75. Gosip Baru! (Bagian C)"Ngakunya dapat warisan, eh ternyata hutang di toko bangunan. Bangun, An. Mimpimu ketinggian!" kata Bi Ramlah lagi.Aku menulikan telingaku, dan kembali menatap ke depan sana dengan pandangan bosan. Kenapa Mas Abi lama sekali, sih? Aku sudah sangat muak mendengarkan ocehan bibinya ini."Suami istri kok yo kompak sekali, ya? Suka bohong! Hahahaha …." Bi Ramlah tertawa bahagia. "Bener apa yang Mbak Sri bilang, kalian itu tukan halu!" katanya dengan nada ketus.Walah! Mau disahuti, kok rasanya malas ya? Tapi didiamkan, kok malah bertambah parah? "Setelah rumah ini dibangun, terus apa? Hah? Hutang kalian banyak! Lalu bayarnya gimana? Mikir seharusnya!" Lanjut Bi Ramlah semakin menggebu-gebu. "Orang kalau bangun rumah itu, ngisi perabotan baru. Bukannya malah termenung di depan pintu mikirin gimana cara bayar hutang!" katanya mengejek.Ya, ya, teruslah mengoceh, Bi. Aku anggap ini adalah dongeng pengantar tidur! Aku tetap menatap ke depan sana dengan pandangan d
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)76. Belanja Habis-habisan! (Bagian A)"Alhamdulillah ya, Dek! Akhirnya rumah kira sudah selesai, ya Allah … Mas nggak pernah punya bayangan bakal punya rumah sendiri," kata Mas Abi sambil merebahkan kepalanya di pangkuanku.Aku mengusap kepalanya dengan penuh kasih, saat ini kami sedang duduk di depan pintu depan dengan Mas Abi yang berbaring santai.Rasanya sangat nyaman, kalau dulu tidak mungkin aku bisa duduk-duduk di lantai seperti saat ini, apalagi dengan Mas Abi yang tidur-tiduran.Karena lantai rumahku dulu semen yang sudah pecah-pecah, sangat berbeda dengan yang sekarang. Lantai rumahku sudah menggunakan granit mahal, yang menginjaknya saja kakiku merasa segan.Ya Allah, ternyata menjadi orang kaya sangat enak. Kenapa tidak dari dulu Engkau menjadikan aku kaya ya Allah? Aku bergumam di dalam hati."Iya, Mas. Aku juga nggak pernah menyangka bakal punya rumah sendiri," sahutku sekenanya."Ya Allah, Mas senang sekali, Dek!"
77. Belanja Habis-habisan! (Bagian B)Kebetulan toko hape itu terletak di sebelah toko alat elektronik ini, dan pemiliknya juga sama. Aku menggandeng lengan Mas Abi dengan mesra, dan melihat-lihat hape yang dipajang dengan semangat."Kamu beli aja, Mas pakai yang lama saja," ujar Mas Abi dengan lenbut."Eh, kita beli berdua saja, Mas." Aku menolak tentu saja, jika aku memakai barang baru, maka Mas Abi juga harus memakai barang baru."Sayang uangnya, Dek," kata Mas Abi kembali menolak."Enggak, Mas. Kita pilih yang murah saja!" Aku berujar kekeh.Dan pilihanku jatuh pada hape Sungsang a12, spek mumpuni dengan harga yang lumayan murah. Aku dan Mas Abi memutuskan untuk mengambil ponsel yang sama, agar kembaran.Uang lima juta aku keluarkan, dan dua ponsel yang sama sudah aku pegang. Hah, ternyata enak sekali punya uang, aku bisa membeli apapun yang aku mau.Setelah aku dan Mas Abi keluar dari toko ponsel, kami berdiam diri di depan motor, sebenarnya hanya aku karena Mas Abi sudah duduk d
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)78. Ancaman yang Abi berikan! (Bagian A)“Bu!” Seorang lelaki muda terlihat muncul dari samping mobil, dia lalu berjalan mendekati kami sambil menggaruk tengkuknya yang aku yakini pasti tidak gatal. Dia terlihat salah tingkah dan juga sungkan."Kami datang terlalu cepat ya, Bu. Maafz soalnya sudah mau hujan, jadi Bapak menyuruh kami agar segera mengantar perabotan Ibu ke sini," kata lelaki muda itu sambil tersenyum kecil. "Kami tidak tahu kalau Ibu dan juga Bapak tidak ada di rumah, dan ternyata yang ada hanya mereka," kata pemuda itu lagi sambil menunjuk Ibu dan juga Bi Ramlah yang masih mengelus-elus sofaku dengan wajah yang sangat menyebalkan."Tidak apa-apa, kami tadi memang berhenti sebentar ke tempat lain," kataku sambil tersenyum kecil.Pemuda itu hanya mengangguk, namun matanya melirik ke arah motorku dan saat ini dia pasti sudah tahu kalau kami tadi singgah ke mana sebelum pulang."Belanja besar nih, ye!" Bi Ramlah beru
79. Ancaman yang Abi berikan! (Bagian B)"Dek, tempat tidur yang ini memang di letak di sini, kan? Bukan di kamar belakang?" tanya Mas Abi memastikan."Iya, memang diletak di sini, Mas. Kamar belakang kan, mau kita kosongkan dulu," kataku dengan cepat.Mas Abi hanya mengangguk dan kemudian dia kembali membantu para pemuda itu untuk menggeser lemari, agar tidak menutupi jendela.Dia belum menyapa Ibu sama sekali, dan ibu juga terlihat cuek. Sama sekali tidak terlihat kalau dia waktu itu menyumpahi Mas Abi dengan sebutan anak durhaka.Tidak berselang lama semua sudah tertata dengan sangat apik di dalam rumahku, semua perabotan ini benar-benar terlihat sangat pas dengan rumah yang telah kami bangun bangun.Meja televisi aku letakkan di ruang keluarga, di sinilah nanti aku dan juga keluarga kecilku bisa bercengkrama dengan leluasa.Sedangkan sofa dan lemari kristal, aku letakkan di ruang tamu. Terlihat sangat mewah dan juga elegan, karena sofa yang aku pilih sangat sesuai dengan cat dindi
80. Ancaman yang Abi berikan! (Bagian C)"Kami tidak mempunyai hutang di manapun," kata Mas Abi dengan heran. "Kami membayar semuanya dengan cash," kata Mas Abi lagi."Sudahlah, kamu tidak usah banyak berbohong untuk menutupi kesalahan istrimu ini!" kata Ibu sambil menunjukku. "Semuanya sudah jelas, kalian berhutang di toko bangunan dan sekarang kalian malah berhutang di toko perabotan juga. Kamu bekerja seumur hidup juga, tetap tidak bisa membayar utang-utang ini, Abi!" kata Ibu dengan nada yang cukup merendahkan.Aku bisa melihat tangan Mas Abi yang mengepal dengan erat, dia sepertinya tidak terima dengan ucapan ibu yang begitu merendahkan dan juga menggores harga dirinya."Siapa yang bilang kami berhutang di toko bangunan?" tanya suamiku itu ingin tahu."Masmu yang ngomong, katanya masmu sedang ada di toko bangunan saat kamu membeli semen. Dan di sana dia dengar, kalau kamu bilang catat dulu. Itu artinya kamu ngutang, Bi!" kata Ibu dengan nada menghakimi."Catat dulu, maksudnya aku
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)81. Mengakui membelikan motor! (Bagian A)"Rumahnya sudah jadi, An. Nggak ada pesta masuk rumah baru, nih?" tanya Bu Sulis.Dia adalah tetangga yang tinggal di sebelah kanan rumahku, orangnya baik dan juga ramah. Dia tidak pernah terlihat bergosip dengan ibu-ibu yang lainnya, padahal di desa ini banyak sekali ibu-ibu yang di kala sore hari akan bergosip di depan rumah sampai petang."Alhamdulillah sudah jadi, Bu," jawabku sekenanya. "Mungkin bukan pesta, lebih tepatnya Ana akan mengundang anak yatim untuk makan-makan di rumah," kataku sambil tersenyum kecil."Wah bagus itu, An. Lebih bermanfaat dan juga lebih berfaedah, lagi pula pesta-pesta seperti itu pasti membutuhkan biaya yang sangat banyak. Mending uangnya kamu gunakan untuk sesuatu yang lebih berguna!" kata Bu Sulis sambil tersenyum kecil.Setelah itu aku dan Bu Sulis sama sekali tidak melakukan pembicaraan apapun, karena saat ini aku memang sedang menjemur pakaian dan Bu
82. Mengakui membelikan motor! (Bagian B)Aku hanya diam dan tidak menanggapi, bahkan aku sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Padahal aku bisa mendengar langkah kaki Ibu yang mendekat ke arah sini, dari langkah kakinya aku bisa menyimpulkan kalau Ibu tidak datang sendirian, dia pasti bersama dengan Bi Ramlah."Eh, Bu Sri. Tumben agak siang?" tanya Mang Ujang pada Ibu dengan sopan."Iya, Jang. Memang sengaja ingin berjalan-jalan dulu, karena Lisa ini kan jarang libur. Jadi sekalinya libur, aku ingin mengajak dia untuk berjalan-jalan pagi di desa ini," kata Ibu sambil terkekeh kecil.Saat itulah aku langsung bisa menyimpulkan kalau yang datang bersama Ibu bukanlah Bi ramlah, melainkan si Lampir Lisa yang sangat-sangat sialan itu.Aku sama sekali belum bisa melupakan kata-katanya yang mengatakan aku menjual diri untuk mendapatkan uang."Heh, Ana! Kamu dengar nggak? Belikan sesuatu yang bergizi untuk Abi, dia itu capek kerja. Kasihan anakku kalau kamu tidak memasakkan sesuatu yang berg