Indah masih tergulai lemah di atas bedpasian. Kedua matanya terpejam sedari tadi. Prapto masih terjaga menunggui istrinya, meskipun sesekali rasa kantuk datang menyerang.
"Selamat malam, Bapak!" ucap seorang wanita berseragam putih melemparkan senyum pada Prapto yang tersadar.
Prapto mengusap kedua matanya yang terasa lengket untuk beberapa saat.
"Iya, Dok!" jawab Prapto kemudian. Menunggu Dokter memeriksa keadaan Indah.
"Bagaimana dengan keadaan istri saya, Dok?" tanya Prapto.
"Menurut hasil pemeriksaan, istri bapak tidak hamil. Bahkan kandungan istri Bapak masih norma tidak ada bekas janin sama sekali dan pendarahan yang terjadi infeksi yang terjadi pada kandungannya," tutur Suster pada Prapto yang mengeryitkan dahi menatap bingung.
"Tapi, bagaimana bisa Dok? Beberapa waktu yang lalu istri saya jelas-jelas hamil Dokter, dan sekarang Dokter mengatakan bahwa istri saya tidak pernah hamil," debat Prapto.
"Tapi begitulah hasil pemeriksaan kami, Pak!" sahut Dokter wanita itu pada Prapto.
"Baiklah, nanti saya akan memberikan resep untuk Bapak tebus di apotik," imbuhnya.
"I-iya, Dok!" jawab Prapto dengan nada terbata. Wajahnya terlihat sedang berpikir.
Ini bukanlah pertama kalinya Indah dan Prapto kehilangan janinnya. Sembilan tahun menikah dan mereka sangat mendambakan keturunan. Namun setiap kali Indah hamil, pasti akan berujung dengan kejadian misterius seperti ini. Semua cara sudah dilakukan oleh Prapto dan Indah. Mulai dari cara medis hingga spritual. Wanita yang pernah mengidap kista itu kembali harus dirundung kesedihan.
****
Indah terkejut, kini dirinya berada di lereng bukit gunung Semeru. Ia melihat Lastri, ibunya bertelanjang dada tanpa satu helai benang pun berjalan masuk ke dalam hutan, menyusuri pepohonan tinggi besar yang memenuhi hutan. Indah masih terus mengikuti Lastri dari arah kejauhan. Suara binatang liar terdengar begitu jelas dan mencekam di kegelapan malam. Keringat dingin bercucuran dari tubuh Indah bersama rasa takut yang bergejolak. Indah melangkahkan kakinya begitu pelan agar tidak menimbulkan suara yang membuat Lastri mengetahui bahwa Indah sedang mengikutinya.
Lastri menghentikan langkahnya di depan sebuah pohon beringin besar. Wanita tanpa busana itu duduk di atas akar beringin besar yang menjulang di atas permukaan tanah. Terdapat sebuah mulut gua yang terletak di samping pohon beringin.
"Sendiko dawuh, Kakang! (Aku memenuhi panggilanmu, Mas!)" ucap Lastri menelangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Suara tawa menggelegar mengucang seluruh penuhi hutan. Begitu juga dengan Indah yang bersembunyi dari balik pohon yang terletak tidak jauh dari tempat Lastri berada.
Indah hampir saja terjatuh karena suara tawa keras itu. Kedua tangannya memegang erat pohon besar yang berada di hadapannya. Kedua matanya terpejam, ketakutan.
Sosok lelaki bertubuh besar dengan rambut gimbal keluar dari dalam gua. Tubuhnya berwarna hitam pekat dengan wajah yang menyeramkan. Terdapat dua buah taring besar di setiap sudut bibirnya. Setiap hentakan kakinya mampu menggetarkan setiap nyawa yang memijakan kaki di bumi.
Nyala api terbang mengantarkannya pada Lastri. Sekejap mata, makhluk menyeramkan itu berubah menjadi lelaki yang gagah dan perkasa. Berkulit putih dengan bulu dada yang lebat. Membuat siapa saja yang melihatnya pasti akan terpesona.
Senyuman terbit dari kedua sudut bibir Lastri menyambut kedatangan lelaki gagah wujud jelmaan genderuwo yang datang menghampirinya.
"Astaghfirullahaladzim!" lirih Indah membungkam mulutnya yang mengaga.
Indah menelan salivanya beberapa kali. Wanita itu bergidik ngeri melihat apa yang sedang Lastri lakukan dengan makhluk aneh itu. Satu tangannya mengusap keringat yang membasahi pelipisnya dengan wajah ketakuatan. Sorot mata Indah berfokus pada Lastri dan lelaki yang kembali merubah wujudnya menjadi genderuwo di mata Indah.
Lastri nampak asyik bersenda gurau dengan lelaki berbulu lebat yang ia temui. Ia tidak segan bermanja pada lelaki itu. Hingga akhirnya pertemuan itu berujung pada hubungan suami istri yang mereka lakukan di tengah hutan belantara.
Indah semakin ketakutan melihat apa yang sedang ibunya lakukan. Wanita itu tidak menyangka jika ibunya akan berbuat terlalu jauh dengan makhluk yang hampir menyerupai genderuwo itu.
Semakin lama hubungan yang berlangsung antara Lastri dan genderuwo itu semakin panas. Seolah lelaki berbulu lebat itu tidak memberikan ampun pada Lastri yang kesakitan.
"Ibu!" Indah terisak, segala rasa berkecamuk di dalam dadanya.
Tiba-tiba sesuatu ada yang berjalan pada kaki indah, hendak merayap naik ke atas tubuh indah. Dengan jantung berdegup kencang, Indah menundukkan wajahnya melihat pada sesuatu yang merayap pada kakinya.
"A ...!" Indah berteriak sekeras mungkin. Menghempaskan seekor ular yang berjalan pada kakinya.
Genderuwo yang sedang menikmati gelora birahi pun terkejut. Sorot matanya tertuju pada pohon besar tempat Indah bersembunyi. Namun tidak dengan Lastri, wanita itu masih mengeliatkan tubuhnya seolah masih sedang bercinta dengan kekasihnya.
"Dasar makhluk sialan!" sentak Genderuwo itu murka. Matanya merah menyala mencari keberadaan Indah yang sudah menganggu kenikmatannya.
Mata Indah melihat ke arah Genderuwo yang juga sedang melihat ke arahnya dengan tatapan marah. Seketika Indah berlari tungang lalang, menembus ranting dan semak belukar. Wanita yang dilanda ketakutan itu tidak peduli dengan apa yang berada di depannya. Di dalam pikirannya saat ini adalah menyelamatkan diri atau mati.
Suara tawa menggelegar mengaung di atas langit hutan. Indah tidak berani menoleh sedikitpun ke balik punggungnya. Seberkas nyala api terus mengejarnya diikuti tawa yang sama saat kemunculan hantu lelaki berbulu hitam dari dalam gua.
"Mau kemana kamu anak manis? Haha ...!" Suara itu menderu di seluruh penjuru hutan. Namun Indah sama sekali tidak dapat melihat wujudnya.
"Allah ... Allah!" batin Indah berusaha untuk mengingat sang maha kuasa.
"Tolong!" teriak indah sekeras mungkin.
"Dek, Dek indah! Bangun Dek, bangun!"
Indah mengerjap bangun dari tidurnya. Nafasnya memburu dengan tubuh yang penuh keringat. Rasa takut seperti memenuhi dada. Indah merasakan sakit pada pipinya, karena tepukan tangan Prapto yang membangunkannya.
"Minum dulu, Dek!" Prapto bergegas mengambilkan segelas air putih yang berada di atas nakas pada ujung ranjang.
Gleg! Gleg! Gleg!
Indah meneguk segelas air putih itu hingga tandas. Lalu menyodorkan gelas kosong pada suaminya yang terlihat panik.
"Ada apa, Dek? Kamu mimpi apa?" tanya Prapto.
Indah tidak bergeming. Ia mengatur nafasnya yang masih tidak beraturan.
"Kamu mimpi apa sih, Dek?" tanya Prapto lagi, menjatuhkan tatapan lekat pada Indah yang masih mengatur nafasnya.
"Mimpi Ibu, Mas!" jawab Indah dengan wajah ketakuatan.
"Ada apa dengan Ibu, Dek?" selidik Prapto penasaran.
"Ibu, itu Mas!" Indah menahan ucapannya. Wajahnya terlihat berpikir, ragu untuk menceritakan pada suaminya.
Prapto menghela nafas panjang. "Makanya Dek, kalau tidur jangan lupa baca do'a biar nggak mimpi buruk!" tutur Prapro.
"Ya sudah, tidur lagi yuk! Mas, masih ngantuk!" Prapto menepuk bantal Indah setelah ia membalikan bantal itu.
"Iya Mas!" Indah membaringkan tubuhnya memunggungi Prapto. Sementara Prapto memeluk tubuh Indah dari belakang seraya mengelus ujung rambut Indah.
"Sudah ngak usah dipikirin. Jangan lupa berdoa ya!" bisik Prapto di balas anggukan lembut oleh Indah.
Indah masih terjaga, mimpi yang baru saja dialaminya seperti sebuah kenyataan.
"Apakah arti mimpi itu!" pikir Indah.
*****
Bersambung ..."Mas, sudah di cek belum tadi kelapa yang ada di truk Adin?" ucap Lastri pada salah satu anak buahnya yang berada di dalam gudang kelapa."Sudah Bu! Tadi ada10000butir sudah berangkat kirim ke Jawa tengah," sahut karyawan itu kepada Lastri."Jangan lupa, pastikan semua barang sampai pada konsumen tepat waktu agar kwalitasnya masih bagus." Lastri menyodorkan tumpukan kertas kepada Parjo, asisten yang mengecek semua kelapa yang masuk dan keluar dari dalam gudang Lastri."Siap Bos!" sahut Parjo.Siapa yang tidak mengenal Lastri, wanita pekerja keras yang gigih dan tidak gampang menyerah. Dulu, Lastri hanyalah seorang penjual arang batok kelapa. Tapi, kini ia sudah menjadi bos kelapa terbesar yang memasok kebutuhan kelapa di berbagai daerah di seluruh pulau Jawa, bahkan terkadang sampai ke luar negeri . Banyak lahan para penduduk Ranupani yang dibeli oleh Lastri untuk dijadikan kebun kelapa milikny
Argh!Indah mengerang memperkuat cengkramannya pada leher Prapto."Le-lepaskan, Dek!" lirih Prapto terbata. Nafasnya mulai tersengal dan hampir putus. Perlahan wajah Prapto terlihat semakin pucat.Bough!Indah melempar tubuh Prapto kesembarang tempat. Prapto terpelanting membentur tembok di sebelah kanan ranjangnya.Prapto meringis kesakitan. Dipegangnya pinggang dan leher bekas cekikan Indah yang serasa remuk. Prapto tidak habis pikir, setan apa yang kini sedang merasuki istrinya.Mulut Prapto berkomat Kamit. Perlahan ia bangkit dengan nafas tersengal.Wus ... Wus ... Wus ...Tubuh Prapto tiba-tiba terangkat ke udara. Saat Indah mengerakan kedua telapak tangannya. Wanita itu seperti mengendalikan tubuh Prapto dengan kedua tangannya."Tolong! Tolong!" Teriak Prapto ketakutan. Ia berusaha melambai-lambaikan tangannya agar bisa tu
Suara gamelan itu masih terdengar sepanjang perjalanan. Abah terus memacu mobil jeeb tua berwarna biru miliknya menebus hutan pinus yang berjajar rapi di sepanjang jalan. Semakin laju mobil itu dipacu, seolah semakin mendekati arah suara musik tradisional itu. Tak hentinya bibir berdzikir mengingat Allah. Sepertinya ia tahu, suara gamelan yang ia dengar adalah sebuah pertanda buruk.Netra Abah menatap arah jalanan yang berada di depan kaca mobil. Meskipun kini kaca mobil itu dipenuhi dengan butiran gerimis air hujan yang mulai mengguyur. Wiper pada mobil jeeb tua itu berlenggang kekanan kekiri untuk menghapus jejak hujan yang semakin deras. Sejak tadi sore Ustadz Zul meminta pertolongan kepada Abah untuk datang ke kediaman Indah. Karena jarak yang ditempuh ke rumah Indah lumayan jauh, kemungkinan Abah akan tiba di sana tangah malam.Bibir Abah tidak berhenti terus mengucap takbir di sepanjan
Tejo masih berdiri di depan halaman rumah Indah sejak Indah menutup pintu rumahnya. Wanita dengan wajah pucat itu masih sempat mengantarkan Tejo berpamitan hingga ke ambang pintu."Hati-hati ya Pak De! Terimakasih sudah datang untuk menjengukku!" tutur Indah saat mengantarkan Tejo berpamitan.Sesekali lelaki yang memiliki kumis tebal itu menoleh ke kanan, ke kiri serta ke sekeliling rumah Indah. Setelah memastikan tidak ada siapapun, Tejo segera menaburkan sesuatu benda yang ia ambil dari dalam saku celananya."Mampus kamu, Sulastri! Sebentar lagi akan tamat riwayatmu!" guman Tejo dengan tersenyum kemenangan. Lelaki itu menyebar bujuk garam di sepanjang halaman rumah Indah dengan mulut berkomat-kamit melafalkan mantra."Pak De Tejo!"Tejo tergeragap. Jantungnya seperti lepas' dari tempurungnya saat seseorang menepuk lembut bahu lelaki berkumis tebal itu. Hampir saja ulahnya ketahuan. Untun
Prapto membuka kedua matanya dengan perlahan. Satu tangannya memegang pelipis yang terasa nyeri akibat benturan semalam. Sinar surya yang masuk melalui sela-sela jendela semakin panas menyentuh pori-pori kulit Prapto."Indah!" Benak Prapto teringat dengan istrinya. Prapto bergegas bangkit dan berlari menuju kamar.Cekriet!Prapto mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari keberadaan Indah. Hanya ada selimut tebal yang gumul di atas rajang."Indah buka ya?" pikir Prapto ragu dengan rasa penasaran. Perlahan Prapto pun mendekati ranjang. Jantungnya berdegup kencang saat tanganya bergetar hendak menarik selimut yang bergumul di atas ranjang."Alhamdulillah!" Prapto mengelus dada, saat melihat Indah yang berada di balik selimut itu."Ya Allah, Dek!" Prapto menjatuhkan pelukan pada tubuh Indah yang masih terlelap membuat Indah mengeliat dan tersadar.
Darah kental mengenang di sekitar kepala Seno. Bola mata melotot menahan dahsyatnya maut menjemput masih tersisa. Lidah Seno menjulur hingga bagian dagu, tubuhnya menegang dan kejang berkali kali.Indah meraung raung melihat jasad bapaknya yang kini ada di hadapannya. Tubuh yang bergetar ditahan oleh Prapto agar tidak mendekati jasad Seno yang baru saja menghembuskan nafas terakhir. Sementara Lastri, masih berdiri menyilangkan tangannya di depan dada tanpa rasa kehilangan sedikit pun.Seluruh karyawan Lastri berkerumun di halaman belakang rumah minimalisnya. Untuk menyaksikan kematian suami majikannya."Bapak! Huhuhu ...." Indah terus meraung, memanggil nama bapaknya berkali kali."Kenapa bisa begini? Ya ampun Bapak, huhuhu ... !" Kini giliran Lastri yang menangis histeris melihat jasad suaminya. Setelah beberapa saat ia diam terpaku.***Jenazah Seno sudah berada di ruangan tam
Prapto masih memandang langit-langit kamar. Ia sudah menganti beberapa kali posisi tidurnya. Namun, tepat saja rasa kantuk tak kunjung datang."Duh, bagaimana ini, aku nggak bisa tidur!" kesal Prapto pada dirinya sendiri."Wik ... wik ... wik ... bakaran!" Suara burung itu terdengar begitu nyaring di heningnya malam. Burung yang menurut kepercayaan orang Jawa adalah burung pembawa kematian."Duh, ada apalagi ini!" Siapa yang mau mati!" guman Prapto takut. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya."Jangan! Jangan ambil anakku! Kembalikan, kembalikan dia padaku!" Indah mengigau dengan wajah ketakutan."Astaghfirullahaladzim!" Prapto megusap dada terkejut.Propto menarik selimut yang menutupi wajahnya. Lalu mengoyangkan tubuh Indah yang berbaring di sampingnya."Dek! Dek Indah! Bangun!" ucap Prapto serays mengoyangkan tubuh Indah.
Srek! Srek! Srek!Terdengar seseorang sedang berjalan di luar balkon kamar. Terlihat bayangan hitam terseok Seok dari jendela kamar"Siapa itu?" Teriak Lastri, netranya terus melotot ke arah jendela.Dadanya berdegup kencang, hampir saja jantung yang memompa darah itu berhenti. Bergegas Lastri menuruni ranjang dan menyibak tirai yang menutupi kaca jendela kamarnya."Meong ...!"Seekor kucing berwarna hitam melompat dari pembatas pagar rumah berlantai dua rumahnya.Lastri bernafas lega, segala hal buruk yang ada di benaknya hanyalah karena rasa ketakutannya.Lastri kembali menyandarkan tubuhnya pada dipan ranjang besar dimana setiap sisinya ada ukiran manik manik yang menyerupai bunga mawar."Tadi itu Pak Seno sempat teriak teriak Katanya ada ular di kamarnya. Terus dia lari keluar balkon, hingga akhirnya tubuhnya terpelanting keluar
Langkah Zaki seketika terhenti, saat lirih suara Indah memanggil namanya. Begitu juga dengan Angga dan Dimas yang nampak terkejut melihat tatapan Indah hampir sama dengan Sekar."Dek, kamu manggil, Mas Zaki?" Prapto yang hendak beranjak kembali terduduk menatap serius pada Indah."Zaki!" lirih Indah lagi.Perlahan Zaki menyeret langkah kakinya berat menghampiri Indah. Tatapannya menerawang pada wanita yang duduk di hadapannya."Hati-hati di jalan! Jaga teman-teman!" lirih Indah dengan suara berat, seperti sedang menahan tangis.Tubuh Zaki gemetaran, ia merasa jika seseorang yang berada dalam diri wanita gila itu bukanlah Indah lagi."Siapa kamu?" lirih Zaki.Indah yang sempat menjatuhkan tatapan pada Zaki, kini kembali terdiam dengan tatapan kosong. Sorot mata itu seketika berubah."Jawab siapa kamu?" Zaki menai
Zaki menerobos tubuh Angga dan Dimas. Mendekat pada wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum, netranya yang jeli begitu juga dengan suaranya."Hanum! Apakah itu kamu?" lirih Zaki menyentuh pada kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh atletis itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan kerinduan dan kesedihannya pada kekasihnya yang sudah meninggal."Dek, siapa?"Deg!Wajah Zaki seketika berubah pias saat mendengar suara lelaki dari dalam rumah. Sepertinya panggilan itu di tunjukkan pada wanita di hadapan Zaki. Dimas menyambar tangan Zaki dan menarik tubuh lelaki itu sedikit menjauh dari wanita yang berada di dalam pintu. Wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum itu nampak tercengang."Maaf, mbak!" ucap Dimas menyungingkan senyuman."Siapa, dek?" Lelaki berkulit sawo matang itu muncul dari dalam rumah. "Oh, kalian!" Semburat
Zaki tergeragap, menoleh pada pria berseragam petugas kebersihan yang berdiri di belakang punggungnya menenteng ember dan alat pel di tangannya."Itu Mas, ehm ... Tadi saya mendengar ada orang menangis di dalam kamar ini!" ucap Zaki gugup."Menangis?" Lelaki yang mengenakan seragam kebersihan itu mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan heran pada Zaki."Mas, yakin ngak salah dengar kan?" cetus petugas kebersihan nampak ragu dengan ucapan Zaki."Iya, Mas, benar, saya mendengar orang menangis dari dalam, makanya saya ingin melihatnya," ucap Zaki penuh keyakinan.Wajah petugas kebersihan itu seketika berubah menjadi takut. "Mas, jangan nakut-nakutin saya deh!" protesnya."Tidak, Mas, saya tidak tahu nakutin Mas," seloroh Zaki. "Tadi saya benar-benar mendengar orang sedang menangis dari dalam situ," imbuhnya."Tapi Mas, di dalam kamar itu suda
Dimas dan Zaki mendengarkan cerita Angga dengan seksama. Mereka nampak tenggelam dengan cerita yang Angga sampaikan."Lalu siapa wanita buruk rupa itu?" celetuk Dimas dengan wajah penasaran."Dia adalah ibu Yuda,"jawab Angga melirik pada Zaki."Apa?" Lagi-lagi Dimas dan Zaki terhenyak serentak. Mereka menggeleng bersama."Iya, wanita yang aku lihat saat aku berusia tujuh tahun itu adalah ibu Yuda," tegas Angga dengan sorot mata menerawang jauh."Jadi ibu kamu adalah istri nomor ...?" Dimas kelepasan, satu tangannya segera membungkam mulutnya menghentikan ucapannya. Wajahnya meringis saat Angga menoleh padanya."Ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Jadi aku dan Yuda miliki ayah yang sama dengan ibu yang berbeda. Semenjak itu aku tinggal bersama Yuda, tapi entah mengapa Ayah lebih perhatian padaku, semua ayah lakukan untuk aku. Seolah Yuda dan ibunya tidak
Wajah Yuda yang meradang tidak tinggal diam. Hati yang sakit dengan dendam yang menguasai membuat pemuda itu menjadi lepas kendali. Yuda melompati meja, menjatuhkan tinjauan tepat pada hidung Angga.Bruk!Tubuh Angga hampir terjatuh, beruntungnya ada Zaki yang menopang tubuh pemuda tampan itu. Meskipun hidungnya tetap saja terasa sakit sekali."Hay ... Apa yang kamu lakukan!" sentak seorang lelaki.Petugas penjaga segera menghampiri Yuda. Ia menarik tubuh lelaki itu menjauh dari Angga.Satu tangan Angga memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar. Wajahnya meringis menahan sakit. Sementara Yuda, netranya memicing pada Angga dengan dada bergerak naik turun."Angga, kamu nggak apa-apa, kan?" sergah Zaki panik.Beberapa saat Angga tidak menjawab. Hidungnya terasa sangat pedih sekali. "Aku baik-baik saja!" lirih Angga menatap pada telap
"Zak, ada apa?" seloroh Dimas membuat Zaki tergeragap."Tidak!" balas Zaki mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara yang tidak asing itu masih terus mendengung dalam indera pendengarannya."Kamu mencari apa, Zaki?" ucap Dimas menatap aneh pada sikap Zaki yang ada di belakang punggungnya.Zaki nampak gelisah. "Tidak, aku tidak sedang mencari apapun. Mungkin aku tadi hanya salah dengar saja!" imbuh Zaki menarik sebelah sudut bibirnya. "Ayo masuk!" ajak Zaki melingkarkan tangannya pada bahu Dimas masuk ke dalam ruangan Angga.____Jangan pernah menanyakan sinar matahari di lereng Semeru. Sekalipun ia menampakkan cahayanya, ia tidak akan pernah membuatmu terasa panas. Justru yang ada ia akan memberi kehangatan dalam dinginnya udara yang membekukan. Semejak semalam, gerimis masih turun seperti biasa, soalnya hujan tidak memiliki jeda di daerah pegunungan itu. Beberapa kali Dimas berjalan monda
Zaki beranjak bangun karena terkejut, sesaat lelaki yang mengenakan topeng itupun juga menatap ke arahnya. Dengan gerakan cepat lelaki yang mengenakan topeng itu berhambur lari menuju ke arah pintu."Angga!" teriak Dimas terkejut melihat Angga tengah sekarat bersimbah dengan darah.Zaki bingung, hendak menyelamatkan Angga atau menangkap lelaki bertopeng itu. Zaki memutuskan untuk mengejar lelaki yang mengenakan topeng itu hingga menuju pintu keluar rumah Pak Samsul.Lengan kekar Zaki menyambar jaket kupluk yang lelaki itu kenakan. Tubuh lelaki terpelanting dan terjatuh."Ough!" Suara lelaki yang mengenakan topeng itu mengaduh kesakitan, karena benturan yang cukup keras.Zaki segera mengambil kesempatan untuk menangkap tubuh lelaki itu. Sayangnya lelaki itu menendang tubuh Zaki hingga terjatuh. Saat Zaki hendak melakukan penyerang padanya. Tubuh Zaki tersungkur dengan wajah mering
"Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n
Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n