“Oi, Foxie! Kau akan satu tim dengan Katon dan Morgan!” Umanga kembali berteriak. Baik Katon dan Morgan mencari-cari sang pemilik nama. Seorang wanita mengenakan jaket tebal berwarna putih merespon Umanga. Ia memutar tubuh menghadap pria Nepal itu. Hoodie jaketnya yang tidak ia kenakan, membuat Katon dan Morgan bisa melihat kepala wanita tersebut. Ia memiliki wajah mungil tetapi bergaris tegas. Bintik imut menghias wajahnya, bukan mengotori malah membuatnya tampak manis. Rambutnya berwarna merah, dibiarkan panjang melewati bahu dan sekarang berkibar dengan indah, sewarna dengan api unggun Katon. “Shit! Wanita! Mana nolak kampret ini!” maki Morgan pelan jadi hanya Katon yang mendengar. Bukan Umanga. Katon mengulum senyumnya. “Keton? Siapa dia?" Foxie berjalan dan menghampiri kemah Katon dan Morgan. Langkahnya tegas dan mantap meski harus melewati salju yang menjebak kaki. Dari ketebalan pakaiannya, Katon bisa mengira kalau Fey Foxie memiliki tubuh langsing semampai. “Orang apa kau? N
“Dead Zone Puncak Everest. Kita harus menaklukan dua puncak sebelum tiba di Hillary Step. The Balcony dan South Summit. Kandungan oksigen di area ini hanya sepertiga dari yang ada di permukaan laut. Dan, berlama-lama di area ini akan berakibat fatal. Belum lagi suhu udara yang mencapai sering mencapai minus 30 derajat.” Katon tiba-tiba bersuara. Ketua tim penyelamat menatap ke arah Katon. “Benar.” “Mereka terjebak tadi siang, bukan? Berapa lama waktu mereka bisa bertahan sebelum cairan mulai merendam paru-parunya? Apakah cukup waktu kita untuk menyelamatkan dua orang itu?” tanya Morgan. “Mereka punya stok bahan bakar untuk melelehkan es dan menghangatkan diri selama sehari. Pada ketinggian 26.000 kaki saat ini, mereka memang terancam edema paru. Mereka bisa mati dalam waktu 12 jam. Dari perhitungan masa awal bencana dan logistik mereka, kita punya waktu 36 jam tersisa untuk menyelamatkan.” Bob Langley—Sang kepala tim penyelamat menjawab pertanyaan Morgan. “Kalian bahkan tidak bisa
Katon dan Morgan keluar dari tenda mereka dan bergegas menuju ruang kendali sebelum Subuh. Mereka bersiap bersama dua tim yang dipimpin Fey dan Umanga. Masing-masing tim akan diantar oleh helikopter terpisah. Katon menyalami tangan pilot helikopter timnya yang ternyata ia kenal. “Apa kabar, Kareem?” “Sehat. Aku hanya mendengar selentingan kau ada di base camp bersama Morgan. Senang akhirnya bisa bertemu,” balas Kareem ramah. Pria Pakistan beragama Islam itu memiliki wajah bercambang yang teduh dan menenangkan. “Yeah, sayang sekali kami harus meninggalkan liburan yang menyenangkan. Semua serba ada di base camp, penginapan mewah, makanan lezat.” Morgan tiba-tiba mengomel. Jelas satir, mana ada penginapan mewah dan makanan lezat di base camp. Semua tinggal di tenda dan makan makanan dalam bentuk instant. “Cuaca yang panas dan pengap, radang nyaman yang mulaimenjalaripantatku.” Katon ikutan satir mengomel. Kareem melihat ke arah mereka dengan tatapan teduhnya. Senyum tipis mengulas di
“Oke, man?” kekeh Morgan sambil meninju bahu Katon. “Dia yang memukul, dia juga yang akan menciumnya malam ini.” Katon bersungut sambil membetulkan letak ranselnya. Morgan tertawa ketika mereka mulai berjalan mengikuti Fey dan dua anggota lain. “Bagus! Dengan begitu aku yakin kita akan selamat dari misi ini,” kekeh Morgan. Setelah melangkah beberapa menit. Regu mereka tiba di persimpangan. Fey yang bernapas pendek-pendek karena tipisnya oksigen, membuka kacamata salju dan mulai memindai arah. “Kita lewat jalur barat dan biarkan Morgan bersama Keith dan Simon menyusuri jalur mushroom,” kata Katon yang muncul di sebelah Fey. Wanita itu memandang dengan tatapan benci. “Hei! Kau tetap pimpinan regu. Aku hanya memberikan jalan terbaik. Ini bukan soal hierarki kepemimpinan, Nona. Umanga mengajakku untuk alasan jelas. Dia tahu aku paham area ini.” Katon berujar sambil mengangkat tangan dan mengarahkan telapaknya ke Fey Foxie. “Dia benar, Fey. Pilihan terbaik. Tetapi, tetap saja kami a
Katon menatap heran ke walkie-talkie di tangannya. Apa Morgan jadi gila di atas ketinggian 26.000 kaki? Mengapa tiba-tiba mengigau kalau ia yang menghubungi. “Kenapa? Ada apa?” Fey yang agak jauh di depan Katon, bertanya dengan napas satu-satu karena udara tipis. “Morgan ....” Belum selesai Katon berbicara, kembali walkie-talkie meneriakkan suara Morgan. [Ulangi! Rob Hall ada di KKT Selatan] “Shit! Fey, kita harus memotong lewat Death Zone Two!” Katon memasukkan walkie-talkie dan menggebah langkah berbelok ke kanan. Ia dan Fey sedikit lagi mencapai Anvil. Ternyata Rob Hall sudah bergeser ke KKT Selatan. Entah apa yang terjadi. Apakah ia turun sendiri atau terseret angin. Katon melangkah lebar-lebar dan Fey mengikutinya dengan tangkas. Di sisi gunung yang lain, Morgan bersama dua tim medis mulai menuruni Jalur Mushroom dan berbelok ke kiri menuju KKT Selatan. Jika tepat waktu, mereka akan tiba beberapa saat setelah Katon dari sisi atas. “Cepat!” sengal Morgan. Mereka bergerak cep
Morgan dan timnya semakin mendekati KKT Selatan. Selama berjalan, ia terus melekatkan walkie talkie ke telinganya guna memantau suara Rob Hall yang lemah. Selain mengulang-ulang nama dan posisinya, ada satu kalimat dari Rob Hall yang membuat Morgan merasa sedih. Ucapan selamat tinggal dari Rob Hall untuk istri tercintanya. “Tidurlah dengan baik, Sayangku. Tolong jangan terlalu khawatir.“ Dua kalimat mudah, tetapi diucapkan dengan susah payah. Suara Rob Hall lemah, terputus-putus dan tersengal kekurangan udara. Morgan memperkirakan Rob Hall sudah mengalami hipotermia dan halusinasi. Ia mempercepat langkah. Di belakangnya, Keith dan Simon melakukan hal yang sama. KKT Selatan adalah sebuah lereng miring perpaduan antara tebing dan tumpukan salju. 100 kaki dari sana, Morgan bisa melihat tubuh meringkuk di bawah cerukan tebing, seolah sang pemilik tubuh berusaha bersembunyi dari kerasnya alam sekitar. “Kau melihatnya?” tanya Morgan pada Keith yang ada di belakangnya. “Jelas seperti
Morgan tetap tergantung sampai dengan gemuruh dan luruhan salju lenyap. Dengan bagian dalam siku mengait tali, tangannya menyingkirkan masker oksigen dengan kasar. “Kalian oke?!” teriaknya melawan angin. Kepada dua tubuh tergantung di bawahnya. Dua jawaban oke yang samar dirasa cukup oleh Morgan. Morgan memakai kembali maskernya dengan susah payah, ia tidak boleh tiba-tiba pingsan karena kurangnya oksigen, di tengah situasi seperti ini. Morgan mengumpulkan kekuatan pada kedua tangan dan mulai merayap naik masuk ke cekungan bekas tempat jenazah Rob Hall. Lalu mulai menahan tali agar Keith dan Simon bisa berusaha menggapai dinding tebing dan ikut merayap naik. Perlu usaha yang berat dan lama sampai ketiganya tiba kembali di tebing awal sebelum mereka jatuh. Kali ini lebih berat karena mereka dibebani rasa bersalah, tidak bisa menyelamatkan Rob Hall. Dan kecemasan kembali hadir ke hati Morgan. Katon dan Fey tidak pernah tiba di KKT Selatan. Apakah mereka juga mengalami kendala seperti
“Terima kasih,” bisik Fey pelan. Mereka sedang berjalan di luar, melewati beberapa tenda pendaki. Suasana menjelang malam membuat sekitarnya tidak terlalu ramai. “Hm. Maaf? Kau berkata sesuatu? Angin menerpa telingaku cukup keras, Fey,” ujar Katon sambil menundukkan kepala agar wajahnya sejajar dengan Fey Foxie. Wanita itu tersenyum simpul. Katon tertawa pelan dan berbicara, “Terima kasih kembali, Foxie. Dan jangan merasa terbebani karena tidak dapat menyelamatkan korbanmu. Seperti yang aku bilang ketika kita di atas sana. They’re not dying, they are all dead.” Katon berbicara lembut sambil mengelus punggung Fey Foxie. Katon bisa merasakan punggung wanita itu melemas di tangannya. Dari yang semula tegang karena terbebani misi yang tidak berhasil. Mereka masih menyusuri jalanan yang tertutup salju dan sedikit menurun. Katon bermaksud membantu langkah Fey, khawatir wanita itu akan terpeleset. Tetapi, wanita itu bisa melangkah dengan baik. “Kau mau tinggal? Aku punya dhal bat dan say
Katon menahan napas dan mulai menata lengannya, lalu ia memutar perlahan melawan arah sebelumnya dan terdengar sekali lagi derak tulang sendi bahu kembali ke posisinya lagi. Ia melemaskan lengan sambil mempercepat langkah menuju ke wanita yang masih terkapar di tanah. “Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Katon seraya memeriksa nadi di leher wanita tersebut. Masih terasa tetapi lemah dan mata wanita itu tertutup dengan napasnya yang pendek-pendek. Dengan satu tangan masih memeriksa nadi leher wanita itu, Katon memakai tangan yang lain untuk merogoh ponsel dan menghubungi 192, panggilan darurat layanan keselamatan di Brazil. Tidak perlu waktu lama dari waktu menghubungi hingga tim medis datang. Katon yang berkewajiban menunggu mencoba menghubungi nomor ponsel Ratih tetapi tidak terjawab. Akhirnya Katon memilih menghubungi Morgan dan memberitahukan posisi dan keperluannya saat ini. “Mereka memintamu ikut ke Rumah Sakit?” tanya Morgan. “Ya, karena korbannya pingsan dan aku harus ikut untu
Katon dibantu Morgan menambatkan perahu mereka ke geladak pelabuhan sungai, mengikatnya dengan tali yang terbuat dari serat pohon. Setelah dua hari berlayar melalui hutan Amazon yang lebat, rombongannya akhirnya tiba kembali di pelabuhan sungai kota kecil Seringueiras. Matahari terbenam menyinari permukaan air, menciptakan kilauan emas di permukaan gelombang. Ratih melangkah keluar dari perahu, kakinya menginjak pasir halus. Sarah dan Emily mengikutinya. Wajah ketiganya tampak lelah. Namun, lega juga terpancar di sana. Katon yang telah selesai menambatkan perahu kini bekerja sama dengan Stuart, Christopher dan Daniel untuk menurunkan sisa barang-barang mereka dari atas perahu. Dengan membawa barang-barang yang tidak seberapa, rombongan meninggalkan pelabuhan dan memasuki kota Serinqueiras yang masih ramai menjelang senja ini. Mereka kembali check-in ke hotel kecil tempat mereka menginap saat tiba pertama kali di sini. Segera, Katon kehilangan tunangannya karena wanita itu tidak me
Rombongan Katon dan Ratih meninggalkan pemukiman Urarina tanpa dilepas oleh Palmera dan Omwezi. Mereka hanya diantar oleh Spit, sebagian pasukannya dan Kino yang memang selalu bersama mereka dua hari terakhir. Remaja pria itu memakai pakaian terbaiknya dan kulit tubuhnya dicat biru terang. Sekarang Katon paham mengapa petinggi Urarina dicat biru. Karena mengacu pada Virola dan bunga biru terangnya. Seolah pimpinan mereka diletakkan pada trah tertinggi dan tetap dalam lindungan Virola. Katon dan Kino berjalan beriringan di pusat rombongan, sedangkan Ratih memilih berjalan di belakang Katon. Langkah membawa mereka memasuki hutan kembali. Daun lebat dan rimbun menutupi langit, menciptakan keteduhan yang misterius. Udara lembap dan berbau tanah basah memenuhi hidung mereka. Mereka telah meninggalkan pemukiman Suku Kuno Urarina, dan sekarang, hutan hujan Amazon membuka di hadapan mereka. Mereka melangkah lebih dalam. Suara burung-burung hutan mengiringi mereka, menyanyikan lagu-lagu ya
Manusia-manusia modern menatap penuh horor, kedua tubuh yang perlahan menghilang dibalik belitan anakonda raksasa yang bergulung-gulung di tepi sungai. Mereka mendadak menyadari mengapa mereka semua dibawa kesini. Entah menjadi saksi sebuah penghukuman seperti sekarang atau malah menjadi yang terhukum. Mengingat mereka semua dibawa dengan terikat dan disiksa tak manusiawi, semuanya memiliki kesimpulan yang sama. Para manusia modern semula dibawa kesini untuk dikorbankan kepada anakonda raksasa. Entah apa yang diucapkan Kino sehingga hukuman berbalik arah hanya mengorbankan dua orang suku mereka sendiri. Sementara para manusia terasing menunduk penuh khidmat selama ssota meremukkan kedua tubuh warga mereka lalu menghilang kembali dalam air sungai. Setelah prosesi hukuman yang mengerikan itu berakhir. Palmera mengayunkan tangan kepada kedua wakilnya yang sontak bergerak serasi. Berjalan kembali ke arah rombongan jauh dari sungai tetapi sambil memetik bunga-bunga biru. Saat tiba kemb
Kembali semua terkesiap dan memekik terkejut. Stuart baru saja menembak wakil Palmera untuk memperingatkan agar orang itu diam tidak bergerak. Peluru Colt Stuart nyaris menghancurkan kaki wakil Palmera. “Hemat pelurumu, setan alas!” seru Morgan. “Dari tadi panggilin setan alas melulu. Setannya beneran keluar kamu yang pusing!” ejek Stuart ke muka Palmera yang merah padam. Ratih yang sudah membebaskan teman-temannya sekarang menuju ke arah Katon dan berusaha menyadarkan pria itu. “Jadi apa salah kami, Palmera? Mengapa kami dibawa ke sini? Tidak untuk wisata kurasa? Air terjunmu tidak sebagus itu. Dan kalau memang wisata kenapa kami diikat?” omel Stuart. “Kau butuh penterjemah kan sekarang? Hm? Atau kubunuh saja kau ya? Aku yakin teman-teman avatarmu sekalian wargamu bakalan menangis. Atau malah seneng kalau kamu mampus? Bagaimana?” Stuart berkata jahat sambil menempelkan moncong Colt pada dahi Palmera yang tetap menatap dengan marah. Terdengar suara ceklik ketika Stuart menarik tu
Sarah menjerit ketakutan dan kemudian menangis meraung-raung. Di dekatnya Ratih seketika berwajah pucat sedangkan Emily merosot pingsan dan tetap diseret oleh penawannya. Sekarang Katon tahu apa penyebab ketiga wanita tersebut berekspresi demikian. Seekor anakonda dengan lingkar tubuh sebesar pria dewasa. Tak diketahui berapa panjangnya karena ia melata di tanah, di antara batang pohon dan rerumputan sisi kanan mereka. Warna sisik anakonda itu kuning emas dan corak berlian berwarna hitam. Berbeda dengan anakonda hijau yang mereka lihat di sungai. Gerakannya yang melata sajalah yang membuatnya dikenali sebagai anakonda karena sejatinya, warna sisik dan motifnya malah mirip jaguar. Entah di mana kepala atau ekor anakonda itu. Tetapi melihat dari luncuran tubuhnya yang tampak di sela-sela rerumputan, anakonda tersebut berjalan mengiringi para tawanan dan Suku Kuno Urarina menuju pusat curug, air terjun yang indah di depan mereka. {Yang mulia ssota menunggu kita!} desis beberapa warga
{Lihat Palmera! Teman asingmu tidak tampak bersalah telah menyerang dan menghajar kami, hanya karena kami mengejarnya ke sungai} lapor Empewo. {Kami menuntut keadilan. Dia harus dihukum adat!} desis Ekitala. Wajah keduanya hancur dan masih menyisakan darah yang mengering. Namun, mereka bisa bicara dengan baik. Meletupkan emosi, meskipun mereka menggunakan bahasa kuno tetapi Katon dapat merasakan kemarahannya. Dan sekarang emosi yang sama terpantul di wajah Palmera. Perasaan Katon tidak enak. Ia ulurkan tangan kanannya dan sedikit merunduk. Ia bermaksud menenangkan Palmera dan meminta ijin meletakkan tempayan air untuk kemudian menjelaskan posisinya. Baru saja Katon meletakkan tempayan ke tanah, Kaki Ekitala menghajar dadanya dan membuatnya terpental ke belakang sejauh satu setengah meter. Tempayannya terbanting dan pecah, menumpahkan isinya kemana-mana. Katon terbatuk karena udara dipaksa keluar dari paru-parunya secara mendadak. Belum sempat ia bergerak lebih jauh, prajurit pe
Pagi menjelang. Udara terasa sangat dingin. Kabut bahkan menjalar masuk melalui bagian bawah pintu yang tidak tertutup sempurna, maupun jendela yang tak berpenutup. Tetapi Ratih yang membuka matanya terbangun dengan rasa nyaman. Selain kakinya tidak lagi sakit, iapun merasa hangat dan terlindungi. Sesaat kemudian barulah ia sadar kalau dirinya ada di dalam pelukan Katon dan mereka memakai satu selimut bersama. Ia memakai lengan Katon sebagai bantal, tangan Katon yang lain memeluknya. Kaki Katon melibat dan membungkus kakinya di dalam selimut. Wajah mereka sedemikian dekat. Ratih tidak ingat, kapan ia jatuh tertidur. Yang pasti, tunangannya masih sibuk memijit kakinya. Maka sekarang melihat Katon masih tertidur lelap, Ratih tidak tega langsung bergerak bangun dan berpotensi menganggu Katon. Ratih menatap wajah lelaki yang memaksakan diri menjadi tunangannya. Lelaki ini bernapas teratur. Dengkurnya halus bukan termasuk dengkur yang menganggu. Malah seperti musik yang menenangkan kar
Ratih berderap di depan Katon dan menyeret pria itu bersamanya. Katon tersenyum, melihat kuatnya cengkeraman Ratih di pergelangan dan jalannya yang cepat dan menghentak-hentak, sepertinya tunangan cantiknya ini memang baik-baik saja. Katon pasrah diseret oleh Ratih. Asal tangannya masih digandeng kekasihnya itu. Sepertinya obrolan sebelum perkelahian akhirnya menenangkan Ratih. Kemarahannya sekarang mungkin manifestasi dari rasa cemburu bercampur tersinggung atas perbuatan dua prajurit Palmera. Katon yang mengenal banyak wanita, bisa memperkirakan segala tindakan Ratih. Mereka masuk ke pemukiman dan hanya disambut sepi. Seluruh warga Urarina yang berusia dewasa mungkin masih di lapangan sementara wanita yang memiliki bayi dan anak-anak maupun remaja mungkin sudah masuk ke rumah masing-masing. Katon membayangkan Palmera sedang beraktifitas dengan Omwezi membuatnya menarik Ratih dan gadis itu mental ke belakang dan dipeluk Katon. “Kita pulang aja, yuk? Aduh!!” Ratih tidak tinggal