PILIH KASIH
1. Rumah Mbak Lisa“Jangan duduk di situ, nanti sofa Mbakmu kotor, An!” ujar Ibu mertuaku dengan sedikit ketus.Wajahnya kemudian melirik ke kiri dan ke kanan, kemudian decak kagum terdengar keluar dari kedua belah bibirnya. Harus aku akui, kalau perabotan di rumah Mbak benar-benar modern, dan juga mahal. Pantas saja mertuaku kagum walau sudah berapa ratus kali beliau ke rumah ini, dan binar bangga sama sekali tidak pernah hilang dari mata tuanya.Aku ikut tersenyum, bila Ibu senang, maka aku akan ikut senang. Aku lantas berdiri di samping sofa mahal yang tengah diduduki oleh Ibu, dan menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Membonceng Ibu kemanapun, itulah tugasku selain menjadi menantunya. Tadi Ibu dengan sangat terburu-buru mengajakku ke rumah Mbak Lisa, tapi setelah kami sampai di sini malah tidak ada orang di rumah. Yang ada hanya Bi Siti, asisten rumah tangga Kak Lisa. “Mbak Lisa mana, Bu? Kok, tidak ada di rumah?” tanyaku ingin tahu.“Ya kerja lah, An. Mbakmu itu wanita karir, punya tanggung jawab buat mengajar anak bangsa supaya pintar. Biar besarnya tidak seperti kamu!” sahut Ibu masih dengan ketus.Aku menghela nafas panjang, kata-kata pedas Ibu benar-benar membuat luka di dalam hati, ikut bergabung dengan luka-luka lama yang sudah ditorehkannya dari dulu. Kembali berdarah, sehingga mengakibatkan rasa sakit yang menusuk hingga ke tulangku.“Makanya kalau punya ijazah itu dipakai, walau cuma ijazah SMA, sih!” katanya mengejek tanpa menatapku. “Kan, bisa dipakai buat ngelamar pekerjaan di pabrik, atau di mana gitu? Yang penting kerja! Tidak mengandalkan uang Abi terus-terusan!” Lanjutnya semakin sadis.Aku mendongakkan wajahku, berusaha meredakan ledakan emosi yang mulai aku rasakan. Sudah sering aku mendengar kalimat itu, tapi tetap saja masih meninggalkan rasa sakit di relung hati tidak peduli berapa kali Ibu mengucapkannya.“Abi itu anak laki-laki, sampai kapanpun akan tetap menjadi milik Ibu, An. Kalau harus menanggung hidupmu yang banyak makan itu, kapan dia bisa balas budi pada Ibu? Jangan egois lah!” cecarnya lagi, kali ini wajahnya sudah mendongak menatapku sambil menyunggingkan senyum sinis dia melanjutkan ucapannya. “Kamu ini, namanya sama saja menghambat Abi untuk berbakti pada Ibu!” katanya dengan penuh penekanan.Astaghfirullah, aku lantas menatap matanya dengan pandangan sedih. Bagaimana bisa beliau mengatakan hal itu padaku? Bukankah aku memang menjadi tanggung jawab Mas Abi? Aku ini adalah istrinya, bukan pengemis yang meminta uangnya dengan sengaja.Dia memang wajib menafkahiku! Dan bagaimana bisa karena aku tidak bekerja, lantas aku dicap sebagai penghambat suamiku itu untuk berbakti pada Ibunya? Aku menelan ludah, haruskan aku menjawab kata-kata Ibu? Ataukah tetap diam sama seperti sebelum-sebelumnya?“Bu, Ana kan….”“Sudah, sudah! Tidak usah bicara, Ibu sudah hafal apa yang akan kamu katakan, An. Hafal sekali!” Ibu memotong ucapanku, dia mengibaskan tangannya di udara demi mencegah ucapanku keluar lebih banyak. “Intinya, kalau kamu bersikeras maka Abi akan mengizinkan kamu kerja! Wong kamu hanya meminta izin lalu menyerah, ya ambyar! Ndak ada gunanya, An! Ndak ada!” kata Ibu lagi.“Abi itu hanya kuli bangunan, gajinya tidak seberapa. Makan kamu saja sudah banyak, belum lagi biaya listrik, bensin! Kapan bisa ngasih Ibu kalau selamanya kehidupan kalian begitu?” tanyanya lagi. “Contoh Mbakmu lah, dia pegawai negeri! Masmu tidak kerja juga bisa, kerja semaunya. Wong semua kebutuhan sudah dipenuhi oleh Mbakmu, bahkan bisa ngasih Ibu dan Bapak lagi.” Beliau kembali membanggakan Mbak Lisa dan juga Mas Aji.Lah iya Mas Aji tidak perlu bekerja, toh sebagian kebun milik Ibu dan Bapak sudah atas namanya. Dia hanya perlu memanen hasilnya setiap dua minggu sekali, maka pundi-pundi uang akan masuk ke rekening mereka dengan sempurna. Apalagi saat harga kelapa sawit tengah meroket seperti saat ini, kehidupan Mas Aji dan Mbak Lisa semakin makmur dan juga semakin seringlah Ibu kecipratan uangnya.Kalau suamiku? Tidak ada lahan sawit yang bisa diolah, kata Ibu dan Bapak, mereka masih membutuhkan uang untuk kebutuhan hidup masa tua mereka. Jadi bagian suamiku masih di pending, sampai Ibu dan Bapak wafat nanti.“An! Kamu dengar tidak? Ibu bicara kok, dicuekin, sih?” sungutnya marah.“Ana dengar, Bu!” balasku patuh. “Nanti Ana bicarakan lagi sama Mas Abi, ya!” kataku berusaha mengakhiri pembicaraan ini.“Bagus!” Ibu mengangguk puas. “Usaha yang keras, buat Abi setuju. Bapakmu sudah nggak kerja-kerja, dia sudah tua! Giliran kalian yang ngasih Ibu sekarang, membesarkan Abi dan Aji itu ndak mudah, An. Kalau Aji sih, sudah balas budi. Kamu sama Abi yang belum ini,” ujarnya lagi sambil mencebikkan bibirnya.Hahhhh, aku menghela nafas panjang. Ternyata omelan Ibu belum selesai, aku bahkan sampai malu pada Bi Siti yang baru saja menghidangkan minum untuk kami. Dia tersenyum maklum, dan juga mengangguk kecil padaku.“Iya, Bu. Nanti Ana bicarakan sama Mas Abi!” kataku lagi, dan berharap semoga Ibu sudah selesai.“Harus! Kamu ha-”“Eh, Ibu di sini?”Omongan Ibu terpotong, Mbak Lisa sudah pulang dan dia baru saja masuk ke dalam rumah sambil melepas sepatu hak tingginya. Dia kemudian menyunggingkan senyum kecil ke arahku, dan langsung mendudukkan dirinya di samping Ibu. Memeluk wanita yang berstatus sebagai Ibu mertua kami itu dengan erat.“Capek, Nduk?” tanya Ibu sambil menepuk bahu Mbak Lisa dengan lembut, tatapan matanya terlihat hangat. Tatapan yang tidak pernah diberikannya padaku, walau hanya di dalam mimpi.“Iya, Bu,” ujarnya manja. “Ana kenapa berdiri? Duduk di sini!” katanya sambil menepuk sisi sofa yang kosong.“Ti-”“Ana memang Ibu suruh berdiri saja, takut sofa mahal kamu kotor, Nduk!” sambar Ibu dengan cepat. “Soalnya dia tadi habis bakar-bakar sampah waktu Ibu suruh nganter ke sini!” jelas Ibu lagi.Aku langsung mengatupkan bibirku lagi dengan rapat, lagi lagi ucapanku dipotong oleh Ibu. Kemudian dia sibuk berbincang dengan Mbak Lisa, menganggap aku tidak ada di sini. Karena bosan, aku lantas beranjak ke dapur, lebih baik berbincang dengan Bi Siti daripada mendengarkan kemesraan sepasang mertua dan menantu itu.“Jangan pegang apa-apa, An. Takutnya perabotan Mbakmu rusak ntar!” ujar Ibu saat dia melihat aku beranjak, aku lantas menghentikan langkahku. “Jangan buka-buka kulkas juga, Mbakmu sering nyetok buah-buahan segar. Takutnya kamu ngiler, terus nekat nyolong!” kata Ibu lagi. Astaghfirullah! Astaghfirullah!Aku mengelus dadaku sambil berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang sudah mau keluar, apalagi saat mendengar suara tawa cekikikan yang kemudian keluar dari bibir mereka. Seolah menertawakan kemiskinanku.Aku mengepalkan tangan dengan kuat, menghapus air mataku dan menyusut ingus. Setelahnya aku membalikkan tubuhku dengan sempurna, menatap mereka berdua dengan pandangan tajam. Pandangan yang aku yakin, bahkan di pikiran mereka sekalipun mereka tidak pernah membayangkan akan mendapatkan pandangan seperti ini dariku. Tawa mereka berhenti, dan kemudian langsung terperanjat setelah aku bersuara.“Aku memang miskin, tapi aku bukan pencuri! Aku pulang dulu, Ibu pulang sendiri saja nanti!” Setelahnya aku bergegas keluar dari rumah mewah yang dibelikan Ibu untuk iparku itu dengan menjual salah satu lahan sawit milik mereka.Walau Ibu memekik dan mengumpatiku, tapi aku sama sekali tidak berbalik. Biarkan saja! Aku sudah tidak mau berada di rumah yang seperti neraka itu. Biar Ibu merasakan kebingungan memikirkan bagaimana cara pulang, motornya sih cantik, tapi Ibu kan, tidak bisa menaikinya.EH? EH? EH?Tunggu dulu! Tungguuuuuu! Ternyata yang tadi hanya imajinasi belaka, ya Allah … miris sekali hambamu ini! Aku memelas di dalam hati.Aku menggelengkan kepalaku dan kemudian lekas membuang bayangan yang tadi sempat aku pikirkan, aku belum mau dikutuk menjadi batu. Makanya aku hanya mengangguk dan bergegas pergi ke dapur, dan mengingat di dalam kepala kalau aku tidak boleh menyentuh apapun dan membuka kulkas Mbak Lisa.~Aksara Ocean~PILIH KASIH2. Luka Mas Abi~Aksara Ocean~Hari masih pagi saat Ibu datang ke rumahku, bahkan aku baru saja bersiap memasak untuk sarapan pagi.Tidak mau membuat Ibu menunggu, aku segera membuka pintu dan terlihatlah wajah Ibu mertuaku yang tengah mengipasi wajahnya.“Bi! Abi!” Ibu langsung nyelonong masuk dan duduk di sofa, sofa butut milikku.Eh, milik Ibu sebenarnya. Karena dia sudah membeli sofa baru yang lebih mahal dan juga cantik, jadi sofa bobrok ini dilungsurkan padaku. Sofa yang sudah banyak bolongnya, busanya sudah keluar, dan beberapa per besi mencuat hingga terkadang menyakiti bokong indahku ketika tak sengaja mendudukinya.“Mana Abi, An?” tanya Ibu pelan.Dia menatapku dari atas ke bawah dengan pandangan menyelidik, kemudian dia bangkit dan mendekatiku sambil menelisik. Bibir tuanya mencebik sinis dan tangannya terulur menuju wajahku, aku memejamkan mata.Apa aku akan dipukul? Selama ini Ibu hanya melontarkan kata-kata pedas, tetapi apa kali ini dia akan melayangkan tanga
PILIH KASIH3. Kedatangan Mbak Lisa dan Mas Aji~Aksara Ocean~“Masak apa, An?” Mbak Lisa bertanya padaku, dia masuk ke dapur sambil membawa ponselnya.Aku mengangkat wajahku dan mataku langsung bisa melihat wajah cantiknya yang merengut saat melihat keadaan dapurku, apa yang salah? Aku ikut mengedarkan pandanganku, dan menurutku tidak ada yang salah, dapurku bersih dan tidak ada sampah maupun piring kotor yang berceceran.Lalu apa alasannya sehingga dia melemparkan tatapan jijik saat ini? “Masak sayur lodeh sawi putih, Mbak. Ada sambal terasi juga dan ikan asin,” sahutku pelan, sambil mengaduk cangkir berisi teh hangat yang akan aku hidangkan ke depan.Sedangkan di depan sana, Mas Abi dan juga Ma Aji sedang berbincang-bincang. Entah ada angin apa sehingga kedua pasangan terhormat ini mau menginjakkan kaki mereka yang suci ke dalam gubukku, karena biasanya hanya Mas Aji yang akan datang jika mereka membutuhkan bantuan, ataupun untuk menasehati kami.Lagipula, setahuku biasanya hari m
PILIH KASIH4. Amarah Mas Abi (Bagian A)~Aksara Ocean~"Hah?!" Aku berteriak lantang. "Siapa yang mau jadi TKW? Aku?" Aku menunjuk wajahku sendiri."Mas Aji nyuruh aku kerja jadi TKW begitu?" tanyaku lagi, karena tidak ada yang menjawab ucapanku. "Atau aku yang salah tanggap?" Lanjutku dengan nada yang mengancam.Semuanya terdiam dan kembali sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, Mas Abi masih menatap Mas Aji dan juga Mbak Lisa dengan pandangan membunuh, sedangkan kakak kandung suamiku itu mengalihkan pandangannya ke arah jendela.Mbak Lisa kembali sibuk dengan kegiatannya mengambil gambar, berkali-kali dia berganti gaya dan juga pose agar terlihat bagus. Tapi setelah apa yang mereka katakan tadi, aku sama sekali tidak bisa melihat sesuatu yang bagus dari Mbak Lisa maupun Mas Aji.Mereka tidak lebih seperti suami istri kejam yang ada di sinetron-sinetron ikan terbang! Sialan!"Kalian tidak mau menjawab pertanyaanku? Hah?!" Habis sudah kesabaranku, Mbak Lisa dan Mas Aji terperanj
5. Amarah Mas Abi (Bagian B)“Lalu aku pernah menyusahkan? Begitu maksud, Mbak?” sambarku dengan cepat.Nafasku kembali menderu, emosi tadi yangs mepat reda kembali memuncak. Apa maksud kata-katanya? Kapan aku menyusahkan orang lain?“Kamu menyusahkan Abi!” ujarnya menudingku. “Kamu juga menyusahkan Ibu, An!” katanya lagi.“Hah?” Aku melongo, luar biasa bingung dengan kata-katanya. “Aku menyusahkan Mas Abi dan juga Ibu? Kapan, Mbak? Aku masih bisa pipis sendiri, masih bisa buang air sendiri, masih bisa makan sendiri, berjalan dan bahkan berlari aku juga masih bisa. Di bagian mana aku menyusahkan?” tanyaku mengejek.Mas Abi tergelak kecil, dan menepuk puncak kepalaku dengan lembut. Raut tegang yang dari tadi menggelayuti wajah tampannya sudah menghilang, terganti dengan raut geli yang menularkan tawa padaku.“Mbak, aku ini dari segi mana kalian anggap menyusahkan?” tanyaku mencoba bersikap terbuka.“Kamu itu tidak bekerja! Hak itu membuat gaji Abi habis hanya untukmu, dan Ibu keberatan
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant!)6. Ana yang Meledak! (Bagian A)*******“Ya ampun, Abi! Kenapa kau menjadi berlebihan seperti ini, sih?” Mas Aji memekik dengan kuat, wajahnya terlihat menyebalkan lengkap dengan mulutnya yang menganga lebar.Sialan! Tiba-tiba aku menjadi amat jijik dengan wajahnya itu, benar-benar wajah orang yang tidak memiliki rasa malu dan juga wajah orang tidak memiliki otak! Apa katanya tadi? Berlebihan? Wahhhh, aku yakin ada sesuatu yang salah dengan otak dari kakak suamiku ini.Aku langsung melirik Mas Abi setelahnya, dan suamiku itu hanya bisa menghela nafas lelah sambil mengusap kedua wajahnya dengan menggunakan kedua telapak tangannya. Aku bahkan bisa ikut merasakan, apa yang suamiku itu rasakan.Frustasi, jijik, marah, dan juga kecewa, bercampur aduk menjadi satu. Dasar keluarga toxic, aku bahkan tidak percaya akan mengalami sendiri kehidupan seperti drama-drama indonesia di stasiun televisi ikan terbang yang fenomenal itu.Tapi keny
7. Anna yang meledak (Bagian B)Aku menyunggingkan senyum kecil, jangan macam-macam sama orang pendiam. Sekali marah, kelar hidup kalian. Suamiku itu bucin nya sudah tingkat dewa langit dan juga dewa lautan. Yang tinggi dan luasnya tak terhingga."Eh, eh, jangan kau bandingkan istriku dan istrimu, Bi. Istriku pegawai negeri, beda sama Istrimu yang tidak bekerja!" sahut Mas Aji dengan nada tidak terima.Mbak Lisa mengangguk membenarkan, sungguh pasangan yang sangat klop. Suami istri sama-sama tidak tahu diri dan sama-sama tidak punya otak, pantas saja mereka berjodoh!Memang apa hebatnya pegawai negeri? Hanya menang gaji banyak, sertifikasi, dan juga tunjangan hari raya. Eh! Hebat sekali, tapi kan tidak seharusnya menyombong dan merendahkan orang lain. Banyak kok, pegawai negeri di desa ini yang rendah hati dan juga bersahaja. Tidak seperti Mbak Lisa ini.Angkuh! Merasa paling hebat dan juga paling di atas, tidak tahu saja kalau semua itu hanya titipan Allah SWT. Kenapa Allah tidak men
PILIH KASIH 8. Ke rumah Emak! (Bagian A) Sudah satu minggu berlalu semenjak kejadian cangkir teh yang aku hantamkan ke meja dan berakhir dengan perginya Mbak lisa dan juga Mas Aji dari rumahku. Kini aku akhirnya bisa menikmati hidup tenangku tanpa gangguan mertua julid dan juga ipar rese. Aman, tentram, dan juga bahagia. Ya Allah, nikmat mana lagi yang aku dustakan? Ibu juga tidak merecoki hidupku lagi, dia bahkan tidak pernah datang lagi ke rumah ini. Padahal biasanya ada saja yang disuruhnya pada Mas Abi, yang inilah, yang itulah, tapi kali ini aman! Suamiku bisa istirahat sepulang bekerja dan aku juga bisa mengistirahatkan telinga juga hatiku dari ucapan-ucapan ketusnya. Oh, Ibu. Andai saja kau selalu seperti ini, maka aku akan sangat beruntung! Batinku berteriak senang di dalam hati, sambil bersenandung kecil aku mengupas bawang dan juga memetik cabai. Aku mau buat gulai ayam kampung, kebetulan Mas Abi dapat rezeki lebih karena dia membantu tuan rumah mengangkat batangan bambu
9. Ke Rumah Emak (Bagian B)Melihat dia yang pergi menjauh, aku langsung kembali ke dapur dan menuangkan santan ke kuali, sebentar lagi Mas Abi akan pulang dan kami akan makan bersama. Segera aku hidangkan nasi, dan juga sambal di atas meja kecil yang dibuat Mas Abi untuk tempat rice cooker. Setelah semuanya siap, aku ikut menghidangkan gulai ayam kampung yang baru saja aku masak ke atas meja. Sambil menunggu Mas Abi, aku memainkan ponsel dan saat membuka aplikasi Whatsapp aku menemukan ada pesan dari adikku.[Mbak, disuruh Emak pulang!] Katanya to the point.Benar-benar tipikal adikku yang sama sekali sulit berbasa-basi dan maunya tembak langsung kalau ngomong, adikku ini sudah menikah juga dan ikut dengan suami dan mertuanya. Namun adikku lebih beruntung, suami dan mertuanya amat menyayanginya dan hidupnya tidak pernah ada masalah yang berarti.“Kamu di rumah Emak?” balasku ingin tahu, kebetulan dia masih online.[Iya, ke sinilah! Kebetulan si Aina pulang!] Tulisnya di ujung sana.