Pertanyaan yang dilontarkan oleh Rani, membuat Dafa spontan melotot ke arah perempuan tersebut. Rasa marahnya bukannya berkurang, tapi justru bertambah. "Dengar, kalau kamu seperti ini terus, jangan salahkan aku untuk membuang kamu, Rani! Aku bisa mendapatkan wanita manapun yang aku mau, jangan pongah kamu!"Setelah bicara demikian, Dafa beranjak keluar meninggalkan Rani yang memanggilnya berulang kali, meminta dirinya untuk tidak pergi.Namun, Dafa acuh. Ia tetap keluar dari kost dengan emosinya yang memuncak. Rani yang sebenarnya ingin mengejar terpaksa tidak bisa melakukan hal itu, karena ia sendiri tanpa pakaian. Perempuan itu memaki kesal tatkala mendengar suara mobil pergi menjauh. Dafa sudah pergi."Maira, kenapa pikiran Dafa masih aja ke wanita sialan itu, ya, susah payah aku berusaha untuk merebut Dafa, tapi tetap aja Dafa mikirin Maira, aku enggak akan membiarkan ini begitu aja! Awas aja kamu, Maira!"Sambil berpakaian lagi, Rani bicara demikian setelah itu ia menyambar p
"Pi, Mami enggak ngomong begitu lho, bukan maksud Mami mengatakan Papi yang bermasalah, kalau kita sudah tahu, bahwa ternyata kita tidak bermasalah, berarti kita tidak perlu cemas, benar, kan?"Viona berusaha untuk membuat kemarahan suaminya reda, tapi wajah Pak Salim tetap seperti tadi, terlihat marah dan kesal."Aku yakin aku sehat, kalau kamu sudah terbukti juga sehat, ya, sudah. Mungkin kita hanya bisa menunggu, tapi sejujurnya, usia yang terus bertambah akan membuat keadaan kita tidak produktif lagi, aku khawatir kalau menunggu terus, akhirnya aku tetap tidak punya keturunan sampai kapanpun.""Jadi, Papi mau bagaimana?""Kalau aku poligami bagaimana?""Apa?""Ya, sekaligus membuktikan, kalau aku itu sehat, tanpa periksa."Viona mengeratkan genggaman tangannya pada ujung piama yang dipakainya. Sesak. Tetapi, perempuan berambut panjang itu berusaha untuk tidak terpancing emosi."Pi, berikan Mami waktu untuk berpikir...."Akhirnya, hanya itu yang dikatakan oleh Viona, sebab, mengatak
"Terus, kamu pikir hidup aku enggak berantakan gitu?""Berantakan apa sih? Lu untung kawin sama gue, dapat promosi jabatan tuh, gaji gede, bisa pindah kost gede, berantakan apa? Gue yang berantakan!"Moreno tidak mau kalah, ia balik mendamprat dengan nada suara yang meninggi. Sehingga, Maira yang teringat tentang Moreno yang harus datang di acara kantor menjelang ia naik jabatan jadi mengurungkan niatnya untuk mendamprat balik Moreno.Gadis itu berusaha untuk menata perasaannya. Menata hati, agar tidak terpengaruh dengan emosinya yang sekarang meledak-ledak."Baiklah, sekarang, mari kita tenangkan perasaan, kita sudah terlanjur dengan situasi ini, dan kita harus bertanggung jawab sampai akhir, tapi aku mohon, kamu enggak usah ngomong soal pernikahan kita sama Adam, ya?"Suara Maira terdengar merendah ketika mengucapkan kalimat tersebut, agar Moreno juga tidak semakin mengeluarkan aura bantengnya."Emangnya lu pikir gue bangga gitu nikah sama lu terus gue cerita-cerita sama temen gue?
Maira bergumam seorang diri. Ia menatap layar ponselnya, di mana nomor Moreno ia simpan di sana. Sejujurnya, setelah ia mendengar apa yang dikatakan oleh sang adik, entah kenapa, Maira jadi penasaran ingin tahu lebih banyak suami berondong nya tersebut.Namun, untuk mengorek informasi lewat Adam, rasanya Maira sungkan. Ia khawatir, adiknya tahu pernikahan kontraknya dengan Moreno, apalagi, Adam sudah wanti-wanti padanya untuk tidak jatuh cinta pada Moreno, jika ia justru mengorek informasi tentang Moreno pada sang adik, Adam pasti curiga, dan Maira tidak mau itu terjadi.***"Tuan Besar, Tuan Muda sekarang ada di rumah sakit dan terancam diperiksa oleh kepolisian, jika itu terjadi, saham perusahaan bisa merosot tajam, apakah Tuan Besar ingin melakukan sesuatu untuk mencegah ini semua?"Asisten kepercayaan Pak Marvel, ayah Moreno bicara demikian di hadapan Pak Marvel yang saat itu usai melakukan sejumlah pemeriksaan rutin terkait penyakit kanker otak yang dideritanya."Apalagi yang di
Sebuah suara membuat Maira mengalihkan perhatiannya pada map yang dibacanya. Buru-buru, Maira menutup map itu, dan mendongakkan kepalanya, untuk meyakinkan bahwa pendengarannya salah. Suara itu milik Rani, dan ia tidak mau apa yang ia pikirkan ternyata benar, bahwa yang menyapanya adalah Rani.Namun, harapan Maira tidak terwujud karena dugaannya benar, bahwa yang menyapanya adalah Rani. Mengapa sahabat penghianatnya itu menemuinya?Maira tidak berniat untuk meladeni Rani. Karena semenjak ia sudah mendapatkan promosi jabatan, kehidupannya harus berubah. Maira tidak mau terjebak masa lalu, meskipun ketika melihat orang yang sangat ia pedulikan sewaktu dahulu itu ada rasa sakit dan marah menguasai hatinya, namun, Maira tidak mau membuang energi hingga akhirnya ia tidak fokus melakukan tanggung jawab barunya setelah mendapatkan promosi.Rani yang merasa diabaikan oleh Maira kesal. Perempuan itu mengejar Maira dan menghalangi wanita itu dengan wajah murka. "Sombong kamu sekarang?" katany
"Tapi, Pak?" "Sudahlah, mari aku bantu."Pak Salim mengulurkan tangannya pada Rani, dan Rani langsung menyambut uluran tangan bos Maira dengan hati gembira.Perempuan itu melirik ke arah Maira, yang benar-benar tidak bisa menyembunyikan perasaan terkejutnya karena ia berhasil membuat bos Maira memberikan perhatian kepadanya.Lihat, Maira. Lihat aku! Pesonaku ini membuat semua pria takluk, jangankan Dafa tunangan kamu itu, bos kamu aja aku bisa menaklukannya!Rani bicara demikian di dalam hati, sambil tersenyum penuh arti, tapi tetap berusaha berakting agar bos Maira semakin tersentuh dengan kondisinya. Ya, ampun, kenapa dengan Pak Salim? Aku baru ngeliat dia kayak gitu, Rani bukan karyawannya, aku tahu itu bentuk rasa kemanusiaan, tapi, ini aneh ....Maira juga bicara di dalam hati, dan ia tidak bisa menghentikan niat Pak Salim yang benar-benar ingin menolong Rani. Pria itu memapah Rani untuk dibawa menuju mobilnya diiringi tatapan mata tidak mengerti dari Maira.Mengapa Pak Salim s
"Apa?""Iya, Tuan, jadi, ayolah, Tuan Muda menurut saja, kembali dengan saya, dokter juga sudah bilang kalau Tuan sudah boleh pulang sekarang, saya akan-""Keluar, Danu! Kamu mau melawan saya?!"Danu seketika terdiam mendengar apa yang diucapkan oleh Moreno yang sengaja merubah caranya bicara menjadi lebih formal pertanda ia tidak sedang ingin dibantah. Asisten kepercayaan Pak Marvel itu menarik napas panjang. Mau tidak mau menurut, padahal ia tidak mau melakukannya lantaran memikirkan kondisi ayah Moreno. Jika ia gagal dalam tugas yang diberikan pria itu, bagaimana nanti kondisi majikannya tersebut?Namun, jika memaksa, ia khawatir Moreno semakin sulit untuk dipantau, jadi akhirnya asisten kepercayaan ayah Moreno itu mengalah....Selang beberapa saat Danu pulang, disusul Jee beberapa menit kemudian, Maira datang dan Moreno kesal melihat perempuan itu datang."Lu, ngapain datang, sih? Kan, gue udah bilang, enggak usah datang, jangan bersikap seperti seorang isteri sama suaminya, lu
Maira bergumam pada dirinya sendiri, sambil terus memperhatikan Moreno yang saat itu masih terlihat berdebat dengan perempuan berjilbab tersebut.Wajah Moreno terlihat sangat memelas di mata Maira. Tidak pernah ia melihat pria itu demikian karena yang selalu terlihat adalah pancaran wajah Moreno yang angkuh, tengil dan seperti tidak takut dengan hal apapun. Namun sekarang, Maira melihat sebaliknya, hingga kata-kata Adam adiknya, benar-benar mengganggu pikirannya. Segitu cintanya kah Moreno dengan perempuan itu sampai mampu membuat Moreno demikian? Tidak berapa lama kemudian, Maira melihat perempuan berjilbab yang berdebat dengan Moreno pergi meninggalkan Moreno yang masih memanggil wanita itu tapi tidak dihiraukan. Untuk sesaat, Maira bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang? Apakah ia pergi atau ia menghampiri untuk sekedar menguatkan?Pada akhirnya, Maira memutuskan untuk menghampiri Moreno, meskipun khawatir akan didamprat pemuda itu, tapi membiarkan Moreno seperti anak kecil