17. Meminta Sebidang Tanah (Bagian B)“Fix! Aku sangat beruntung karena mempunyai mertua yang baik banget, Mbak! Aku bersyukur sudah terhindar dari keluarga toxic macam keluarganya Mas Abi!” Aira menggeleng pelan.“Makanya aku bilang, beli skincare, beli motor, bangun rumah! Aku nggak mau kalian diremehkan, Mbak! Buat usaha biar sukses! Mbak Lisa memang mempunyai gaji, tapi Mbak punya rezeki,“ kata Aina berujar panjang lebar. “Iya lah! Jangan mau diinjak-injak, Mbak! Tunjukkan jati diri Mbak yang sebenarnya!” ujar Aira meluap-luap.“Kalian ini ngomong apa?” Emak tiba-tiba masuk ke kamar dan ikut duduk di bibir ranjang, matanya memindai kami satu persatu dengan tatapan teduh dan juga dalam.“Nggak ngomong apa-apa, hanya ngomongin tentang kuliah Ai, Mak,” balas Aina sambil tersenyum kecil.Bagus! Tambah satu catatan dosa kami hari ini karena sudah membohongi orang tua, tapi jika tidak berbohong pasti Emak akan marah karena tahu kami sedang menggosipi orang, dan yang lebih parah orangny
PILIH KASIH18. Direndahkan (Bagian A)“A—-apa?” tanya Ibu dengan tergagap. “Apa yang baru saja kamu katakan, An?” tanyanya masih berusaha memastikan, dia mengorek telinganya menggunakan kelingking sambil menatapku dengan bingung."Iya, Ibu nggak salah dengar. Ana memang meminta sebidang tanah, karena kami mau membangun sebuah rumah," balasku dengan santai.Ibu menatap Mas Abi dengan pandangan tajam, beliau langsung menyunggingkan senyum sinis dan mencebik seolah jijik dengan kami."Kamu anggap aku ini apa? Hah?" tanyanya dengan nada yang lantang. "Bisa-bisanya istrimu yang tidak berpendidikan ini meminta warisan di saat aku masih hidup! Tidak punya otak!" katanya lagi."Ana tidak meminta warisan, Bu. Hanya sebidang tanah untuk tapak rumah, kok!" sahutku sambil nyengir.Aku tidak mau terikut emosi, toh apapun yang Ibu katakan tidak akan memberikan efek apapun padaku. Aku hanya mengetesnya saja, apakah dia akan memberikan satu petak tanahnya yang memang sangat banyak itu untuk kami mem
19. Direndahkan (Bagian B)"Loh, aku ada buktinya loh. Wong, Mbak Lisa sendiri yang bilang, Ibu itu nambahi tiga puluh juta untuk membeli motornya itu!" kataku santai sambil menunjukkan screenshot percakapan Mbak Lisa tadi yang ada di kolom komentar.Mas Abi langsung memalingkan wajahnya sesaat setelah dia melihat ponselku, wajahnya terlihat sangat sedih. Dia menghela nafasnya beberapa kali dan kemudian menatap Ibu dengan pandangan nanar."Buktinya sudah kuat, Bu. Lalu Ibu mau ngeles seperti apa lagi?" tanya Mas Abi dengan lelah. "Padahal aku dari bujang hanya memakai motor bekas, disaat Ibu membelikan motor baru untuk Mas Aji. Dan sekarang Ibu juga membelikan motor untuk istrinya, ya Allah …." Mas Abi berujar lirih di akhir kalimat."Halahhh, kamu ini kok, semakin lebay saja sih, Bi?" tanya Ibu dengan tidak ber perasaannya. "Mbakmu itu pegawai negeri, malu dong kalau motornya itu butut. Kalau kamu kan hanya kuli bangunan, dan istrimu juga nggak kerja dan di rumah saja. Nggak perlulah
PILIH KASIH20. Dijual Murah (Bagian A)Ini, inilah yang membuat aku muak dan juga marah. Ibu selalu mengatakan kami tidak pernah memberi uang belanja untuk beliau dan juga Bapak, tetapi setiap minggu ada saja yang Ibu pinta dari suamiku. Gaji Mas Abi dalam satu minggu hanya tujuh ratus dua puluh ribu, dan tidak jarang Ibu meminta setengahnya untuk membeli keperluannya yang sebenarnya tidak mendesak, seperti, gamis, baju, tas, ataupun sepatu.Bila dihitung-hitung, maka lebih banyak uang yang Mas Abi berikan daripada yang Mas Aji beri. Namun, Ibu seolah menutup mata dengan kebaikan suamiku, dan malah membangga-banggakan anak sulungnya yang kaya raya itu.Hahhhhh, ingin sekali rasanya aku berkata kasar. Sumpah!“Mana, Bi? Ibu mau ke pasar ini!” katanya sambil menadahkan tangannya.“Tidak ada, Bu. Uangnya sudah habis!” balasku dengan santai.“Habis?” tanya Ibu dengan mata melotot. “Enak sekali kamu menghabiskan gaji anakku, ingat ya dia itu harus menafkahi orang tuanya juga. Surga Abi a
21. Dijual Murah (Bagian B)"Dek! Kamu udah selesai sholat?" Mas Abi memasuki kamar dan langsung duduk di atas ranjang.Aku yang memang sudah selesai, langsung mencium punggung tangannya dengan takzim. Sambil membuka mukena, aku melirik wajah Mas Abi yang terlihat berseri-seri."Kenapa, Mas? Kok, sepertinya bahagia sekali!" kataku ingin tahu."Alhamdulillah, semuanya dimudahkan oleh Allah, Dek!" sahut Mas Abi sambil menarik tanganku dan mendudukkan diriku di sampingnya."Kenapa? Wak Cokro mau menjual tanah dan rumah ini pada kita?" tanyaku ingin tahu."Mau, Dek! Mau!" sahut Mas Abi semangat.Aku hanya mengangguk kecil, ikut bahagia dengan kabar yang diberikannya. Tapi, bagaimana dengan harganya? Walau di desa, tapi harga tanah di sini sudah mahal. Satu rantai saja harganya bisa mencapai empat puluh juta. Dan tanah yang kami tempati ini, luasnya satu rantai dan juga ada bangunan rumah di atasnya. Walaupun bangunan ini tidak mewah, tetapi pasti tetap ada hitungannya."Harganya gimana,
PILIH KASIH22. Perang Komentar (Bagian A)Gigi gerahamku beradu dengan sangat kuat, saat melihat pesan yang baru saja dibuka oleh Mas Abi. Tanganku mengepal dengan erat, namun entah kenapa mataku malah memanas aku ingin menangis, dan aku harus menahan air mata yang ingin tumpah sekuat tenaga.Tidak, aku tidak boleh menangis! Aku kuat, aku Anna. Dan akan aku buat Lisa menyesal karena sudah berani berurusan denganku.Namun tidak bisa dipungkiri, hatiku sangat sakit dan juga kembali berdarah, seolah mengerti Mas Abi langsung menggenggam tanganku dan mengucapkan ribuan kata maaf.Padahal aku sangat ingin berteriak, kalau itu semua sekali tidak ada gunanya bagiku, dia mengucapkan maaf untuk siapa? Dan untuk apa? Dia bahkan tidak melakukan kesalahan apapun, tapi kenapa harus dia yang selalu meminta maaf kepadaku?Tidak! Saat ini aku tidak akan diam! Demi Allah!Aku langsung melirik kembali ponsel yang kini terletak begitu saja di atas meja, disana masih terpampang pesan Aira yang terkirim
23. Perang Komentar (Bagian B)DEG! DEG! DEG!Aku kemudian melemparkan ponselku ke atas sofa dengan emosi yang meluap-luap, Mas Abi langsung mengambil ponsel itu dengan cepat. Aku tidak peduli dia mau melakukan apa, aku sudah muak dengan keluarganya. Sepertinya dia akan menghubungi seseorang, karena tak lama kemudian aku bisa mendengar suara Mas Aji yang menyahut di seberang sana. Ternyata dia menelpon kakak kandungnya itu.[Ada apa, Bi?] Tanyanya dengan sangat santai."Mas, aku mohon suruh Mbak Lisa untuk menghapus postingannya di Facebook. Aku merasa terganggu dan juga merasa terhina dengan postingan istrimu!" ujar Mas Abi dengan tegas.Lalu kami sama-sama bisa mendengar suara derit dari seberang sana, mungkin saja saat ini Mas Aji sedang duduk dan berleha-leha di kasur atau di sofanya yang empuk itu.[Postingan apa?] tanyanya dengan nada heran."Mbak Lisa memposting di wall facebooknya, dan itu sangat merendahkanku, Mas. Bagaimana bisa dia merendahkan saudaranya sendiri?" ujar Mas
24. Perang Komentar (Bagian C)"Bagaimana bisa Mas bilang itu adalah hal yang sepele? Dia baru saja menginjak-injak harga diriku di depan orang banyak, Mas. Itu sosial media Mas, semua orang bisa mengaksesnya. Dan Mas hanya diam saja melihat Adik Mas sendiri diinjak-injak dan dijatuhkan harga dirinya oleh istrimu itu?" tanya Mas Abi dengan tak habis pikir.Lalu setelahnya kami hanya bisa mendengar suara tawa sumbang yang Mas Aji keluarkan.[Lah, memang kamu saja yang baper. Mbakmu itu kan berkata betul, kalian itu terlalu halu!] Katanya dengan penuh penekanan. [Aku ini ngomong yang betul ya, Bi. Jangan terlalu halu nanti kamu dan istri kamu itu bisa jadi gila, ingat kamu cuman kerja sebagai tukang bangunan dan istrimu pun cuman ngeler di rumah. Ya betul kata Mbakmu, kok bisa bisanya kalian memimpikan mempunyai rumah dengan cara membeli tanah Wak Cokro. Dikasih numpang saja kalian itu sudah sukur, Bi! Sudah syukur!] Katanya semakin merendahkan kami.[Lalu, kalau masalah mandul, Mbakmu