Keluarga Pratama kedatangan tamu di malam hari. Mereka menyelesaikan makan malam dan menuju ruang tamu, di mana tamu mereka tengah duduk sambil menunggu sang empunya rumah. Bu Herlin menatap sinis kedua tamu perempuan yang sedang duduk berdampingan. Kanaya bersama Devan berjalan lebih dahulu, lalu menghenyakkan tubuh di sofa setelah bersalaman dengan Dewi dan Revi. Hanya Kanaya, karena Devan tidak terlalu peduli. Begitupun Bu Herlin, yang hanya duduk tanpa menyalami kedua tamu itu. "Silakan duduk." Dengan senyuman, Kanaya mempersilakan kedua tamunya untuk duduk kembali. "Bagaimana keadaanmu, Sayang? Apa sudah baikan? Ibu bawakan kamu jamu penguat kandungan agar janinnya kuat. Ibu tahu kamu sedang mengandung cucu Ibu. Ah, senangnya, sebentar lagi aku akan jadi oma. Pasti dia akan setampan papanya, dan secantik mamanya," ujar Dewi dengan mata berbinar. Botol yang katanya berisi jamu itu diletakkan di meja. "Dasar tak tahu malu," cibir Bu Herlin dalam hati.
Sebulan setelah kepulangan Pak Karman dan bu Siti ke kampung halamannya, Dewi kerap datang ke rumah keluarga Pratama, untuk sekedar berjumpa dengan Kanaya. Meski tidak terlalu diterima oleh Bu Herlin, ia tidak peduli. Karena yang ia datangi adalah putri kandungnya sendiri. Kanaya pun tidak bisa untuk menolaknya, karena ia berharap sang Ibu bisa benar-benar berubah menyayanginya dengan tulus. Dewi juga sering membawakan makanan untuk Kanaya, meski putrinya itu tidak begitu antusias. Hari ini, ia datang lagi dengan Revi, membawa buah-buahan dan beberapa kue. Ia ingin lebih dekat dengan Kanaya, karena ia merasa lebih memiliki hak dari pada Bu Herlin, mertuanya. "Hari ini kamu kelihatan segar sekali, Sayang. Ibu bawa kue buatan Ibu sendiri. Cobalah, kamu pasti suka." Dewi membukakan kue yang dibawanya. Kanaya hanya tersenyum dan mengangguk seraya mengambil satu buah kue itu. Biar bagaimanapun, ia tidak ingin membuat kecewa dengan menolak pemberian ibunya. Meski selama
"Mulai sekarang, jangan bawa anak tirimu itu ke sini. Kalau masih kamu lakukan, aku tidak akan mengizinkanmu mengunjungi Aya lagi! Perempuan penggoda tidak pantas berada di sini!" "Apa yang terjadi? Kenapa bersikap kasar padanya?" Dewi membantu Revi untuk berdiri, dan menenangkan putri kesayangannya yang kini tengah menangis. "Apa yang telah kamu lakukan, Herlin? Kamu membuatnya menangis!" "Tanyakan saja padanya! Lebih baik sekarang juga kamu bawa dia pergi dari sini! Aku benar-benar muak melihat wajahnya," usir Bu Herlin. "Ta-tapi--" "Kita pulang saja, Ma!" Revi mengajak mamanya untuk pulang karena merasa dipermalukan. Ia juga tidak terima dengan perlakuan Bu Herlin. Apalagi kakinya masih terasa sakit gara-gara diinjak. Ia menarik tangan Dewi, "Ayo, Ma!" "Ya sudah iya, ayo kita pulang. Aya, Ibu pulang dulu ya, nanti kapan-kapan kita ngobrol lagi, melanjutkan rencana jalan-jalan kita." Kanaya hanya mengangguk saat ibunya pamit. Revi sudah berja
"Terserah kamulah, tapi jangan membuat masalah yang bisa membuat papamu marah. Mama nggak bisa terus belain kamu. Nanti yang ada uang bulanan Mama tidak diberikan, lagi! Tadi kamu dengar, 'kan, tentang ancaman uang bulananmu." Dewi mewanti-wanti Revi. "Mama berkata seperti itu bukan karena khawatir pada putri kandung Mama, 'kan?" tanya Revi penuh selidik. "Kenapa kamu meragukan Mama sih, Sayang? Kurang percaya apa lagi sama Mama? Bahkan Mama lebih membela kamu dari pada dia. Kalau Mama mau, Mama bisa saja pergi meninggalkan kamu dan tinggal bersamanya. Nyatanya Mama masih ada bersamamu, 'kan?" Dewi berusaha meyakinkan Revi. "Makasih ya, Ma. Mama memang mama terbaik yang pernah Revi miliki. Aku nggak mau Kanaya Aya itu merebut Mama dariku. Bahkan dia sudah mengambil yang seharusnya menjadi milikku. Setelah ini aku yang akan mengambil kembali milikku." Revi memeluk mamanya dengan senyuman, merasa jika ia adalah seorang anak yang paling beruntung. Setelah keperg
89 "Aaaakkkh!" Tubuh Kanaya terpental ke sisi jalan, darah mengalir dari kepalanya yang terbentur pembatas jalan. Para penjual yang berjualan pun berlari menghampiri tempat kecelakaan, melihat dua orang perempuan bersimbah d4r4h. Orang-orang dalam butik pun ikut ke luar dan berteriak histeris begitu mengetahui siapa yang menjadi korban kecelakaan itu. "Woy, jangan lari!" Mobil yang menabrak kini melarikan diri setelah mengenai kedua korban yang tak sadarkan diri. "Ya Allah, bagaimana ini? Mba Ani dan Bu Aya, Ya Allah, cepat panggilkan ambulan!" "Kelamaan, ambil mobil, cepat!" Beberapa pegawai butik membawa Kanaya dan Ani menuju ke mobil, salah satu dari mereka mengabari Devan tentang apa yang terjadi. "Pak! Pak Devan, anu, Bu Aya kecelakaan!" "Apa?! Yang benar kalau bicara!" teriak Devan. "Bu Aya sudah dibawa ke rumah sakit, Pak." Devan menjatuhkan tubuhnya di sofa, lututnya sangat lemas, hampir tidak mampu menopang berat tubuhnya. "Apa
"Siapa lagi kalau bukan Revi, wanita ular berhati iblis itu selalu menggunakan cara keji untuk memuaskan hatinya." Radit menyerahkan bukti rekaman cctv dari sebuah swalayan tak jauh dari butik Kanaya berada. Dari sana terlihat jelas Revi yang baru masuk ke dalam mobil dengan memakai masker dan kaca mata hitam yang dibeli dari swalayan itu. Mobil yang sama yang berada dalam cctv di depan butik. Radit baru saja mendapatkan rekaman itu dari orang suruhannya. "Sudah kuduga! Wanita ular itu harus diberi pelajaran karena telah membuat istriku seperti ini! Gara-gara dia aku kehilangan anak kami!" geram Devan, saat Radit mengatakan penyebab kecelakaan sang istri. "Apa dia pikir bisa lari dariku!" "Sabar, Dev, kamu harus tenang untuk menghadapinya. Biarkan Radit yang mengurus masalah ini." Bu Herlin mengelus punggung putranya, memberikan ketenangan. Sebenarnya ia juga sangat geram dengan kelakuan wanita ular itu. Baru saja beberapa hari yang lalu diusir dari rumah, sekarang di
"Papa harus pergi, Radit mengabari kalau dia sedang mengejar wanita itu!" Pak Pratama memasukkan ponsel ke dalam jasnya setelah mendapat pesan dari Radit. Devan mendekati papanya, membiarkan Kanaya dipeluk oleh mamanya. Ia benar-benar geram dan ingin segera melampiaskan amarahnya pada Revi. Dadanya kembang kempis menahan rasa benci dan amarah yang menyatu. "Rasanya tanganku sudah gatal ingin memberi pelajaran pada wanita itu!" "Biarkan Papa yang menyusul Radit, Aya butuh kamu di sampingnya. Percayakan saja pada kami, orang tua ini masih mampu mengurus bocah ingusan macam itu." Pak Pratama menepuk bahu putranya, memintanya untuk tetap di samping Kanaya. Devan memang sangat ingin melampiaskan kekesalan dan amarahnya pada Revi, tetapi ia juga tidak ingin meninggalkan istrinya yang kini butuh dirinya. "Baiklah, Pa, tunggu aku untuk mengeksekusinya." Pak Pratama mengangguk, lalu memberikan isyarat pada istrinya. Bu Herlin pun mengangguk dan Pak Pratama segera perg
"Jadi di sini kamu membawa perempuan iblis itu?" Devan dan Radit sampai di sebuah rumah yang terbengkalai, tepatnya berada di dekat hutan dan jauh dari keramaian. "Ya, dia sedang menikmati waktu-waktu terindahnya di sini," jawab Radit dengan senyum menyeringai. Keduanya memasuki rumah yang saat ini banyak penjaganya. Radit memang menempatkan beberapa orang untuk menjaga Revi. Radit meminta anak buahnya membuka salah satu pintu kamar, di mana Revi tengah berada di dalam sana. Saat pintu terbuka, wanita dengan tangan terikat dan berbaring di sebuah ranjang kayu dengan kasur lapuk itu menoleh. Pakaiannya sobek-sobek, bagian atas hanya menutupi bagian dada, sementara tubuh bagian bawahnya ditutup dengan kain bekas seprei yang telah usang. Bekas darah di pipi masih ada, begitu pula dengan darah di sudut bibirnya. Wajahnya sangat berantakan, rambut bercat pirang itu menutupi sebagian wajahnya. Ia menangis melihat kedatangan Devan, berharap lelaki yang pernah menjal
"Aya! Kamu kenapa, Sayang?" Bu Herlin menghampiri Kanaya yang berada di kamar mandi dapur. Menantunya itul tampak lemas dan pucat. "Bi, bantu bawa Aya ke kamarnya."Dengan bantuan Bi Karti, Bu Herlin membawa menantunya ke kamar. Sampai di sana, dia semakin terkejut melihat Devan yang juga tampak lemas dan tiduran di ranjang. "Istriku kenapa, Ma?" Dengan tubuh yang lemas, Devan mendekati istrinya yang kini dibaringkan di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang?Kanaya memegang perutnya, sementara Bu Herlin memijat kepala menantunya itu. "Aya muntah di kamar mandi," jawab Bu Herlin. "Kamu sakit juga, Dev?" "Kepalaku pusing, Ma, tapi aku lebih khawatir sama Aya. Biar kutelepon Aldo agar memeriksanya." Devan mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada Aldo. "Apa? Lalu kamu tidak bisa ke sini? Ya sudah, tolong suruh Dokter Maria kemari untuk memeriksa istriku.""Gimana, Dev?""Aldo sedang mengurusi istrinya yang juga sakit, Ma. Sama seperti Aya, Resti juga muntah-muntah parah dan harus dirawa
Hari ini Kanaya akan menghadiri pernikahan Tini, setelah mendapatkan undangan yang diberikan Resti dua hari yang lalu. Kanaya sudah bersiap dan sedang menunggu Resti dan Mili. Tak lama kemudian, kedua sahabatnya itu datang bersama pasangannya masing-masing.Setelah ijab kabul yang dilaksanakan berbarengan dengan Mili, Resti akan ikut suaminya ke Jakarta, begitupun Mili yang akan ikut di mana suaminya tinggal. Namun, sebelum itu mereka akan menghabiskan beberapa hari lagi untuk menikmati suasana di kampung mereka. Seperti hari ini, ketiga pasangan itu sudah berada di salah satu gedung yang sedang diadakannya pesta pernikahan Tini dan Pak Iyan, dosen Kanaya dulu. Mereka tidak menyangka jika Pak Iyan yang sikapnya kadang lemah lembut seperti perempuan itu akhirnya menikah. Dan yang tidak disangka juga, Tini, yang dulu selalu mengutamakan ketampanan untuk menjadi pasangannya, kini menjatuhkan pilihan pada Pak Iyan."Hai, Aya, Mas Ganteng, selamat datang!" sapa Tini, setelah melihat kedat
Kanaya dan Devan mengajak semua tamunya untuk masuk. Mereka duduk bersantai di belakang rumah, yang mana ada dua gazebo yang baru saja dipesan oleh Devan dari meubel Pak Karman. Tempatnya yang rindang, membuat mereka betah berlama-lama di sana. Terlebih ada banyak mangga yang sudah tua dan ada yang sudah masak dari pohonnya. Kemarin setelah menghabiskan waktu di gazebo yang disediakan warga, Devan mempunyai inisiatif untuk membuat gazebo juga di belakang rumah sang istri. Kapan-kapan ia akan mengajak seluruh keluarganya untuk ke sini, sambil membuat tenda dan bermalam di belakang rumah. Sudah lama sekali tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tidak masalah meski harus kemah di belakang rumah karena suasananya sudah seperti di hutan, banyak pohon yang rindang. "Ayo ambil lagi! Itu yang atas ada yang sudah masak, My Sweety. Aku mau yang di atas yang warnanya sudah kuning." Mili berteriak pada sang kekasih yang kini naik ke atas pohon mangga. Andre mengambil beberapa mangga muda serta
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menandingi pesonaku," kata Devan dengan percaya dirinya."Jadi, kamu mau memberinya pekerjaan?""Iya. Nanti akan kuminta Andre untuk menanyakan posisi yang masih membutuhkan karyawan di kantor cabang yang ada di sini." Kanaya pun tersenyum bahagia.Mereka menikmati jajanan yang tadi dibawanya, ditemani angin sepoi-sepoi dan lucunya Mira yang sesekali merebut makanan Kanaya."Kali ini biar aku yang menggendongnya. Setelah ini kita langsung istirahat," tegas Devan saat melihat istrinya lelah. Dengan membawa payung, Devan menggendong Mira dan menggandeng istrinya. Sungguh pemandangan yang membuat banyak orang merasa iri pada Kanaya. Memiliki suami yang tampan dan juga kaya, serta perhatian dan penuh kasih."Waduh, jadi ngerepotin Nak Devan. Sini Mira, sama Nenek." Bu Sumi langsung menyambut Mira yang berada di gendongan Devan dan Devan pun menyerahkan balita itu setelah sampai di rumah Bu Sumi."Nggak ngerepotin kok, Bu," sa
Cintia menatap Devan, yang membuat laki-laki juga menoleh. "Aku minta maaf karena membuatmu digerebek warga. Aku juga minta maaf atas kesalahan yang telah kulakukan pada Aya selama ini."Cintia menangkupkan kedua tangannya, membuat Kanaya memegang tangan itu. "Suamiku sudah memaafkanmu, iya, kan, Honey?" Kanaya lagi-lagi tersenyum, Devan hanya mengangguk."Papa, ayo kita pulang!" Anak kecil berusia dua tahun itu menarik lengan papanya."Iya, Sayang. Sebentar, ya.""Hai, anak manis, siapa namamu?" Kanaya menanyai anaknya Alex."Namaku Altaf, Tante," jawabnya dengan lancar. Meski baru dua tahun, anak itu sudah pandai berbicara dengan lancarnya. Hal itu membuat Kanaya senang karena dia memang sangat menyukai anak kecil."Oh ya, Altaf, Tante ada jajanan, kamu mau nggak?" Kanaya mengambil plastik berisi jajanan miliknya, memberikan pada Altaf.Anak kecil itu memilih-milih dan akhirnya mengambil klepon."Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sayang." Kanaya tersenyum ramah dan mengusap kepala A
Alex dan Cintia sama terkejutnya kala melihat kedatangan Kanaya dan Devan. Namun, Alex bersikap ramah dan menyapa Devan serta Kanaya. "Hai, Ay. Bagaimana kabarmu dan suamimu?"Alex yang tadinya tengah duduk di gazebo akhirnya berdiri dan mendekat ke arah Kanaya dan Devan. Devan hanya menatapnya dengan tatapan datar, sementara Kanaya tersenyum ramah. "Baik, Lex, kami sangat baik," ujar Kanaya yang menoleh pada Cintia di samping Alex.Selain bersama Cintia, di sana juga ada Bu Mirna yang duduk di kursi roda. Kanaya sangat penasaran mengapa Bu Mirna berada di kursi roda dan sepertinya tidak begitu sehat. Belum sempat Kanaya bertanya, Cintia akhirnya berdiri sambil menggendong putranya. "Kapan kamu datang, Aya?""Kemarin. Ini anak kalian?" Kanaya menatap anak laki-laki yang matanya mirip dengan Alex."Iya, ini anak kami," sahut Cintia yang kini bersikap ramah, tidak seperti Cintia yang dulu. Ia bahkan memperhatikan balita yang berada di gendongan Kanaya. "Ini, kan, anaknya Lita, kok bisa
Suara jangkrik masih terdengar karena masih terlalu petang. Kanaya bangun pagi-pagi sekali. Sebelum suaminya bangun, ia sudah lebih dahulu berada di dapur setelah membersihkan tubuhnya. Rasanya ia lebih bersemangat pagi ini. Memasak beberapa menu masakan, wanita berambut panjang itu melakukannya dengan gembira.Jendela dan pintu sudah dibuka, Kanaya menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan segar. Dirinya berdiri, merenggangkan otot-otot tangan, lalu memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya. Beberapa sudah ada rumah baru, juga ada rumah yang sudah direnovasi."Aku mencarimu, Sayang." Devan memeluk Kanaya dari belakang. "Kupikir kamu kabur.""Untuk apa, aku kabur? Memangnya aku buronan?" Devan menghidu aroma istrinya dan menciumi tengkuknya. "Geli, Honey. Jangan menggodaku! Kalau tidak mau aku terkam!" Devan menyernyit, lalu melepaskan tangan yang melingkar di perut istrinya. Ia tertawa mendengar kata-kata istrinya yang seperti mengancam. "Kenapa kamu jadi begini, Sayang? Harusnya
"Bagaimana keadaan anak-anak asuh? Aku sudah lama tidak ke sana." Radit memulai pembicaraan di tengah perjalanan menuju ruang tamu."Mereka baik-baik saja dan ... mereka menanyakanmu." Zalia menjawab tanpa menoleh.Sejak Bu Herlin memintanya untuk tinggal lagi di rumah, Radit hanya sesekali pergi ke desa Sumber Makmur, tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk lebih dekat dengan Ustaz Zaki dan Zalia. Di tempat itu ia sering diajak Ustaz Zaki untuk mengurusi anak-anak asuh yang diambil dari jalanan. Radit yang pernah tinggal di jalanan, merasa sangat tergugah untuk membantu mengurusi mereka. Ia menghabiskan banyak uang untuk membantu pembangunan rumah anak-anak asuh itu."Oh ya? Aku juga sudah rindu pada mereka. Juga, pada kalian semua." Zalia menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Jujur hatinya juga bahagia bisa melihat Radit lagi. Menurutnya, Radit adalah sosok yang baik dan penyayang. Selama di desa Sumber Makmur, Zalia sering melihat Radit membantu pembangunan masjid dan j
Gerimis yang tiba-tiba mengguyur, seolah ikut merasakan kesedihan Kanaya. Di samping makam sang ibu yang masih basah, perempuan itu masih duduk berjongkok. Diusapnya pusara yang baru beberapa menit terpasang itu, berkali-kali pula menghapus air mata yang terus mengalir. Rasa sedih di hatinya tak bisa lagi ditahan. Untuk kedua kalinya ia merasakan kehilangan orang terkasih.Biar seperti apa pun, Dewi tetaplah ibu yang pernah mengisi hatinya. Kenangan indah sebelum ia memutuskan meninggalkan dirinya dan sang ayah pun masih ada dalam ingatan. Pun dengan pelukan hangat yang selalu dirindukannya. Kini, harapan untuk bisa mendapatkan pelukan hangat itupun telah sirna. Dewi, telah terbujur kaku di bawah sana. "Ayo kita pulang, Sayang. Di sini dingin," ajak Devan yang memegang bahu sang istri.Kanaya menoleh, menatap wajah teduh sang suami yang tersenyum hangat padanya. Sungguh, ia bersyukur masih memiliki Devan. Suami yang dikirimkan Tuhan, dengan segala kesempurnaan di matanya."Ayo, Sayan