Kanaya Permata Dewi. Nama yang mengingatkan Dewi, pada bayi cantik yang begitu dinantikan kelahirannya. Ia yang memilih nama itu dan menyisipkan namanya sebagai bukti cinta pada sang buah hati. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Karena kondisi keuangan keluarganya saat itu sangat tidak menentu. Sebagai tukang jahit kampung, Pak Ali saat itu belum terlalu banyak pelanggan. Bahkan bisa dibilang sangat jarang mendapatkan orderan. Bekerja serabutan asal bisa mendapatkan uang, itu yang Pak Ali lakukan. Namun, tahun demi tahun berlalu, kehidupan mereka semakin buruk. Hingga Dewi tergoda dengan lelaki kaya raya dari kota yang ternyata telah memiliki anak dan istri. Dewi silau akan harta yang ditawarkan Rudi. Ia tertarik untuk menjadi simpanan lelaki itu dan tega meninggalkan suami serta anaknya demi harta dan kehidupan mewah. Kini, ia tahu jika putri kecil yang ka tinggalkan dulu telah menjadi menantu seorang Pratama. "Mungkinkah dia masih mengenaliku?" batin
"Jadi Aya meminta bertemu dengan Dewi?" "Iya, Ma. Ia sangat yakin untuk bertemu. Aku tidak mungkin mencegah, aku akan menemaninya," jelas Devan yang saat ini berada di kamar sang Mama. "Mama ikut!" ujar Bu Herlin. "Kami juga ikut, boleh kan, Nak Devan?" Bu Siti pun meminta ikut. Devan mengangguk, lalu bergegas menemui sang istri yang sudah menunggu. "Kau sudah siap?" "Eem." Kanaya sudah bersiap menemui ibunya. Kini ia ditemani sang suami, menuju sebuah ruangan tempat mereka akan bertemu. Bu Herlin dan Bu Siti serta Pak Karman pun ikut bersamanya. Dewi sendiri sudah diberitahu bahwa akan ada seseorang yang ingin menemuinya. Saat pintu ruangan terbuka, Dewi sudah berada di sana dan berdiri. Kanaya merasakan debaran dalam dadanya, mengingat semua kenangan masa kecil yang tiba-tiba terlintas dalam ingatan. Ya, wajah itu benar-benar wajah ibunya. Ibu yang meninggalkan dirinya, membuatnya menahan rasa rindu setiap saat. Rasa sakit dan kerindu
84 "Jadi, perempuan itu putri kandung Mama?" Revi mengulang pertanyaan pada mamanya yang datang dengan membawa kabar mengejutkan. Dewi menceritakan segalanya kepada suami dan anaknya. Pak Rudi tidak terlalu kaget karena ia sudah tahu sejak dulu jika Dewi memiliki seorang anak perempuan. Bahkan ia sendiri yang membawa Dewi pergi dari rumahnya, dan membiarkan anak perempuan itu menangis memanggil-manggil ibunya. Ya, mereka berdua sama-sama tidak memiliki hati. Namun tentu saja, Revi terkejut karena ia pikir, wanita yang menjadi ibu tirinya itu tidak memiliki seorang anak kandung. Kini ia merasa semakin membenci Kanaya. Akan tetapi, ia tidak ingin Dewi membagi kasih sayang untuk Kanaya, meski wanita itu adalah putri kandung mama tirinya. Selama ini ia sangat diratukan meski oleh seorang ibu tiri. Ya, Bu Meriana--ibu kandung Revi, meninggal saat ia masih kecil. Papanya menikah lagi dengan Dewi, yang ternyata begitu menyayangi dirinya. Meski kehilangan mama, Revi tidak
Keluarga Pratama kedatangan tamu di malam hari. Mereka menyelesaikan makan malam dan menuju ruang tamu, di mana tamu mereka tengah duduk sambil menunggu sang empunya rumah. Bu Herlin menatap sinis kedua tamu perempuan yang sedang duduk berdampingan. Kanaya bersama Devan berjalan lebih dahulu, lalu menghenyakkan tubuh di sofa setelah bersalaman dengan Dewi dan Revi. Hanya Kanaya, karena Devan tidak terlalu peduli. Begitupun Bu Herlin, yang hanya duduk tanpa menyalami kedua tamu itu. "Silakan duduk." Dengan senyuman, Kanaya mempersilakan kedua tamunya untuk duduk kembali. "Bagaimana keadaanmu, Sayang? Apa sudah baikan? Ibu bawakan kamu jamu penguat kandungan agar janinnya kuat. Ibu tahu kamu sedang mengandung cucu Ibu. Ah, senangnya, sebentar lagi aku akan jadi oma. Pasti dia akan setampan papanya, dan secantik mamanya," ujar Dewi dengan mata berbinar. Botol yang katanya berisi jamu itu diletakkan di meja. "Dasar tak tahu malu," cibir Bu Herlin dalam hati.
Sebulan setelah kepulangan Pak Karman dan bu Siti ke kampung halamannya, Dewi kerap datang ke rumah keluarga Pratama, untuk sekedar berjumpa dengan Kanaya. Meski tidak terlalu diterima oleh Bu Herlin, ia tidak peduli. Karena yang ia datangi adalah putri kandungnya sendiri. Kanaya pun tidak bisa untuk menolaknya, karena ia berharap sang Ibu bisa benar-benar berubah menyayanginya dengan tulus. Dewi juga sering membawakan makanan untuk Kanaya, meski putrinya itu tidak begitu antusias. Hari ini, ia datang lagi dengan Revi, membawa buah-buahan dan beberapa kue. Ia ingin lebih dekat dengan Kanaya, karena ia merasa lebih memiliki hak dari pada Bu Herlin, mertuanya. "Hari ini kamu kelihatan segar sekali, Sayang. Ibu bawa kue buatan Ibu sendiri. Cobalah, kamu pasti suka." Dewi membukakan kue yang dibawanya. Kanaya hanya tersenyum dan mengangguk seraya mengambil satu buah kue itu. Biar bagaimanapun, ia tidak ingin membuat kecewa dengan menolak pemberian ibunya. Meski selama
"Mulai sekarang, jangan bawa anak tirimu itu ke sini. Kalau masih kamu lakukan, aku tidak akan mengizinkanmu mengunjungi Aya lagi! Perempuan penggoda tidak pantas berada di sini!" "Apa yang terjadi? Kenapa bersikap kasar padanya?" Dewi membantu Revi untuk berdiri, dan menenangkan putri kesayangannya yang kini tengah menangis. "Apa yang telah kamu lakukan, Herlin? Kamu membuatnya menangis!" "Tanyakan saja padanya! Lebih baik sekarang juga kamu bawa dia pergi dari sini! Aku benar-benar muak melihat wajahnya," usir Bu Herlin. "Ta-tapi--" "Kita pulang saja, Ma!" Revi mengajak mamanya untuk pulang karena merasa dipermalukan. Ia juga tidak terima dengan perlakuan Bu Herlin. Apalagi kakinya masih terasa sakit gara-gara diinjak. Ia menarik tangan Dewi, "Ayo, Ma!" "Ya sudah iya, ayo kita pulang. Aya, Ibu pulang dulu ya, nanti kapan-kapan kita ngobrol lagi, melanjutkan rencana jalan-jalan kita." Kanaya hanya mengangguk saat ibunya pamit. Revi sudah berja
"Terserah kamulah, tapi jangan membuat masalah yang bisa membuat papamu marah. Mama nggak bisa terus belain kamu. Nanti yang ada uang bulanan Mama tidak diberikan, lagi! Tadi kamu dengar, 'kan, tentang ancaman uang bulananmu." Dewi mewanti-wanti Revi. "Mama berkata seperti itu bukan karena khawatir pada putri kandung Mama, 'kan?" tanya Revi penuh selidik. "Kenapa kamu meragukan Mama sih, Sayang? Kurang percaya apa lagi sama Mama? Bahkan Mama lebih membela kamu dari pada dia. Kalau Mama mau, Mama bisa saja pergi meninggalkan kamu dan tinggal bersamanya. Nyatanya Mama masih ada bersamamu, 'kan?" Dewi berusaha meyakinkan Revi. "Makasih ya, Ma. Mama memang mama terbaik yang pernah Revi miliki. Aku nggak mau Kanaya Aya itu merebut Mama dariku. Bahkan dia sudah mengambil yang seharusnya menjadi milikku. Setelah ini aku yang akan mengambil kembali milikku." Revi memeluk mamanya dengan senyuman, merasa jika ia adalah seorang anak yang paling beruntung. Setelah keperg
89 "Aaaakkkh!" Tubuh Kanaya terpental ke sisi jalan, darah mengalir dari kepalanya yang terbentur pembatas jalan. Para penjual yang berjualan pun berlari menghampiri tempat kecelakaan, melihat dua orang perempuan bersimbah d4r4h. Orang-orang dalam butik pun ikut ke luar dan berteriak histeris begitu mengetahui siapa yang menjadi korban kecelakaan itu. "Woy, jangan lari!" Mobil yang menabrak kini melarikan diri setelah mengenai kedua korban yang tak sadarkan diri. "Ya Allah, bagaimana ini? Mba Ani dan Bu Aya, Ya Allah, cepat panggilkan ambulan!" "Kelamaan, ambil mobil, cepat!" Beberapa pegawai butik membawa Kanaya dan Ani menuju ke mobil, salah satu dari mereka mengabari Devan tentang apa yang terjadi. "Pak! Pak Devan, anu, Bu Aya kecelakaan!" "Apa?! Yang benar kalau bicara!" teriak Devan. "Bu Aya sudah dibawa ke rumah sakit, Pak." Devan menjatuhkan tubuhnya di sofa, lututnya sangat lemas, hampir tidak mampu menopang berat tubuhnya. "Apa