190. Sidang di Balai Desa (Bagian B)"Oh, maaf, maaf, Mbak. Itu sama belanjaanku sekalian, ya udah sini tak bawakan. Ayo kita duduk dulu, aku mau cerita!" kata Bi Ramlah dengan tergesa-gesa.Dia kemudian menarik lengan Ibu dan mendudukkan diri mereka di kursi teras, sedangkan aku berjalan mendekat dengan santai. Biarkan saja biarlah yang menjelaskan, aku tidak mau ikut-ikutan."Apaan, sih? Gosip apa? Kalau tidak penting, aku tidak mau tahu ya!" kata Ibu sambil menatap Bi Ramlah dengan pandangan tajam."Nggak penting bagaimana? Kalau ini berkaitan dengan menantu kesayangan Mbak itu," sahut Bi Ramlah sambil mencibir."Lisa? Kenapa sama dia?" tanya Ibu dengan kening yang berkerut bingung."Lisa itu berantem sama Ruli di pasar tadi, dan sekarang sudah dibawa ke kantor desa," kata Bi Ramlah menjelaskan."Astaghfirullahaladzim! Berantem sama Ruli, di pasar? Kok, bisa Ram?" tanya Ibu dengan panik."Ya, mana aku tahu, Mbak. Aku nggak sempat nanya pula, lagian pas aku sampai sana sama Ana, pe
191. Sidang di Balai Desa (Bagian C)Sedangkan aku duduk di belakang Mas Abi, dan mencubit kecil bahu suamiku itu hingga da terlonjak kaget dan menoleh."Eh! Kamu kok, di sini, Dek?" tanya Mas Abi dengan bingung."Iya, dengar kabar tadi di pasar. Langsung ke sini sama Ibu dan Bi Ramlah," sahutku dengan cepat. "Mas kok di sini? Siapa yang jaga toko?" tanyaku ingin tahu."Diajak Bapak, ya udah Mas ikut. Toko tutup, Dek," sahut Mas Abi tak kalah cepat."Mana si Lisa?" bisikku padanya."Lah, segitu besarnya kamu nggak kelihatan?" tanya Mas Abi sambil menunjuk ke depan.Dan aku langsung bisa melihat keberadaan Lisa dan Mbak Ruli di depan sana, duduk di kursi, bersebelahan, di tengah-tengah ruangan. Seperti tersangka kejahatan saja."Udah mulai? Masalahnya apa, Mas?" tanyaku pada Mas Abi."Belum, lagi nunggu suami Mbak Ruli," balas Mas Abi pelan. Ahhhh! Aku mengangguk paham, keluarga Mbak Ruli memang belum ada di sini, baik itu suaminya, ataupun keluarganya yang lain. Bisa habis si Lisa d
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)192. Persidangan yang alot! (Bagian A)Semua orang yang ada di sana langsung terdiam, hening, sunyi, sepi, bahkan suara napas semua orang tidak bisa aku dengar. Apa semua orang menahan napas dengan kompak, ya? Hebat!Lisa dan juga Mbak Ruli di depan sana langsung terdiam, aku tidak tahu pasti bagaimana dengan wajah mereka, karena aku hanya bisa melihat punggung mereka. Tapi yang pasti, aku bisa yakin kalau mereka saat ini pasti takut dengan teriakan yang baru saja dikeluarkan oleh Pak Kades.Pak Kades itu baik, sopan, jujur, dan juga bertanggung jawab. Sebagai pemimpin, dia tidak pernah neko-neko. Tapi, aku maklum saat dia kehilangan kewarasan saat berhadapan dengan Lisa dan juga Mbak Ruli. Siapa sih, yang tahan berhadapan dengan mereka berdua sekaligus?Hmmmm, mungkin tidak ada!"Maaf, Pak. Silahkan lanjutkan," ujar Mbak Ruli memecah keheninganLumayan, setidaknya dia mau meminta maaf. Tidak seperti Lisa yang malah memalingkan w
193. Persidangan yang alot! (Bagian B)"Dia siapa, Bi?" tanyaku berbisik ke arah Bi Ramlah."Oh, si Runa? Anak Pak Kades yang dulu itu," sahut Bi Ramlah lagi."Hemmm? Yang mana?" tanyaku ingin tahu."Dulu, mantan kades yang kemarin. Itu anaknya, kerja di desa setelah selesai dengan pendidikannya di kota," kata Bi Ramlah lagi."Ohhh, aku kok nggak tahu ya, Bi?" tanyaku dengan bingung."Ya nggak tahu, padahal si Runa udah dua tahun kerja di kantor desa," sahut Bi Ramlah lagi. "Makanya jangan cuma di rumah aja, An," cibirnya padaku.Aku hanya menatapnya dengan pandangan datar, benar-benar kesal dengan ejekan yang Bi Ramlah lontarkan. Namun, sepertinya Bi Rlah tidak ambil pusing dan malah mendekatkan dirinya ke arahku dan berbisik kecil yang sukses membuat aku menganga. "Runa itu mantan pacarnya si Aji, putus gara-gara Aji selingkuh dengan Lisa. Soalnya si Runa masih SMA dan Aji sudah bekerja dulu, dan ketemu sama Lisa!"Wah, pantas saja Lisa ketus sekali, ada kaitannya dengan masa lalu
194. Persidangan yang alot! (Bagian C)"Ya harus tahu aja kami itu kan kalau di rumah harus punya pembicaraan. Entah itu mengenai pekerjaan, ataupun mengenai orang-orang di desa ini. Lah kalau berita sebesar ini, dia harus tahulah," kata Bi Ramlah lagi.Aku hampir menepuk jidatku karena mendengar kata-kata Bi ramlah barusan, ternyata dia dan juga Pak Lek sama sama tukang gosip. Pantas saja mereka ini dijuluki pasangan yang sangat klop, walaupun kehidupannya yang kurang beruntung.Masih mengontrak, dan juga bekerja sebagai kuli bangunan, sama seperti kehidupanku yang dulu. Tapi Bi Ramlah dan juga Pak Lek, memang sangat jarang bertengkar, bahkan bisa dibilang tidak pernah bertengkar.Ternyata rahasianya ini, mereka mempunyai hobi yang sama, makanya menjadi pasangan yang sangat klop. Aku kembali menetap ke arah depan, saat mendengar Mbak Ruli yang terkekeh dan juga menatap Lisa dengan pandangan tajam."Jawab dong, gimana itu nasib tabungan anak-anak kami? Ingat ya Lisa, kalau kamu tidak
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)195. Amarah Bapak! (Bagian A)Semuanya kembali hening, setelah tadi Pak Kades yang berteriak, kini Bapak yang melakukan hal itu. Dia menatap Mas Aji dengan pandangan tajam, dan juga tatapan memperingatkan."Kami akan bertanggung jawab tentunya, tapi mohon untuk di selesaikan sampai di sini. Kita bisa berbicara secara kekeluargaan di rumah," lanjut Bapak lagi.Setelah sebelumnya dia sedikit berteriak, agar menarik atensi orang-orang yang sudah sangat tertarik dengan Mas Aji dan juga Mas Badra yang sepertinya akan ikut bergelut melanjutkan perkelahian istri-istri mereka tadi."Bagaimana, Badra? Ruli? Bisa kita bicarakan di rumah saja? Tentunya dengan cara kekeluargaan!" kata Bapak lagi.Mas Badra langsung menatap Mbak Ruli, lelaki itu langsung menatap keluarganya yang lain. Dan orang tua Mbak Ruli hanya mengangguk menyetujui, hingga membuat kedua mertuaku langsung tersenyum lega."Kalau Pakde yang bicara begitu, maka saya ikut saja
196. Amarah Bapak! (Bagian B)Aku hanya bergidik ngeri, kemudian menatap ke arah depan dengan pasti. Namun diam-diam mataku tetap memantau Ibu dan juga pasangan Mas Aji serta Lisa di belakang, menggunakan kaca spion.Aku bisa melihat wajah Ibu yang memerah, terlihat sekali kalau beliau sedang menahan amarah."Ibu tidak mau tahu kalian itu punya janji dengan siapa, mau itu presiden kek, gubernur kek, yang penting kalian harus ke rumah sekarang! Karena Ibu dan Bapak mau berbicara dengan kalian, dengar?!" kata Ibu dengan ketus.Dia lalu naik ke boncengan, namun matanya tetap menoleh ke belakang. "Cepat! Kalian berjalan duluan, dan kami yang di belakang. Karena kalau tidak begitu, Ibu tidak yakin kalau kalian akan mengikuti kami. Bisa saja kalian kabur!" kata Ibu lagi.Aku bisa melihat wajah Mas Aji dan juga Lisa yang terlihat ogah-ogahan, tapi melihat amarah Ibu mereka sepertinya ciut juga. Karena Mas Aji langsung naik ke motor, begitu juga dengan Lisa dan mereka melaju di depan kami den
197. Amarah Bapak! (Bagian C)"Iya, bisa mencapai puluhan juta. Bayangin aja, soalnya si Jessi itu kan sampai lima juta sendiri, si Alif enam ratus ribu, belum lagi yang lain-lainnya. Bisa jadi ada yang satu jutaan, ada yang lima ratus ribuan, ada yang tiga ratus ribuan, kan kita nggak tahu," kata Bi Ramlah sambil mengangkat bahunya."Wah, banyak banget ya, Bi," kataku sambil menggeleng kecil, merasa takjub juga mendengarnya."Ya banyak, cuman kita nggak tahu uangnya itu untuk apa. Nggak kelihatan uangnya, kan? Buktinya motor mereka sampai ditarik loh sama pihak leasing, kan itu artinya mereka tidak mengalokasikan uang tabungan itu untuk membayar motor mereka. Jadi pertanyaannya sekarang adalah, uang tabungan itu ke mana?" tanya Bi Ramlah dengan nada bijak.Aku mengangguk membenarkan, memang pertanyaan ini masih sering bercokol di pikiranku ke mana sebenarnya uang mereka yang banyak itu? Tetapi aku juga tidak punya hak untuk mempertanyakannya, jadi aku hanya menatap Bi Ramlah sambil t