PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)65. Curiga! (Bagian A)Pondasi rumahku sudah di bangun, dan Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar, dan tidak ada kendala yang berarti. Mas Abi dan juga teman-temannya mengerjakan pembangunan rumah kami dengan sangat cepat.Banyak tetangga yang terkejut dengan pondasi yang tengah Mas Abi bangun, karena kami memang membangun rumah yang cukup besar. Bahkan lebih besar dari rumah si Lampir. Setelah berdiskusi dengan Emak dan juga Aira, aku memutuskan untuk membangun rumah yang besar dan juga mewah. Entah kenapa aku sekarang ini tidak mau kalah dari si Lampir, apakah ini penyakit hati?Tapi, kata Aira ini adalah suatu hal yang wajar. Toh, aku memakai uangku sendiri bukan memakai uang mertuaku ataupun meminta bantuan dengan cara menjual sebagian lahan mereka.Aku hanya tidak ingin diremehkan, aku ingin dilihat. Apakah salah? Aku ingin menunjukkan pada seluruh keluarga Mas ABi yang dari dulu sangat mengagung-agungkan si Lampir,
66. Curiga! (Bagian B)Siapa lagi yang memanggil namaku, sih? Membuat orang menjadi terganggu saja, pembicaraanku dan juga Bu Mutia terpaksa terhenti akibat panggilannya. Aku langsung mendongak saat sebuah kepala nongol dari pintu gubukku ini.Itu Ibu, mau apa dia ke sini? Semenjak terakhir kali dia dan juga Ema ke sini, dia sama sekali tidak pernah berkunjung lagi, dan jujur saja aku merasa sangat tenang karena hal itu.Seolah-olah ada beban berat yang terangkat dari pundakku, tapi kenapa dia datang lagi? Apa dia tidak ada pekerjaan? Namun, aku langsung bangkit dan menyalaminya, bagaimanapun juga dia adalah Ibu mertuaku dan itu artinya dia adalah Ibu dari suamiku.“Masuk, Bu,” kataku sambil mempersilahkan dia untuk masuk ke dalam gubuk.Ibu langsung masuk dan celingak-celinguk menatap ke sekeliling, dia sepertinya sedang mencari sesuatu. Mencari apa, sih?“Ibu nyari apa?” tanyaku dengan bingung, sambil kembali mendidihkan air untuk membuatkan Ibu minum.“Mana sofa yang Ibu kasih? Kok
67. Curiga! (Bagian C)“Sudahlah, lupakan!” ujar Ibu akhirnya.Aku dan Bu Mutia langsung berpandangan, namun setelahnya Bu Mutia menerima telpon dari anaknya yang mengatakan kalau dia sedang ada tamu di rumahnya. Dan Bu Mutia terpaksa harus berpamitan segera, dia pergi setelah berbasa-basi sebentar denganku dan juga Ibu.Kini hanya tinggal aku dan juga Ibu yang duduk di sini, Ibu yang masih menatap keluar hanya diam dan itu membuat aku merasa canggung.“Ibu sudah makan?” tanyaku memulai pembicaraan. “Ana masak sayur asam kalau Ibu mau makan,” kataku lagi menawarkan.“Ibu sudah makan, apa maksud kamu tanya begitu?” tanya Ibu dengan ketus. Aku langsung menatap Ibu dengan pandangan heran, “maksud apa, Bu?” tanyaku tak mengerti.“Apa kamu kira Ibu nggak punya beras di rumah? Jangan sok kamu, An!” katanya lagi dengan nada yang semakin ketus. “Kamu menghina Ibu namanya!” kata Ibu lagi.Astaghfirullahaladzim, aku mengelus lembut dadaku saat mendengar penuturan Ibu. Padahal niatku baik, tapi
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)68. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian A)“Hah?!” Aku langsung keluar dan berjalan dengan cepat menuju ke bawah pohon mangga yang sedari tadi tidak aku perhatikan, di sana teronggok plastik polybag yang tadi menutupi sofa milikku.Tapi kemana isinya? Kenapa hanya plastiknya saja yang tertinggal? Sofaku di mana?“MAS! MAS!” Aku memanggil Mas Abi sambil berjalan melewati pondasi yang mulai berdiri kokoh, namun aku sama sekali tidak menemukan keberadaan suamiku itu. Padahal belum ada lima menit kami bersama, dia sudah menghilang saja.“Mas Abi mana, Bang?” tanyaku pada Bang Ridho.Dia adalah tukang yang diajak kerja oleh Mas Abi, orangnya ramah dan juga baik. Dan yang paling penting, kerjanya sangat cekatan, dan juga efisien, wajar saja kalau Mas Abi mengajaknya untuk bekerja.Bang Ridho menatapku dengan pandangan heran, sedangkan kedua kernet yang sedang mengaduk semen juga langsung menatapku dengan pandangan yang sama.“Kenapa, An? A
69. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian B)“Ah, mau apa, Dek? Mas malas ke sana, lagi pula kalian itu baru saja bertemu. Kamu mau apa kembali bertemu dengan Ibu?” tanya Mas Abi dengan nada heran.“Ada yang mau aku bicarakan dengan Ibu, Mas,” kataku lagi.Aku memang tidak mau mengatakan kepada mas Abi kalau sofa yang tadi ada di halaman kini sudah diambil oleh Ibu, sepertinya suamiku itu juga tidak menyadari atas hilangnya sofa yang aku bungkus dengan plastik polybag itu. Biar saja dia akan tahu sendiri nanti."Memangnya penting ya, Dek? Kalau nggak terlalu penting, bagaimana kalau nanti malam saja kita ke rumah Ibu?" Mas Abi mencoba bernegosiasi kepadaku."Ini penting, dan harus sekarang!" kataku setengah memaksa.Aku bisa melihat Mas Abi yang menghela nafas dengan lelah, kemudian mengangguk singkat. Dia lalu lalu berjalan ke arah Bang Ridho dan berpamitan pada temannya itu, aku dengan sigap mengunci gubukku dan langsung naik ke motor yang sudah dihidupkan mesinnya oleh Mas Abi."Ayo cepat,
70. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian C)“Tetap saja itu namanya kamu membuang pemberian Ibu, lagi pula seharusnya kamu mikir kalau punya barang itu dimasukkan semuanya ke dalam rumah, kalau tidak muat, ya buat yang lebih besar!” kata Ibu lagi dengan nada ketus.“Itu hanya untuk sementara, Bu. Bukan selamanya kami letakkan di halaman,” ujar Mas Abi tiba-tiba. “Lagipula Ibu tidak ada hak lagi untuk mengambil sofa itu, karena Ibu sudah memberikannya kepada istriku,” kata Mas Abi sambil menatap ibunya dengan pandangan tajam.“Abi kamu ini apa-apaan, sih? Sudah tidak ada hormat-hormatnya kepada orang tua sendiri!” ujar Bapak tiba-tiba. “Lagipula, ibumu sudah menjelaskan kalau sofa itu kalian buang!” kata Bapak lagi.“Tidak hormat dari mana, Pak? Aku merasa tidak dihargai karena tiba-tiba saja sofa itu sudah Ibu ambil dengan diam-diam, jika Ibu memang ingin memintanya kembali maka Ibu bisa mengatakan kepada kami. Tidak dengan cara mengambilnya diam-diam seperti itu,” ujar Mas Abi lagi. “Dan sa
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)71. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian A)Aku dan Mas Abi kini tengah duduk di sebuah warung es campur di pinggir jalan, Mas Abi memberhentikan motor kami di sini dan langsung turun memesan es campur dua gelas. Dia duduk di kursi yang disediakan, dan melambaikan tangannya kepadaku yang masih terbengong di atas motor.Aku langsung mendekati Mas Abi dan duduk disampingnya, wajahnya masih terlihat mengeras dan menatap ke depan sana dengan pandangan tajam dan juga lekat."Sudahlah Mas, Mas tidak perlu marah-marah begitu, lagipula niatku ke sana bukan untuk marah-marah seperti tadi. Aku hanya ingin berterima kasih kepada Ibu, karena dia sudah mengangkut sofa itu dengan ikhlas, tanpa aku harus susah-susah membuangnya," kataku kepada Mas Abi.Namun suamiku itu sama sekali tidak menyahuti ucapanku, jangankan menyahut menoleh saja tidak. Dia hanya menatap ke depan sana dengan pandangan tajam, dan beberapa saat kemudian dia menghela nafas deng
72. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian B)"Mas hanya berharap Ibu dibukakan pintu hatinya oleh Allah, bagaimanapun juga lama-lama aku juga tidak tahan karena melihat ketidakadilan yang Ibu buat semakin parah dan semakin menjadi-jadi. Jika dulu dia hanya bersikap tidak adil padaku dan juga mas Abi, Mas masih bisa terima. Tetapi saat dia sudah bersikap tidak adil padamu dan juga Mbak Lisa, hati Mas terasa begitu sakit, Dek!" kata Mas Abi dengan lembut.Aku hanya menatapnya dengan pandangan sedih dan juga tersentuh, aku tidak menyangka kalau suamiku sebegitu perhatiannya kepadaku, dia bahkan tidak memikirkan dirinya sendiri namun dia sangat memikirkan diriku."Aku sebenarnya tidak masalah, Mas. Aku tidak masalah Ibu memberikan lebih kepada Mbak Lisa dan juga Mas Aji, tetapi yang aku mau keluarga kita tidak diusik. Tetapi mereka selalu mengusik ketenangan keluarga kita, dengan mengatai aku mandul, dengan menyuruhku untuk bekerja menjadi TKW. Seolah-olah apapun yang aku lakukan memang salah dim