Selama Katon dirawat, di meja lain sudah disiapkan banyak makanan untuk rombongan yang baru datang, termasuk Tikaka. Maka Katon mengajak Tikaka yang masih canggung dengan sekitarnya untuk makan. Gadis itu sudah tidak memiliki jejak cairan merah bekas sindikat di badannya karena Katon membantunya membersihkan ketika perjalanan kembali mereka melewati sebuah sungai. Namun, tetap saja. Gadis itu masih tampak lusuh dan acak-acakan, karena sudah berhari-hari disekap dan tidak diurus. “Setelah makan, kau mau mandi?” tawar Katon. Tikaka menatap ragu ke arah Katon. Mereka duduk bersisian di ujung meja, sedikit menjauh dari Morgan dan Myint. “A-aku ... bisakah?” bisik Tikaka takut-takut. “Tentu saja, Manis. Tetapi di sini tidak ada kamar mandi. Semua aktifitas mandi kita lakukan di sungai,” kata Katon sambil makan. “Apa?!” Tikaka mendesis kaget, matanya membulat ke arah Katon. “Jangan takut. Kamu akan ditemani. Aku yang akan menemanimu.” Kalimat Katon seketika membuat Tikaka merona. Ia s
Tidak ada lagi kain pembatas di antara mereka. Untuk sesaat kondisi itu membuat Tikaka panik. Namun, Katon dengan ahli menarik tubuh sang wanita dan melekatkan ke tubuhnya. Perpaduan air sungai yang sejuk dan dada bidang Katon yang hangat membuat Tikaka tidak sanggup menolak. Katon menyentuh dagu lancip gadis itu, menatap ke dalam matanya. Tikaka yang lebih bersih, tentu saja lebih cantik. Apalagi rambutnya yang setengah basah membuat Tikaka tampak lebih menggoda. Bahkan cahaya rembulan yang menerangi mereka berdua, membuat kecantikan itu kian memancar. Tikaka memiliki bola mata berwarna coklat. Kulitnya yang putih dan bersih khas wanita Thailand. Pipinya yang mulus dan bulat, mengingatkan Katon akan kue mochi dan membuat pria itu merasa gemas ingin menyentuhnya. Bibir Tikaka yang penuh, kini menarik perhatian Katon. Kepala pria itu mulai maju, dan Tikaka tidak bisa mundur karena dagunya ditahan oleh Katon. Bibir Katon mengecup bibir Tikaka, mencoba meminta ijinnya. Ketika Tikaka h
Katon mengetatkan rahangnya dan menatap tajam ke Khun Sa yang tersenyum tetapi malah terasa seperti mengejek. “Saya tidak paham dengan apa yang Anda katakan, Tuan Khun Sa. Kami tidak mengambil barang milik Anda,” jawab Katon pedas. Ia mencoba melihat reaksi Khun Sa dengan kalimatnya yang memancing emosi. “Tikaka, gadis 20 tahun yang aku beli dari Thailand dengan harga mahal,” gerutu Khun Sa. “Kau keluar dari mesin waktu? Kita sekarang tinggal di era digital, Bung! Tidak ada perbudakan di dunia ini. Di mana mesin waktumu kau parkir? Kusarankan pulanglah, tidak perlu kami antar, bukan?!” Morgan balas mengejek. “Aku ingin Tikaka dan tiga anjingku dikembalikan. Jika tidak, aku tidak bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi di sini,” desis Khun Sa mulai menunjukkan tampang aslinya. Wajahnya berubah kejam dengan mata memincing penuh penghinaan ke arah Katon. Kelima anak buahnya bergerak mengikuti gestur Khun Sa yang mengintimidasi “Seperti yang aku bilang, Tuan Khun Sa. Aku tida
Katon meraih parang di kakinya. Khun Sa mundur sambil mengulurkan tangan kembali ke belakang. Seorang anak buahnya yang lain kembali memberikan parang pada Khun Sa. Lelaki bejat itu menyeringai jelek ke arah Katon dan dia mundur bersama anak buahnya menuju ke halaman depan rumah. Katon mengikutinya. “Hati-hati, Mas!” Rosalind yang tidak bisa berbuat banyak, sudah dalam pegangan Morgan. Ia hanya bisa meneriakkan pesan ke arah kakak kandung yang sudah direpotkannya. Morgan meremas bahu Rosalind untuk menenangkan wanita itu. “Tenang, Katon luar biasa ahli dalam duel satu lawan satu,” bisik Morgan. Myint sudah meloloskan diri dari Jeremy, sekarang berlari dan memeluk Rosalind. “Morg, tolong awasi kakakku. Tembak saja Khun Sa kalau Mas Katon mulai akan kalah,” pinta Rosalind memelas. Ia mengangsurkan SIG Sauer P226 miliknya kepada Morgan. Selama ini pistol itu tersimpan rapi di keliman saku dalam gaun Rosalind. “Apa?” Morgan menatapnya tak percaya. Permintaan gila! Sama saja menghina K
Perjalanan menuju ke Gunung Everest, dilakukan oleh Katon dan Morgan di hari yang sama mereka melakukan packing. Katon memilih perjalanan menuju Yangon kemudian terbang ke Kathmandu. Total mereka menghabiskan 12 jam perjalanan. Katon memilih memulai pendakian Gunung Everest melalui Kathmandu. Setelah itu, ia dan Morgan akan menjalani perjalanan yang panjang untuk mencapai titik awal pendakian di Lukla. Selama perjalanan, mereka akan melewati dan menginap di beberapa kota kecil seperti Namche Bazaar, Tengboche, dan Gorak Shep. Ada dua rute yang umum dipilih oleh pendaki untuk mencapai puncak Gunung Everest, yaitu Jalur Utara dan Jalur Selatan. Katon memilih jalur selatan dimulai dari Nepal dan masuk ke Tibet via Puncak Tinggi. Jalur ini adalah jalur paling populer karena lebih mudah diakses dan memiliki fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan Jalur Utara. Namun, rute ini juga memiliki tantangan tersendiri, seperti pengaruh ketinggian yang berlebihan dan kemacetan di jalur penda
“Oi, Foxie! Kau akan satu tim dengan Katon dan Morgan!” Umanga kembali berteriak. Baik Katon dan Morgan mencari-cari sang pemilik nama. Seorang wanita mengenakan jaket tebal berwarna putih merespon Umanga. Ia memutar tubuh menghadap pria Nepal itu. Hoodie jaketnya yang tidak ia kenakan, membuat Katon dan Morgan bisa melihat kepala wanita tersebut. Ia memiliki wajah mungil tetapi bergaris tegas. Bintik imut menghias wajahnya, bukan mengotori malah membuatnya tampak manis. Rambutnya berwarna merah, dibiarkan panjang melewati bahu dan sekarang berkibar dengan indah, sewarna dengan api unggun Katon. “Shit! Wanita! Mana nolak kampret ini!” maki Morgan pelan jadi hanya Katon yang mendengar. Bukan Umanga. Katon mengulum senyumnya. “Keton? Siapa dia?" Foxie berjalan dan menghampiri kemah Katon dan Morgan. Langkahnya tegas dan mantap meski harus melewati salju yang menjebak kaki. Dari ketebalan pakaiannya, Katon bisa mengira kalau Fey Foxie memiliki tubuh langsing semampai. “Orang apa kau? N
“Dead Zone Puncak Everest. Kita harus menaklukan dua puncak sebelum tiba di Hillary Step. The Balcony dan South Summit. Kandungan oksigen di area ini hanya sepertiga dari yang ada di permukaan laut. Dan, berlama-lama di area ini akan berakibat fatal. Belum lagi suhu udara yang mencapai sering mencapai minus 30 derajat.” Katon tiba-tiba bersuara. Ketua tim penyelamat menatap ke arah Katon. “Benar.” “Mereka terjebak tadi siang, bukan? Berapa lama waktu mereka bisa bertahan sebelum cairan mulai merendam paru-parunya? Apakah cukup waktu kita untuk menyelamatkan dua orang itu?” tanya Morgan. “Mereka punya stok bahan bakar untuk melelehkan es dan menghangatkan diri selama sehari. Pada ketinggian 26.000 kaki saat ini, mereka memang terancam edema paru. Mereka bisa mati dalam waktu 12 jam. Dari perhitungan masa awal bencana dan logistik mereka, kita punya waktu 36 jam tersisa untuk menyelamatkan.” Bob Langley—Sang kepala tim penyelamat menjawab pertanyaan Morgan. “Kalian bahkan tidak bisa
Katon dan Morgan keluar dari tenda mereka dan bergegas menuju ruang kendali sebelum Subuh. Mereka bersiap bersama dua tim yang dipimpin Fey dan Umanga. Masing-masing tim akan diantar oleh helikopter terpisah. Katon menyalami tangan pilot helikopter timnya yang ternyata ia kenal. “Apa kabar, Kareem?” “Sehat. Aku hanya mendengar selentingan kau ada di base camp bersama Morgan. Senang akhirnya bisa bertemu,” balas Kareem ramah. Pria Pakistan beragama Islam itu memiliki wajah bercambang yang teduh dan menenangkan. “Yeah, sayang sekali kami harus meninggalkan liburan yang menyenangkan. Semua serba ada di base camp, penginapan mewah, makanan lezat.” Morgan tiba-tiba mengomel. Jelas satir, mana ada penginapan mewah dan makanan lezat di base camp. Semua tinggal di tenda dan makan makanan dalam bentuk instant. “Cuaca yang panas dan pengap, radang nyaman yang mulaimenjalaripantatku.” Katon ikutan satir mengomel. Kareem melihat ke arah mereka dengan tatapan teduhnya. Senyum tipis mengulas di
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas
Hening sejenak. “Apa yang kau lakukan pada Lin Jianhong?” tanya Satria pada putera sulungnya. Nadanya dingin tak enak didengar. “Aku membunuhnya. Dia mengancam Ratih dan keluargaku. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi pada Papa. Tetapi aku tidak bisa menerima jika sesuatu yang buruk menimpa Mama, Rosie dan Lily. Aku akan mengirimkan laporanku melalui email. Selanjutnya Anda boleh kirimkan pekerjaanku kemari atau ganti saja aku dengan orang lain. Aku tidak peduli. Selamat siang, Pak Satria.” Katon mematikan ponselnya dengan dayanya sekalian lalu membuang barang itu ke atas tempat tidurnya. Wajahnya menyiratkan kemarahan. Ia tidak peduli sudah memantik api perpecahan dengan papanya sendiri. Untuk Katon, Arini jauh lebih penting dari Satria yang baru ia temui saat usia lima tahun. Rosie dan Lily bernilai sama dengan Arini. Satria benar-benar tidak masuk prioritas Katon sama sekali. Ia melakukan semua permintaan Satria hanya demi melihat senyum bangga Arini saja. Katon menarik napa
Saat transit di Shanghai, Ratih sudah kehabisan tenaga untuk berdebat dengan Katon. Selama menunggu connecting flight schedule berikutnya, ia memilih untuk tiduran di paha Katon dan memasrahkan suaminya yang waspada terhadap panggilan ke penerbangan berikutnya “Neng, bangun. Sudah waktunya berangkat.” Entah berapa lama Ratih tertidur di pangkuan Katon. Suaminya membangunkan dengan lembut, menunggunya dengan sabar sampai semua nyawa terkumpul, masih juga membantu merapikan rambut panjangnya yang awut-awutan. Keunggulan memiliki pasangan jauh lebih tua darinya. Ratih merasa diemong dan dikasihi sepenuh hati. Kini, saat ia masih setengah mengantuk, berjalan dalam gandengan tangan Katon yang sibuk sendiri. Satu tangan menggenggam tangan Ratih, tangan yang lain menyeret bagasi mereka. Untung cuma satu, itu sebabnya Katon memilih membawanya ke kabin. Ratih benar-benar tidak paham dengan sekitarnya. Ia berjalan mengikuti langkah Katon tanpa melihat dengan jelas atau memastikan tujuan me
Katon keluar dari kamar tidur sambil menggandeng tangan Ratih. Keduanya melangkah ke ruang tamu, di mana layar televisi menampilkan breaking news yang terus diulang-ulang di salah satu channel berita lokal. Semua tulisan di layar itu dalam huruf Mandarin, dan pembawa beritanya berbicara dalam bahasa yang sama. Meskipun tak mengerti bahasanya, Katon langsung mengenali rumah yang disorot di dalam berita tersebut. Lampu-lampu rotator dari mobil polisi berputar cepat, memancarkan warna merah, biru, dan kuning yang seolah berputar dalam irama tak teratur, membuat suasana semakin menegangkan. Sebuah ambulans tampak menunggu di depan rumah, sementara satu jenazah dibawa keluar dengan kantong mayat berwarna kuning. “Apa yang terjadi?” tanya Katon, sok polos, kepada Mei Lifen, yang berdiri di dekatnya. Ratih, yang menatap layar dengan dahi mengernyit, juga mengalihkan pandangannya ke arah Mei, tidak menyadari bahwa Liang Zhiyuen sedang mendengus sebal di dekat meja makan. “Perampokan yang g