“Ini prosedur dasar masuk hutan. Masak Pak Katon tidak tahu? Duh, lebih pintar Ibu Rosalind ternyata,” omel remaja tanggung dan mulai mengeluarkan perban dan salep luka serta antiseptik. “Buka kausnya. Harus saya ajari juga?” Myint menatap Katon. Pria itu berdecak sebal dan menarik leher kaus untuk meloloskan dari kepala. “Kau benar, Morg. Sebaiknya kita hajar pemuda ini setelah tiba kembali di desa. Ah! Ssshh!” Katon yang mengomel mendadak terkesiap dan mendesis ketika Myint menyemprot lukanya dengan antiseptic dan mengoles salep tanpa kehati-hatian maupun kelembutan. “Saya mau tahu respon Ibu Rosalind kalau tahu Bapak-Bapak mau hajar saya,” kilahnya sambil mulai membalut luka Katon dengan perban. Wajahnya serius menatap luka Katon membuat pria itu tertawa kecil lalu menoleh kembali ke Tikaka. Wanita itu tampak canggung karena melihat Katon tanpa mengenakan atasan. Satu kali menilai Katon sudah tahu Tikaka masih gadis polos. Ia tersenyum menenangkan Tikaka yang malah membuat wanit
Katon berubah pikiran. Daripada menyerang ketika kawanan sindikat itu masih jauh. Katon memutuskan akan menyergap mereka ketika sudah dekat. Mungkin lebih berbahaya, tetapi dia dan Morgan bisa menghabisi dengan tepat lebih banyak musuh. Jika ditembak dari jauh, mereka akan menyebar dan berlindung. Maka, habislah kesempatan Katon dan Morgan. Dengan segera Katon mengirimkan sandi morse kembali melalui lensa. [Jangan. Serang. Tunggu. Dekat. Kita. Sergap] [Kau. Gila] [Pakai. Taktik. Patriot] [Sialan. Kau. Ton] Katon tersenyum di tempatnya. Tentu saja Morgan ngamuk. Taktik yang pernah mereka pakai di Hutan Amazon yang terletak di selatan lembah Sungai Orinoco di Venezuela ketika melawan para perampok lokal, sangat menyulitkan posisi Morgan yang sejajar dengan musuh dan memudahkan Katon yang posisinya lebih tinggi. Katon dan Morgan berhenti berkomunikasi dan fokus kepada target mereka. Katon mengintip melalui lensa pembidik dan segera ia menemukan Muang Aye yang berjalan dengan wajah
“Yap! Karena itu kita harus bergegas. Kita kembali ke desa sebelum Khun Sa dan kawanannya balik dari pasar kota,” balas Morgan. Ia dan Katon segera membenahi ransel mereka dan Myint ikut membereskan matras Tikaka dan memasukkan ke dalam ransel miliknya sekaligus SIG Sauer. Karena baik Katon maupun Morgan tampak sibuk. “Tikaka, kita harus berjalan lagi. Kamu oke?” tanya Katon. Tikaka mengangguk. Ia mendadak kehilangan suaranya di depan pria tampan ini. “Bagus. Kuatkan dirimu, Gadisku. Kita akan segera tiba di tempat yang aman. Hm?” hibur Katon manis. Dan Tikaka tidak dapat menyembunyikan rona wajahnya. “Pake ilmu apa dia? Gak wanita, gak anjing nurut semua sama Katon!” desis Morgan sebal. “Hah? Apa, Pak?” Myint yang berdiri di dekat Morgan mengira pria itu bicara padanya. “Diem, kamu! Atau aku lem mulutmu!” desis Morgan sambil berputar arah berjalan keluar dari gua. “Jahat amat. Bu Rosalind gak akan mau,” omel Myint dalam bisikan lemah ketika mengikuti langkah Morgan. “Woah! Apa
Selama Katon dirawat, di meja lain sudah disiapkan banyak makanan untuk rombongan yang baru datang, termasuk Tikaka. Maka Katon mengajak Tikaka yang masih canggung dengan sekitarnya untuk makan. Gadis itu sudah tidak memiliki jejak cairan merah bekas sindikat di badannya karena Katon membantunya membersihkan ketika perjalanan kembali mereka melewati sebuah sungai. Namun, tetap saja. Gadis itu masih tampak lusuh dan acak-acakan, karena sudah berhari-hari disekap dan tidak diurus. “Setelah makan, kau mau mandi?” tawar Katon. Tikaka menatap ragu ke arah Katon. Mereka duduk bersisian di ujung meja, sedikit menjauh dari Morgan dan Myint. “A-aku ... bisakah?” bisik Tikaka takut-takut. “Tentu saja, Manis. Tetapi di sini tidak ada kamar mandi. Semua aktifitas mandi kita lakukan di sungai,” kata Katon sambil makan. “Apa?!” Tikaka mendesis kaget, matanya membulat ke arah Katon. “Jangan takut. Kamu akan ditemani. Aku yang akan menemanimu.” Kalimat Katon seketika membuat Tikaka merona. Ia s
Tidak ada lagi kain pembatas di antara mereka. Untuk sesaat kondisi itu membuat Tikaka panik. Namun, Katon dengan ahli menarik tubuh sang wanita dan melekatkan ke tubuhnya. Perpaduan air sungai yang sejuk dan dada bidang Katon yang hangat membuat Tikaka tidak sanggup menolak. Katon menyentuh dagu lancip gadis itu, menatap ke dalam matanya. Tikaka yang lebih bersih, tentu saja lebih cantik. Apalagi rambutnya yang setengah basah membuat Tikaka tampak lebih menggoda. Bahkan cahaya rembulan yang menerangi mereka berdua, membuat kecantikan itu kian memancar. Tikaka memiliki bola mata berwarna coklat. Kulitnya yang putih dan bersih khas wanita Thailand. Pipinya yang mulus dan bulat, mengingatkan Katon akan kue mochi dan membuat pria itu merasa gemas ingin menyentuhnya. Bibir Tikaka yang penuh, kini menarik perhatian Katon. Kepala pria itu mulai maju, dan Tikaka tidak bisa mundur karena dagunya ditahan oleh Katon. Bibir Katon mengecup bibir Tikaka, mencoba meminta ijinnya. Ketika Tikaka h
Katon mengetatkan rahangnya dan menatap tajam ke Khun Sa yang tersenyum tetapi malah terasa seperti mengejek. “Saya tidak paham dengan apa yang Anda katakan, Tuan Khun Sa. Kami tidak mengambil barang milik Anda,” jawab Katon pedas. Ia mencoba melihat reaksi Khun Sa dengan kalimatnya yang memancing emosi. “Tikaka, gadis 20 tahun yang aku beli dari Thailand dengan harga mahal,” gerutu Khun Sa. “Kau keluar dari mesin waktu? Kita sekarang tinggal di era digital, Bung! Tidak ada perbudakan di dunia ini. Di mana mesin waktumu kau parkir? Kusarankan pulanglah, tidak perlu kami antar, bukan?!” Morgan balas mengejek. “Aku ingin Tikaka dan tiga anjingku dikembalikan. Jika tidak, aku tidak bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi di sini,” desis Khun Sa mulai menunjukkan tampang aslinya. Wajahnya berubah kejam dengan mata memincing penuh penghinaan ke arah Katon. Kelima anak buahnya bergerak mengikuti gestur Khun Sa yang mengintimidasi “Seperti yang aku bilang, Tuan Khun Sa. Aku tida
Katon meraih parang di kakinya. Khun Sa mundur sambil mengulurkan tangan kembali ke belakang. Seorang anak buahnya yang lain kembali memberikan parang pada Khun Sa. Lelaki bejat itu menyeringai jelek ke arah Katon dan dia mundur bersama anak buahnya menuju ke halaman depan rumah. Katon mengikutinya. “Hati-hati, Mas!” Rosalind yang tidak bisa berbuat banyak, sudah dalam pegangan Morgan. Ia hanya bisa meneriakkan pesan ke arah kakak kandung yang sudah direpotkannya. Morgan meremas bahu Rosalind untuk menenangkan wanita itu. “Tenang, Katon luar biasa ahli dalam duel satu lawan satu,” bisik Morgan. Myint sudah meloloskan diri dari Jeremy, sekarang berlari dan memeluk Rosalind. “Morg, tolong awasi kakakku. Tembak saja Khun Sa kalau Mas Katon mulai akan kalah,” pinta Rosalind memelas. Ia mengangsurkan SIG Sauer P226 miliknya kepada Morgan. Selama ini pistol itu tersimpan rapi di keliman saku dalam gaun Rosalind. “Apa?” Morgan menatapnya tak percaya. Permintaan gila! Sama saja menghina K
Perjalanan menuju ke Gunung Everest, dilakukan oleh Katon dan Morgan di hari yang sama mereka melakukan packing. Katon memilih perjalanan menuju Yangon kemudian terbang ke Kathmandu. Total mereka menghabiskan 12 jam perjalanan. Katon memilih memulai pendakian Gunung Everest melalui Kathmandu. Setelah itu, ia dan Morgan akan menjalani perjalanan yang panjang untuk mencapai titik awal pendakian di Lukla. Selama perjalanan, mereka akan melewati dan menginap di beberapa kota kecil seperti Namche Bazaar, Tengboche, dan Gorak Shep. Ada dua rute yang umum dipilih oleh pendaki untuk mencapai puncak Gunung Everest, yaitu Jalur Utara dan Jalur Selatan. Katon memilih jalur selatan dimulai dari Nepal dan masuk ke Tibet via Puncak Tinggi. Jalur ini adalah jalur paling populer karena lebih mudah diakses dan memiliki fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan Jalur Utara. Namun, rute ini juga memiliki tantangan tersendiri, seperti pengaruh ketinggian yang berlebihan dan kemacetan di jalur penda
Katon menahan napas dan mulai menata lengannya, lalu ia memutar perlahan melawan arah sebelumnya dan terdengar sekali lagi derak tulang sendi bahu kembali ke posisinya lagi. Ia melemaskan lengan sambil mempercepat langkah menuju ke wanita yang masih terkapar di tanah. “Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Katon seraya memeriksa nadi di leher wanita tersebut. Masih terasa tetapi lemah dan mata wanita itu tertutup dengan napasnya yang pendek-pendek. Dengan satu tangan masih memeriksa nadi leher wanita itu, Katon memakai tangan yang lain untuk merogoh ponsel dan menghubungi 192, panggilan darurat layanan keselamatan di Brazil. Tidak perlu waktu lama dari waktu menghubungi hingga tim medis datang. Katon yang berkewajiban menunggu mencoba menghubungi nomor ponsel Ratih tetapi tidak terjawab. Akhirnya Katon memilih menghubungi Morgan dan memberitahukan posisi dan keperluannya saat ini. “Mereka memintamu ikut ke Rumah Sakit?” tanya Morgan. “Ya, karena korbannya pingsan dan aku harus ikut untu
Katon dibantu Morgan menambatkan perahu mereka ke geladak pelabuhan sungai, mengikatnya dengan tali yang terbuat dari serat pohon. Setelah dua hari berlayar melalui hutan Amazon yang lebat, rombongannya akhirnya tiba kembali di pelabuhan sungai kota kecil Seringueiras. Matahari terbenam menyinari permukaan air, menciptakan kilauan emas di permukaan gelombang. Ratih melangkah keluar dari perahu, kakinya menginjak pasir halus. Sarah dan Emily mengikutinya. Wajah ketiganya tampak lelah. Namun, lega juga terpancar di sana. Katon yang telah selesai menambatkan perahu kini bekerja sama dengan Stuart, Christopher dan Daniel untuk menurunkan sisa barang-barang mereka dari atas perahu. Dengan membawa barang-barang yang tidak seberapa, rombongan meninggalkan pelabuhan dan memasuki kota Serinqueiras yang masih ramai menjelang senja ini. Mereka kembali check-in ke hotel kecil tempat mereka menginap saat tiba pertama kali di sini. Segera, Katon kehilangan tunangannya karena wanita itu tidak me
Rombongan Katon dan Ratih meninggalkan pemukiman Urarina tanpa dilepas oleh Palmera dan Omwezi. Mereka hanya diantar oleh Spit, sebagian pasukannya dan Kino yang memang selalu bersama mereka dua hari terakhir. Remaja pria itu memakai pakaian terbaiknya dan kulit tubuhnya dicat biru terang. Sekarang Katon paham mengapa petinggi Urarina dicat biru. Karena mengacu pada Virola dan bunga biru terangnya. Seolah pimpinan mereka diletakkan pada trah tertinggi dan tetap dalam lindungan Virola. Katon dan Kino berjalan beriringan di pusat rombongan, sedangkan Ratih memilih berjalan di belakang Katon. Langkah membawa mereka memasuki hutan kembali. Daun lebat dan rimbun menutupi langit, menciptakan keteduhan yang misterius. Udara lembap dan berbau tanah basah memenuhi hidung mereka. Mereka telah meninggalkan pemukiman Suku Kuno Urarina, dan sekarang, hutan hujan Amazon membuka di hadapan mereka. Mereka melangkah lebih dalam. Suara burung-burung hutan mengiringi mereka, menyanyikan lagu-lagu ya
Manusia-manusia modern menatap penuh horor, kedua tubuh yang perlahan menghilang dibalik belitan anakonda raksasa yang bergulung-gulung di tepi sungai. Mereka mendadak menyadari mengapa mereka semua dibawa kesini. Entah menjadi saksi sebuah penghukuman seperti sekarang atau malah menjadi yang terhukum. Mengingat mereka semua dibawa dengan terikat dan disiksa tak manusiawi, semuanya memiliki kesimpulan yang sama. Para manusia modern semula dibawa kesini untuk dikorbankan kepada anakonda raksasa. Entah apa yang diucapkan Kino sehingga hukuman berbalik arah hanya mengorbankan dua orang suku mereka sendiri. Sementara para manusia terasing menunduk penuh khidmat selama ssota meremukkan kedua tubuh warga mereka lalu menghilang kembali dalam air sungai. Setelah prosesi hukuman yang mengerikan itu berakhir. Palmera mengayunkan tangan kepada kedua wakilnya yang sontak bergerak serasi. Berjalan kembali ke arah rombongan jauh dari sungai tetapi sambil memetik bunga-bunga biru. Saat tiba kemb
Kembali semua terkesiap dan memekik terkejut. Stuart baru saja menembak wakil Palmera untuk memperingatkan agar orang itu diam tidak bergerak. Peluru Colt Stuart nyaris menghancurkan kaki wakil Palmera. “Hemat pelurumu, setan alas!” seru Morgan. “Dari tadi panggilin setan alas melulu. Setannya beneran keluar kamu yang pusing!” ejek Stuart ke muka Palmera yang merah padam. Ratih yang sudah membebaskan teman-temannya sekarang menuju ke arah Katon dan berusaha menyadarkan pria itu. “Jadi apa salah kami, Palmera? Mengapa kami dibawa ke sini? Tidak untuk wisata kurasa? Air terjunmu tidak sebagus itu. Dan kalau memang wisata kenapa kami diikat?” omel Stuart. “Kau butuh penterjemah kan sekarang? Hm? Atau kubunuh saja kau ya? Aku yakin teman-teman avatarmu sekalian wargamu bakalan menangis. Atau malah seneng kalau kamu mampus? Bagaimana?” Stuart berkata jahat sambil menempelkan moncong Colt pada dahi Palmera yang tetap menatap dengan marah. Terdengar suara ceklik ketika Stuart menarik tu
Sarah menjerit ketakutan dan kemudian menangis meraung-raung. Di dekatnya Ratih seketika berwajah pucat sedangkan Emily merosot pingsan dan tetap diseret oleh penawannya. Sekarang Katon tahu apa penyebab ketiga wanita tersebut berekspresi demikian. Seekor anakonda dengan lingkar tubuh sebesar pria dewasa. Tak diketahui berapa panjangnya karena ia melata di tanah, di antara batang pohon dan rerumputan sisi kanan mereka. Warna sisik anakonda itu kuning emas dan corak berlian berwarna hitam. Berbeda dengan anakonda hijau yang mereka lihat di sungai. Gerakannya yang melata sajalah yang membuatnya dikenali sebagai anakonda karena sejatinya, warna sisik dan motifnya malah mirip jaguar. Entah di mana kepala atau ekor anakonda itu. Tetapi melihat dari luncuran tubuhnya yang tampak di sela-sela rerumputan, anakonda tersebut berjalan mengiringi para tawanan dan Suku Kuno Urarina menuju pusat curug, air terjun yang indah di depan mereka. {Yang mulia ssota menunggu kita!} desis beberapa warga
{Lihat Palmera! Teman asingmu tidak tampak bersalah telah menyerang dan menghajar kami, hanya karena kami mengejarnya ke sungai} lapor Empewo. {Kami menuntut keadilan. Dia harus dihukum adat!} desis Ekitala. Wajah keduanya hancur dan masih menyisakan darah yang mengering. Namun, mereka bisa bicara dengan baik. Meletupkan emosi, meskipun mereka menggunakan bahasa kuno tetapi Katon dapat merasakan kemarahannya. Dan sekarang emosi yang sama terpantul di wajah Palmera. Perasaan Katon tidak enak. Ia ulurkan tangan kanannya dan sedikit merunduk. Ia bermaksud menenangkan Palmera dan meminta ijin meletakkan tempayan air untuk kemudian menjelaskan posisinya. Baru saja Katon meletakkan tempayan ke tanah, Kaki Ekitala menghajar dadanya dan membuatnya terpental ke belakang sejauh satu setengah meter. Tempayannya terbanting dan pecah, menumpahkan isinya kemana-mana. Katon terbatuk karena udara dipaksa keluar dari paru-parunya secara mendadak. Belum sempat ia bergerak lebih jauh, prajurit pe
Pagi menjelang. Udara terasa sangat dingin. Kabut bahkan menjalar masuk melalui bagian bawah pintu yang tidak tertutup sempurna, maupun jendela yang tak berpenutup. Tetapi Ratih yang membuka matanya terbangun dengan rasa nyaman. Selain kakinya tidak lagi sakit, iapun merasa hangat dan terlindungi. Sesaat kemudian barulah ia sadar kalau dirinya ada di dalam pelukan Katon dan mereka memakai satu selimut bersama. Ia memakai lengan Katon sebagai bantal, tangan Katon yang lain memeluknya. Kaki Katon melibat dan membungkus kakinya di dalam selimut. Wajah mereka sedemikian dekat. Ratih tidak ingat, kapan ia jatuh tertidur. Yang pasti, tunangannya masih sibuk memijit kakinya. Maka sekarang melihat Katon masih tertidur lelap, Ratih tidak tega langsung bergerak bangun dan berpotensi menganggu Katon. Ratih menatap wajah lelaki yang memaksakan diri menjadi tunangannya. Lelaki ini bernapas teratur. Dengkurnya halus bukan termasuk dengkur yang menganggu. Malah seperti musik yang menenangkan kar
Ratih berderap di depan Katon dan menyeret pria itu bersamanya. Katon tersenyum, melihat kuatnya cengkeraman Ratih di pergelangan dan jalannya yang cepat dan menghentak-hentak, sepertinya tunangan cantiknya ini memang baik-baik saja. Katon pasrah diseret oleh Ratih. Asal tangannya masih digandeng kekasihnya itu. Sepertinya obrolan sebelum perkelahian akhirnya menenangkan Ratih. Kemarahannya sekarang mungkin manifestasi dari rasa cemburu bercampur tersinggung atas perbuatan dua prajurit Palmera. Katon yang mengenal banyak wanita, bisa memperkirakan segala tindakan Ratih. Mereka masuk ke pemukiman dan hanya disambut sepi. Seluruh warga Urarina yang berusia dewasa mungkin masih di lapangan sementara wanita yang memiliki bayi dan anak-anak maupun remaja mungkin sudah masuk ke rumah masing-masing. Katon membayangkan Palmera sedang beraktifitas dengan Omwezi membuatnya menarik Ratih dan gadis itu mental ke belakang dan dipeluk Katon. “Kita pulang aja, yuk? Aduh!!” Ratih tidak tinggal