"Bibi nggak tahu, Non, katanya teman Non Aya. Mereka menunggu di ruang tamu," jelas Bi Karti. Merasa penasaran, Kanaya menuju ke ruang tamu, di mana kedua perempuan yang dimaksud oleh Bi Karti itu berada. Setelah melihat kedua perempuan itu, Kanaya terkejut, tetapi mampu membuat dirinya tersenyum gembira. Berpelukan dan saling melepas rindu, adalah hal pertama yang ketiga perempuan itu lakukan saat ini. Mereka memang sudah lama tidak bertemu. Terakhir kali, mereka bertemu saat Kanaya berpamitan hendak melanjutkan kuliah di Jakarta. "Aah, aku kangen banget ...," ujar Resti setelah mengeratkan pelukannya dengan Kanaya. "He'em, kita kangen sama kamu, Ay." Tak mau kalah, Mili pun memeluk erat sahabatnya yang sudah lama tak jumpa. Ya, kedua perempuan itu adalah Resti dan Mili, sang sahabat yang selalu bersamanya sebelum akhirnya Kanaya pindah ke Jakarta ikut suaminya "Aku juga kangen banget sama kalian," balas Kanaya. Saat ini, tubuhnya dipeluk dari kedua
"Apa yang kalian ributkan!" Resti dan Mili berhenti berdebat saat melihat Kanaya yang baru masuk ke kamar. Sejak tadi pintu diketuk, tapi tidak ada yang membuka. Terpaksa Kanaya membukanya. Mereka baru sadar telah membuat keributan di rumah orang. "Maaf, Ay, kami nggak sengaja bikin ribut. Kami janji nggak ribut lagi, deh," ungkap Resti mengaku salah. "Bukan itu maksud aku, aku nggak marah kali, lagian ini kan di kamar kalian, jadi nggak bikin keributan. Yang aku tanya, kalian itu berebut apa, sih?" Kanaya duduk di tepi ranjang, menatap kedua sahabatnya. "Berebut Mas Tampan!" ucap keduanya bersamaan. "Hah?" Kedua alis Kanaya tertaut. "Maksudnya, Mas Radit," bisik Mili. "Kalian ini ada-ada aja. Memangnya dia barang, dibuat rebutan! Kalau bersaing harus yang sehat, dong! Lagian, masa hanya karena seorang pria kalian berantem, nggak lucu, 'kan?" Kanaya menatap kedua sahabatnya secara bergantian. "Oke. Kita akan bersaing secara sehat." Resti dan Mil
Hari yang ditunggu telah tiba, pesta pernikahan Devan dan Kanaya sudah di depan mata. Semua persiapan sudah dipersiapkan dengan baik. Seluruh orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Gedung mewah menjadi tempat berlangsungnya acara pesta. Pak Pratama mengundang seluruh keluarga, teman, relasi dan rekan bisnisnya. Ia tidak ingin ada yang kurang dalam pesta pernikahan sang putra. "Wow. Benar-benar menakjubkan. Tempat ini sangat mewah, jadi pengen cepet nikah," kelakar Mili. Ia bersama Resti sudah berada di tempat pesta. Mereka berdua juga sedang menunggu kedua lelaki yang saat ini sudah mengisi hati. Sejak pertemuan satu minggu yang lalu saat acara syukuran, Mili semakin lengket dengan Andre. Sahabat Kanaya itu baru tahu kalau Andre adalah sekretaris Devan. Sementara Resti, juga semakin dekat dengan dokter keluarga Pratama, yaitu dokter Aldo. Keduanya kerap bertukar kabar lewat ponsel dan mencuri waktu bertemu saat Aldo berkunjung. "Aah, itu dia kekasihku
"Mau apa wanita ular ini datang kemari? Siapa yang mengundangnya?" geram Bu Herlin. Kanaya melihat dengan seksama wajah tamu yang berada di depannya. Ya, dia ingat. Wanita itu adalah wanita yang beberapa kali memarahinya karena tidak sengaja menabrak. Sementara Devan terlihat geram karena tidak merasa mengundang Revi. Begitupun Bu Herlin yang enggan melihat wanita yang pernah membuat Devan patah hati itu. "Terima kasih atas kedatangannya," ujar Kanaya yang membuat Devan menoleh. "Oh, rupanya kamu istrinya Devan. Kupikir lebih dari ini," sinis Revi. Ia menatap Kanaya dari atas sampai bawah, merasa dirinya lebih baik dari Kanaya. Bahkan ia bersikap sok cantik di hadapan Devan saat ini. "Wanita sepertimu tidak diundang dalam pesta ini. Lebih baik pergi dari sini," ujar Bu Herlin pelan. Ia menarik tangan Revi dan memintanya pergi. Namun, Revi malah melepaskan pegangan tangan Bu Herlin dan berkata, "Aku hanya memberikan selamat pada Devan, Tante. Apa Tan
Sekilas bayangan masa kecil terlintas dalam pandangan Kanaya. Dia yang saat itu berlari mengejar sang Ibu yang membawa tas besar berisi baju yang baru dikeluarkan dari lemari. Dengan kaki-kaki kecilnya, Kanaya membuntuti sang Ibu. Hujan dan petir yang menggelegar tak membuatnya menghentikan langkah kaki, karena tidak ingin ditinggalkan ibunya. Meski diguyur hujan dan seluruh tubuhnya menggigil kedinginan, Kanaya meraih kaki Bu Dewi agar tidak pergi. "Ibu mau ke mana, Bu? Aya ikut Ibu." "Jangan ganggu Ibu! Sana sama ayahmu! Biarkan Ibu pergi jauh, Ibu sudah nggak kuat tinggal bersama kalian." Bu Dewi melepaskan tangan Kanaya yang menahan kakinya. Sebuah mobil berwarna hitam telah menunggu tepat di depannya. "Jangan tinggalin Aya, Bu, Aya mau sama Ibu," rengek Kanaya dibarengi dengan tangisan. Tubuhnya kehujanan, tapi ia tetap menahan kaki ibunya. Hujan makin deras, suara petir menggelegar di atas kepala, ditambah bentakan sang Ibu yang memintanya menjauh. Kana
Kanaya Permata Dewi. Nama yang mengingatkan Dewi, pada bayi cantik yang begitu dinantikan kelahirannya. Ia yang memilih nama itu dan menyisipkan namanya sebagai bukti cinta pada sang buah hati. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Karena kondisi keuangan keluarganya saat itu sangat tidak menentu. Sebagai tukang jahit kampung, Pak Ali saat itu belum terlalu banyak pelanggan. Bahkan bisa dibilang sangat jarang mendapatkan orderan. Bekerja serabutan asal bisa mendapatkan uang, itu yang Pak Ali lakukan. Namun, tahun demi tahun berlalu, kehidupan mereka semakin buruk. Hingga Dewi tergoda dengan lelaki kaya raya dari kota yang ternyata telah memiliki anak dan istri. Dewi silau akan harta yang ditawarkan Rudi. Ia tertarik untuk menjadi simpanan lelaki itu dan tega meninggalkan suami serta anaknya demi harta dan kehidupan mewah. Kini, ia tahu jika putri kecil yang ka tinggalkan dulu telah menjadi menantu seorang Pratama. "Mungkinkah dia masih mengenaliku?" batin
"Jadi Aya meminta bertemu dengan Dewi?" "Iya, Ma. Ia sangat yakin untuk bertemu. Aku tidak mungkin mencegah, aku akan menemaninya," jelas Devan yang saat ini berada di kamar sang Mama. "Mama ikut!" ujar Bu Herlin. "Kami juga ikut, boleh kan, Nak Devan?" Bu Siti pun meminta ikut. Devan mengangguk, lalu bergegas menemui sang istri yang sudah menunggu. "Kau sudah siap?" "Eem." Kanaya sudah bersiap menemui ibunya. Kini ia ditemani sang suami, menuju sebuah ruangan tempat mereka akan bertemu. Bu Herlin dan Bu Siti serta Pak Karman pun ikut bersamanya. Dewi sendiri sudah diberitahu bahwa akan ada seseorang yang ingin menemuinya. Saat pintu ruangan terbuka, Dewi sudah berada di sana dan berdiri. Kanaya merasakan debaran dalam dadanya, mengingat semua kenangan masa kecil yang tiba-tiba terlintas dalam ingatan. Ya, wajah itu benar-benar wajah ibunya. Ibu yang meninggalkan dirinya, membuatnya menahan rasa rindu setiap saat. Rasa sakit dan kerindu
84 "Jadi, perempuan itu putri kandung Mama?" Revi mengulang pertanyaan pada mamanya yang datang dengan membawa kabar mengejutkan. Dewi menceritakan segalanya kepada suami dan anaknya. Pak Rudi tidak terlalu kaget karena ia sudah tahu sejak dulu jika Dewi memiliki seorang anak perempuan. Bahkan ia sendiri yang membawa Dewi pergi dari rumahnya, dan membiarkan anak perempuan itu menangis memanggil-manggil ibunya. Ya, mereka berdua sama-sama tidak memiliki hati. Namun tentu saja, Revi terkejut karena ia pikir, wanita yang menjadi ibu tirinya itu tidak memiliki seorang anak kandung. Kini ia merasa semakin membenci Kanaya. Akan tetapi, ia tidak ingin Dewi membagi kasih sayang untuk Kanaya, meski wanita itu adalah putri kandung mama tirinya. Selama ini ia sangat diratukan meski oleh seorang ibu tiri. Ya, Bu Meriana--ibu kandung Revi, meninggal saat ia masih kecil. Papanya menikah lagi dengan Dewi, yang ternyata begitu menyayangi dirinya. Meski kehilangan mama, Revi tidak