Faza dan Fauzi mendahului masuk ke dalam kafe, sementara Ustadz Rayyan menunggu di luar. Mereka sudah membuat janji, akan segera menghubungi Ustadz Rayyan begitu Prameswari sampai di taman bunga sayap kiri, tempat yang sudah mereka booking sebelumnya. Bukan apa-apa. Masalahnya waktu di Pondok Pasantren, kemungkinan besar Prameswari nggak familiar dengan Faza dan Fauzi, si Anak Kembar yang terkenal sebagai santri pandiam dan tertutup. Jadi, satu-satunya cara untuk menguji apakah benar si Mytha itu benar-benar Prameswari atau bukan, ya hanya dengan jalan memunculkan Ustadz Rayyan. Tapi nggak dari awal waktu, tentu saja. Bisa-bisa malah langsung melarikan diri karena takut dipaksa pulang ke Pondok Pesantren.
"Za, aku takut, Za!" Fauzi berbisik gemetar di telinga kanan Faza, "Serem aja rasanya liat yang pada pacaran gitu!"
Prameswari menatap dalam-dalam mata elang Giga, membuatnya keder. Beberapa menit yang lalu, dia baru saja menyatakan perasaan cinta pada Prameswari tapi sayang sekali, gagal total. Dengan lembut namun tegas, Prameswari menolaknya. Bukan, bukan berarti nggak memiliki perasaan yang sama akan tetapi mempertimbangkan status Giga yang suami orang. Sebesar apa pun rasa cinta dalam hatinya, tentu saja nggak ingin menjadi orang ke tiga. Meskipun nggak punya niat untuk menghancurkan rumah tangga mereka tapi siapa tahu? Setan nggak pernah menganggur untuk menyesatkan anak manusia, bukan?"Maafkan Mytha, Mas." ucap Prameswari tergetar, "Apa pun itu, Mytha nggak bisa menerimanya. Mytha nggak mau menyakiti hati Mbak Peony, Mas!"Giga menunduk, menyembunyikan rembesan air mata di wajah tampannya. Malu, dia malu kalau harus terlihat menangis
Akhirnya, semua sependapat dan sepakat kalau Mytha yang owner Honey Karaoke and Cafe itu bukanlah Prameswari Shalihatun Nisa. Begitu banyak hal yang membuat mereka mengambil kesimpulan itu, bukan lantaran emosional atau tidak sabar semata-mata. Salah satunya, dia sama sekali tidak mengenali Abang. Okelah, mungkin Prameswari pangling dengan Teh Hasna, Ustadz Rayyan atau bahkan Mas Eiden tapi tidak mungkin kan, pangling terhadap Abang? Bagaimana pun di dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Masa, tidak ada reaksi sama sekali ketika berdekatan? Sungguh, sikap Prameswari tempo hari itu selayaknya orang asing yang belum pernah bertemu sama sekali.Jadi, tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, mereka pulang ke Tangerang untuk melanjutkan pencarian ke kota-kota lain yang mungkin dituju Prameswari waktu pergi dari rumah. Bahkan, Abang dan Teteh sudah memutuskan untuk mencari sampai ke Sumat
Giga berkeras mengelak, ketika Peony gigih mengatakan kalau dia sudah bermain serong di belakang. Bukan hanya dengan kata-kata, Giga juga menggunakan kekuatan fisik, terutama jari telunjuk. Dengan kemarahan yang semakin berkobar-kobar di dadanya, Giga menunjuk-nunjuk tajam wajah Peony yang pucat pasi, "Jangan asal tuduh kaju, Dek! Oooh, aku tahu sekarang … Kamu kan, yang serong? Sama siapa, ha? Ayo, sini bilang sama aku kalau berani? Nggak usah pakai acara bermain belakang segala, terus terang saja … Nanti biar kamu aku kasihkan sama selingkuhan kamu, ha?"Giga benar-benar kalap sekarang, seakan-akan baru saja Peony menyerangnya dengan sebilah pedang. Ditunjuknya wakah Peony tepat di dahi, nyaris menyentuh kulitnya, "Lupa kamu, ha? Aku kerja keras banting tulang siang dan malam tanpa kenal lelah itu untuk siapa? Untuk kamu dan anak-anak kita nantinya. Jangan bodoh kamu Dek
Prameswari tertegun memandangi sehelai jilbab segi empat berwarna putih melati oleh-oleh dari Teh Hasna. Perlahan-lahan namun pasti, dibukanya plastik pembukus dan membentangkannya. Tak terasa air mata Prameswari merembes hangat dari sudut-sudut mata. Tanpa berusaha untuk menyusut tangis, dia berdiri di depan kaca cermin, menyampirkan jilbab di pundak kanan. Gemetar, mengikat rambut yang sudah panjang setengkuk dengan gelang karet dan memakai jilbabnya."Ini Dek Mytha, Teteh ada sedikit oleh-oleh buat Dek Mytha." ujar Teh Hasna tadi sore, sepulangnya Mytha dari kafe, "Semoga suka ya, Dek Mytha?"Selain jilbab putih melati ini, Teh Hasna juga membawakan kue bawang, enting-enting kacang dan asinan bogor. Makanan yang langsung membuat Prameswari jatuh cinta. Rasanya tidak bisa berhenti makan. Bukan hanya karena rasanya tapi juga &
[Halo, apakah benar ini dengan Bang Rayyan? Saya Mytha, Honey Karaoke and Cafe] gemetar, Prameswari mengetik pesan untuk Ustadz Rayyan. Satu hal yang mustahil terjadi jika dalam keadaan sadar seperti sedia kala. Jangankan mengirimkan pesan, sedangkan bertemu saja selalu membuang muka. Tak sudi menatap walaupun hanya sekejap. Tapi ini, demi sebuah jawaban yang selama beberapa bulan ini dicarinya. Demi sebuah jati diri. Apapun pasti akan ditempuhnya.New Chat@Bang Rayyan[Assalamu'alaikum, Dek Mytha][Ya, benar. Ini saya, Rayyan][Bagaimana Dek, ada yang bisa saya bantu?]Sungguh, Prameswari sampai melompat-lompat di atas kasur empuknya, begitu membaca pesan dari Ustadz Rayyan. Dengan per
'Apa, apakah ini yang dimaksud dengan bencana?' batin Prameswari bertanya dengan nelangsa, 'Mengapa tiba-tiba kepalaku sakit lagi? Sama seperti sore itu, saat aku mencoba pakai jilbab putih pemberian Teh Hasna. Aduuuh …!' Prameswari meringis menahan sakit. Rasa sakit di kepalanya benar-benar tak tertahankan lagi, mau pecah rasanya. Ingin menjerit tapi mustahil karena sekarang dia sedang berada di klinik bersalin. Untung, ada klinik bersalin yang tidak terlalu jauh dari Krapyak, sekitar lima ratus meter saja, di Jalan Bantul. Untung juga, Teh Hasna dan bayinya sehat, jadi bisa melahirkan di sini, tidak harus ke rumah sakit besar. Bukan apa-apa. Entah mengapa, belakangan ini kepala Prameswari suka sakit kalau menyetir mobil dengan jarak di atas empat belas kilometer. Padahal, biasanya sih, itu perkara kecil. Jangankan empat belas kilo meter, tiga kali lipatnya saja,
'Siapakah aku, sebenarnya?' Prameswari membatin dalam hati, 'Kenapa begitu banyak hal janggal dan aneh yang kualami?' batinnya lagi sambil menyeka air mata. Dia dalam perjalanan ke rumah Giga sekarang, karena tadi pagi waktu membuat janji, mereka batal bertemu. Itu, dimintai tolong Abang mengantarkan Teh Hana ke klinik bersalin.Tapi dia bahagia. Maksudnya, dengan begitu dia merasakan ada kebahagiaan yang lain di hatinya. Bahagia lah pokoknya, karena bisa membantu mereka. Ya, meskipun baru saja bertemu tapi rasanya bisa langsung akrab dan dekat. Bukan hanya aman tapi juga nyaman perasaannya setiap kali bersama mereka. Entahlah, seperti sudah pernah hidup bersama-sama sebelumnya."Bayi Teh Hasna … Gimana ceritanya, bisa mirip sama aku?" dia bergumam dengan perasaan yang semakin sesak, "Padahal kan, baru aja ke
Prameswari masih menangis terisak-isak saat sampai di rumah. Sama sekali tidak sadar dia tadi kalau ternyata sudah salah pilih kontak. Dia pikir itu nomor ponsel Giga yang biasa mereka gunakan untuk komunikasi. Tapi ternyata, nomor ponsel yang satunya, yang dia curigai sebagai nomor cadangan Peony. Masalahnya Peony pernah menerornya dengan nomor itu dulu, beberapa minggu yang lalu. Memang benar di kontak, dia save dengan nama Mas Giga, sama dengan nomor yang satunya. Bedanya, yang ini tidak ada emotikon jantung hatinya. Kenapa? Karena dulu---waktu Mbak Honey masih ada---Giga sering menghubunginya dengan nomor itu.Jadi, mungkin Peony ingin mempertegas dan memperjelas kalau dia itu isteri Giga, makanya menggunakan nomor itu. Bukan hanya pesan yang berisi ancaman, makian dan sumpah serapah, Peony juga mengirimkan beberapa foto mesranya bersama Giga. Giga memeluk Peony dari samping, Peony