalian. Sebenarnya aku juga sudah masak, sih. Sop ayam sama tempe krispi. Yuk, makan …?"Prameswari yang membukakan pintu, dengan senyum seindah mawar mekar, "Mbak Peony makan dulu aja ya, Mbak? Mytha sama Mas Giga masih main game ini, Mbak. Sebentar juga selesai, kok.""Oh, gitu ya
Prameswari masih membisu ketika mereka sampai di pondok pesantren. Tak seserpih kata pun tergetar dari bibirnya. Pandagan lurus ke depan, mendekap bantal kotak bermotif polkadot, bibir terlihat seperti sesuatu yang terekat kuat-kuat. Seperti itu keadaannya semenjak berangkat dari Yogyakarta, membuat Abang dan Teh Hasna semakin yakin kalau selama Prameswari mengalami gangguan. Jadi, mereka sudah sepakat untuk berbagi tugas sekarang. Teh Hasna akan turun terlebih dahulu, memanggil Abah dan Ummi. Sementara Abang akan tetap tinggal di mobil, menjaga Prameswari. Abang juga sudah berpesan pada Teh Hasna, supaya menyampaikan kabar kepulangan Prameswari pada bagian keamanan pesantren. Mencegah lebih baik dari pada mengobati, bukan?"Neng, Teh Hasna turun dulu ya?" ujarnya pada Prameswari dengan nada tenang sekaligus gembira, "Kasihan Dedek kalau kelamaan di sini, nanti masuk angin. Udaran
Giga sakit, demam tinggi sejak semalam. Syukurnya Mama sudah datang sesuai dengan yang direncanakan bersama dulu. Sekitar tiga hari sebelum HPL harus sudah sampai di Yogyakarta. Kalau tidak, pasti Peony kuwalahan. Masalahnya, kontraksi palsu sudah sering melanda. Datang dan pergi sesuka hati. Membuat Peony kadang-kadang meringis menahan sakit, merintih atau malah menangis karena kesakitan. Hehe. Walaupun mahir, tidak mungkin kan menyetir mobil untuk membawa Giga periksa ke dokter? Oke, kalau bersama Mama harus menyewa taxi tapi kan, jadi lebih tenang semuanya? Peony pun bisa ikut, sekalian periksa ke dokter kandungan."Gimana Ma, kata dokter Mas Giga sakit apa?" tanya Peony penuh kekhawatiran, "Duh, harus opname atau rawat jalan saja, Mama?"Tentu saja Mama bisa mengerti kekhawatiran Peony. Jadi, inilah yang diterangkan padanya