188. Bergulat! (Bagian C)"Mau ke mana, An?" Rasanya dejavu, saat aku melihat Bi Ramlah yang sedang menatapku dengan pandangan berbinar. Bukankah ini sama seperti kemarin? Jangan bilang dia ma—"Ke pasar? Ikut, dong!" Hap! Dia langsung melompat ke atas boncengan, padahal aku belum mengiyakan. Ya Allah, Bi Ramlah benar-benar sesuatu."Bibi mau apa? Kalau nggak beli apa-apa jangan ikut," kataku ketus, menolak secara terang-terangan."Ish, suudzon saja!" sahut Bi Ramlah sambil mencubit kecil pinggangku. "Bibi mau belanja sayur, kok!" katanya dengan semangat."Tunggu Kang Ujang aja, lah," tolakku lagi."Ya Allah, An! Orang nebeng doang pun, pelit amat!" sahutnya mendramatisir keadaan."Udah deh, Dek! Ajak aja lah, lagian kan kamu jadi ada temannya," pekik Mas Abi dari dalam.Aku memutar bola mata, dan Bi Ramlah memkik senang. Ish, jika saja bukan Mas Abi yang menyuruh maka aku akan kekeh untuk tidak mengajak Bi Ramlah ke pasar.Aku menarik gas, sehingga motorku mulai berjalan dengan la
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant) 189. Sidang di Balai Desa (Bagian A)Aku bahkan tidak mampu mengeluarkan suaraku, saat mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Mbak Rini. Bagaimana bisa Mbak Ruli dan juga Lisa bergumul habis-habisan di sini tadi?“Yang bener, Mbak? Ini bukan hoax, kan?” tanyaku ingin tahu."Ya bener, An! Kamu kira Mbak bohong gitu?" tanya Mbak Rini tidak suka."Ya bukannya gitu, Mbak. Tapi ini Lisa loh, Lisa yang somsenya naudzubillahimindzalik. Kok, bisa gitu loh … dia bergumul di pasar sama Mbak Ruli? Emang masalahnya apa?" tanyaku lagi."Iya, yah! Sayang banget kita tadi berhenti di rumah ibumu, An! Kalau tadi kita langsung ke sini, kan kita bisa melihat tuh pertarungan Ruli sama Lisa. Haduh … nggak rezeki!" ujar Bi Ramlah tiba-tiba.Aku menatap Bibi suamiku itu dengan pandangan tajam, tapi sepertinya dia terlihat tidak peduli karena dia malah asik memilih cabai hijau sekarang.Bi Ramlah terlihat cuek bebek, dia sama sekali tidak kelihat
190. Sidang di Balai Desa (Bagian B)"Oh, maaf, maaf, Mbak. Itu sama belanjaanku sekalian, ya udah sini tak bawakan. Ayo kita duduk dulu, aku mau cerita!" kata Bi Ramlah dengan tergesa-gesa.Dia kemudian menarik lengan Ibu dan mendudukkan diri mereka di kursi teras, sedangkan aku berjalan mendekat dengan santai. Biarkan saja biarlah yang menjelaskan, aku tidak mau ikut-ikutan."Apaan, sih? Gosip apa? Kalau tidak penting, aku tidak mau tahu ya!" kata Ibu sambil menatap Bi Ramlah dengan pandangan tajam."Nggak penting bagaimana? Kalau ini berkaitan dengan menantu kesayangan Mbak itu," sahut Bi Ramlah sambil mencibir."Lisa? Kenapa sama dia?" tanya Ibu dengan kening yang berkerut bingung."Lisa itu berantem sama Ruli di pasar tadi, dan sekarang sudah dibawa ke kantor desa," kata Bi Ramlah menjelaskan."Astaghfirullahaladzim! Berantem sama Ruli, di pasar? Kok, bisa Ram?" tanya Ibu dengan panik."Ya, mana aku tahu, Mbak. Aku nggak sempat nanya pula, lagian pas aku sampai sana sama Ana, pe
191. Sidang di Balai Desa (Bagian C)Sedangkan aku duduk di belakang Mas Abi, dan mencubit kecil bahu suamiku itu hingga da terlonjak kaget dan menoleh."Eh! Kamu kok, di sini, Dek?" tanya Mas Abi dengan bingung."Iya, dengar kabar tadi di pasar. Langsung ke sini sama Ibu dan Bi Ramlah," sahutku dengan cepat. "Mas kok di sini? Siapa yang jaga toko?" tanyaku ingin tahu."Diajak Bapak, ya udah Mas ikut. Toko tutup, Dek," sahut Mas Abi tak kalah cepat."Mana si Lisa?" bisikku padanya."Lah, segitu besarnya kamu nggak kelihatan?" tanya Mas Abi sambil menunjuk ke depan.Dan aku langsung bisa melihat keberadaan Lisa dan Mbak Ruli di depan sana, duduk di kursi, bersebelahan, di tengah-tengah ruangan. Seperti tersangka kejahatan saja."Udah mulai? Masalahnya apa, Mas?" tanyaku pada Mas Abi."Belum, lagi nunggu suami Mbak Ruli," balas Mas Abi pelan. Ahhhh! Aku mengangguk paham, keluarga Mbak Ruli memang belum ada di sini, baik itu suaminya, ataupun keluarganya yang lain. Bisa habis si Lisa d
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)192. Persidangan yang alot! (Bagian A)Semua orang yang ada di sana langsung terdiam, hening, sunyi, sepi, bahkan suara napas semua orang tidak bisa aku dengar. Apa semua orang menahan napas dengan kompak, ya? Hebat!Lisa dan juga Mbak Ruli di depan sana langsung terdiam, aku tidak tahu pasti bagaimana dengan wajah mereka, karena aku hanya bisa melihat punggung mereka. Tapi yang pasti, aku bisa yakin kalau mereka saat ini pasti takut dengan teriakan yang baru saja dikeluarkan oleh Pak Kades.Pak Kades itu baik, sopan, jujur, dan juga bertanggung jawab. Sebagai pemimpin, dia tidak pernah neko-neko. Tapi, aku maklum saat dia kehilangan kewarasan saat berhadapan dengan Lisa dan juga Mbak Ruli. Siapa sih, yang tahan berhadapan dengan mereka berdua sekaligus?Hmmmm, mungkin tidak ada!"Maaf, Pak. Silahkan lanjutkan," ujar Mbak Ruli memecah keheninganLumayan, setidaknya dia mau meminta maaf. Tidak seperti Lisa yang malah memalingkan w
193. Persidangan yang alot! (Bagian B)"Dia siapa, Bi?" tanyaku berbisik ke arah Bi Ramlah."Oh, si Runa? Anak Pak Kades yang dulu itu," sahut Bi Ramlah lagi."Hemmm? Yang mana?" tanyaku ingin tahu."Dulu, mantan kades yang kemarin. Itu anaknya, kerja di desa setelah selesai dengan pendidikannya di kota," kata Bi Ramlah lagi."Ohhh, aku kok nggak tahu ya, Bi?" tanyaku dengan bingung."Ya nggak tahu, padahal si Runa udah dua tahun kerja di kantor desa," sahut Bi Ramlah lagi. "Makanya jangan cuma di rumah aja, An," cibirnya padaku.Aku hanya menatapnya dengan pandangan datar, benar-benar kesal dengan ejekan yang Bi Ramlah lontarkan. Namun, sepertinya Bi Rlah tidak ambil pusing dan malah mendekatkan dirinya ke arahku dan berbisik kecil yang sukses membuat aku menganga. "Runa itu mantan pacarnya si Aji, putus gara-gara Aji selingkuh dengan Lisa. Soalnya si Runa masih SMA dan Aji sudah bekerja dulu, dan ketemu sama Lisa!"Wah, pantas saja Lisa ketus sekali, ada kaitannya dengan masa lalu
194. Persidangan yang alot! (Bagian C)"Ya harus tahu aja kami itu kan kalau di rumah harus punya pembicaraan. Entah itu mengenai pekerjaan, ataupun mengenai orang-orang di desa ini. Lah kalau berita sebesar ini, dia harus tahulah," kata Bi Ramlah lagi.Aku hampir menepuk jidatku karena mendengar kata-kata Bi ramlah barusan, ternyata dia dan juga Pak Lek sama sama tukang gosip. Pantas saja mereka ini dijuluki pasangan yang sangat klop, walaupun kehidupannya yang kurang beruntung.Masih mengontrak, dan juga bekerja sebagai kuli bangunan, sama seperti kehidupanku yang dulu. Tapi Bi Ramlah dan juga Pak Lek, memang sangat jarang bertengkar, bahkan bisa dibilang tidak pernah bertengkar.Ternyata rahasianya ini, mereka mempunyai hobi yang sama, makanya menjadi pasangan yang sangat klop. Aku kembali menetap ke arah depan, saat mendengar Mbak Ruli yang terkekeh dan juga menatap Lisa dengan pandangan tajam."Jawab dong, gimana itu nasib tabungan anak-anak kami? Ingat ya Lisa, kalau kamu tidak
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)195. Amarah Bapak! (Bagian A)Semuanya kembali hening, setelah tadi Pak Kades yang berteriak, kini Bapak yang melakukan hal itu. Dia menatap Mas Aji dengan pandangan tajam, dan juga tatapan memperingatkan."Kami akan bertanggung jawab tentunya, tapi mohon untuk di selesaikan sampai di sini. Kita bisa berbicara secara kekeluargaan di rumah," lanjut Bapak lagi.Setelah sebelumnya dia sedikit berteriak, agar menarik atensi orang-orang yang sudah sangat tertarik dengan Mas Aji dan juga Mas Badra yang sepertinya akan ikut bergelut melanjutkan perkelahian istri-istri mereka tadi."Bagaimana, Badra? Ruli? Bisa kita bicarakan di rumah saja? Tentunya dengan cara kekeluargaan!" kata Bapak lagi.Mas Badra langsung menatap Mbak Ruli, lelaki itu langsung menatap keluarganya yang lain. Dan orang tua Mbak Ruli hanya mengangguk menyetujui, hingga membuat kedua mertuaku langsung tersenyum lega."Kalau Pakde yang bicara begitu, maka saya ikut saja