“Vin, kita—”“Kita ngomong lain kali ya, aku lagi nggak bisa mikir.” Ervin mengusap puncak kepala wanita itu dengan pelan—wanita yang tadi bahkan tidak bisa menjawab ketika Ervin bertanya perasaannya. “Kamu istirahat, aku balik dulu.”Ervin langsung berbalik. Sekarang bebannya terasa dua kali lebih berat. Seakan di pundak kirinya diberati masalah perjodohan dan di bahu kanannya diberati perasaannya kepada Arla yang (sepertinya) tidak berbalas.Melangkah gontai, Ervin memilih kembali ke apartemennya daripada harus kembali ke rumah dan mendengar masalah perjodohan itu lagi.Baru saja ia melangkah masuk, sebuah pesan dari Adam masuk ke ponselnya.Adam: Kak ErvinAdam: Masalah permintaan Kakak waktu ituAdam: Udah hampir selesaiErvin: Kamu ke sini aja dehErvin: Ke apartemenkuErvin: -sent location-Sebenarnya ia sedang malas berpikir, tapi mungkin saja bicara masalah pekerjaan membuatnya melupakan sedikit beban yang bercokol di dua pundaknya. Meskipun yang akan dibicarakannya dengan Ada
“Lily! Kamu di mana? Ini udah jam sepuluh. Aku mesti meeting sama supplier, draft penawaran kita belum kamu siapin?”Baru kali ini Ervin melihat sikap tidak bertanggung jawab dari lily. Saat pertama kali masuk kantor pun Lily tidak pernah membuat masalah seperti ini, dan ini sudah hampir dua tahun Lily bekerja dengannya, tapi apa yang justru dilakukan Lily? Menghilang di hari yang super sibuk.“Draft penawaran ada di komputerku. Minta siapa kek nyariin di komputerku. Cari aja last document.”Ervin menahan geraman kesalnya. Sambil menjempit ponsel yang masih menyala di antara telinga dan bahunya, Ervin membuka komputer yang biasa digunakan Lily dan mencari dokumen terakhir yang dikerjakan Lily.“Ada kan? Udah ya, kututup,” jawab Lily dengan ketus.“Awas berani nutup! Tunggu dulu! Aku belum kelar.” Ervin bergegas mengirim file itu ke email-nya lalu kembali ke ruangan untuk melanjutkan omelannya kepada Lily. Kepalanya berdenyut kencang. Setelah hampir semalaman tidak bisa tidur, kini Li
Ervin menatap Arla yang kini terdiam. Mamanya telah masuk kembali ke dalam ruangannya, tapi … bagaimana ia bisa menjelaskan kepada Arla kalau pegawai mamanya yang lain ada di sekitar Arla.Mungkin ia bisa menngajak Arla menjauh sebentar dengan alasan membicarakan proyek mereka. Tapi baru saja kakinya akan melangkah, getaran ponsel di saku celananya membuat Ervin harus mengangkat telepon.Aris—tangan kanannya yang ia selundupkan untuk mengawasi gerak-gerik Direktur Utama. Dulu, Ervin mengira kalau hanya kinerja Direktur Utama di Wijaya Candra saja yang sedikit lambat, tapi semakin lama, Ervin tahu ada yang tidak beres. Sudah hampir satu tahun Ervin berhasil menyelundupkan Aris ke dalam kendang emas sang Direktur Utama dan kini sepertinya upayanya mulai membuahkan hasil.“Iya, Ris?”“Bagian belakang gudang Jakarta Barat kebakaran, Pak.”Satu sudut bibir Ervin terangkat. ‘Licik!’“Seperti yang kita perkirakan, Pak.”“Sudah bisa di-handle?”“Sudah, Pak. Sedang proses pencarian barang bukt
“Tuan putri kita kayaknya lagi ada masalah nih,” ledek Nathan yang sedari tadi memperhatikan Arla.Pandangan Arla kosong, sama sekali tidak menimpali gurauan mereka, sama sekali tidak menyentuh makanan yang dipesannya. Apa lagi namanya kalau tidak sedang dalam masalah.Arla hanya mencomot irisan timun yang ada di atas piringnya. Hatinya masih belum tergerak sama sekali untuk menikmati sepiring nasi dan ayam penyet dengan level paling pedas di rumah makan itu.“Ada apa sih, La? Cerita dong! Buat apa lo ngumpulin kita kalo cuma mau ngasih silent tratment?” Putra mendekatkan gelas berisi ice lemonide yang dipesan Arla dan juga belum tersentuh.“Kita ada salah?” Angga justru khawatir kalau Arla benar-benar serius memberikan silent treatment karena kesalahan mereka.“Je tombe déjà amoureux de lui et maintenant il écrase mon cœur.” (I already falling for him and now he crush my heart)Nathan dan Putra memutar kedua bola matanya dengan malas. Sementara Angga terdiam dan mencoba mengingat apa
“Ngapain sih lo ke sini malem-malem?” Bastian mengucek matanya. Ia baru pulang dari café-nya dan menemukan mobil Ervin yang terparkir di luar rumahnya. “Untung nggak diusir satpam komplek lo.”“Gue perlu ngomong sama lo, Bas.”Melihat raut wajah Ervin yang serius, Bastian tidak membalas apa pun, hanya bergegas membuka pintu rumahnya.“Ada apaan sih?” tanya Bastian yang langsung mengajak Ervin menuju mini bar yang ada di dekat dapur.Ervin mengusap wajahnya dengan kalut. “Gue to the point aja. Gimana hubungan lo sama Lily?”Bastian terkesiap, sama sekali tidak menyangka kalau Ervin bisa mengendus kedekatannya dengan Lily. Sebenarnya, antara dirinya dan Lily belum ada hubungan apa-apa. Ia masih belum berani terang-terangan mendekati Lily karena tahu kalau Lily dekat dengan Ervin—bahkan sudah dianggap adik oleh Ervin.“Emang Lily bilang apa?” tanya Bastian memastikan. Setidaknya kalau Lily menjawab mereka sedang dekat, Bastian bisa melakukan hal yang sama. Tapi mengakui kedekatan yang mu
Ervin merebahkan diri di sofa ruang kerja mamanya. Sebenarnya pagi tadi ia sudah berniat bulat untuk membongkar hubungannya dengan Arla di depan mamanya.Tapi ancaman Arla sebelum keluar ruang rapat beberapa menit sebelumnya terus terngiang di benaknya.‘Aku bakal resign dan pergi sejauh-jauhnya kalau kamu buka hubungan kita kemarin ke orang-orang terutama keluargamu.’Bagaimana mungkin Ervin bisa mengatakannya setelah mendapat ancaman seperti itu? Bagaimana kalau Arla benar-benar pergi dan tidak bisa ia temui lagi?“Kamu nggak enak badan, Vin?” tanya mamanya yang kini ikut duduk di single arm chair di dekat sofa sambil meletakkan tangannya di atas kening Ervin, mengukur suhu tubuh anaknya dengan cara yang paling tradisional.“Nggak enak ati, Ma.”Rhea menghela napas. Memang Ervin tidak demam, tapi ia bisa melihat raut wajah ‘tidak baik-baik saja’ pada Ervin.“Periksa ke Om Pras coba, mungkin ada masalah sama livermu. Om Pras pasti nggak mau kan punya calon menantu yang sakit liver.”
Ervin berdiri diam, memperhatikan Arla dari jauh. Beberapa pegawai coffee shop melihatnya dengan bingung, namun ia abaikan. Ia tidak bisa mendekati Arla yang tetap pada pendiriannya bahwa hubungan mereka sudah berakhir.“Nggak bawa mobil, La?” tanya Yusi yang melihat Arla masih berdiri di depan coffee shop.“Nggak bawa hari ini, hampir telat tadi pagi, jadi naik ojek.”“Mau bareng?” tawar Yusi.“Nggak usah, ada yang jemput kok.”Yusi mengangguk singkat kemudian berpamitan.Arla masih terlihat beberapa kali mengecek ponselnya, sampai sebuah sedan berhenti di depannya. Seorang pria turun dari kemudi dan mendekat pada Arla.“Arla?”Arla menangguk. “Mas Prayoga?”Lelaki itu tersenyum, mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri. “Panggil aja Yoga.”Ervin mengernyit bingung. ‘Driver taksi online? Kenapa harus kenalan dulu?’ Beberapa detik kemudian Ervin baru sadar, kalau sedan itu terlalu mentereng untuk digunakan seseorang sebagai taksi online.Bergegas Ervin memanggil taksi dan membunt
Ervin hanya mengaduk makanan di atas piringnya dengan malas. Kalau saja ia tidak sampai dijemput supir untuk pulang, pastilah ia tidak akan ada di meja makan bersama orang tuanya saat ini.“Jangan cuma diaduk-aduk! Dimakan! Di luar banyak orang nggak bisa makan.”Ervin melirik papanya. Kekesalannya masih bertumpuk tapi ia memang hampir tidak pernah melawan orang tuanya kecuali masalah kelakuannya yang sering berganti pacar dan sekarang bertambah dengan masalah perjodohan itu.“Kamu kepengan apa? Mau Mama bikinin yang lain?” tanya Rhea yang resah dengan keadaan Ervin belakangan ini.“Nggak, Ma. Ini aja.” Ervin mulai menyendok makanannya meski terasa hambar di lidah.“Kamu udah mulai harus ngomongin konsep engagement party kamu nantinya ke Lily. Siapa tau Lily punya mimpi selama ini mau kayak apa acaranya,” ucap Naren santai. Istrinya yang mendelik kesal ke arahnya pun sudah ia abaikan, demi masa depan Ervin yang menurutnya gelap jika tidak segera diarahkan ke jalan yang benar.“Mimpiny