“Yap! Karena itu kita harus bergegas. Kita kembali ke desa sebelum Khun Sa dan kawanannya balik dari pasar kota,” balas Morgan. Ia dan Katon segera membenahi ransel mereka dan Myint ikut membereskan matras Tikaka dan memasukkan ke dalam ransel miliknya sekaligus SIG Sauer. Karena baik Katon maupun Morgan tampak sibuk. “Tikaka, kita harus berjalan lagi. Kamu oke?” tanya Katon. Tikaka mengangguk. Ia mendadak kehilangan suaranya di depan pria tampan ini. “Bagus. Kuatkan dirimu, Gadisku. Kita akan segera tiba di tempat yang aman. Hm?” hibur Katon manis. Dan Tikaka tidak dapat menyembunyikan rona wajahnya. “Pake ilmu apa dia? Gak wanita, gak anjing nurut semua sama Katon!” desis Morgan sebal. “Hah? Apa, Pak?” Myint yang berdiri di dekat Morgan mengira pria itu bicara padanya. “Diem, kamu! Atau aku lem mulutmu!” desis Morgan sambil berputar arah berjalan keluar dari gua. “Jahat amat. Bu Rosalind gak akan mau,” omel Myint dalam bisikan lemah ketika mengikuti langkah Morgan. “Woah! Apa
Selama Katon dirawat, di meja lain sudah disiapkan banyak makanan untuk rombongan yang baru datang, termasuk Tikaka. Maka Katon mengajak Tikaka yang masih canggung dengan sekitarnya untuk makan. Gadis itu sudah tidak memiliki jejak cairan merah bekas sindikat di badannya karena Katon membantunya membersihkan ketika perjalanan kembali mereka melewati sebuah sungai. Namun, tetap saja. Gadis itu masih tampak lusuh dan acak-acakan, karena sudah berhari-hari disekap dan tidak diurus. “Setelah makan, kau mau mandi?” tawar Katon. Tikaka menatap ragu ke arah Katon. Mereka duduk bersisian di ujung meja, sedikit menjauh dari Morgan dan Myint. “A-aku ... bisakah?” bisik Tikaka takut-takut. “Tentu saja, Manis. Tetapi di sini tidak ada kamar mandi. Semua aktifitas mandi kita lakukan di sungai,” kata Katon sambil makan. “Apa?!” Tikaka mendesis kaget, matanya membulat ke arah Katon. “Jangan takut. Kamu akan ditemani. Aku yang akan menemanimu.” Kalimat Katon seketika membuat Tikaka merona. Ia s
Tidak ada lagi kain pembatas di antara mereka. Untuk sesaat kondisi itu membuat Tikaka panik. Namun, Katon dengan ahli menarik tubuh sang wanita dan melekatkan ke tubuhnya. Perpaduan air sungai yang sejuk dan dada bidang Katon yang hangat membuat Tikaka tidak sanggup menolak. Katon menyentuh dagu lancip gadis itu, menatap ke dalam matanya. Tikaka yang lebih bersih, tentu saja lebih cantik. Apalagi rambutnya yang setengah basah membuat Tikaka tampak lebih menggoda. Bahkan cahaya rembulan yang menerangi mereka berdua, membuat kecantikan itu kian memancar. Tikaka memiliki bola mata berwarna coklat. Kulitnya yang putih dan bersih khas wanita Thailand. Pipinya yang mulus dan bulat, mengingatkan Katon akan kue mochi dan membuat pria itu merasa gemas ingin menyentuhnya. Bibir Tikaka yang penuh, kini menarik perhatian Katon. Kepala pria itu mulai maju, dan Tikaka tidak bisa mundur karena dagunya ditahan oleh Katon. Bibir Katon mengecup bibir Tikaka, mencoba meminta ijinnya. Ketika Tikaka h
Katon mengetatkan rahangnya dan menatap tajam ke Khun Sa yang tersenyum tetapi malah terasa seperti mengejek. “Saya tidak paham dengan apa yang Anda katakan, Tuan Khun Sa. Kami tidak mengambil barang milik Anda,” jawab Katon pedas. Ia mencoba melihat reaksi Khun Sa dengan kalimatnya yang memancing emosi. “Tikaka, gadis 20 tahun yang aku beli dari Thailand dengan harga mahal,” gerutu Khun Sa. “Kau keluar dari mesin waktu? Kita sekarang tinggal di era digital, Bung! Tidak ada perbudakan di dunia ini. Di mana mesin waktumu kau parkir? Kusarankan pulanglah, tidak perlu kami antar, bukan?!” Morgan balas mengejek. “Aku ingin Tikaka dan tiga anjingku dikembalikan. Jika tidak, aku tidak bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi di sini,” desis Khun Sa mulai menunjukkan tampang aslinya. Wajahnya berubah kejam dengan mata memincing penuh penghinaan ke arah Katon. Kelima anak buahnya bergerak mengikuti gestur Khun Sa yang mengintimidasi “Seperti yang aku bilang, Tuan Khun Sa. Aku tida
Katon meraih parang di kakinya. Khun Sa mundur sambil mengulurkan tangan kembali ke belakang. Seorang anak buahnya yang lain kembali memberikan parang pada Khun Sa. Lelaki bejat itu menyeringai jelek ke arah Katon dan dia mundur bersama anak buahnya menuju ke halaman depan rumah. Katon mengikutinya. “Hati-hati, Mas!” Rosalind yang tidak bisa berbuat banyak, sudah dalam pegangan Morgan. Ia hanya bisa meneriakkan pesan ke arah kakak kandung yang sudah direpotkannya. Morgan meremas bahu Rosalind untuk menenangkan wanita itu. “Tenang, Katon luar biasa ahli dalam duel satu lawan satu,” bisik Morgan. Myint sudah meloloskan diri dari Jeremy, sekarang berlari dan memeluk Rosalind. “Morg, tolong awasi kakakku. Tembak saja Khun Sa kalau Mas Katon mulai akan kalah,” pinta Rosalind memelas. Ia mengangsurkan SIG Sauer P226 miliknya kepada Morgan. Selama ini pistol itu tersimpan rapi di keliman saku dalam gaun Rosalind. “Apa?” Morgan menatapnya tak percaya. Permintaan gila! Sama saja menghina K
Perjalanan menuju ke Gunung Everest, dilakukan oleh Katon dan Morgan di hari yang sama mereka melakukan packing. Katon memilih perjalanan menuju Yangon kemudian terbang ke Kathmandu. Total mereka menghabiskan 12 jam perjalanan. Katon memilih memulai pendakian Gunung Everest melalui Kathmandu. Setelah itu, ia dan Morgan akan menjalani perjalanan yang panjang untuk mencapai titik awal pendakian di Lukla. Selama perjalanan, mereka akan melewati dan menginap di beberapa kota kecil seperti Namche Bazaar, Tengboche, dan Gorak Shep. Ada dua rute yang umum dipilih oleh pendaki untuk mencapai puncak Gunung Everest, yaitu Jalur Utara dan Jalur Selatan. Katon memilih jalur selatan dimulai dari Nepal dan masuk ke Tibet via Puncak Tinggi. Jalur ini adalah jalur paling populer karena lebih mudah diakses dan memiliki fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan Jalur Utara. Namun, rute ini juga memiliki tantangan tersendiri, seperti pengaruh ketinggian yang berlebihan dan kemacetan di jalur penda
“Oi, Foxie! Kau akan satu tim dengan Katon dan Morgan!” Umanga kembali berteriak. Baik Katon dan Morgan mencari-cari sang pemilik nama. Seorang wanita mengenakan jaket tebal berwarna putih merespon Umanga. Ia memutar tubuh menghadap pria Nepal itu. Hoodie jaketnya yang tidak ia kenakan, membuat Katon dan Morgan bisa melihat kepala wanita tersebut. Ia memiliki wajah mungil tetapi bergaris tegas. Bintik imut menghias wajahnya, bukan mengotori malah membuatnya tampak manis. Rambutnya berwarna merah, dibiarkan panjang melewati bahu dan sekarang berkibar dengan indah, sewarna dengan api unggun Katon. “Shit! Wanita! Mana nolak kampret ini!” maki Morgan pelan jadi hanya Katon yang mendengar. Bukan Umanga. Katon mengulum senyumnya. “Keton? Siapa dia?" Foxie berjalan dan menghampiri kemah Katon dan Morgan. Langkahnya tegas dan mantap meski harus melewati salju yang menjebak kaki. Dari ketebalan pakaiannya, Katon bisa mengira kalau Fey Foxie memiliki tubuh langsing semampai. “Orang apa kau? N
“Dead Zone Puncak Everest. Kita harus menaklukan dua puncak sebelum tiba di Hillary Step. The Balcony dan South Summit. Kandungan oksigen di area ini hanya sepertiga dari yang ada di permukaan laut. Dan, berlama-lama di area ini akan berakibat fatal. Belum lagi suhu udara yang mencapai sering mencapai minus 30 derajat.” Katon tiba-tiba bersuara. Ketua tim penyelamat menatap ke arah Katon. “Benar.” “Mereka terjebak tadi siang, bukan? Berapa lama waktu mereka bisa bertahan sebelum cairan mulai merendam paru-parunya? Apakah cukup waktu kita untuk menyelamatkan dua orang itu?” tanya Morgan. “Mereka punya stok bahan bakar untuk melelehkan es dan menghangatkan diri selama sehari. Pada ketinggian 26.000 kaki saat ini, mereka memang terancam edema paru. Mereka bisa mati dalam waktu 12 jam. Dari perhitungan masa awal bencana dan logistik mereka, kita punya waktu 36 jam tersisa untuk menyelamatkan.” Bob Langley—Sang kepala tim penyelamat menjawab pertanyaan Morgan. “Kalian bahkan tidak bisa
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas
Hening sejenak. “Apa yang kau lakukan pada Lin Jianhong?” tanya Satria pada putera sulungnya. Nadanya dingin tak enak didengar. “Aku membunuhnya. Dia mengancam Ratih dan keluargaku. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi pada Papa. Tetapi aku tidak bisa menerima jika sesuatu yang buruk menimpa Mama, Rosie dan Lily. Aku akan mengirimkan laporanku melalui email. Selanjutnya Anda boleh kirimkan pekerjaanku kemari atau ganti saja aku dengan orang lain. Aku tidak peduli. Selamat siang, Pak Satria.” Katon mematikan ponselnya dengan dayanya sekalian lalu membuang barang itu ke atas tempat tidurnya. Wajahnya menyiratkan kemarahan. Ia tidak peduli sudah memantik api perpecahan dengan papanya sendiri. Untuk Katon, Arini jauh lebih penting dari Satria yang baru ia temui saat usia lima tahun. Rosie dan Lily bernilai sama dengan Arini. Satria benar-benar tidak masuk prioritas Katon sama sekali. Ia melakukan semua permintaan Satria hanya demi melihat senyum bangga Arini saja. Katon menarik napa
Saat transit di Shanghai, Ratih sudah kehabisan tenaga untuk berdebat dengan Katon. Selama menunggu connecting flight schedule berikutnya, ia memilih untuk tiduran di paha Katon dan memasrahkan suaminya yang waspada terhadap panggilan ke penerbangan berikutnya “Neng, bangun. Sudah waktunya berangkat.” Entah berapa lama Ratih tertidur di pangkuan Katon. Suaminya membangunkan dengan lembut, menunggunya dengan sabar sampai semua nyawa terkumpul, masih juga membantu merapikan rambut panjangnya yang awut-awutan. Keunggulan memiliki pasangan jauh lebih tua darinya. Ratih merasa diemong dan dikasihi sepenuh hati. Kini, saat ia masih setengah mengantuk, berjalan dalam gandengan tangan Katon yang sibuk sendiri. Satu tangan menggenggam tangan Ratih, tangan yang lain menyeret bagasi mereka. Untung cuma satu, itu sebabnya Katon memilih membawanya ke kabin. Ratih benar-benar tidak paham dengan sekitarnya. Ia berjalan mengikuti langkah Katon tanpa melihat dengan jelas atau memastikan tujuan me
Katon keluar dari kamar tidur sambil menggandeng tangan Ratih. Keduanya melangkah ke ruang tamu, di mana layar televisi menampilkan breaking news yang terus diulang-ulang di salah satu channel berita lokal. Semua tulisan di layar itu dalam huruf Mandarin, dan pembawa beritanya berbicara dalam bahasa yang sama. Meskipun tak mengerti bahasanya, Katon langsung mengenali rumah yang disorot di dalam berita tersebut. Lampu-lampu rotator dari mobil polisi berputar cepat, memancarkan warna merah, biru, dan kuning yang seolah berputar dalam irama tak teratur, membuat suasana semakin menegangkan. Sebuah ambulans tampak menunggu di depan rumah, sementara satu jenazah dibawa keluar dengan kantong mayat berwarna kuning. “Apa yang terjadi?” tanya Katon, sok polos, kepada Mei Lifen, yang berdiri di dekatnya. Ratih, yang menatap layar dengan dahi mengernyit, juga mengalihkan pandangannya ke arah Mei, tidak menyadari bahwa Liang Zhiyuen sedang mendengus sebal di dekat meja makan. “Perampokan yang g
Katon mengabaikan omelan Liang Zhiyuen saat mengetahui dari Zhang Wei kalau Katon mengeksekusi mati Lin Jianhong. “Cari masalah kau, Ton. Anak buah Lin mengetahui pertikaian kalian sebelumnya dan kini bos mereka mati?! Sudah pasti semua prasangka akan tertuju padamu, Ton!” Liang Zhiyuen mengomel sepanjang perahu mereka menyusuri Sungai Yangtze menjauhi area perumahan Lin Jianhong. “Zhang, hubungi Meu Lifen dan tanyakan kondisi istriku,” perintah Katon, membuang begitu saja revolvernya di tengah Sungai Yangtzw saat perahu mereka melaju dalam kemudi Liang Zhiyuen yang cemberut parah. “Nyonya aman,” lapor Zhang Wei “Bawa aku pulang, Liang.” “Muter dulu, kek! Buat alibi, Ton!” seru Liang Zhiyuen sebal. Tetapi gestur Katon akan merebut kemudi. “Oke! Oke! Dasar gila!” Liang Zhiyuen memutar kemudi dan bergerak lurus menuju International Raffles City hotel melalui jalur sungai. Katon boleh saja perkasa di luar sana. Tetapi Katon tetap saja suami yang takut istri. Sudah tiga hari, kelew
Chen Peng memastikan sekitar rumahnya aman saat ia pergi meninggalkan Katon dan Liang Zhiyuen di sana. Kurang dari satu jam kemudian, Zhang Wei yang datang menggantikan posisi Chen Peng. “Ratih bersama Mei Lifen dan Chen Peng. Di luar hotel, masih ada dua orang lagi anak buah Chen Peng yang ikut menjaga.” Zhang Wei menjelaskan pada Katon tanpa diminta. Katon mengangguk, setidaknya Ratih aman dan itu bisa membuatnya fokus. “Kita berangkat sekarang.” Katon yang enggan membuang waktu segera berdiri sambil memeriksa revolvernya. Di sisi lain, Liang Zhiyuen memenuhi saku mantelnya dengan amunisi simpanan Chen Peng. Zhang Wei yang sudah siap, segera mendahului langkah dan memimpin mereka. Pintu besi di belakang mereka mengeluarkan derit tajam saat Zhang Wei menutupnya perlahan, menutupi cahaya dari ruangan yang sekarang seakan menjadi satu-satunya perlindungan mereka tadi. Katon dan Liang Zhiyuen mengikuti langkah Zhang Wei yang mantap, masuk lebih dalam ke labirin bawah tanah yang penu
Di ujung dermaga, terdapat gang sempit yang terhubung dengan area perumahan kumuh Chongqing. Gang tersebut dikelilingi oleh tembok tinggi dengan lukisan mural yang memudar, tampak jauh dari kilauan pusat kota. Di tempat yang tak terduga inilah Liang Zhiyuen memimpin Katon menuju ke seseorang yang sudah lama ia percayai. Setelah berlari melewati beberapa lorong sempit, mereka tiba di depan sebuah pintu besi berkarat yang tertutup rapat. Liang Zhiyuen melirik sekeliling, merasa diawasi, sementara Katon menjaga tangan di balik jaketnya, dekat dengan gagang pistol kecil yang ia bawa. Liang Zhiyuen mengetuknya tiga kali, cepat dan teratur, dan dalam beberapa detik, pintu itu terbuka sedikit, memperlihatkan seorang pria bertubuh kekar dengan rambut yang super cepak. " Gē? Apa yang kau lakukan di sini?" Sesosok pria sebaya dengan Liang Zhiyuen membuka pintu dan menampakkan wajah terkejut. Meskipun begitu ia segera menarik Liang Zhiyuen masuk, dengan demikian Katon leluasa mengikutinya. Pn