Devan menatap Kanaya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada banyak rasa dalam hatinya. Perasaan gembira, haru, sekaligus deg-degan. "Aku akan mencoba benda itu." Kanaya turun dari ranjang, dibantu oleh Devan. Saat ini, semua orang sedang menunggu di luar kamar. "Aku ingat pernah menggunakan benda ini," seloroh Kanaya. "Namun aku memasukkannya ke dalam air kamar mandi." Ia tertawa mengingat kejadian dulu. "Ya. Karena saat itu tidaklah mungkin ada janin dalam rahimmu. Karena aku bahkan belum melakukan apa-apa," sahut Devan. Ia membantu sang istri ke kamar mandi. "Pelan-pelan saja." "Apa seperti ini caranya?" Kanaya memasukkan benda itu ke dalam wadah yang sudah berisi air seninya. "Tunggu beberapa detik menurut petunjuknya." "Aku tidak tahu, tapi kita tunggu saja." "Ini sudah selesai, coba lihat!" Kanaya memperlihatkan hasil dari tespeck tersebut kepada suaminya. "Ada satu garis merah, dan satu garis samar-samar. Apa artinya?" tanya Devan.
75 "Hallo." Devan mengangkat ponselnya, seraya menyuruh Bi Karti masuk. "Oh, kukira kau sudah m4ti karena tidak ada kabar. Apa sebegitu pentingnya di sana, sampai lupa pada saudaramu," ucapnya dalam sambungan telepon. Bi Karti memberikan obat pada Kanaya, dan wanita itu langsung meminumnya meski tidak menyukai bau obat-obatan itu. Setelah Bi Karti kembali keluar, Devan mengeraskan suara ponselnya dan mendengarkannya pada Kanaya. "Siapa?" "Radit." "Maaf-maaf, aku belum bisa kembali karena masih ada kegiatan malam ini. Tapi aku janji besok akan pulang. Aku senang sekali kau akan jadi seorang ayah. Dan tentu saja aku akan jadi om-om. Aku sudah tidak sabar melihat wajah keponakanku. Pasti dia mirip denganku saat lahir nanti," seloroh Radit, suaranya terdengar sangat renyah. Sepertinya ia sedang beebahagia meski jauh dari keluarganya. Saat ini, Radit memilih tinggal di Desa Sumber Makmur, desa yang dekat dengan kediaman Ustadz Zaki. Ia memutuskan tinggal di sana,
Keluarga Pratama sedang berbahagia, dengan kehamilan sang menantu. Keluarga itu berniat melakukan syukuran dengan mengundang anak-anak yatim piatu, serta fakir miskin. Sudah menjadi kebiasaan, mereka akan berbagi kebahagiaan kepada orang yang dirasa kurang beruntung. Selain untuk mengucapkan rasa syukur, berbagi dengan mereka yang membutuhkan menjadi kebahagiaan tersendiri untuk keluarga itu. Terlebih, Kanaya yang juga merasakan bagaimana hidup dalam kekurangan. "Aku pulang ...." Radit nampak berjalan masuk ke dalam rumah, membawa beberapa barang di tangannya. Anggota keluarga yang tengah bersantai di ruang keluarga itu pun menoleh bersamaan begitu mendengar suara Radit. Bu Herlin menyambut putra angkatnya itu, memeluk dan menciuminya penuh rindu. Bagaimana tidak, Radit sudah dua minggu tidak pulang. Padahal sesuai kesepakatan, dia akan pulang satu minggu sekali. Devan tersenyum, lalu memeluk Radit. Namun saat Radit hendak memeluk Kanaya, Devan menghalangin
"Bibi nggak tahu, Non, katanya teman Non Aya. Mereka menunggu di ruang tamu," jelas Bi Karti. Merasa penasaran, Kanaya menuju ke ruang tamu, di mana kedua perempuan yang dimaksud oleh Bi Karti itu berada. Setelah melihat kedua perempuan itu, Kanaya terkejut, tetapi mampu membuat dirinya tersenyum gembira. Berpelukan dan saling melepas rindu, adalah hal pertama yang ketiga perempuan itu lakukan saat ini. Mereka memang sudah lama tidak bertemu. Terakhir kali, mereka bertemu saat Kanaya berpamitan hendak melanjutkan kuliah di Jakarta. "Aah, aku kangen banget ...," ujar Resti setelah mengeratkan pelukannya dengan Kanaya. "He'em, kita kangen sama kamu, Ay." Tak mau kalah, Mili pun memeluk erat sahabatnya yang sudah lama tak jumpa. Ya, kedua perempuan itu adalah Resti dan Mili, sang sahabat yang selalu bersamanya sebelum akhirnya Kanaya pindah ke Jakarta ikut suaminya "Aku juga kangen banget sama kalian," balas Kanaya. Saat ini, tubuhnya dipeluk dari kedua
"Apa yang kalian ributkan!" Resti dan Mili berhenti berdebat saat melihat Kanaya yang baru masuk ke kamar. Sejak tadi pintu diketuk, tapi tidak ada yang membuka. Terpaksa Kanaya membukanya. Mereka baru sadar telah membuat keributan di rumah orang. "Maaf, Ay, kami nggak sengaja bikin ribut. Kami janji nggak ribut lagi, deh," ungkap Resti mengaku salah. "Bukan itu maksud aku, aku nggak marah kali, lagian ini kan di kamar kalian, jadi nggak bikin keributan. Yang aku tanya, kalian itu berebut apa, sih?" Kanaya duduk di tepi ranjang, menatap kedua sahabatnya. "Berebut Mas Tampan!" ucap keduanya bersamaan. "Hah?" Kedua alis Kanaya tertaut. "Maksudnya, Mas Radit," bisik Mili. "Kalian ini ada-ada aja. Memangnya dia barang, dibuat rebutan! Kalau bersaing harus yang sehat, dong! Lagian, masa hanya karena seorang pria kalian berantem, nggak lucu, 'kan?" Kanaya menatap kedua sahabatnya secara bergantian. "Oke. Kita akan bersaing secara sehat." Resti dan Mil
Hari yang ditunggu telah tiba, pesta pernikahan Devan dan Kanaya sudah di depan mata. Semua persiapan sudah dipersiapkan dengan baik. Seluruh orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Gedung mewah menjadi tempat berlangsungnya acara pesta. Pak Pratama mengundang seluruh keluarga, teman, relasi dan rekan bisnisnya. Ia tidak ingin ada yang kurang dalam pesta pernikahan sang putra. "Wow. Benar-benar menakjubkan. Tempat ini sangat mewah, jadi pengen cepet nikah," kelakar Mili. Ia bersama Resti sudah berada di tempat pesta. Mereka berdua juga sedang menunggu kedua lelaki yang saat ini sudah mengisi hati. Sejak pertemuan satu minggu yang lalu saat acara syukuran, Mili semakin lengket dengan Andre. Sahabat Kanaya itu baru tahu kalau Andre adalah sekretaris Devan. Sementara Resti, juga semakin dekat dengan dokter keluarga Pratama, yaitu dokter Aldo. Keduanya kerap bertukar kabar lewat ponsel dan mencuri waktu bertemu saat Aldo berkunjung. "Aah, itu dia kekasihku
"Mau apa wanita ular ini datang kemari? Siapa yang mengundangnya?" geram Bu Herlin. Kanaya melihat dengan seksama wajah tamu yang berada di depannya. Ya, dia ingat. Wanita itu adalah wanita yang beberapa kali memarahinya karena tidak sengaja menabrak. Sementara Devan terlihat geram karena tidak merasa mengundang Revi. Begitupun Bu Herlin yang enggan melihat wanita yang pernah membuat Devan patah hati itu. "Terima kasih atas kedatangannya," ujar Kanaya yang membuat Devan menoleh. "Oh, rupanya kamu istrinya Devan. Kupikir lebih dari ini," sinis Revi. Ia menatap Kanaya dari atas sampai bawah, merasa dirinya lebih baik dari Kanaya. Bahkan ia bersikap sok cantik di hadapan Devan saat ini. "Wanita sepertimu tidak diundang dalam pesta ini. Lebih baik pergi dari sini," ujar Bu Herlin pelan. Ia menarik tangan Revi dan memintanya pergi. Namun, Revi malah melepaskan pegangan tangan Bu Herlin dan berkata, "Aku hanya memberikan selamat pada Devan, Tante. Apa Tan
Sekilas bayangan masa kecil terlintas dalam pandangan Kanaya. Dia yang saat itu berlari mengejar sang Ibu yang membawa tas besar berisi baju yang baru dikeluarkan dari lemari. Dengan kaki-kaki kecilnya, Kanaya membuntuti sang Ibu. Hujan dan petir yang menggelegar tak membuatnya menghentikan langkah kaki, karena tidak ingin ditinggalkan ibunya. Meski diguyur hujan dan seluruh tubuhnya menggigil kedinginan, Kanaya meraih kaki Bu Dewi agar tidak pergi. "Ibu mau ke mana, Bu? Aya ikut Ibu." "Jangan ganggu Ibu! Sana sama ayahmu! Biarkan Ibu pergi jauh, Ibu sudah nggak kuat tinggal bersama kalian." Bu Dewi melepaskan tangan Kanaya yang menahan kakinya. Sebuah mobil berwarna hitam telah menunggu tepat di depannya. "Jangan tinggalin Aya, Bu, Aya mau sama Ibu," rengek Kanaya dibarengi dengan tangisan. Tubuhnya kehujanan, tapi ia tetap menahan kaki ibunya. Hujan makin deras, suara petir menggelegar di atas kepala, ditambah bentakan sang Ibu yang memintanya menjauh. Kana