Mendadak, Peony menaruh curiga pada Giga lagi, sama seperti beberapa bulan yang lalu sebelum hamil. Curiga, khawatir sekaligus takut kalau ternyata suaminya itu telah bermain serong di belakang. Kehamilannya sudah memasuki trimester ke dua sekarang. Semua rasa sebal, muak dan juga benci sudah hilang. Berganti dengan rasa cemburu dan curiga. Awalnya dia mengira kalau itu karena fase yang harus dilalui dalam masa kehamilannya tapi ternyata bukan. Buktinya, walaupun Giga berada di rumah dua puluh empat jam sekali pun dia tetap cemburu. Tetap curiga, bingung dan khawatir.
Jadi, di sinilah Peony siang ini, di dalam taxi hendak menuju Giga 1000. Sebenarnya misi Peony kali ini adalah mencari tahu sumber kecurigaan dan kecemburuannya terhadap Giga tapi bersembunyi di dalam hantaran makan siang. Itu yang paling mungkin untuk dilakukan, biar Giga nggak berpikir yang nggak-nggak tentangnya.
Semua sudah sepakat, kalau besok akan berangkat ke Yogyakarta bersama-sama. Evan sudah berhasil mendapatkan rumah kontrakan untuk mereka tinggali sementara waktu. Rumah yang nggak terlalu jauh atau dekat dengan Honey Karaoke and Cafe, dengan harapan lebih memudahkan penyelidikan mereka. Abang dan Teh Hasna juga sudah mendapatkan rumah kontrakan yang tak jauh letaknya dari rumah Prameswari. Hanya berjarak sekitar lima rumah. Jadi, bisa menjalin hubungan persaudaraan antar tetangga. Sementara Yuka, sudah kembali ke Pondok Pesantren, karena jadwal kegiatan belajar sudah mulai padat. Nanti kalau memang dibutuhkan di Honey Karaoke and Cafe, bisa didatangkan ke sana lagi. Lagi pula, terlalu riskan meskipun tinggal di kost puteri. Abah takut, tidak bisa menjamin kesehatan dan keselamatannya."Semoga Allah memudahkan segala urusan kita," Abah berujar penuh harapan pada semua yang hadir di pendo
Faza dan Fauzi mendahului masuk ke dalam kafe, sementara Ustadz Rayyan menunggu di luar. Mereka sudah membuat janji, akan segera menghubungi Ustadz Rayyan begitu Prameswari sampai di taman bunga sayap kiri, tempat yang sudah mereka booking sebelumnya. Bukan apa-apa. Masalahnya waktu di Pondok Pasantren, kemungkinan besar Prameswari nggak familiar dengan Faza dan Fauzi, si Anak Kembar yang terkenal sebagai santri pandiam dan tertutup. Jadi, satu-satunya cara untuk menguji apakah benar si Mytha itu benar-benar Prameswari atau bukan, ya hanya dengan jalan memunculkan Ustadz Rayyan. Tapi nggak dari awal waktu, tentu saja. Bisa-bisa malah langsung melarikan diri karena takut dipaksa pulang ke Pondok Pesantren."Za, aku takut, Za!" Fauzi berbisik gemetar di telinga kanan Faza, "Serem aja rasanya liat yang pada pacaran gitu!"
Prameswari menatap dalam-dalam mata elang Giga, membuatnya keder. Beberapa menit yang lalu, dia baru saja menyatakan perasaan cinta pada Prameswari tapi sayang sekali, gagal total. Dengan lembut namun tegas, Prameswari menolaknya. Bukan, bukan berarti nggak memiliki perasaan yang sama akan tetapi mempertimbangkan status Giga yang suami orang. Sebesar apa pun rasa cinta dalam hatinya, tentu saja nggak ingin menjadi orang ke tiga. Meskipun nggak punya niat untuk menghancurkan rumah tangga mereka tapi siapa tahu? Setan nggak pernah menganggur untuk menyesatkan anak manusia, bukan?"Maafkan Mytha, Mas." ucap Prameswari tergetar, "Apa pun itu, Mytha nggak bisa menerimanya. Mytha nggak mau menyakiti hati Mbak Peony, Mas!"Giga menunduk, menyembunyikan rembesan air mata di wajah tampannya. Malu, dia malu kalau harus terlihat menangis
Akhirnya, semua sependapat dan sepakat kalau Mytha yang owner Honey Karaoke and Cafe itu bukanlah Prameswari Shalihatun Nisa. Begitu banyak hal yang membuat mereka mengambil kesimpulan itu, bukan lantaran emosional atau tidak sabar semata-mata. Salah satunya, dia sama sekali tidak mengenali Abang. Okelah, mungkin Prameswari pangling dengan Teh Hasna, Ustadz Rayyan atau bahkan Mas Eiden tapi tidak mungkin kan, pangling terhadap Abang? Bagaimana pun di dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Masa, tidak ada reaksi sama sekali ketika berdekatan? Sungguh, sikap Prameswari tempo hari itu selayaknya orang asing yang belum pernah bertemu sama sekali.Jadi, tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, mereka pulang ke Tangerang untuk melanjutkan pencarian ke kota-kota lain yang mungkin dituju Prameswari waktu pergi dari rumah. Bahkan, Abang dan Teteh sudah memutuskan untuk mencari sampai ke Sumat
Giga berkeras mengelak, ketika Peony gigih mengatakan kalau dia sudah bermain serong di belakang. Bukan hanya dengan kata-kata, Giga juga menggunakan kekuatan fisik, terutama jari telunjuk. Dengan kemarahan yang semakin berkobar-kobar di dadanya, Giga menunjuk-nunjuk tajam wajah Peony yang pucat pasi, "Jangan asal tuduh kaju, Dek! Oooh, aku tahu sekarang … Kamu kan, yang serong? Sama siapa, ha? Ayo, sini bilang sama aku kalau berani? Nggak usah pakai acara bermain belakang segala, terus terang saja … Nanti biar kamu aku kasihkan sama selingkuhan kamu, ha?"Giga benar-benar kalap sekarang, seakan-akan baru saja Peony menyerangnya dengan sebilah pedang. Ditunjuknya wakah Peony tepat di dahi, nyaris menyentuh kulitnya, "Lupa kamu, ha? Aku kerja keras banting tulang siang dan malam tanpa kenal lelah itu untuk siapa? Untuk kamu dan anak-anak kita nantinya. Jangan bodoh kamu Dek
Prameswari tertegun memandangi sehelai jilbab segi empat berwarna putih melati oleh-oleh dari Teh Hasna. Perlahan-lahan namun pasti, dibukanya plastik pembukus dan membentangkannya. Tak terasa air mata Prameswari merembes hangat dari sudut-sudut mata. Tanpa berusaha untuk menyusut tangis, dia berdiri di depan kaca cermin, menyampirkan jilbab di pundak kanan. Gemetar, mengikat rambut yang sudah panjang setengkuk dengan gelang karet dan memakai jilbabnya."Ini Dek Mytha, Teteh ada sedikit oleh-oleh buat Dek Mytha." ujar Teh Hasna tadi sore, sepulangnya Mytha dari kafe, "Semoga suka ya, Dek Mytha?"Selain jilbab putih melati ini, Teh Hasna juga membawakan kue bawang, enting-enting kacang dan asinan bogor. Makanan yang langsung membuat Prameswari jatuh cinta. Rasanya tidak bisa berhenti makan. Bukan hanya karena rasanya tapi juga &
[Halo, apakah benar ini dengan Bang Rayyan? Saya Mytha, Honey Karaoke and Cafe] gemetar, Prameswari mengetik pesan untuk Ustadz Rayyan. Satu hal yang mustahil terjadi jika dalam keadaan sadar seperti sedia kala. Jangankan mengirimkan pesan, sedangkan bertemu saja selalu membuang muka. Tak sudi menatap walaupun hanya sekejap. Tapi ini, demi sebuah jawaban yang selama beberapa bulan ini dicarinya. Demi sebuah jati diri. Apapun pasti akan ditempuhnya.New Chat@Bang Rayyan[Assalamu'alaikum, Dek Mytha][Ya, benar. Ini saya, Rayyan][Bagaimana Dek, ada yang bisa saya bantu?]Sungguh, Prameswari sampai melompat-lompat di atas kasur empuknya, begitu membaca pesan dari Ustadz Rayyan. Dengan per
'Apa, apakah ini yang dimaksud dengan bencana?' batin Prameswari bertanya dengan nelangsa, 'Mengapa tiba-tiba kepalaku sakit lagi? Sama seperti sore itu, saat aku mencoba pakai jilbab putih pemberian Teh Hasna. Aduuuh …!' Prameswari meringis menahan sakit. Rasa sakit di kepalanya benar-benar tak tertahankan lagi, mau pecah rasanya. Ingin menjerit tapi mustahil karena sekarang dia sedang berada di klinik bersalin. Untung, ada klinik bersalin yang tidak terlalu jauh dari Krapyak, sekitar lima ratus meter saja, di Jalan Bantul. Untung juga, Teh Hasna dan bayinya sehat, jadi bisa melahirkan di sini, tidak harus ke rumah sakit besar. Bukan apa-apa. Entah mengapa, belakangan ini kepala Prameswari suka sakit kalau menyetir mobil dengan jarak di atas empat belas kilometer. Padahal, biasanya sih, itu perkara kecil. Jangankan empat belas kilo meter, tiga kali lipatnya saja,