80. Ancaman yang Abi berikan! (Bagian C)"Kami tidak mempunyai hutang di manapun," kata Mas Abi dengan heran. "Kami membayar semuanya dengan cash," kata Mas Abi lagi."Sudahlah, kamu tidak usah banyak berbohong untuk menutupi kesalahan istrimu ini!" kata Ibu sambil menunjukku. "Semuanya sudah jelas, kalian berhutang di toko bangunan dan sekarang kalian malah berhutang di toko perabotan juga. Kamu bekerja seumur hidup juga, tetap tidak bisa membayar utang-utang ini, Abi!" kata Ibu dengan nada yang cukup merendahkan.Aku bisa melihat tangan Mas Abi yang mengepal dengan erat, dia sepertinya tidak terima dengan ucapan ibu yang begitu merendahkan dan juga menggores harga dirinya."Siapa yang bilang kami berhutang di toko bangunan?" tanya suamiku itu ingin tahu."Masmu yang ngomong, katanya masmu sedang ada di toko bangunan saat kamu membeli semen. Dan di sana dia dengar, kalau kamu bilang catat dulu. Itu artinya kamu ngutang, Bi!" kata Ibu dengan nada menghakimi."Catat dulu, maksudnya aku
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)81. Mengakui membelikan motor! (Bagian A)"Rumahnya sudah jadi, An. Nggak ada pesta masuk rumah baru, nih?" tanya Bu Sulis.Dia adalah tetangga yang tinggal di sebelah kanan rumahku, orangnya baik dan juga ramah. Dia tidak pernah terlihat bergosip dengan ibu-ibu yang lainnya, padahal di desa ini banyak sekali ibu-ibu yang di kala sore hari akan bergosip di depan rumah sampai petang."Alhamdulillah sudah jadi, Bu," jawabku sekenanya. "Mungkin bukan pesta, lebih tepatnya Ana akan mengundang anak yatim untuk makan-makan di rumah," kataku sambil tersenyum kecil."Wah bagus itu, An. Lebih bermanfaat dan juga lebih berfaedah, lagi pula pesta-pesta seperti itu pasti membutuhkan biaya yang sangat banyak. Mending uangnya kamu gunakan untuk sesuatu yang lebih berguna!" kata Bu Sulis sambil tersenyum kecil.Setelah itu aku dan Bu Sulis sama sekali tidak melakukan pembicaraan apapun, karena saat ini aku memang sedang menjemur pakaian dan Bu
82. Mengakui membelikan motor! (Bagian B)Aku hanya diam dan tidak menanggapi, bahkan aku sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Padahal aku bisa mendengar langkah kaki Ibu yang mendekat ke arah sini, dari langkah kakinya aku bisa menyimpulkan kalau Ibu tidak datang sendirian, dia pasti bersama dengan Bi Ramlah."Eh, Bu Sri. Tumben agak siang?" tanya Mang Ujang pada Ibu dengan sopan."Iya, Jang. Memang sengaja ingin berjalan-jalan dulu, karena Lisa ini kan jarang libur. Jadi sekalinya libur, aku ingin mengajak dia untuk berjalan-jalan pagi di desa ini," kata Ibu sambil terkekeh kecil.Saat itulah aku langsung bisa menyimpulkan kalau yang datang bersama Ibu bukanlah Bi ramlah, melainkan si Lampir Lisa yang sangat-sangat sialan itu.Aku sama sekali belum bisa melupakan kata-katanya yang mengatakan aku menjual diri untuk mendapatkan uang."Heh, Ana! Kamu dengar nggak? Belikan sesuatu yang bergizi untuk Abi, dia itu capek kerja. Kasihan anakku kalau kamu tidak memasakkan sesuatu yang berg
83. Mengakui membelikan motor! (Bagian C)Keseringan yang aku dengar dari beliau adalah bentakan, dan juga hinaan, yang terlontar dengan sengaja dari mulutnya untuk diriku."Aku mau sayur asem, Bu. Buatkan ya," sahut Lisa dengan manja.“Iya, apa sih, yang tidak buat kamu, Nduk!” kata Ibu dengan lembut.Cih! Aku mendecih sinis, di dalam hati saja. Susah merealisasikannya saat ada orangnya di sini, takutnya aku dicap iri. Lah, walau iri aku tidak akan menunjukkannya.Aku tidak mau dicap sebagai pengemis kasih sayang! Hahahaha, entah kenapa aku malah ingin tertawa memikirkannya. Miris sekali hidupku, padahal aku anak baik budi, tidak sombong, dan rajin menabung, tapi kenapa aku dapat mertua yang begini coba?“Kamu beli motor cash, An? Berapa harganya? Si Alya minta motor juga, bu lagi bingung mau beli yang mana,” kata Bu Sulis tiba-tiba.Alya adalah anak bungsunya yang kini sedang menginjak bangku SMA, gadis yang cantik dan juga berprestasi. Jelas saja Bu Sulis selalu ingin mewujudkan ke
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)84. Si Pembuat Rusuh (Bagian A)Aku sedang duduk di teras bersama Mas Abi saat mataku tak sengaja melihat si Lampir Lisa dan juga Mas Aji sedang memasuki halaman rumah kami. Mereka berdua terlihat melirik sinis ke arah motorku, kelihatan sekali kalau dia iri.Cih! Manusia-manusia tidak punya akhlak!Aku dan Mas Abi langsung berpandangan, secara tidak tersirat aku sedang bertanya pada suamiku itu. Apa dia mempunyai janji dengan kakak kandungnya itu? Atau memang ini kunjungan mendadak.Namun Mas Abi hanya mengangkat bahu, artinya dia juga tidak tahu menahu dengan maksud kedatangan pasangan fenomenal itu ke rumahku.Setelah memarkirkan motor mereka di halaman, mereka berdua langsung ngeloyor dan ikut duduk di teras. Mas Aji langsung terlihat tidak suka karena melihat rumah kami yang terlihat lebih mewah dibanding rumahnya.Orang yang iri hati, kelihatan sekali dari wajahnya yang muram dan juga gelap. Penyakit hati milik Mas Aji dan
85. Si Pembuat Rusuh (Bagian B)“Lah, terus masalahnya apa? Wajar dong, kalau Emak memberikan uang padaku. Wong aku ini anaknya!” balasku dengan santai. “Mau aku apakan uang itu, bukan masalah kalian, kan? Toh, Emak saja santai! Mau aku bangunkan rumah yang lebih mewah dari rumah kalian? Bebas! Mau aku belikan perabotan yang lebih mahal dari punya kalian? Bebas juga! Atau mau aku belikan motor yang sama seperti kalian? Emak juga tidak masalah. Lalu di kalian ini, masalahnya di mana?” tanyaku lagi, masih dengan wajah yang mata santai dan juga gesture yang aku buat sesombong mungkin.Aku bisa melihat wajah-wajah milik Mas Aji dan juga Lisa yang langsung berubah menjadi kecut dan juga murung, kelihatan sekali kalau mereka tidak senang dengan jawaban yang aku berikan. Apalagi aku menyinggung milik mereka yang kini sudah bisa aku samai, bahkan aku lampaui.Ya Allah, rasanya aku benar-benar ingin menangis saat menyadari kalau aku dan Lisa sudah berada di posisi yang sejajar sekarang. Aku be
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)86. Keluarga Toxic! (Bagian A)“Mampus!”Aku bisa mendengar gumaman yang dikeluarkan oleh Lisa, dia menyunggingkan senyum sinis ke arahku. Namun, aku hanya mengangkat bahu tak peduli, memangnya apa yang akan terjadi? Aku sudah biasa menghadapi hal ini!“Pak, Bu!” Mas Abi langsung berdiri dan menyambut kedua orang tuanya itu. “Ayo masuk, kita ngobrol di dalam saja!” ujara Mas Abi lagi.Dia lalu masuk diikuti oleh Ibu dan Bapak, wajah kedua mertuaku itu terlihat keruh. Mereka belum mengucapkan apa-apa dari tadi, hanya diam dan mengikuti langkah kaki Mas Abi solah bibir mereka terkunci rapat.Aku memutar bola mataku dengan malas, dan bangkit untuk masuk ke dalam. Dari ekor mataku aku bisa melihat Mas Aji dan Lisa mengikuti langkahku dan berjalan santai, seolah merekalah pemilik rumah ini. Dasar muka tembok!Aku mendudukkan diri di sebelah Mas Abi, dan aku mengamati wajah-wajah mereka yang tengah mengamati rumahku dengan wajah takjub
87. Keluarga Toxic! (Bagian B)“Aku yakin itu hanya salah paham, Pak. Istriku tidak mungkin mempermalukan Ibu di depan orang banyak!” sahut Mas Abi membelaku. “Ana adalah orang yang paling legowo yang pernah aku kenal, Pak. Dia menghormati Ibu, dan dia tidak akan mungkin melakukan sesuatu yang bisa membuat Ibu malu!” kata Mas Abi lagi.“Kau terlalu membela istrimu, Abi! Membuat dia menjadi besar kepala, dan melakukan apapun yang dia suka dengan seenaknya!” kata Ibu tiba tiba.“Ya Allah, Bu. Aku tidak akan membela sesuatu yang salah, aku membela Ana karena aku yakin dia benar!” kata Mas Abi dengan nada frustasi yang sangat kentara.“Mbak ada di situ ya, Bi. Dan istrimu memang mempermalukan Ibu, di depan Mang Ujang dan juga Bu Sulis!” sahut Lisa cepat. “Kalau kau memang belum percaya, kita bisa memanggil mereka sebagai saksi!" kata Lisa lagi.Mas Abi langsung menatapku dengan pandangan serba salah, namun aku hanya menaikkan bahuku acuh tak acuh. Suamiku itu memang belum tahu, kronologi