Suara gamelan itu masih terdengar sepanjang perjalanan. Abah terus memacu mobil jeeb tua berwarna biru miliknya menebus hutan pinus yang berjajar rapi di sepanjang jalan. Semakin laju mobil itu dipacu, seolah semakin mendekati arah suara musik tradisional itu. Tak hentinya bibir berdzikir mengingat Allah. Sepertinya ia tahu, suara gamelan yang ia dengar adalah sebuah pertanda buruk.
Netra Abah menatap arah jalanan yang berada di depan kaca mobil. Meskipun kini kaca mobil itu dipenuhi dengan butiran gerimis air hujan yang mulai mengguyur. Wiper pada mobil jeeb tua itu berlenggang kekanan kekiri untuk menghapus jejak hujan yang semakin deras.
Sejak tadi sore Ustadz Zul meminta pertolongan kepada Abah untuk datang ke kediaman Indah. Karena jarak yang ditempuh ke rumah Indah lumayan jauh, kemungkinan Abah akan tiba di sana tangah malam.
Bibir Abah tidak berhenti terus mengucap takbir di sepanjang perjalanan. Terlihat seseorang sedang duduk di bangku belakang mobil Abah. Padahal sedari tadi, Abah menaiki mobil itu sendirian. Lelaki yang memiliki banyak kerutan pada wajahnya itu terlihat tidak bergeming. Meskipun indra penciumannya menyesap aroma melati yang menguar di dalam mobil. Tapi Abah memilih untuk tenang ses
"Jangan pergi!" Suara berat itu terdengar masuk dalam indra pendengaran Abah. Seoalah dekat dan berbisik.
"Bismillahirrahmanirrahim! Allahuakbar, allahuakbar, allahuakbar!" lirih Abah pelan. Netranya masih memperhatikan wanita dengan wajah rusak yang tengah duduk pada bangku belakang mobil dari kaca spion di atas kemudi.
"Kih ... Kih ... Kih ... Kih!" Suara itu melengking mengema di seluruh penjuru hutan pinus bersama menghilangnya sosok itu.
"Alhamdulillah!" Abah mengusap wajahnya dengan wajah lega.
Kembali Abah memfokuskan netranya pada jalanan lincin yang berada di depan mobil. Hujan deras yang baru menguyur membuat Abah harus berhati-hati. Suara gamelan yang mengiringi perjalanan Abah pun juga sudah menghilang. Yang terdengar kini hanya suara deru mesin mobil tua Abah dan wiper yang masih bergerak menyapu sisa air hujan.
Brug!
"Astaghfirullahaladzim!" Seketika Abah menginjak rem. Saat mobil yang ia kendarai menabrak sesuatu.
Abah mengeluarkan sedikit kepalanya dari samping kaca yang terbuka. Ia tidak melihat apapun. Kemudian Abah melihat pada kaca depan mobil, ia melihat seekor kucing berlumuran darah di atas kap mobilnya.
"Astaghfirullahaladzim! Kucing mati!" sergah Abah terkejut. "Bagaimana bisa bangkai kucing itu ada di situ!" imbuh Abah dengan wajah berpikir.
"Ya Allah, sungguh engkaulah sebaik-baiknya pelindung!" lirih Abah membaca doa selamat sebelum ia turun dari dalam mobil.
Abah menengadahkan kedua tangannya ke langit. Sekedar untuk memastikan bahwa hujan memang benar-benar sudah reda. Abah memutar tubuh mendekati bangkai kucing yang berada di atas kap mobilnya. Aroma amis menyeruak ke dalam indra pernapasan Abah.
"Jika mobilku yang menabrak kucing ini, harusnya kucing ini ada di depan mobilku bukan di atas kap mobil," pikir Abah melihat pada bangkai kucing
"Jangan pergi!" Sekilas bayangan yang berbisik membuat gerakan tangan Abah yang hendak meraih bangkai kucing itupun terhenti.
"Siapa itu?" Lelaki tua itu membalikan tubuhnya. Lalu mengedarkan pandangannya di kegelapan hutan.
Tidak ada siapapun. Hanya kegelapan malam dan suara lolongan anjing yang sepertinya sedang menertawakan Abah. Abah ketakutan, dadanya bergemuruh dengan keringat yang membahas tubuh. Tidak pernah lelaki tua itu mengalami ketakutan seperti ini.
Dengan cepat Abah segera menguburkan bangkai kucing yang berada di atas kap mobilnya. Kemudian bergegas masuk ke dalam mobil. Firasat buruk kian bergelayut dalam benaknya.
"Astaghfirullahaladzim!" desis Abah saat aroma bangkai yang menyeruak dari dalam mobilnya.
"BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, ALLOOHUMMA INNAA NAS-ALUKA SALAAMATAN FID DIINI WA 'AAFIYATAN FIL JASADI WA ZIYAADATAN FIL 'ILMI WA BAROKATAN FIR RIZQI WA TAUBATAN QOBLAL MAUTI WA ROHMATAN 'INDAL MAUTI WA MAGHFIROTAN BA'DAL MAUTI."
Abah membaca doa selamat dengan bibir bergetar. Tubuhnya bergetar hebat dengan rasa ketakutan. Lisan Abah tidak berhenti sedikitpun untuk membaca shalawat dan dzikir.
Aroma bangkai itu kini berubah menjadi aroma singkong bakar, setelah Abah melajukan kemudinya cukup jauh dari tempat ia menguburkan jenazah kucing tersebut.
"Aroma singkong bakar!" batin Abah. Ia teringat tentang sebuah cerita penduduk di kampung Ranu Peni. Jika ada seorang yang mencium aroma singkong bakar itu pertanda jika ada genderuwo yang sedang mengikuti kita.
Abah semakin mempercepat laju kemudinya. Melewati jalan berliku dan licin. Ia berharap mobil yang dikendarainya akan segera sampai di pemukiman rumah penduduk.
"Astaghfirullahaladzim! Astaghfirullahaladzim! Subhanallah, subhanallah, subhanallah!" Mulut Abah terus berkomat Kamit. Aroma singkong bakar itu seperti memenuhi ruang di dalam mobilnya.
Karena ketakutan lelaki tua itu memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Namun anehnya, mobil itu seperti terus berputar-putar di jalan yang sama.
"Jangan pergi! Kih ... Kih ... Kih ... Kih!"
Abah terlojak saat mendengar suara tawa menyeramkan pada bangku di sampingnya. Seketika Abah menoleh ke arah asal suara. Sosok wanita tanpa wajah berada tepat di samping Abah dengan rambut yang terurai menutupi sebagian wajahnya.
"Aaaaa, Inalillahi wa innailaihi rojiun!"
Mobil yang Abah kendarai menabrak pembatas jalan. Mobil berwarna biru itu terperosok masuk ke dalam jurang.
Tet!!!
Suara klakson mobil Abah terus menggema diikuti tawa menyeramkan dan lolongan anjing yang saling bersahutan dengan riuh ramai gamelan yang sedari tadi mengiringi perjalanan Abah.
*****
Ustadz Zul masih berdiri menatap jenazah Abah yang tidak lain adalah gurunya. Lelaki yang sudah berumur itu kini telah terbujur kaku di hadapannya. Tidak ada satu pun makhluk di dunia ini yang mampu menolak kematian. Kita hanya tinggal menunggu dengan cara apa kita akan di ambil.
Sesekali Ustadz Zul menyeka air mata yang menggenangi sudut matanya. Tergambar jelas rasa kehilangan dari wajah Ustadz Zul.
Sementara Prapto masih berdiri di samping Ustadz Zul. Ia terus menundukkan wajahnya tidak berani menatap jenazah Abah, sekalipun kini lelaki tua itu sudah tidak bernyawa.
Diantara para pelayat yang melantunkan ayat-ayat suci Alquran, terlihat Istri Abah menangis tergugu bersimpuh di samping jenazah suaminya. Wanita bertubuh tambun itu terlihat sangat terpukul. Tak banyak orang menyangka jika Abah akan mati dengan cara seperti itu, begitu juga dengan wanita paruh baya itu.
Pemakaman telah usai, Ustadz Zul berjalan menuju motor matic yang terparkir di bawah pohon cemara, diikuti Prapro di belakang punggungnya.
"Astaghfirullahaladzim!" Ustadz Zul tercekat melihat sebuah tulisan yang sengaja' seseorang tempelkan pada motornya.
[Jangan ganggu kami atau kamu akan mati!]
Ustadz Zul melihat ke sekeliling. Tidak ada siapapun, bahkan para takziah sudah pulang lebih dulu. Hanya tinggal Ustadz Zul dan Prapto seorang di area pemakaman tersebut.
"Ada apa, Ust?" tanya Prapto yang melihat wajah Ustadz Zul.
"Astaghfirullahaladzim! Siapa yang melakukan ini, Ust?" Prapto tercekat melihat surat ancaman yang berada di motor Ustadz Zul.
*********
"Bapak ini seperti tidak tau Mas Tejo saja. Sekalipun dia adalah saudara kandungku, tapi dia itu tidak suka jika melihat aku sukses, Pak!" beo Lastri yang sedang sibuk mengaduk kopi yang berada di atas meja.
"Astaghfirullahaladzim Bu! Istighfar, ibu tidak boleh berprasangka buruk sama Mas Tejo. Siapa tau Indah itu memang kesurupan," sahut Seno.
"Kesurupan kok nggak udah-udah!" ucap Lastri ketus. Wanita itu meletakkan kasar secangkir kopi di depan Seno.
"Ini itu sudah jelas-jelas ulah santet Mas Tejo. Karena apa Pak, karena usahaku lebih maju daripada usahanya. Jika tidak begitu untuk apa dia ambil kelapa dari luar pulau Jawa, kalau tidak biar kelapaku tidak laku. Dasar serakah!" rutuk Lastri yang menjatuhkan tubuhnya pada bangku yang berada di depan Seno. Wajah Lastri terlihat begitu kesal setiap kali membahas Kakak kandungnya, Tejo.
"Sudahlah Bu! Rejeki itu sudah ada yang mengatur. Tugas manusia hanya berusaha dan berdoa, untuk hasilnya biar Allah yang menentukan," jawab Seno seraya menikmati kopi hitam buatan Lastri.
"Halah, Bapak itu! Cuma bisa ngomong saja. Kalau Ibu tidak bekerja keras pasti hidup kita akan tetap miskin seperti dulu!" gerutu Lastri kesal.
"Sudah Bu, sudah! Mungkin yang terjadi pada Indah adalah ujian, jadi ibu yang tenang ya!" ucap Seno.
Lastri hanya mendengus kasar lalu meninggalkan Seno di mana makan.
***
"Bagaimana kabarmu, Indah?" tanya lelaki bertubuh tinggi besar yang datang berkunjung ke rumah Indah.
"Alhamdulillah, sehat Pak De!" jawab Indah dengan wajah yang masih terlihat pucat.
"Ibumu sudah ke sini?" tanya lelaki itu memperhatikan wajah Indah dengan seksama.
Indah menggeleng lembut, "Belum Pak De!" lirihnya. "Mungkin Ibu sedang sibuk," imbuh Indah.
"Dasar Ibumu itu memang sudah menjadi budak dunia, Indah! Wanita gila!" hardik Tejo dengan wajah kesal.
Indah tidak bergeming. Selamanya Pak De Tejo tidak akan pernah akur dengan Ibunya, Lastri.
****
Bersambung .....
Tejo masih berdiri di depan halaman rumah Indah sejak Indah menutup pintu rumahnya. Wanita dengan wajah pucat itu masih sempat mengantarkan Tejo berpamitan hingga ke ambang pintu."Hati-hati ya Pak De! Terimakasih sudah datang untuk menjengukku!" tutur Indah saat mengantarkan Tejo berpamitan.Sesekali lelaki yang memiliki kumis tebal itu menoleh ke kanan, ke kiri serta ke sekeliling rumah Indah. Setelah memastikan tidak ada siapapun, Tejo segera menaburkan sesuatu benda yang ia ambil dari dalam saku celananya."Mampus kamu, Sulastri! Sebentar lagi akan tamat riwayatmu!" guman Tejo dengan tersenyum kemenangan. Lelaki itu menyebar bujuk garam di sepanjang halaman rumah Indah dengan mulut berkomat-kamit melafalkan mantra."Pak De Tejo!"Tejo tergeragap. Jantungnya seperti lepas' dari tempurungnya saat seseorang menepuk lembut bahu lelaki berkumis tebal itu. Hampir saja ulahnya ketahuan. Untun
Prapto membuka kedua matanya dengan perlahan. Satu tangannya memegang pelipis yang terasa nyeri akibat benturan semalam. Sinar surya yang masuk melalui sela-sela jendela semakin panas menyentuh pori-pori kulit Prapto."Indah!" Benak Prapto teringat dengan istrinya. Prapto bergegas bangkit dan berlari menuju kamar.Cekriet!Prapto mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari keberadaan Indah. Hanya ada selimut tebal yang gumul di atas rajang."Indah buka ya?" pikir Prapto ragu dengan rasa penasaran. Perlahan Prapto pun mendekati ranjang. Jantungnya berdegup kencang saat tanganya bergetar hendak menarik selimut yang bergumul di atas ranjang."Alhamdulillah!" Prapto mengelus dada, saat melihat Indah yang berada di balik selimut itu."Ya Allah, Dek!" Prapto menjatuhkan pelukan pada tubuh Indah yang masih terlelap membuat Indah mengeliat dan tersadar.
Darah kental mengenang di sekitar kepala Seno. Bola mata melotot menahan dahsyatnya maut menjemput masih tersisa. Lidah Seno menjulur hingga bagian dagu, tubuhnya menegang dan kejang berkali kali.Indah meraung raung melihat jasad bapaknya yang kini ada di hadapannya. Tubuh yang bergetar ditahan oleh Prapto agar tidak mendekati jasad Seno yang baru saja menghembuskan nafas terakhir. Sementara Lastri, masih berdiri menyilangkan tangannya di depan dada tanpa rasa kehilangan sedikit pun.Seluruh karyawan Lastri berkerumun di halaman belakang rumah minimalisnya. Untuk menyaksikan kematian suami majikannya."Bapak! Huhuhu ...." Indah terus meraung, memanggil nama bapaknya berkali kali."Kenapa bisa begini? Ya ampun Bapak, huhuhu ... !" Kini giliran Lastri yang menangis histeris melihat jasad suaminya. Setelah beberapa saat ia diam terpaku.***Jenazah Seno sudah berada di ruangan tam
Prapto masih memandang langit-langit kamar. Ia sudah menganti beberapa kali posisi tidurnya. Namun, tepat saja rasa kantuk tak kunjung datang."Duh, bagaimana ini, aku nggak bisa tidur!" kesal Prapto pada dirinya sendiri."Wik ... wik ... wik ... bakaran!" Suara burung itu terdengar begitu nyaring di heningnya malam. Burung yang menurut kepercayaan orang Jawa adalah burung pembawa kematian."Duh, ada apalagi ini!" Siapa yang mau mati!" guman Prapto takut. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya."Jangan! Jangan ambil anakku! Kembalikan, kembalikan dia padaku!" Indah mengigau dengan wajah ketakutan."Astaghfirullahaladzim!" Prapto megusap dada terkejut.Propto menarik selimut yang menutupi wajahnya. Lalu mengoyangkan tubuh Indah yang berbaring di sampingnya."Dek! Dek Indah! Bangun!" ucap Prapto serays mengoyangkan tubuh Indah.
Srek! Srek! Srek!Terdengar seseorang sedang berjalan di luar balkon kamar. Terlihat bayangan hitam terseok Seok dari jendela kamar"Siapa itu?" Teriak Lastri, netranya terus melotot ke arah jendela.Dadanya berdegup kencang, hampir saja jantung yang memompa darah itu berhenti. Bergegas Lastri menuruni ranjang dan menyibak tirai yang menutupi kaca jendela kamarnya."Meong ...!"Seekor kucing berwarna hitam melompat dari pembatas pagar rumah berlantai dua rumahnya.Lastri bernafas lega, segala hal buruk yang ada di benaknya hanyalah karena rasa ketakutannya.Lastri kembali menyandarkan tubuhnya pada dipan ranjang besar dimana setiap sisinya ada ukiran manik manik yang menyerupai bunga mawar."Tadi itu Pak Seno sempat teriak teriak Katanya ada ular di kamarnya. Terus dia lari keluar balkon, hingga akhirnya tubuhnya terpelanting keluar
Srek ... Srek ... Srek ...!Suara seseorang yang sedang mengasah benda tajam itu terdengar hingga ke dapur. Terdengar begitu nyaring membuat ngilu di pendengaran."Kamu itu sudah banyak menyusahkan aku. Jadi kamu harus mendapatkan balasannya!" desis Tejo sinis, sorot matanya jatuh pada pisau yang sedang diasah.Wini sedikit bergidik melihat kelakuan suaminya yang nampak dari pintu dapur. Kembali wanita itu mengaduk aduk sayur dengan tangan bergetar karena takut."Siapkan makan, aku lapar!" sergah Tejo ketus. Diletakan golok itu dengan kasar di atas meja makan lalu menjatuhkan tubuhnya pada bangku meja makan.Bergegas Wini mengambil piring kemudian mengisinya dengan nasi putih dari atas bakul. Lalu meletakannya di atas meja makan bersebelahan dengan lauk pauk yang telah Wini siapkan terlebih dahulu.Tejo manyantap makanan yang dihidangkan Wini dengan lahap. Sepe
Kabut Semeru masih menyelimuti desa Ranupeni. Desa asri yang terletak di lereng semeru. Seolah tajamnya sinar surya belum mampu menembus tebalnya kabut yang sedari tadi mengaburkan pandangan. Membuat udara semakin terasa mencacah tulang hingga ngilu.Prapto terus melajukan kedaraan meticnya menembus jalan yang berliku. Sajauh mata memandang hanya pohon pinus dan cemara yang berjajar rapi di sepanjang jalan."Pokoknya aku sudah tidak mau!" desis Prapto membuat kepulan kabut dari suara yang keluar. Lelaki itu terus meraik gas motor maticnya menuju rumah Ustadz Zul yang terletak lumayan jauh jika ditempuh dari rumah Lastri.Matahari mulai menunjukkan keperkasaannya, menghilangkan kabut yang mengaburkan pandangan hingga menjadi tetesan embun yang membasahi tiap pucuk daun teh yang terhapar luas. Wanita wanita dengan bakul di punggungnya dengan lihai memetik daun teh muda kemudain memasukkannya ke dalam bakul yang berada
Damar mengusap netranya dengan kedua tangan berkaki-kali. Berharap apa yang dilihatnya kali ini hanyalah ilusi. Seorang wanita cantik yang tidak memiliki talapak kaki itu turun dari kereta kuda yang ada di halaman belakang rumahnya. Wanita yang berdandan layaknya wanita jaman lagenda dulu itu terus berjalan menuju lantai atas rumahnya, mereka melayang-layang di udara. Di sampingnya berdiri beberapa dayang yang memiliki bola mata hitam penuh, dengan wajah pucat pasi. Membuat bulu kudu Damar seketika meremang.Selendang berwarna hijau itu terus berkibar, menyibak betis kakinya yang putih bagaikan pualam. Namun, tanpa telapak kaki. Serombongan makluk aneh itu terbang ke lantai atas rumah megahnya. Kemudian menembus kamar yang terletak bersebelahan dengan kamar Wini."Ya, Allah!" Batin Damar tercekat, ketika melihat dua orang yang berada di belakang kerata kuda. Tangannya terikat, wajahnya terlihat begitu pias. Seluruh tubuhnya terlihat membir
Langkah Zaki seketika terhenti, saat lirih suara Indah memanggil namanya. Begitu juga dengan Angga dan Dimas yang nampak terkejut melihat tatapan Indah hampir sama dengan Sekar."Dek, kamu manggil, Mas Zaki?" Prapto yang hendak beranjak kembali terduduk menatap serius pada Indah."Zaki!" lirih Indah lagi.Perlahan Zaki menyeret langkah kakinya berat menghampiri Indah. Tatapannya menerawang pada wanita yang duduk di hadapannya."Hati-hati di jalan! Jaga teman-teman!" lirih Indah dengan suara berat, seperti sedang menahan tangis.Tubuh Zaki gemetaran, ia merasa jika seseorang yang berada dalam diri wanita gila itu bukanlah Indah lagi."Siapa kamu?" lirih Zaki.Indah yang sempat menjatuhkan tatapan pada Zaki, kini kembali terdiam dengan tatapan kosong. Sorot mata itu seketika berubah."Jawab siapa kamu?" Zaki menai
Zaki menerobos tubuh Angga dan Dimas. Mendekat pada wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum, netranya yang jeli begitu juga dengan suaranya."Hanum! Apakah itu kamu?" lirih Zaki menyentuh pada kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh atletis itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan kerinduan dan kesedihannya pada kekasihnya yang sudah meninggal."Dek, siapa?"Deg!Wajah Zaki seketika berubah pias saat mendengar suara lelaki dari dalam rumah. Sepertinya panggilan itu di tunjukkan pada wanita di hadapan Zaki. Dimas menyambar tangan Zaki dan menarik tubuh lelaki itu sedikit menjauh dari wanita yang berada di dalam pintu. Wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum itu nampak tercengang."Maaf, mbak!" ucap Dimas menyungingkan senyuman."Siapa, dek?" Lelaki berkulit sawo matang itu muncul dari dalam rumah. "Oh, kalian!" Semburat
Zaki tergeragap, menoleh pada pria berseragam petugas kebersihan yang berdiri di belakang punggungnya menenteng ember dan alat pel di tangannya."Itu Mas, ehm ... Tadi saya mendengar ada orang menangis di dalam kamar ini!" ucap Zaki gugup."Menangis?" Lelaki yang mengenakan seragam kebersihan itu mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan heran pada Zaki."Mas, yakin ngak salah dengar kan?" cetus petugas kebersihan nampak ragu dengan ucapan Zaki."Iya, Mas, benar, saya mendengar orang menangis dari dalam, makanya saya ingin melihatnya," ucap Zaki penuh keyakinan.Wajah petugas kebersihan itu seketika berubah menjadi takut. "Mas, jangan nakut-nakutin saya deh!" protesnya."Tidak, Mas, saya tidak tahu nakutin Mas," seloroh Zaki. "Tadi saya benar-benar mendengar orang sedang menangis dari dalam situ," imbuhnya."Tapi Mas, di dalam kamar itu suda
Dimas dan Zaki mendengarkan cerita Angga dengan seksama. Mereka nampak tenggelam dengan cerita yang Angga sampaikan."Lalu siapa wanita buruk rupa itu?" celetuk Dimas dengan wajah penasaran."Dia adalah ibu Yuda,"jawab Angga melirik pada Zaki."Apa?" Lagi-lagi Dimas dan Zaki terhenyak serentak. Mereka menggeleng bersama."Iya, wanita yang aku lihat saat aku berusia tujuh tahun itu adalah ibu Yuda," tegas Angga dengan sorot mata menerawang jauh."Jadi ibu kamu adalah istri nomor ...?" Dimas kelepasan, satu tangannya segera membungkam mulutnya menghentikan ucapannya. Wajahnya meringis saat Angga menoleh padanya."Ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Jadi aku dan Yuda miliki ayah yang sama dengan ibu yang berbeda. Semenjak itu aku tinggal bersama Yuda, tapi entah mengapa Ayah lebih perhatian padaku, semua ayah lakukan untuk aku. Seolah Yuda dan ibunya tidak
Wajah Yuda yang meradang tidak tinggal diam. Hati yang sakit dengan dendam yang menguasai membuat pemuda itu menjadi lepas kendali. Yuda melompati meja, menjatuhkan tinjauan tepat pada hidung Angga.Bruk!Tubuh Angga hampir terjatuh, beruntungnya ada Zaki yang menopang tubuh pemuda tampan itu. Meskipun hidungnya tetap saja terasa sakit sekali."Hay ... Apa yang kamu lakukan!" sentak seorang lelaki.Petugas penjaga segera menghampiri Yuda. Ia menarik tubuh lelaki itu menjauh dari Angga.Satu tangan Angga memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar. Wajahnya meringis menahan sakit. Sementara Yuda, netranya memicing pada Angga dengan dada bergerak naik turun."Angga, kamu nggak apa-apa, kan?" sergah Zaki panik.Beberapa saat Angga tidak menjawab. Hidungnya terasa sangat pedih sekali. "Aku baik-baik saja!" lirih Angga menatap pada telap
"Zak, ada apa?" seloroh Dimas membuat Zaki tergeragap."Tidak!" balas Zaki mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara yang tidak asing itu masih terus mendengung dalam indera pendengarannya."Kamu mencari apa, Zaki?" ucap Dimas menatap aneh pada sikap Zaki yang ada di belakang punggungnya.Zaki nampak gelisah. "Tidak, aku tidak sedang mencari apapun. Mungkin aku tadi hanya salah dengar saja!" imbuh Zaki menarik sebelah sudut bibirnya. "Ayo masuk!" ajak Zaki melingkarkan tangannya pada bahu Dimas masuk ke dalam ruangan Angga.____Jangan pernah menanyakan sinar matahari di lereng Semeru. Sekalipun ia menampakkan cahayanya, ia tidak akan pernah membuatmu terasa panas. Justru yang ada ia akan memberi kehangatan dalam dinginnya udara yang membekukan. Semejak semalam, gerimis masih turun seperti biasa, soalnya hujan tidak memiliki jeda di daerah pegunungan itu. Beberapa kali Dimas berjalan monda
Zaki beranjak bangun karena terkejut, sesaat lelaki yang mengenakan topeng itupun juga menatap ke arahnya. Dengan gerakan cepat lelaki yang mengenakan topeng itu berhambur lari menuju ke arah pintu."Angga!" teriak Dimas terkejut melihat Angga tengah sekarat bersimbah dengan darah.Zaki bingung, hendak menyelamatkan Angga atau menangkap lelaki bertopeng itu. Zaki memutuskan untuk mengejar lelaki yang mengenakan topeng itu hingga menuju pintu keluar rumah Pak Samsul.Lengan kekar Zaki menyambar jaket kupluk yang lelaki itu kenakan. Tubuh lelaki terpelanting dan terjatuh."Ough!" Suara lelaki yang mengenakan topeng itu mengaduh kesakitan, karena benturan yang cukup keras.Zaki segera mengambil kesempatan untuk menangkap tubuh lelaki itu. Sayangnya lelaki itu menendang tubuh Zaki hingga terjatuh. Saat Zaki hendak melakukan penyerang padanya. Tubuh Zaki tersungkur dengan wajah mering
"Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n
Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n