"Lu angkuh karena gue minta tolong sama lu?" kata Moreno tidak suka dengan reaksi Maira yang seolah merasa menang mendengar apa yang diucapkannya tadi."Enggak! Aku enggak kayak kamu yang suka merendahkan orang yang sedang kesulitan, aku tahu rasanya di situasi yang enggak punya uang, aku cuma ingin -""Lu jawab aja, mau atau enggak!" potong Moreno dengan wajah yang terlihat semakin bete. Badmood sekali terlihat pemuda tersebut hingga membuat Maira geleng-geleng kepala."Aku enggak punya uang, kamu lupa? Aku baru aja naik jabatan, baru masa training, setelah pekerjaan ini resmi menjadi pekerjaan aku, aku yang akan mengakhiri kontrak kita dengan cepat, bukan kamu, jadi aku enggak bisa bantu kamu meskipun tawaran pengurangan masa kontrak itu aku tergiur.""Ya, udah! Gue molor di kolong jembatan aja!"Moreno langsung ingin melewati Maira ketika ia usai bicara demikian. Akan tetapi, Maira langsung mencegahnya melewatinya, hingga Moreno melotot ke arahnya."Minggir!" "Reno! Please! Aku c
Maira terkejut mendengar suara Moreno bicara demikian. Dirinya kepergok!Ingin melarikan diri, Maira merasa percuma, sudah terlanjur terlihat, hingga akhirnya, perempuan itu membalikkan tubuhnya, dengan wajah yang salah tingkah."Maaf, aku cuma penasaran apa yang kamu lakukan dengan wajah basah seperti tadi."Maira memilih jujur daripada berbohong yang pastinya nanti, membuat Moreno murka."Pasti lu mikir, gue lagi ngocok, kan?""Enggak!!" sahut Maira tegas dengan wajah yang merah mendengar ujung kalimat Moreno yang jorok. "Kurang kerjaan!"Moreno membalikkan tubuhnya, dan melangkah meninggalkan Maira, masuk kembali ke kamar lalu menutup pintunya tanpa peduli dengan ekspresi wajah Maira yang merah menahan malu. "Ya! Aku memang kayak kurang kerjaan, bisa terlibat dengan kamu yang menyebalkan itu!" rutuk Maira pada Moreno.Rasa dongkolnya yang tadi sempat hilang karena melihat Moreno shalat malam kini kembali muncul, membuat gadis itu akhirnya beranjak pula dari tempatnya berdiri masi
Sebelum panggilannya dijawab oleh orang yang ia hubungi, Pak Salim bicara seperti itu pada dirinya sendiri, untuk meyakinkan dirinya bahwa pertanyaan itu tidak condong seperti seseorang yang sedang memiliki perasaan suka. Biar bagaimanapun, Pak Salim tahu cara menjaga nama baik sebagai pemimpin perusahaan, ia tidak mau masalah hatinya sampai diketahui oleh orang yang bekerja dengannya.{Bagaimana dengan rumah yang ditempati oleh Maira? Apakah ia terlihat sudah menempati rumah itu}Pak Salim akhirnya merubah cara bertanyanya, tidak jadi memakai kalimat yang tadi, sebab, khawatir anak buahnya justru mencurigai sesuatu.{Sudah, Pak. Mereka sudah bermalam satu malam bersama di rumah itu}{Mereka?}{Ya, Mbak Maira dengan suaminya}Telapak tangan Pak Salim mengepal mendengar penjelasan anak buahnya dan detik berikutnya, ia mengakhiri percakapan setelah mengatakan pada sang anak buah, untuk terus memantau perkembangan situasi di hunian baru tempat di mana ia menyerahkan satu unit rumah un
Pertanyaan yang dilontarkan oleh sang bos membuat wajah Maira pucat. Namun, karena tidak mau bos-nya curiga, Maira berusaha untuk menekan perasaan terkejutnya dengan cara mempersilakan bosnya tersebut untuk masuk.Setelah mempersilakan Pak Salim masuk dan duduk, Maira bergegas ke dalam lalu menghampiri Moreno yang bersiap ingin mendampratnya ketika melihat sang istri kontrak kembali ke dapur. Namun, Maira lekas meletakkan telunjuknya di bibir meminta Moreno tidak melanjutkan omelan -omelannya karena di depan ada bos-nya.Mendengar apa yang diucapkan oleh Maira, Moreno mencibir. "Jorok lu! Ambil nasi berhamburan!" makinya tapi volume suaranya ia turunkan tidak lagi meninggi seperti tadi. "Duuuh, itu tadi aku kaget gara-gara kamu ngomong sembarangan! Maaf ya, nanti aku bereskan deh!""Sekarang! Jangan nanti! Nasi itu! Katanya lu miskin tapi lu enggak menghargai nasi!"Moreno masih melanjutkan omelannya, dan Maira menghela napas mendengarnya, lalu terpaksa meraih sapu untuk membersihk
Maira terpaksa patuh dengan perintah sang bos dan beranjak ke depan lalu duduk sejajar dengan bosnya di mobil tersebut.Rasanya benar-benar canggung, tapi, Maira berusaha untuk mengatasi perasaan itu karena tidak mau membuat kecurigaan sang bos makin menjadi-jadi."Maaf, Pak. Untuk apa yang Bapak lihat tadi."Karena Pak Salim tidak kunjung bicara meskipun mobil sudah melaju di atas jalan raya yang padat kendaraan, akhirnya, Maira yang berinisiatif bicara lebih dulu.Mendengar permintaan maaf Maira, Pak Salim menarik napas. Bagaimana caranya ia meluahkan perasaan kesalnya ketika ia melihat Maira di atas tubuh Moreno tadi?Mereka sudah menikah, bukankah wajar melakukan apa saja hingga terlihat mesra? Begitu hati Pak Salim terus menerus, sampai ia terdiam untuk beberapa saat lamanya agar mampu mengatasi perasaannya."Sikap suami kamu itu, apakah selalu seperti itu?"Akhirnya, sebuah kalimat keluar dari mulut Pak Salim, dan Maira sudah menebak, pasti itu yang akan dibahas bosnya."Kami me
"Kau tidak boleh hamil! Aku sudah bilang kau tidak boleh hamil, kan?""Kalau aku hamil, bagaimana? Kamu enggak mau tanggung jawab?""Kalau kamu hamil itu berarti, anak itu bukan anakku!""Aku hanya melakukannya dengan kamu, Dafa!""Tapi aku selalu memakai pengaman saat kita berhubungan, Rani, kau juga aku minta meminum pil KB, jadi kalau kamu hamil, itu tanggung jawab kamu, bukan aku!"Telapak tangan Rani mengepal mendengar ucapan Dafa yang diucapkan pria itu dengan nada suara yang meninggi. Sebenarnya, ia ingin mendebat, tapi karena Rani khawatir akan membuat Dafa semakin marah padanya, wanita itu akhirnya mengurungkan niatnya. Ia berpikir sejenak, topik apa yang harus ia bahas agar Dafa tidak semakin marah padanya? Rani tidak mau Dafa memutuskan hubungan mereka karena Dafa adalah ATM berjalan baginya. Selain itu, tidak pernah Rani merasa sangat menyukai seorang pria seperti rasa sukanya pada Dafa. Biasanya, Rani hanya fokus dengan uang yang dimiliki pria itu saja, tidak memakai per
"Apa? Kamu becanda?" pekik Rani, tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Dafa. "Apa kau pikir, aku seperti bercanda?""Tapi, Dafa, ini tuh keterlaluan, kamu minta aku menggoda suami Maira, pria berandalan seperti itu bukan tipeku, aku-""Dia putra pewaris, kau tahu Marvel Marcellino Maurer?""Suami Maira anak Pak Marvel?""Ya.""Moreno?""Siapa lagi?""Apa benar dia anak Pak Marvel?""Aku ini pebisnis, Rani. Aku tahu pengusaha yang ada di kota ini, meskipun bukan rekan bisnis tapi aku tahu.""Baiklah, baik. Aku percaya, tapi aku tidak percaya kamu memberikan tugas seperti itu padaku, ini aneh, Dafa, kamu enggak cemburu aku menggoda pria lain?""Kau berharap aku cemburu?""Aku mencintaimu, apakah -""Kamu mau atau tidak?" potong Dafa dengan tatapan mata serius.Laki-laki ini memang benar-benar nyebelin, dia minta aku menggoda suami Maira? Malas banget aku, mending bos Maira, ganteng dan kaya, kalau suami Maira itu kan berandalan? Kalaupun dia pewaris, pasti juga dia enggak dijadi
"Apa? Selingkuhan, Salim?"Pak Marvel tidak bisa menahan rasa terkejutnya ketika asistennya memberikan informasi tersebut padanya. "Iya, masih saya selidiki terus, Tuan, semoga saja itu tidak benar.""Kau selidiki masalah itu, jika isu itu benar, aku tidak akan merestui pernikahan mereka, dan Moreno harus bercerai dengan perempuan itu!""Baik, Tuan!"Danu langsung pamit dari hadapan Pak Marvel setelah Pak Marvel mengatakan bahwa pembicaraan mereka sudah selesai.Sepeninggal Danu, Pak Marvel langsung meraih ponselnya dan laki-laki tersebut segera menghubungi seseorang dengan wajah yang terlihat tidak nyaman sekali untuk dilihat. ***"Ngapain lu ke sini?" tanya Kenzie ketika ia membuka pintu rumahnya ternyata yang sejak tadi menekan bel adalah Moreno."Gue pinjem motor!" Tanpa basa-basi, Moreno langsung mengatakan niatnya pada Kenzie, seorang pembalap profesional yang sekarang tidak lagi melakukan aktivitas itu lantaran tidak mendapatkan restu dari orang tuanya. Namun, karena balapan