Tejo sudah kembali, Asih menatap lelaki berkumis tebal itu berjalan melewatinya. Wajahnya terlihat kesal, menghempaskan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di depan ruangan televisi cukup kasar.
"Ada apa, Mas?" tanya Asih.
"Tidak ada apa-apa," balas Tejo datar. Wajahnya terlihat berpikir keras. Satu tangannya memijat keningnya beberapa kali.
Tok! Tok!
"Tuan!"
"Ada apa?" tanya Tejo menatap pada lelaki yang berdiri di ambang pintu dengan wajah takut. Kedua tangannya meremas ujung baju yang ia kenakan.
"Itu Tuan, para pelanggan komplain," tutur lekaki itu dengan wajah takut.
"Complain kenapa?" cetus Tejo. Wajahnya perlahan memerah.
"Kelapa yang kita kirim busuk semua, Tuan!"
"Apa? Bagaimana bisa!" Tejo menaikan nada suaranya. "Memangnya sebelum dikirim kalian tidak memeriksanya dulu!" decih Tejo,
Asih mengemasi semua barang-barangnya lalu memasukkannya ke dalam koper. Wajahnya terlihat panik dan terburu-buru."Aku harus segera pergi meninggalkan rumah ini dan aku harus memberitahukan pada warga jika Tejo sudah membunuh Wini. Agar arwah Wini tidak menghantuiku lagi," lirih Asih ketakutan.Setelah memasukkan barang-barangnya, Asih bergegas membawa koper itu keluar dari dalam kamar. Dengan langkah cepat ia menuruni anak tangga, sebelum Tejo kembali ke rumahnya."Tejo benar-benar seperti psikopat!" gerutu Asih masih tidak menyangka jika Tejo akan berbuat senekad itu pada istrinya sendiri.Asin tercekat saat melihat lelaki berkumis tebal itu justru muncul dari balik pintu rumah yang ia buka.Tejo menjatuhkan tatapannya kepada koper yang berada di belakang punggung Asih. Kemudian kepada wanita yang berdiri di depannya dengan tatapan heran."Asih, kena
Aroma bensin sangat menyengat masuk dalam indra pernapasan. Entah berapa liter bensin yang sudah Tejo siraman pada kayu-kayu bakar itu yang sudah pesan dan ia susun di belakang rumah.Perlahan Asih membuka netranya yang terasa sangat lengket sekali. Wanita itu terkejut, saat mendapati kedua tangan dan kakinya terikat pada ranjang. Mulut wanita itupun tersumpal oleh kain yang membuatnya merasa sangat mual sekali.Eh ... Eh ...Asih berusaha menggerakkan kedua tangannya yang terikat. Ia pun berusaha untuk berteriak. Namun, usahanya percuma saja. Asih tergugu, butiran bening jatuh membasahi pelipisnya."Asih .... !"Deg!Suara panggilan itu lagi. Asih mencari keberadaan Wini, arwah penasaran yang belakangan ini terus menghantuinya. Kedua netra Asih membeliak saat melihat tubuh Wini tiba-tiba melayangkan di atas tubuhnya.Hah .....
Rumah mewah milik Tejo hangus terbakar tidak tersisa. Begitu juga dengan gudang kelapa milik juragan kaya raya itu. Semua rata dengan tanah, dilahab si jago merah. Bahkan Tejo yang jatuh di atas bara api pun tidak dapat di selamatkan. Lelaki itu hangus terbakar menjadi arang.Perlahan Asih membuka netranya dari obat bius yang berangsur menghilang. Rasa perih dan sakit semakin menjalar pada sekujur tubuh Asih yang dibalut oleh kain perban. Luka bakar pada wanita itu hampir menjalar di sekujur tubuhnya.Asih mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhnya, semua terasa perih dan sangat sakit sekali."Neng, ini ibu, Neng!" ucap wanita paruh baya yang terlihat senang melihat Asih telah sadar. Netranya berkaca-kaca melihat Asih sudah sadar."Bu!" lirih Asih menggerakkan bibirnya sangat pelan sekali. Karena tidak hanya tubuh Asih yang dipenuhi oleh luka bakar.
Prapto berlari tergopoh-gopoh menghampiri Lastri yang sedang berada di dalam gudang kelapa. Wajahnya panik setelah mendengar kabar tentang kematian Tejo dan semua harta benda Tejo yang habis terbakar tidak tersisa."Ada apa, Prapto!" sergah Lastri terkejut dengan kedatangan menantunya."Bu, ada kabar buruk, Bu!" sergah Prapto dengan nafas yang masih tersengal."Ada apa, Prapto?" Lastri mengalihkan tatapannya dari buku nota yang ada di tangannya, kemudian melihat pada Prapto."Kabar buruk, Bu! Pak De Tejo meninggal dunia!" cetus Prapto setelah nafasnya sedikit berangsur normal."Apa!" Lastri membungkam mulutnya yang menganga dengan mata membeliak. "Prapto, jangan asal bicara kamu, darimana kamu dapat berita seperti itu, Prapto!" pekik Lastri dengan wajah kesal."Benar, Bu, sumpah! Saya tidak bohong!" tukas Prapto penuh keyakinan.Nota yang
Perlahan Prapto menarik gagang pintu kamar Lastri. Bayangan manusia berbulu hitam tengah bergumul dengan Lastri di atas ranjang."Astaghfirullahaladzim!" batin Prapto. Satu tangan lelaki itu mengusap dadanya yang masih terkejut. Seketika tubuh Prapto bergetar ketakutan.Lastri terlihat menikmati permainan dengan makhluk yang dipenuhi bulu hitam itu. Bahkan erangan Lastri semakin keras terdengar sangat menjijikan. Prapto perlahan menarik gagang pintu kamar Lastri dan menutupnya kembali.Jantung Prapto hampir terlepas dari tempurungnya. "Apa yang sebenernya ibu lakukan dengan mahluk itu!" batin Prapto ketakutan. Dengan sangat hati-hati sekali Prapto memutar tubuhnya menuju lantai bawah.____Subuh buta Prapto sudah meninggalkan rumah. Setelah ia menyiapkan semua keperluan Indah. Saat ia pergi lelaki itu juga sudah memasrahkan istrinya kepada Bibik pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah Last
Sorot mata Indah menatap lekat pada Prapto yang berkaca-kaca. Sepersekian detik Indah dan Prapto saling bersitatap dalam pikiran mereka masing-masing."Dek, apakah kamu sudah mengingat aku?" seloroh Prapto dengan wajah senang. Baru kali ini Indah merespon ucapan Prapto meskipun bukan dengan sebuah tatapan."Tak lelo lelo ledung, cup menengo ...!"Prapto terduduk lesu. Ternyata Indah masih saja sama. Wanita itu memalingkan wajahnya menatap kepada boneka yang berada di pangkuannya, lalu menembangkan lagu jawa khas untuk menidurkan bayi.Prapto tergugu. Lelaki itu menengelamkan wajahnya pada kedua kakinya yang di tekuk di hadapan Indah. Wanita dengan dress merah itu sama sekali tidak peduli, Indah justru semakin merdu menyanyikan tembang jawa untuk boneka bayi yang berada di pangkuannya."Aku harus bagaimana, Dek!" isak Prapto. "Sebenarnya Mas sangat menyayangimu, tapi di sini sangat bahaya sekali untuk kita, Dek!" Prapto mengangkat wajahnya men
Kerongkongan Prapto terasa tercekat. Entah mengapa perutnya terasa sudah penuh. Lingkar hitam di sekitar netranya pun nampak begitu jelas. Prapto hanya mengaduk-aduk makanan yang berada di dalam piring. Sesekali ia menyuapkannya ke dalam mulut hanya seujung sendok."Den, kenapa tidak di makan? Masakan Bibik tidak enak?" seloroh Bibik membuyarkan lamunan Prapto."Eh, Bik, engak kok, engak ada apa-apa!" balas Prapto tergeragap."Ada apa, Bik?" Lastri yang baru datang bergegas menghampiri Prapto yang sedang menikmati sarapan pagi. Wanita itu menarik bangku yang berada tepat di hadapan Prapto."Enggak, Bu, Enggak apa-apa kok!" sela Prapto sebelum Bibik menjawab pertanyaan Lastri.Lastri meraih piring kemudian mengisinya dengan nasi dan beberapa lauk pauk yang terhidang di atas meja. "Prapto di mana, Indah?" tanya Lastri yang tidak menemukan keberadaan putrinya di meja makan.
Bibik menatap lekat pada Prapto. Bibir lelaki itu bergetar hebat dengan wajah menegang."Ada apa, Den?" Bibik mengulangi pertanyaannya. Wanita itu berusaha untuk membantu Indah bangkit. Namun, sorot matanya tertuju pada Prapto yang nampak masih syok."Sebenernya Indah adalah korban ...!" Prapto yang kalut ingin mengucapkan semua beban yang menyiksa batinnya pada Bibik. Namun, tiba-tiba Lastri muncul dari ambang pintu kamar Indah."Indah!" Lastri tercekat, wanita itu mempercepat langkah kakinya menghampiri Indah yang masih tergulai di atas lantai."Ada apa ini, Bik?" sergah Lastri membantu Bibik membopong tubuh Indah pada bagaian kepalanya dan meletakannya di atas pangkuan."Indah, bangun!" Lastri menepuk lembut pipi Indah, sorot matanya penuh kekhawatiran pada Indah yang masih pingsan."Prapto, apa yang sudah terjadi?" sergah Lastri mengalihkan tatapann