67. Curiga! (Bagian C)“Sudahlah, lupakan!” ujar Ibu akhirnya.Aku dan Bu Mutia langsung berpandangan, namun setelahnya Bu Mutia menerima telpon dari anaknya yang mengatakan kalau dia sedang ada tamu di rumahnya. Dan Bu Mutia terpaksa harus berpamitan segera, dia pergi setelah berbasa-basi sebentar denganku dan juga Ibu.Kini hanya tinggal aku dan juga Ibu yang duduk di sini, Ibu yang masih menatap keluar hanya diam dan itu membuat aku merasa canggung.“Ibu sudah makan?” tanyaku memulai pembicaraan. “Ana masak sayur asam kalau Ibu mau makan,” kataku lagi menawarkan.“Ibu sudah makan, apa maksud kamu tanya begitu?” tanya Ibu dengan ketus. Aku langsung menatap Ibu dengan pandangan heran, “maksud apa, Bu?” tanyaku tak mengerti.“Apa kamu kira Ibu nggak punya beras di rumah? Jangan sok kamu, An!” katanya lagi dengan nada yang semakin ketus. “Kamu menghina Ibu namanya!” kata Ibu lagi.Astaghfirullahaladzim, aku mengelus lembut dadaku saat mendengar penuturan Ibu. Padahal niatku baik, tapi
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)68. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian A)“Hah?!” Aku langsung keluar dan berjalan dengan cepat menuju ke bawah pohon mangga yang sedari tadi tidak aku perhatikan, di sana teronggok plastik polybag yang tadi menutupi sofa milikku.Tapi kemana isinya? Kenapa hanya plastiknya saja yang tertinggal? Sofaku di mana?“MAS! MAS!” Aku memanggil Mas Abi sambil berjalan melewati pondasi yang mulai berdiri kokoh, namun aku sama sekali tidak menemukan keberadaan suamiku itu. Padahal belum ada lima menit kami bersama, dia sudah menghilang saja.“Mas Abi mana, Bang?” tanyaku pada Bang Ridho.Dia adalah tukang yang diajak kerja oleh Mas Abi, orangnya ramah dan juga baik. Dan yang paling penting, kerjanya sangat cekatan, dan juga efisien, wajar saja kalau Mas Abi mengajaknya untuk bekerja.Bang Ridho menatapku dengan pandangan heran, sedangkan kedua kernet yang sedang mengaduk semen juga langsung menatapku dengan pandangan yang sama.“Kenapa, An? A
69. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian B)“Ah, mau apa, Dek? Mas malas ke sana, lagi pula kalian itu baru saja bertemu. Kamu mau apa kembali bertemu dengan Ibu?” tanya Mas Abi dengan nada heran.“Ada yang mau aku bicarakan dengan Ibu, Mas,” kataku lagi.Aku memang tidak mau mengatakan kepada mas Abi kalau sofa yang tadi ada di halaman kini sudah diambil oleh Ibu, sepertinya suamiku itu juga tidak menyadari atas hilangnya sofa yang aku bungkus dengan plastik polybag itu. Biar saja dia akan tahu sendiri nanti."Memangnya penting ya, Dek? Kalau nggak terlalu penting, bagaimana kalau nanti malam saja kita ke rumah Ibu?" Mas Abi mencoba bernegosiasi kepadaku."Ini penting, dan harus sekarang!" kataku setengah memaksa.Aku bisa melihat Mas Abi yang menghela nafas dengan lelah, kemudian mengangguk singkat. Dia lalu lalu berjalan ke arah Bang Ridho dan berpamitan pada temannya itu, aku dengan sigap mengunci gubukku dan langsung naik ke motor yang sudah dihidupkan mesinnya oleh Mas Abi."Ayo cepat,
70. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian C)“Tetap saja itu namanya kamu membuang pemberian Ibu, lagi pula seharusnya kamu mikir kalau punya barang itu dimasukkan semuanya ke dalam rumah, kalau tidak muat, ya buat yang lebih besar!” kata Ibu lagi dengan nada ketus.“Itu hanya untuk sementara, Bu. Bukan selamanya kami letakkan di halaman,” ujar Mas Abi tiba-tiba. “Lagipula Ibu tidak ada hak lagi untuk mengambil sofa itu, karena Ibu sudah memberikannya kepada istriku,” kata Mas Abi sambil menatap ibunya dengan pandangan tajam.“Abi kamu ini apa-apaan, sih? Sudah tidak ada hormat-hormatnya kepada orang tua sendiri!” ujar Bapak tiba-tiba. “Lagipula, ibumu sudah menjelaskan kalau sofa itu kalian buang!” kata Bapak lagi.“Tidak hormat dari mana, Pak? Aku merasa tidak dihargai karena tiba-tiba saja sofa itu sudah Ibu ambil dengan diam-diam, jika Ibu memang ingin memintanya kembali maka Ibu bisa mengatakan kepada kami. Tidak dengan cara mengambilnya diam-diam seperti itu,” ujar Mas Abi lagi. “Dan sa
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)71. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian A)Aku dan Mas Abi kini tengah duduk di sebuah warung es campur di pinggir jalan, Mas Abi memberhentikan motor kami di sini dan langsung turun memesan es campur dua gelas. Dia duduk di kursi yang disediakan, dan melambaikan tangannya kepadaku yang masih terbengong di atas motor.Aku langsung mendekati Mas Abi dan duduk disampingnya, wajahnya masih terlihat mengeras dan menatap ke depan sana dengan pandangan tajam dan juga lekat."Sudahlah Mas, Mas tidak perlu marah-marah begitu, lagipula niatku ke sana bukan untuk marah-marah seperti tadi. Aku hanya ingin berterima kasih kepada Ibu, karena dia sudah mengangkut sofa itu dengan ikhlas, tanpa aku harus susah-susah membuangnya," kataku kepada Mas Abi.Namun suamiku itu sama sekali tidak menyahuti ucapanku, jangankan menyahut menoleh saja tidak. Dia hanya menatap ke depan sana dengan pandangan tajam, dan beberapa saat kemudian dia menghela nafas deng
72. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian B)"Mas hanya berharap Ibu dibukakan pintu hatinya oleh Allah, bagaimanapun juga lama-lama aku juga tidak tahan karena melihat ketidakadilan yang Ibu buat semakin parah dan semakin menjadi-jadi. Jika dulu dia hanya bersikap tidak adil padaku dan juga mas Abi, Mas masih bisa terima. Tetapi saat dia sudah bersikap tidak adil padamu dan juga Mbak Lisa, hati Mas terasa begitu sakit, Dek!" kata Mas Abi dengan lembut.Aku hanya menatapnya dengan pandangan sedih dan juga tersentuh, aku tidak menyangka kalau suamiku sebegitu perhatiannya kepadaku, dia bahkan tidak memikirkan dirinya sendiri namun dia sangat memikirkan diriku."Aku sebenarnya tidak masalah, Mas. Aku tidak masalah Ibu memberikan lebih kepada Mbak Lisa dan juga Mas Aji, tetapi yang aku mau keluarga kita tidak diusik. Tetapi mereka selalu mengusik ketenangan keluarga kita, dengan mengatai aku mandul, dengan menyuruhku untuk bekerja menjadi TKW. Seolah-olah apapun yang aku lakukan memang salah dim
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)73. Gosip Baru! (Bagian A)“Besar banget rumah kamu, Na! Gila!” Aku hanya memutar bola mataku dengan malas, melihat Bi Ramlah yang memutari rumahku dan masuk ke setiap ruangannya dengan pandangan takjub. Rumahku sudah jadi, dan saat ini Bang ridho tengah memoles dindingnya dengan cat berwarna biru muda. Pengerjaan yang dilakukan oleh mas Abi dan juga Bang Ridho termasuk sangat cepat, mereka dengan cekatan mendirikan rumah ini hanya kurun waktu dalam dua bulan saja.Rumah dengan ukuran sepuluh meter kali lima belas meter, memang termasuk benar-benar besar di desa ini. Bahkan rumah si Lampir Lisa saja tidak sebesar ini, aku memang sengaja membuat rumah ini menjadi besar karena aku ingin di masa tua nanti Emak ikut denganku.Dan sebagai anak paling besar, aku berharap ketika lebaran tiba adik-adikku akan datang ke sini dan kami akan kumpul keluarga sehingga rumahku cukup untuk menampung kami semua.Aku dan juga Mas Abi akan segera
74. Gosip Baru! (Bagian B)"An, ngomong-ngomong, kenapa kamu membuat rumah ini dengan kamar yang sangat banyak? Tiga pula, untuk apa? Wong kalian hanya berdua," tanya Bi Ramlah ingin tahu.Ternyata dia sama sekali belum kapok, walaupun aku tidak menyahuti ucapannya sedari tadi. Dia sepertinya benar-benar mempunyai muka yang sangat tebal, sehingga tidak sadar kalau orang yang diajak bicara tidak menyukai keberadaannya."Ya nanti kami 'kan, akan punya anak, Bi. Biarlah kamarnya banyak, biar nggak perlu renovasi lagi nanti," kataku sekenanya."Oh, memang kalian sudah periksa? Memang kata dokter kalian ini bisa punya anak?" tanya Bi Ramlah cepat.Deg!Aku langsung menatapnya dengan pandangan tajam, hingga membuat Bi Ramlah menjadi salah tingkah. Dia mengusap tengkuknya, dan menatapku dengan pandangan permohonan maaf."Maaf! Maaf! Bukan begitu maksud Bibi, Ab. Maksudnya, kalian itu sudah periksa? Apakah sudah ada kemajuan?" tanyanya dengan lembut.Aku hanya mendengus dengan keras, dan kemb