“Terima kasih,” bisik Fey pelan. Mereka sedang berjalan di luar, melewati beberapa tenda pendaki. Suasana menjelang malam membuat sekitarnya tidak terlalu ramai. “Hm. Maaf? Kau berkata sesuatu? Angin menerpa telingaku cukup keras, Fey,” ujar Katon sambil menundukkan kepala agar wajahnya sejajar dengan Fey Foxie. Wanita itu tersenyum simpul. Katon tertawa pelan dan berbicara, “Terima kasih kembali, Foxie. Dan jangan merasa terbebani karena tidak dapat menyelamatkan korbanmu. Seperti yang aku bilang ketika kita di atas sana. They’re not dying, they are all dead.” Katon berbicara lembut sambil mengelus punggung Fey Foxie. Katon bisa merasakan punggung wanita itu melemas di tangannya. Dari yang semula tegang karena terbebani misi yang tidak berhasil. Mereka masih menyusuri jalanan yang tertutup salju dan sedikit menurun. Katon bermaksud membantu langkah Fey, khawatir wanita itu akan terpeleset. Tetapi, wanita itu bisa melangkah dengan baik. “Kau mau tinggal? Aku punya dhal bat dan say
Katon masih bertahan memeluk Fey setelah pelepasan mereka. Meringkuk berdua dengan posisi snuggled spoon, Fey berbaring miring dengan nyaman dan Katon memeluk dari belakang. Selimut anti hipotermia menutup sempurna di atas separuh tubuh mereka yang terbungkus sleeping bag. “Sungguh luar biasa,” bisik Fey sambil mengelus tangan Katon yang lengannya ia pakai sebagai bantal. “Terima kasih, Nona Adams,” balas Katon memanggil nama keluarga Fey Foxie dengan hormat. Wanita itu tertawa ringan. “Kau! Playboy kampung, ‘kan?” Fey, setengah berbalik dan mendorongkan ujung jari telunjuk kanan ke dada Katon. Bukan untuk mengusir, tapi menggodanya. Katon menangkap tangan Fey yang ujung jarinya masih melekat di kulit dada dan menggenggam tangan itu. Makin meletakkan telapak Fey ke dada kekarnya. “Nona! Kau menyakiti hatiku. Aku tinggal di kota, Nona. Bukan di kampung,” keluh Katon tetapi tidak melepaskan pelukan. Tangannya yang lain malah merambah ke area sensitif Fey yang tertawa dengan ucapan p
Barcelona, kota di Spanyol dengan keindahan arsitektur yang menawan, pesona seni yang tak tertandingi, dan semangat hidup yang membara. Kota ini tengah bersiap-siap menyambut festival besar yang akan mengguncang seluruh penjuru dunia. Kota ini akan dibanjiri wisatawan dari berbagai penjuru dunia demi menyaksikan festival terbesar yang akan dihelat di Barcelona. Katon tiba di kota ini menggunakan penerbangan selama 14 jam dari Kathmandu. Tiba pukul tujuh pagi, masih terlalu pagi untuk mengharapkan dua sahabat wanitanya menjemput. Maka, Katon menggunakan taksi bandara untuk menuju ke hotel tempat ia menginap. Katon menatap pemandangan di luar dari kaca jendela taksi yang melaju. Arsitektur yang menjulang tinggi dan tak tertandingi merupakan daya tarik utama kota Barcelona. Bangunan-bangunan monumental seperti Sagrada Familia, Park Güell, dan Casa Batlló, tampak memukau dengan detail-detail artistik yang rumit, mencerminkan keajaiban kreativitas manusia. Katon memilih menginap di ME H
La Mercè, festival of festivals Selain menjadi acara publik yang mendunia, La Mercè, festival of festivals di Barcelona juga merupakan festival makro yang terdiri dari berbagai festival individu yang menampilkan kekayaan budaya Barcelona. Mulai dari Festival Seni Jalanan La Mercè, hingga pameran budaya populer, dan juga, Acció Cultura Viva dan program Música Mercè, yang menawarkan lebih dari lima ratus kegiatan secara total. Namun, puncak acara dan yang paling ditunggu karena penyajiannya yang spektakuler, tentu saja adalah parade Barcelona. Di mana jalanan utama Barcelona akan ditutup untuk kendaraan dan dipakai sebagai jalur parade menampilkan kelompok-kelompok seniman yang membawa kreasi terbaik mereka. Katon memilih memasuki Stadion Camp Nou—Stadion terbesar di Eropa sekaligus dunia yang mampu menampung 99.354 penonton. Parade memang dimulai dari sana sebelum dilepas melewati jalanan kota. Menonton dari stadion membuat Katon merasa lebih leluasa bergerak dan mendekati parade hi
Katon mengikuti langkah Ratih yang menyisir barisan parade sambil sesekali mengarahkan kameranya dan mengabadikan obyek yang menurutnya menarik. Pria itu sabar mengikuti seperti pengawal. Ia bahkan sudah tidak berhasrat memotret melalui ponsel untuk ia kirimkan ke Lily. Katon lebih suka memperhatikan wajah Ratih. Setiap kali selesai memotret, Ratih akan langsung memeriksa hasilnya. Ada tiga ekspresi yang ditangkap Katon. Ratih akan tersenyum puas kalau hasil fotonya bagus. Ekspresi kedua, ia akan mengerutkan ujung hidungnya dengan imut, Katon menebak, jika hasil fotonya tidak presisi atau blur. Dan Ratih berwajah datar untuk hasil foto yang jelek karena jari lentiknya langsung bergerak menghapus lalu cepat mengambil foto kembali. Katon tersenyum senang, berhasil menandai ekspresi Ratih. Gadis itu melakukan pemotretan cukup lama. Hampir seluruh barisan parade mendapat jatah satu kali foto dari wanita Jawa ini. Saat seluruh peserta parade meninggalkan stadion dan Ratih sudah puas memo
Katon terkesiap. Ia bergerak cepat berlari bersamaan dengan tubuh Ratih yang memberontak dan berusaha melawan dekapan penculiknya. Namun, secepat langkah kaki Katon, secepat itu juga tubuh Ratih melemas. Tentu saja ia dibius karena sepintas Katon melihat tangan pria besar yang merenggut Ratih juga membekap mulut gadis itu. Kedua pria tersebut mendorong tubuh lemas Ratih masuk ke dalam sebuah mobil Alphard hitam yang mendadak berhenti di dekat mereka. Teriakan Katon diabaikan kawanan tersebut. Pintu mobil itu menutup dan melaju sedetik sebelum Katon sempat meraih pegangan pintunya. “Bangsat!!” Katon mengumpat keras. Tanpa membuang waktu, Katon berlari menuju taksi pesanan Ratih yang masih menunggu. Ia membuka dan menutup pintu dengan kasar, mengejutkan sopirnya. “Kejar mobil itu!” perintahnya kasar dalam Bahasa Inggris sambil menunjuk Alphard yang membawa Ratih. Untuk sesaat pengemudi itu kebingungan. Ia menunggu penumpang wanita mengapa yang masuk penumpang pria yang marah-marah?
Sekali lagi Katon memejamkan mata putus asa dengan hatinya sendiri. Ia membuka mata lagi dan menatap ke arah pria yang memanggul Ratih. Pria itu kini masuk ke dalam flat. Suasana sangat sepi karena lewat tengah malam dan di pusat kota seharian adalah hari festival. Tentu semua orang kelelahan sekarang. Katon meremas jok dengan kalut. Pikirannya tidak tenang. Tiba-tiba dua orang masuk ke mobil. Satu di depan dan satu di belakang. Dua pria berwajah tegas. Rémy segera bicara dalam Bahasa Catalan yang sedikit saja dipahami Katon. Rémy sedang membagikan strategi. “Ini Katon, kawan wanita tersebut.” Akhirnya Rémy memperkenalkan Katon yang sudah merah padam karena tidak sabar. Bisa-bisanya mereka ngobrol kenalan di dalam mobil. Bagaimana kalo Ratih diperkosa di dalam sana! Katon bahkan tidak bisa mendengar ketika dua pria itu menyebutkan namanya. Ia hanya mengangguk dengan mata masih menatap pintu flat. “Ayo!” Akhirnya ucapan Rémy melegakan Katon. Mereka keluar dari mobil dan berjalan sa
Unit flat milik kawanan penculik itu amburadul. Barang-barang yang hancur di mana-mana. Dua lawan Katon tidak sadarkan diri karena Katon terlalu emosi. Ratih yang pingsan, digendong Cia dan dibawa pergi ke rumah sakit menggunakan mobil Alpha Satu. Tentu saja pergi bersama Cia. Tinggal Lorna, Rémy dan Charlie Tiga yang tinggal di flat yang hancur dengan dua lawan setengah tewas, enam orang kawanan terikat dengan wajah dan badan carut marut. Lorna sendiri menderita luka di rahang kiri dan lengan atasnya. Charlie Tiga dan Rémy pun sama. Menderita luka di beberapa tempat di wajah dan badannya. Mereka berdiri sedangkan Katon masih terduduk lemas. Shock karena Ratih mengira dia sebagai salah satu komplotan pemerkosa. Katon membenamkan wajahnya ke dalam kedua tangan. Mengabaikan sensasi basah di sudut mata dan pelipisnya. Mungkin luka yang berdarah. Entahlah. Hati Katon sedang sesak luar biasa. “Ton,” bisik Lorna. Wanita itu membungkuk untuk menyentuh bahu Katon yang layu. “Bung, siapa n
Katon menahan napas dan mulai menata lengannya, lalu ia memutar perlahan melawan arah sebelumnya dan terdengar sekali lagi derak tulang sendi bahu kembali ke posisinya lagi. Ia melemaskan lengan sambil mempercepat langkah menuju ke wanita yang masih terkapar di tanah. “Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Katon seraya memeriksa nadi di leher wanita tersebut. Masih terasa tetapi lemah dan mata wanita itu tertutup dengan napasnya yang pendek-pendek. Dengan satu tangan masih memeriksa nadi leher wanita itu, Katon memakai tangan yang lain untuk merogoh ponsel dan menghubungi 192, panggilan darurat layanan keselamatan di Brazil. Tidak perlu waktu lama dari waktu menghubungi hingga tim medis datang. Katon yang berkewajiban menunggu mencoba menghubungi nomor ponsel Ratih tetapi tidak terjawab. Akhirnya Katon memilih menghubungi Morgan dan memberitahukan posisi dan keperluannya saat ini. “Mereka memintamu ikut ke Rumah Sakit?” tanya Morgan. “Ya, karena korbannya pingsan dan aku harus ikut untu
Katon dibantu Morgan menambatkan perahu mereka ke geladak pelabuhan sungai, mengikatnya dengan tali yang terbuat dari serat pohon. Setelah dua hari berlayar melalui hutan Amazon yang lebat, rombongannya akhirnya tiba kembali di pelabuhan sungai kota kecil Seringueiras. Matahari terbenam menyinari permukaan air, menciptakan kilauan emas di permukaan gelombang. Ratih melangkah keluar dari perahu, kakinya menginjak pasir halus. Sarah dan Emily mengikutinya. Wajah ketiganya tampak lelah. Namun, lega juga terpancar di sana. Katon yang telah selesai menambatkan perahu kini bekerja sama dengan Stuart, Christopher dan Daniel untuk menurunkan sisa barang-barang mereka dari atas perahu. Dengan membawa barang-barang yang tidak seberapa, rombongan meninggalkan pelabuhan dan memasuki kota Serinqueiras yang masih ramai menjelang senja ini. Mereka kembali check-in ke hotel kecil tempat mereka menginap saat tiba pertama kali di sini. Segera, Katon kehilangan tunangannya karena wanita itu tidak me
Rombongan Katon dan Ratih meninggalkan pemukiman Urarina tanpa dilepas oleh Palmera dan Omwezi. Mereka hanya diantar oleh Spit, sebagian pasukannya dan Kino yang memang selalu bersama mereka dua hari terakhir. Remaja pria itu memakai pakaian terbaiknya dan kulit tubuhnya dicat biru terang. Sekarang Katon paham mengapa petinggi Urarina dicat biru. Karena mengacu pada Virola dan bunga biru terangnya. Seolah pimpinan mereka diletakkan pada trah tertinggi dan tetap dalam lindungan Virola. Katon dan Kino berjalan beriringan di pusat rombongan, sedangkan Ratih memilih berjalan di belakang Katon. Langkah membawa mereka memasuki hutan kembali. Daun lebat dan rimbun menutupi langit, menciptakan keteduhan yang misterius. Udara lembap dan berbau tanah basah memenuhi hidung mereka. Mereka telah meninggalkan pemukiman Suku Kuno Urarina, dan sekarang, hutan hujan Amazon membuka di hadapan mereka. Mereka melangkah lebih dalam. Suara burung-burung hutan mengiringi mereka, menyanyikan lagu-lagu ya
Manusia-manusia modern menatap penuh horor, kedua tubuh yang perlahan menghilang dibalik belitan anakonda raksasa yang bergulung-gulung di tepi sungai. Mereka mendadak menyadari mengapa mereka semua dibawa kesini. Entah menjadi saksi sebuah penghukuman seperti sekarang atau malah menjadi yang terhukum. Mengingat mereka semua dibawa dengan terikat dan disiksa tak manusiawi, semuanya memiliki kesimpulan yang sama. Para manusia modern semula dibawa kesini untuk dikorbankan kepada anakonda raksasa. Entah apa yang diucapkan Kino sehingga hukuman berbalik arah hanya mengorbankan dua orang suku mereka sendiri. Sementara para manusia terasing menunduk penuh khidmat selama ssota meremukkan kedua tubuh warga mereka lalu menghilang kembali dalam air sungai. Setelah prosesi hukuman yang mengerikan itu berakhir. Palmera mengayunkan tangan kepada kedua wakilnya yang sontak bergerak serasi. Berjalan kembali ke arah rombongan jauh dari sungai tetapi sambil memetik bunga-bunga biru. Saat tiba kemb
Kembali semua terkesiap dan memekik terkejut. Stuart baru saja menembak wakil Palmera untuk memperingatkan agar orang itu diam tidak bergerak. Peluru Colt Stuart nyaris menghancurkan kaki wakil Palmera. “Hemat pelurumu, setan alas!” seru Morgan. “Dari tadi panggilin setan alas melulu. Setannya beneran keluar kamu yang pusing!” ejek Stuart ke muka Palmera yang merah padam. Ratih yang sudah membebaskan teman-temannya sekarang menuju ke arah Katon dan berusaha menyadarkan pria itu. “Jadi apa salah kami, Palmera? Mengapa kami dibawa ke sini? Tidak untuk wisata kurasa? Air terjunmu tidak sebagus itu. Dan kalau memang wisata kenapa kami diikat?” omel Stuart. “Kau butuh penterjemah kan sekarang? Hm? Atau kubunuh saja kau ya? Aku yakin teman-teman avatarmu sekalian wargamu bakalan menangis. Atau malah seneng kalau kamu mampus? Bagaimana?” Stuart berkata jahat sambil menempelkan moncong Colt pada dahi Palmera yang tetap menatap dengan marah. Terdengar suara ceklik ketika Stuart menarik tu
Sarah menjerit ketakutan dan kemudian menangis meraung-raung. Di dekatnya Ratih seketika berwajah pucat sedangkan Emily merosot pingsan dan tetap diseret oleh penawannya. Sekarang Katon tahu apa penyebab ketiga wanita tersebut berekspresi demikian. Seekor anakonda dengan lingkar tubuh sebesar pria dewasa. Tak diketahui berapa panjangnya karena ia melata di tanah, di antara batang pohon dan rerumputan sisi kanan mereka. Warna sisik anakonda itu kuning emas dan corak berlian berwarna hitam. Berbeda dengan anakonda hijau yang mereka lihat di sungai. Gerakannya yang melata sajalah yang membuatnya dikenali sebagai anakonda karena sejatinya, warna sisik dan motifnya malah mirip jaguar. Entah di mana kepala atau ekor anakonda itu. Tetapi melihat dari luncuran tubuhnya yang tampak di sela-sela rerumputan, anakonda tersebut berjalan mengiringi para tawanan dan Suku Kuno Urarina menuju pusat curug, air terjun yang indah di depan mereka. {Yang mulia ssota menunggu kita!} desis beberapa warga
{Lihat Palmera! Teman asingmu tidak tampak bersalah telah menyerang dan menghajar kami, hanya karena kami mengejarnya ke sungai} lapor Empewo. {Kami menuntut keadilan. Dia harus dihukum adat!} desis Ekitala. Wajah keduanya hancur dan masih menyisakan darah yang mengering. Namun, mereka bisa bicara dengan baik. Meletupkan emosi, meskipun mereka menggunakan bahasa kuno tetapi Katon dapat merasakan kemarahannya. Dan sekarang emosi yang sama terpantul di wajah Palmera. Perasaan Katon tidak enak. Ia ulurkan tangan kanannya dan sedikit merunduk. Ia bermaksud menenangkan Palmera dan meminta ijin meletakkan tempayan air untuk kemudian menjelaskan posisinya. Baru saja Katon meletakkan tempayan ke tanah, Kaki Ekitala menghajar dadanya dan membuatnya terpental ke belakang sejauh satu setengah meter. Tempayannya terbanting dan pecah, menumpahkan isinya kemana-mana. Katon terbatuk karena udara dipaksa keluar dari paru-parunya secara mendadak. Belum sempat ia bergerak lebih jauh, prajurit pe
Pagi menjelang. Udara terasa sangat dingin. Kabut bahkan menjalar masuk melalui bagian bawah pintu yang tidak tertutup sempurna, maupun jendela yang tak berpenutup. Tetapi Ratih yang membuka matanya terbangun dengan rasa nyaman. Selain kakinya tidak lagi sakit, iapun merasa hangat dan terlindungi. Sesaat kemudian barulah ia sadar kalau dirinya ada di dalam pelukan Katon dan mereka memakai satu selimut bersama. Ia memakai lengan Katon sebagai bantal, tangan Katon yang lain memeluknya. Kaki Katon melibat dan membungkus kakinya di dalam selimut. Wajah mereka sedemikian dekat. Ratih tidak ingat, kapan ia jatuh tertidur. Yang pasti, tunangannya masih sibuk memijit kakinya. Maka sekarang melihat Katon masih tertidur lelap, Ratih tidak tega langsung bergerak bangun dan berpotensi menganggu Katon. Ratih menatap wajah lelaki yang memaksakan diri menjadi tunangannya. Lelaki ini bernapas teratur. Dengkurnya halus bukan termasuk dengkur yang menganggu. Malah seperti musik yang menenangkan kar
Ratih berderap di depan Katon dan menyeret pria itu bersamanya. Katon tersenyum, melihat kuatnya cengkeraman Ratih di pergelangan dan jalannya yang cepat dan menghentak-hentak, sepertinya tunangan cantiknya ini memang baik-baik saja. Katon pasrah diseret oleh Ratih. Asal tangannya masih digandeng kekasihnya itu. Sepertinya obrolan sebelum perkelahian akhirnya menenangkan Ratih. Kemarahannya sekarang mungkin manifestasi dari rasa cemburu bercampur tersinggung atas perbuatan dua prajurit Palmera. Katon yang mengenal banyak wanita, bisa memperkirakan segala tindakan Ratih. Mereka masuk ke pemukiman dan hanya disambut sepi. Seluruh warga Urarina yang berusia dewasa mungkin masih di lapangan sementara wanita yang memiliki bayi dan anak-anak maupun remaja mungkin sudah masuk ke rumah masing-masing. Katon membayangkan Palmera sedang beraktifitas dengan Omwezi membuatnya menarik Ratih dan gadis itu mental ke belakang dan dipeluk Katon. “Kita pulang aja, yuk? Aduh!!” Ratih tidak tinggal