Gegas, dengan perasaan tak menentu, Abah menekan tombol ANSWER di layar ponselnya. Entah mengapa tiba-tiba seluruh benaknya terisi penuh oleh bayang-bayang Prameswari. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Caranya tersenyum, tertawa, merujuk manja sampai saat dia tertidur pulas. Tak terasa air mata Abah merembes hangat di sudut-sudut matanya.
"Maaf … Ini dengan siapa?" gemetar, Abah bertanya pada Peony yang hampir melesat ke angkasa karena bahagia. Akhirnya setelah sekian tahun lamanya, bisa bertemu dengan Abah lagi walaupun melalui gelombang udara.
"Ini saya, Abah … Kharisma Peony. Santriwati Abah yang paling bandel, dulu. Peony yang dari Jogja, Abah." terang Peony yang yang semakin tak kuasa menahan haru, "Peony yang Abah suka panggil dengan sebutan Pipi."
Peony masih berlinang air mata usai menghubungi Abah, terlebih saat menghapus satu per satu foto dan video Prameswari dari memori ponselnya. Rasanya seperti ada sebelah belati tertancap dalam-dalam di dadanya. Pedih. Sakit. Sesak."Semua ini demi Abah dan Ummi," gumam Peony setelah menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, "Nggak tahu gimana kejadiannya waktu itu kalau nggak ada mereka. Mungkin, aku sudah bunuh diri karena nggak kuat menahan malu. Lebih tepatnya malu, kecewa, marah, sakit dan remuk hati. Ugh, jahat! Om Fandy jahat …!"Kini air mata Peony menetes lagi setelah sekian detik lamanya terhenti. Menggerimis tipis dalam kelam dan pilunya masa lalu. Bayang-bayang Om Fandy yang nyaris merenggut kesuciannya berkelebat-kelebat jahat di dalam ingatan. Tak habis pikir, jauh-jauh Om Fandy menyusulnya ke Tangerang dari Kalima
Perlahan-lahan namun pasti, Peony mengajak Abang masuk ke dalam rumah melalui pintu samping. Memintanya untuk tetap di dapur bersih sampai dia kembali dan memberikan kabar kepastian. Maksudnya, kepastian kalau Prameswari dan Giga masih di kamar dan bisa segera diangkut. Menurutnya itu posisi yang paling bagus."Mas Giga?" panggil Peony sambil mengetuk pintu kamar tamu, "Mas, Mytha … Kalian nggak makan malam? Aku sudah pesankan stik daging sapi sama ikan tuna untuk kalian. Sebenarnya aku juga sudah masak, sih. Sop ayam sama tempe krispi. Yuk, makan …?"Prameswari yang membukakan pintu, dengan senyum seindah mawar mekar, "Mbak Peony makan dulu aja ya, Mbak? Mytha sama Mas Giga masih main game ini, Mbak. Sebentar juga selesai, kok.""Oh, gitu ya
Prameswari masih membisu ketika mereka sampai di pondok pesantren. Tak seserpih kata pun tergetar dari bibirnya. Pandagan lurus ke depan, mendekap bantal kotak bermotif polkadot, bibir terlihat seperti sesuatu yang terekat kuat-kuat. Seperti itu keadaannya semenjak berangkat dari Yogyakarta, membuat Abang dan Teh Hasna semakin yakin kalau selama Prameswari mengalami gangguan. Jadi, mereka sudah sepakat untuk berbagi tugas sekarang. Teh Hasna akan turun terlebih dahulu, memanggil Abah dan Ummi. Sementara Abang akan tetap tinggal di mobil, menjaga Prameswari. Abang juga sudah berpesan pada Teh Hasna, supaya menyampaikan kabar kepulangan Prameswari pada bagian keamanan pesantren. Mencegah lebih baik dari pada mengobati, bukan?"Neng, Teh Hasna turun dulu ya?" ujarnya pada Prameswari dengan nada tenang sekaligus gembira, "Kasihan Dedek kalau kelamaan di sini, nanti masuk angin. Udaran
Giga sakit, demam tinggi sejak semalam. Syukurnya Mama sudah datang sesuai dengan yang direncanakan bersama dulu. Sekitar tiga hari sebelum HPL harus sudah sampai di Yogyakarta. Kalau tidak, pasti Peony kuwalahan. Masalahnya, kontraksi palsu sudah sering melanda. Datang dan pergi sesuka hati. Membuat Peony kadang-kadang meringis menahan sakit, merintih atau malah menangis karena kesakitan. Hehe. Walaupun mahir, tidak mungkin kan menyetir mobil untuk membawa Giga periksa ke dokter? Oke, kalau bersama Mama harus menyewa taxi tapi kan, jadi lebih tenang semuanya? Peony pun bisa ikut, sekalian periksa ke dokter kandungan."Gimana Ma, kata dokter Mas Giga sakit apa?" tanya Peony penuh kekhawatiran, "Duh, harus opname atau rawat jalan saja, Mama?"Tentu saja Mama bisa mengerti kekhawatiran Peony. Jadi, inilah yang diterangkan padanya
Pertanyaan Abah secara spontan merasuki benak Prameswari yang semakin berkabut tebal. Siapakah yang telah menemukan, menjaga dan melindunginya selama di Yogyakarta? Untuk beberapa saat lamanya, gadis ayu alami itu terlilit konflik besar. Haruskah dia menjawab dengan jujur? Bukan, bukan berarti Prameswari ingin berbohong lagi pada Abah, Ummi ataupun Abang dan Teh Hasna. Tapi tentu saja tak menginginkan rahasianya tentang Giga terungkap begitu saja.Baginya, lebih baik ikatan cintanya bersama Giga terberai begitu saja dari pada keluarganya tahu yang sebenarnya. Tidak, tidak. Prameswari tak mau semua orang jadi salah paham. Terlebih pada kenyataannya Giga tak lagi sendiri, sudah berkeluarga dan mungkin sekarang bayi kembar mereka sudah terlahir ke dunia. Mustahil, dia mengambil posisi di antara Giga dan Peony lagi. Kecuali dia tak pernah pergi meninggalkan Giga seperti ini.&
Konflik yang melanda Giga jauh lebih besar dari pada yang dialami Prameswari. Meskipun sudah berjuang setengah mati untuk melupakan dan menghapus jejak Prameswari dari hatinya tapi hasilnya nol besar. Nihil. Semakin hari semakin bertumbuh subur lah perasaan cinta padanya. Semakin jelas dan tegas bayang-bayang gadis ayu alami itu menggelayuti benak. Seolah nyata adanya di sisi, tak pernah lekang meskipun oleh kantuk berat yang menyergap atau mimpi-mimpi yang mewarnai tidurnya. Prameswari Shalihatun Nisa, justeru semakin kental mengaliri darah dalam tubuhnya."Dek Mytha!" gumamnya lirih memanggil, "Kamu lagi apa, Dek?"Giga terus memandangi sebingkai foto Prameswari yang tersimpan rapi di MY LOVE, folder tersembunyi dalam galeri ponselnya, "Mas rindu sama kamu, Dek. Kapan kamu kembali ke Jogja? Maafkan Mas ya, Dek? Nggak bi
Sebisa mungkin Giga mengatur diri, jangan sampai memperkeruh keadaan. Selembut mungkin menarik napas panjang, membalikkan badan ke arah Peony yang menatap dengan setajam sembilu. Mustahil baginya untuk mengelak apalagi berlari. Bisa-bisa semua rencana yang telah tersusun secara matang hancur berantakan. Berkeping-keping atau bahkan terserpih dan musnah. Tentu saja, Giga tak menginginkan semua itu terjadi. Lebih baik kehilangan nyawa dari pada harus menderita lantaran kehilangan Prameswari."Aneh?" tanya Giga pada akhirnya dengan memasang mimik wajah tak bersalah, "Apa yang aneh? Aku biasa-biasa saja kok, Dek."Sampai di sini tatapan Peony masih sama dengan yang tadi, setajam sembilu. Menyorot penuh seolah-olah ingin menyelam dan bersemayam di dasar bola mata. Tapi Giga berusaha untuk mengabaikan semua itu dan
Sebaik apapun Yuka kepadanya, Prameswari masih enggan untuk bertemu. Jangankan berbincang-bincang seperti dulu, untuk sekedar bertahap muka pun dia belum memiliki nyali yang cukup. Malu, takut dan yang jelas kehabisan rasa percaya diri. Bukan apa-apa. Prameswari kenal betul bagaimana sahabat dekatnya itu. Dia pasti menyerbu dengan seribu atau bahkan sejuta pertanyaan, tentang kepergiannya dulu. Tentang bagaimana Prameswari berpetualang selama berada di Yogyakarta … Sudah barang tentu Yuka akan terus bertanya mengenai penolakan perjodohannya dengan Ustadz Lapuk. Itu, atau justeru akan mengolok-olok kenapa dia tak menikah saja dengan Ustadz Lapuk, sosok yang tak perlu dipertanyakan lagi kebaikannya. Sungguh, selain sahabat yang baik dan setia, Yuka juga memiliki keusilan tingkat langit yang tak terbantahkan."Kamu kenapa Neng, nggak mau ketemu sama Yuka?" hati-hati, Ummi bertanya,