Warna wajah Kila berubah menjadi pink mendengar pertanyaan adiknya, membuat dirinya menjadi lebih kelihatan seperti wanita. Pita hanya melongo di kursi belakang, tidak menyangka Kala akan cukup bernyali menanyakan hal sesensitif itu pada Kila. Sedangkan Kala sendiri berekspresi seperti telanjur salah mengutuk seseorang dan tidak tahu bagaimana caranya memerbaiki."Lo tadi nanya apa, Ka?"Pita bersuara, ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tadi tidak salah dengar."Nggak usah diulang pertanyaan gue, Kak Pita. Gue sendiri risih sudah nanyain, tapi ini ada kaitannya sama kasus jadi ya gue harus tanyain."Kata "kasus" membuat Kila menyadari jati dirinya kembali sebagai polisi wanita yang tangguh dan melenyapkan warna aneh itu dari mukanya."Berkaitan dengan kasus? Emang apa kaitannya?"Kala menggeleng, Kila dan Pita mengernyit."Nanti aja gue jelasin setelah pertanyaan gue dijawab. Nah, apa jawabannya, Kak?"Kila melirik Pita yang balas menatapnya ingin
"Kenapa kita ke rumahmu, Citra? Tidak mungkin kan pria brengsek itu membawa cucuku kemari?"Fikri bertanya saat sadar Herli mengarahkan mobil yang dikemudikannya memasuki gerbang perumahan Citra."Gani memang tidak membawa Neta ke sini, Yah. Saya perlu ke rumah untuk mengecek sesuatu, saya rasa di situlah Gani menyekap Neta."Mobil membelok di tikungan menuju rumah Citra dan beberapa detik kemudian tiba di depan pagar kayu. Dengan tergesa-gesa, Citra turun dan menekan bel kuat-kuat, lebih berharap daripada sebelumnya bahwa Mang Karta akan cepat mewujudkan dirinya.Tapi, dunia memang senang bergurau karena Mang Karta belum muncul juga. Sekali lagi Citra menekan bel, lebih bertenaga daripada percobaan pertama, dan langsung membungakan hasil. Ia bisa mendengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh milik Mang Karta yang mendekat."Nyonya? Anda sudah pulang? Biar saya bawakan barang-barang Anda."Citra merentangkan tangan kanannya, mencegah Mang Karta melakukan a
Anehnya, Profesor Gani tidak bertemu dengan satu kepala pun saat menuju tempat yang disebut si penelpon: lorong utama kampus. Ruang kelas yang ia lewati juga semuanya kosong. Tapi, begitu mendekati lokasi tujuannya, Profesor Gani bisa melihat punggung-punggung yang dibungkus pakaian beraneka warna mengerumuni satu orang yang telah rela menggantikannya diuber-uber reporter. Ana."...Neta. Saya kenal dia sejak tahun pertama kuliah karena kami di kelas yang sama, lama-lama kami jadi akrab."Potongan jawaban itu mampir di telinga Profesor Gani ketika ia mendekat. Mahasiswa yang menyadari kehadirannya jadi kehilangan fokus karena berbisik dan tidak malu-malu menudingnya dengan ekspresi mencela.Meskipun wajah Profesor Gani mempertontonkan raut tenang, jantungnya tidak bisa disetel agar tidak berdegup terlalu cepat, terlebih semakin banyak mahasiswa yang memberinya lirikan sinis."Bagaimana sifat Neta menurut Anda?"Suara seorang reporter kedengaran bertanya, tapi
"Kakak!""Kila!"Kala dan Pita memekik bersamaan saat melihat Profesor Gani memilih minggat walaupun di bawah todongan pistol.Dor!Suara tembakan sekali lagi mengejutkan orang-orang di sekitar situ, terutama para reporter yang nekat berada sedekat mungkin dengan Kila demi gambar terbaik. Sekarang, sudah dua peluru yang bersemayam di langit-langit. Tapi, Profesor Gani rupanya tidak terpengaruh karena setelah sempat menutup telinga saat tembakan meledak, ia langsung berlari lurus lagi melewati lorong utama, mengabaikan ruangan kosong yang terletak di dua sisi lorong.Tidak punya pilihan, Kila terpaksa berhenti mengejar dan membidikkan pistolnya pada tubuh yang perlahan menjauh di depannya."Minggir, Kala, Pita!"Kala dan Pita menghindar ke samping tepat waktu dan memberi jalan pada peluru yang baru saja melompat dari pistol Kila untuk memarkirkan diri di betis Profesor Gani. "Argh!"Raungan Profesor Gani langsung disusul oleh sosoknya yang tu
Tinju yang sebenarnya tidak terlalu kuat itu dihantamkan ke meja di depannya, disusul oleh sapuan telapak tangan yang membuat semua penghuni meja, yang sebagian besar berupa kertas, berlelehan ke lantai."Dasar profesor bodoh! Bagaimana bisa dia menganiaya dan menyekap reporter di rumahnya? Saya kira dia pintar karena embel-embel profesor di depan namanya itu, ternyata gelar itu cuma pajangan! Dasar bodoh!"AKBP Neco murka. Ia baru saja menerima kabar perihal dugaan penganiayaan dan penyekapan yang dilakukan Profesor Gani, yang dilaporkan langsung oleh korban sendiri, dari bawahannya."Sial! Sial! Kenapa ini harus terjadi di hari pertama Kila masuk kantor setelah diskors? Pasti si kurang ajar itu akan senang hati memburunya. Apa yang harus kulakukan? Apa saya harus menutupi kasusnya lagi?"Suara ketukan pintu menghentikan gumaman geram AKBP Neco. Melirik sebentar pada berbagai barang yang terkapar di lantai ruangannya, ia memilih untuk tidak peduli. Toh, orang y
"Sudah jam segini tapi Profesor belum pulang juga. Kira-kira apa yang terjadi, ya?"Bento bergumam sendiri di pintu pagar markas barunya, memelototi kegelapan. Dua anak buahnya yang berjaga di pintu saling membuang tatapan resah tapi tidak berniat untuk ikut berkomentar.Berjalan mondar-mandir di depan pintu dengan ekspresi risau yang jarang dipertontonkan, Bento layaknya seorang istri yang tengah menunggu suaminya pulang kerja."Apa tidak sebaiknya kita ke kampus untuk mencari tahu, Bos?"Salah satu preman penjaga pintu, dengan tato macan mengaum yang mendominasi lengan kirinya, memberi ide. Bento berhenti sesaat kemudian menoleh, mempertimbangkan saran yang sebenarnya sudah ia pikirkan dari tadi itu."Tapi, apa tidak berbahaya kalau kita keluar dari sini sementara polisi mungkin sedang mencari kita karena artikel soal kejadian di rumah makan XX kemarin?"Yang ditanya terdiam, tidak sanggup menemukan jawaban cerdas untuk menanggapinya. Sadar bahwa anak
Matanya membeliak. Sebagai implementasi rasa geram, dinding putih yang tak tahu apa-apa pun dihantamnya, menghamburkan perih ke seluruh tangannya. Pita memberinya tatapan prihatin, dan Kila, si pembawa kabar, yang tak sanggup melihatnya, lebih memilih bertatap muka dengan lantai, juga dengan pikiran yang berlarian."Kok sidangnya bisa digelar secepat ini, Kak? Emang mereka udah dapat bukti apa?"Kila memandang Kala, yang buku-buku tangannya cidera akibat mengecup dinding tadi."Gue juga nggak tahu, Ka. Sakil yang bilang ama gue tadi abis interogasi Profesor Gani. Tapi, kalo liat jaksanya si Irsita sih, gue nggak heran. Gue yakin bukti yang disebut-sebut itu semuanya buatan dia."Gusar tingkat gawat, Kala mondar-mandir di lorong kantor polisi yang hampir kosong itu."Nggak bisa gini. Kenapa Fatih harus disidang padahal dia jelas-jelas bukan pelakunya. Profesor Gani bilang apa Kak soal keberadaan Neta? Apa dia ngasih tahu Kakak tempat dia nyembunyiin Neta? Kit
"Menyelamatkan Neta sekarang? Selama persiapan kita sudah selesai itu tidak masalah. Tapi, kenapa tiba-tiba kamu menyarankan hal seperti itu?"Sambil duduk di kursi kerja mahalnya, Fikri memberi tatapan ingin tahu pada Herli, sebagai manusia yang baru saja melontarkan ide itu padanya, menuntut penjelasan yang masuk akal."Karena menurut informasi dari anggota kita yang ditugaskan memantau, Profesor Gani dan preman botak licin itu tidak ada di markas sekarang. Preman botak bersama beberapa anak buahnya terlihat meninggalkan markas beberapa menit lalu. Saya rasa, malam ini pengamanan di markas itu tidak dilakukan dengan kekuatan penuh, sebab dua pemimpin mereka tidak di sana. Bagaimana menurut Anda, Pak?"Bersandar di kursi mahalnya, Fikri tampak serius mempertimbangkan usul Herli."Tapi, bagaimana dengan persiapan kita? Anggota dan persenjataan sudah beres? Tim cadangan bagaimana?"Herli menegapkan badannya sebelum menjawab."Anggota dan persenjataan suda
Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu
"Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal
Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot
"Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan
Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say
"Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu
Senyum mengerikan terpahat di wajah awet muda Fikri. Tatapannya pada Kala tak lagi seperti ingin mengusir. Sebaliknya, ia memberi Kala pandangan tertarik.Kala yang masih belum pulih sepenuhnya dari sakit kepala bertubi-tubi yang diperolehnya akibat menyentuh Fikri, sehingga kebanyakan menunduk, tidak menyadari perubahan ekspresi orang tua itu. Karena itu, ia sangat kaget saat tanah di depan matanya mempertontonkan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengilat dari kulit asli.Saat mengangkat penglihatannya, Kala sampai tersentak ke belakang ketika menemukan muka Fikri yang hanya dihiasi sedikit kerut terpampang persis di depan hidungnya."Kemampuanmu sangat menarik sekaligus merepotkan, Anak Muda. Bagaimana rasanya bisa mendeteksi kebohongan? Menyenangkan? Tapi, sepertinya tidak terlalu membahagiakan kalau melihat bagaimana kamu kesakitan tiap menyentuh orang yang berbohong. Bagaimana kalau saya membantumu lepas dari kesakitan itu?"Tidak mengerti dengan yang dim
"Apa? 20 tahun? Untuk kejahatan yang tidak anakku lakukan? Anda sudah sinting, Bu Jaksa?"Auman kemurkaan ibu Fatih menyambut usai Irsita menyampaikan tuntutannya. Dengan wajah aslinya yang berbedak kedengkian jaksa itu menoleh ke belakang, memberi wanita fashionable yang duduk di kursi penonton sidang barisan depan itu tatapan merendahkan."Jaga ucapan Anda, Bu. Anda tidak tahu sudah mengatai siapa? Kalau Anda tidak hati-hati, saya bisa menjadikan Anda menyusul putra Anda untuk duduk di kursi terdakwa."Ibu Fatih meradang mendengar ancaman Irsita. Ia sudah nyaris melompati pembatas kayu antara kursi penonton sidang dengan meja saksi beberapa meter di depannya, kalau tidak sigap ditahan oleh suami dan anak perempuannya."Lepaskan saya, Pak, Veli. Saya harus menghajar wanita jelmaan setan itu. Lepas!"Bunyi palu yang dipukul oleh pria berambut keabuan yang teronggok di kursi ketua majelis hakim menyadarkan ibu Fatih. Ia pun kembali duduk di kursinya dengan mata masih mendelik pada Irsi
Kala memekik saat menyaksikan iringan mobil di depan mereka berpartisipasi dalam kecelakaan beruntun. Kila pun bereaksi sama dan cepat-cepat menghentikan mobilnya. Jarak mereka dengan mobil di depannya yang memang dijaga Kila agar tidak terlalu dekat, dalam rangka pengintaian yang dilakukan, membantu mereka tidak ikut serta dalam kekacauan itu."Apa yang terjadi, Kak? Kok mereka pada kecelakaan?"Kala berteriak setelah kakinya memijak bumi begitu keluar dari mobil yang telah dibawa Kila agak menjauh dari lokasi insiden."Gue juga nggak tahu, Ka. Sebentar, gue telpon polisi dan ambulans dulu."Mengangguk sekadarnya, Kala meninggalkan kakaknya yang sedang berurusan dengan ponselnya dan berjalan mendekati mobil yang paling dekat dengan mereka.Semua pintu mobil terkuak, pertanda seluruh penghuni telah minggat. Kala melanjutkan penjelajahannya ke mobil lain di depannya dan mendapati pemandangan yang sama."Gue udah telpon polisi dan ambulans. Mereka sedang perjal