"Sayang, kamu baik-baik ya di dalam. Mama akan selalu melindungi dan memastikan kamu bahagia walaupun papa mu direbut oleh tante kamu sendiri," ujar Nana mengelus perut nya yang buncit.
Dengan menghela napas panjang, perempuan berusia 26 tahun itu berusaha fokus mengemudi, namun mendadak Nana teringat dengan chat di discord milik sang suami dan adiknya yang berjalan dengan aneh. Perlahan air mata mengalir menuruni pipinya. Segera diusapnya air mata nya dengan punggung tangan. "Sebenarnya darimana salahnya?! Aku dan Dita sudah ditinggalkan oleh kedua orang tua kami. Apa aku salah mengajak Dita untuk tinggal bersama? Aku pikir dia akan lebih baik kuliah dan tinggal satu kota dengan ku agar mudah mengawasinya sehingga dia bisa kuliah dengan baik dan terhindar dari pergaulan bebas. Aku juga membiayai kuliah dan kebutuhan hidup sehari-harinya. Tapi kenapa dia justru menusuk ku dari belakang?" gumam Nana. Hatinya merasa sesak. Rumah tangga impian nya harus kandas saat Tuhan menghadirkan malaikat mungil dalam rahimnya, oleh perempuan yang paling disayanginya. Seolah mengerti kegelisahan ibunya, anak dalam kandungannya bergerak lebih kencang dan sering, seiring dengan perut nya yang berkontraksi perlahan. "Astaghfirullah!" desisnya. Nana menepikan mobil nya perlahan ke pinggir jalan raya. Perutnya terasa mengencang. Nana berdiam diri sesaat. Dipijatnya keningnya sekilas. "Ya Allah, aku yakin bahwa Engkau tidak akan membebani seorang hamba di luar batas kesanggupannya." Dielusnya perut nya sekilas. "Sayang, malaikat kecil mama. Kamu belum waktu nya lahir. Kamu tahu ya kalau mama sedang sedih. Maaf ya kamu jadi ikut sedih." Nana terdiam sejenak. Mencoba menenangkan pikirannya. Dia menggumam kan salawat, beberapa surat pendek dan diakhiri dengan doa nabi Yunus yang selalu dibacanya saat hatinya yang sesak dan merasakan kesulitan. Perlahan kontraksi di perut nya menghilang. Dengan segera, Nana melajukan kembali mobil milik suaminya itu. *** "Hai, Mbak, baru pulang? Makan yuk?! Aku baru saja mencoba masak nih. Mungkin nggak seenak buatan mbak Nana, tapi aku yakin bisa dimakan tanpa keracunan," seloroh Dita sambil menuang sop ke dalam mangkuk besar di atas meja makan. Ternyata di samping sop, sudah tersedia telur dadar. Aroma masakan Dita menguar di ruang makan. Nana memaksakan senyuman. Jika saja adiknya tidak mengkhianati nya, mungkin dia akan sangat bahagia dan menjadi bersemangat untuk melahap hasil masakan adik semata wayang nya itu. Tapi saat ini telah berbeda. Bagi Nana, masakan sang adik tak ubahnya seperti racun yang bisa menghilangkan nyawanya kapan saja. "Aku sudah kenyang, Dit. Tadi kan makan di acara pernikahan anak kepala ruanganku," ujar Nana tersenyum. Wajah Dita tampak kecewa. "Lah, percuma dong aku capek-capek masak kalau mbak Nana nggak mau makan?" sahut Dita sedih. Nana hanya terdiam dengan perasaan yang berkecamuk. Ingin rasanya melabrak dan bertanya pada sang adik siapa yang lebih dulu menggoda, dia atau sang suami. Tapi tentu saja hal itu tidak mungkin dilakukan nya. Nana sendiri tidak sanggup jika harus menginterogasi adiknya dalam situasi yang tidak tepat. Bisa-bisa adiknya ngeles dan tidak mau mengakui. Tapi yang jelas, Nana merasa muak dan malas melihat wajah adiknya yang menjadi musuh dalam selimut. *** "Kamu kenapa sih, Yang?" tanya Rama saat laki-laki itu berbaring di samping nya. Nana yang sedang duduk di sandaran ranjang dan membaca buku, akhirnya meletakkan buku nya diatas nakas. "Aku kenapa maksudnya?!" tanya Nana bingung. Rama menatap ke arah sang istri. "Tadi Dita cerita padaku kalau kamu nggak mau makan masakannya. Kenapa sih? Kamu enggak kayak biasanya lho! Kasihan adik kamu tuh sampai nangis tadi. Takut berbuat salah padamu," ujar Rama lembut. Nana menatap sang suami dengan pandangan yang misterius. "Tadi perutku mual. Enggak enak makan. Lagipula aku sudah makan di acara pernikahan anaknya kepala ruangan ku, Mas. Jadi aku nggak bisa makan lagi. Perutku terasa penuh dan kekenyangan," sahut Nana tersenyum. "Oh, syukur lah kalau begitu. Berarti kamu nggak ada masalah dengan Dita kan?" tanya Rama menegaskan. Nana menggeleng. "Nggak ada. Kenapa harus ada masalah dengan adik sendiri? Dita nggak melakukan kesalahan padaku kok. Yah, kecuali Dita sudah mencuri sesuatu yang berharga dariku. Nah, kalau seperti itu aku wajar kan kalau marah pada Dita," ujar Nana santai. Tapi mampu membuat wajah Rama memerah. "Baguslah kalau begitu. Sesama saudara memang tidak boleh saling memusuhi," ujar Rama lalu mengganti lampu kamar dengan lampu tidur. "Ya sudah, ayo tidur. Besok kamu dinas pagi kan?" Nana menganggukkan kepala nya. "Iya, Mas." Nana pun berpura-pura memejamkan matanya. Dan tak lama kemudian saat suara dengkur Rama mulai terdengar, Nana perlahan bangun dari posisi berbaring nya. Nana mengibaskan tangan kanannya perlahan di depan wajah Rama dan setelah yakin bahwa sang suami sudah terlelap, dia mengambil ponsel Rama dan membuka discord aplikasi mobile legends lagi. Nana membelalak saat membaca chat antara suami dan sang adik saat sore hari ini. [Honey, pap dong. Kangen sekali dengan kamu. Kalau bisa yang s3ksi ya] [Foto] [Foto] [Foto] [Udah, Mas. Cantik nggak?] [Wah, cantik banget. Kamu memang sangat mempesona, Honey. Bagaimana kalau 3 hari lagi kita staycation?] Nana terbelalak membaca chat antara suami dan adik kandung nya itu. Apalagi foto yang dikirim oleh adiknya terbilang tidak senonoh, memperlihatkan area d4d4 dan p4h4. "Astaghfirullah, mereka benar-benar keterlaluan! Sama sekali tidak menghargai ku," desis Nana marah. Tangannya terkepal. [Oke, Mas. Aku mau banget. Kita staycation dimana?] [Nanti juga kamu akan tahu. Jadi seperti kemarin, setelah pulang kerja, aku akan menjemput mu saat pulang kuliah dan kita langsung ke hotel.] [Siap, Mas Sayang. Oh ya, tadi mbak Nana aneh deh. Masa saat aku tawarin makanan, dia hanya melengos dan langsung masuk kamar. Padahal aku tidak berbuat salah padanya, Mas. Apa Jangan-jangan mbak Nana tahu tentang kita?] [Nggak mungkin kayaknya kalau kakak kamu tahu. Aku kan ngetreat dia persis ratu. Kamu juga masih manja pada kakak kamu. Mungkin kakak kamu ada masalah di rumah sakit.] [Hm, entahlah. Pokoknya tumben-tumbenan mbak Nana tadi moodnya amburadul. Tolong kamu tanyain ya, Mas. Aku sedih nih, udah masak capek-capek, eh, malah mendapatkan perlakuan yang sengit.] [Iya. Nanti pasti aku tanyakan pada kakak kamu. Yang penting tiga hari lagi kita staycation ya.] Nana segera mengcapture chat discord itu dan mengirimkannya ke ponsel nya. "Baiklah, Mas. Tiga hari lagi kamu akan melihat apa yang bisa kulakukan. Kelakuan kamu dan adik kamu sungguh tidak bisa dimaafkan!" ucap Nana geram. Next?"Baiklah, Mas. Tiga hari lagi kamu akan melihat apa yang bisa kulakukan. Kelakuan kamu dan adik ku sungguh tidak bisa dimaafkan!" ucap Nana geram. Dikembalikannya lagi ponsel sang suami ke atas nakas, lalu bersandar di tempat tidur. Perutnya kembali mengencang setiap kali dia memikirkan perselingkuhan adik dan suaminya. Nana menghela napas panjang lalu mengelus perutnya berulang-ulang. Mencoba berdamai dengan nasib yang menimpanya. Hingga rasa kantuk membuainya kedalam mimpi. Sebuah tepukan hangat membangunkannya, membuat Nana membuka mata. Tampak sang suami dengan senyumannya yang khas berdiri di hadapan nya. "Apa yang baru kamu lakukan semalam sampai kamu tidur dengan posisi duduk di ranjang, Yang?" tanya Rama. Nana memaksakan senyumnya. "Perutku mengencang. Rasanya agak nyeri," jawab Nana jujur. Dia menoleh ke arah jam bulat yang menempel di dinding kamar. Masih jam setengah lima pagi. Rama mengusap dan mencium perut sang istri. "Jagoan papa semalam main bola? Besok kalau su
"Oh, ya. Barusan ada tamu ya? Tadi papa ketemu di luar rumah dan kaget saat melihat orang yang nyetir mobilnya ternyata teman SMA papa. Dia pak Danu kan? Pengacara yang biasa menangani kasus perceraian. Ada urusan apa pak Danu kemari, Na?" tanya Papa mertua Nana membuat Nana menelan ludah. Nana menimbang-nimbang kemungkinan nya untuk berterus terang ataukah mendiamkan masalah ini sampai berkas masuk ke pengadilan agama. "Hm, papa yakin kalau tamu yang baru datang tadi adalah teman SMA Papa?" tanya Nana hati-hati. Papa mertua Nana menatap ke arah menantu nya. "Yakin lah. Yakin banget! Kan tadi pak Danu membuka kaca jendela mobil. Jadi papa bisa melihat dengan jelas wajah teman papa itu," ujar papa mertua Nana. "Hm, gitu ya. Wah, kalau saja mama dan papa sampai di sini lebih awal, mungkin mama dan papa bisa reunian dengan beliau ya," jawab Nana mengambang. "Na, jadi benar yang kerumah mu tadi pak Danu? Ada apa? Apa ada masalah dengan pernikahan kalian?" tanya mama mertua nya. Tamp
Belum selesai Nana membaca halaman itu, mendadak terdengar suara dari pintu kamar Dita."Mbak...?"Buku agenda di tangan Nana terjatuh. Nana segera memungutnya lalu menoleh ke asal suara. "Ada apa mbok Inah?" tanya Nana menatap ke arah mbok Nah yang sedang berjalan ke arahnya membawa sebuah paket. "Oh, bu Nana. Saya kira mbak Dita sudah pulang dari kampus. Kok pintu nya terbuka."Nana tersenyum. "Iya, saya cuma ingin mencari buku saya yang semalam dipinjam Dita. Kalau Dita nya ya belum pulang."Nana menjeda kalimatnya. "Memangnya kenapa, Mbok?" "Ini ada paket, Bu." Mbok Inah mengulurkan paket yang terbungkus plastik berwarna hitam dari tangannya ke arah Nana. "Sudah dibayar ini, Mbok? Apa COD?""Sudah lunas, Bu.""Ya sudah. Paket milik Dita saya terima dan saya simpan di kamar, Mbok."Mbok Inah mengangguk lalu keluar dari kamar. Nana melihat paket berukuran sedang itu seraya duduk di pinggir ranjang. Pada awalnya dia berniat untuk meninggalkan paket itu begitu saja. Tapi kemudia
Nana pun langsung membuka pintu kamar Dita, dan tampaklah adiknya itu sedang memakai lingerie di depan lemari kaca seolah memang menunggu kedatangan seseorang. Suara langkah di belakang Dita terdengar jelas. Namun Dita tetap mengaca dan mengoleskan lipstik di bibirnya yang ranum. Lingerie yang dipakai Dita sangat vul gar. Benar-benar hanya diperuntukkan bagi pasangan suami istri yang sah saja. "Gimana menurut kamu? Warna hitam ini cocok untuk ku kan?" tanya Dita. Nana masih terdiam mengawasi adiknya tanpa melangkah lagi. Dita yang curiga karena tidak mendapat kan respon seperti yang diharapkan, akhirnya menoleh ke arah pintu. "Astaga, Mbak Nana! Kok sudah pulang?!" jerit Dita kaget seraya meraih selimut di atas kasurnya dengan cepat lalu menutup kannya ke tubuhnya. Nana tersenyum kecut. "Kenapa kamu kaget? Apa kamu tidak memprediksi kan bahwa aku yang datang? Atau kamu ingin yang berada di kamar kamu saat ini bukan aku, tapi yang lain? Siapa? Mas Rama? Kamu berharap mas Rama yan
"Hm, kamu bilang kayak gitu seolah-olah kamu yang jadi kakak kandungnya Dita, Mas. Bukan aku. Atau kamu cemburu jika ada laki-laki lain yang mendekati adikku?" sahut Nana memasang tampang curiga. "Astaga, Sayang! Kamu ini ngomong apa sih? Orang yang menjadi keluarga kamu tentu saja menjadi keluarga ku. Orang yang kamu jaga, tentu saja akan kujaga juga," ujar Rama cepat. Nana diam sesaat."Tadi mama dan papa kesini, Mas.""Iya. Aku tahu. Mama tadi sudah menelepon ku dan bilang ingin mengantarkan lauk dan mainan untuk anak kita. Mama seneng banget dengan kehamilan kamu dan menunggu-nunggu kelahiran cucu pertama nya. Padahal dedek utun belum launching, tapi sudah banyak kado buat dia," sahut Rama sumringah. "Sebenar nya tadi mama mengatakan sesuatu yang membuatku kepikiran dan overthinking," sahut Nana."Hah, emang mama bilang apa?" "Mama bilang kalau ipar adalah maut. Dan sebenarnya mama tidak setuju kalau Dita tinggal di sini."Rama terkejut mendengar ucapan Nana. "Lah memangnya k
Beberapa saat sebelum nya, Rama duduk di belakang kemudi sambil menunggu Dita keluar dari kampus. [Honey, aku sudah menunggu kamu di depan kampus.]Rama menunggu beberapa saat sampai tanda centang berubah biru. [Lho, Mas. Sudah mau jemput aku? Aku masih nugas sama nongkrong di kafe kampus.][Iya. Aku kan sebenarnya pulang jam 3 sore. Tapi selalu pulang lebih lama karena mengambil lemburan. Hari ini aku ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan kamu. Yuk, Honey, cepetan ya. Katanya kamu sudah beli lingerie?]Di kafe tempat nongkrong, Dita tersenyum sambil menatap ponsel nya. [Oke, Mas. Aku keluar sekarang.]Dita segera membereskan buku dan netbook nya dan memasukkan nya ke dalam tas. Lalu bergegas ke pelataran parkiran kampus mencari Rama. Hati Dita berdebar saat membuka pintu mobil Rama. Digenggamnya erat-erat tas nya yang berisi lingerie warna hitam miliknya. Dita dan Rama saling menatap sejenak. Keduanya tersenyum saat Rama membelai pipi Dita. "Kamu cantik sekali!""Hm, maka
"Pak polisi! Tolong bawa saja kedua orang ini! Karena saya tidak mau berdamai dengan mereka!" ujar Nana geram. Polisi menarik tangan Dita sehingga menjauh dari Nana. Dita hampir terjerembab di lantai kamar. Rama buru-buru bergegas menolongnya. Dita menatap wajah Rama dengan tatapan sedih. "Mas, tolong katakan pada mbak Nana agar melepaskan kita. Bukankah kita adalah saudara? Tolong Mas, aku nggak mau di penjara," ujar Dita menghiba. Rama mengangguk lalu mendekat ke arah Nana. "Sayang, aku khilaf. Kami khilaf. Aku akui kami bersalah. Tapi mengingat pernikahan kita yang hampir 2 tahun dan anak kita yang akan lahir, kumohon maafkan aku. Aku berjanji kalau kamu memberikan aku kesempatan kedua, aku akan lebih mencintai dan menyayangimu. Aku ingin berdamai dengan kamu, Na. Kamu masih mencintai aku kan?" tanya Rama menghiba. Rama menatap intens mata Nana. Mencoba untuk membuat istri nya iba sehingga mau memaafkan perlakuan nya. "Seharusnya kamu memikirkan tentang hal ini lebih dulu se
Suasana hening sejenak. "Ehem, Nak Nana." Kali ini giliran papa mertua Nana yang angkat bicara. "Ya, Pa?""Papa dan Mama sangat menyayangi mu. Papa juga menyayangkan perselingkuhan yang dilakukan oleh Rama. Tapi Papa tidak mau anak sulung papa di penjara. Jadi.. Papa minta padamu untuk menawarkan jalan damai. Apapun yang kamu minta pasti papa kabulkan, asalkan kamu mau mencabut tuntutan kamu pada Rama. Papa membawa pengacara untuk memudahkan kasus ini, Na. Biarlah Rama menyadari kesalahannya di rumah papa bukan di penjara," ujar papa mertua Nana. Nana menghela napas panjang. Sebenarnya dia ingin melihat suami dan adik kandung nya dipenjara agar mengalami rasa sakit lebih daripada yang dirasakan nya. Tapi dia juga mempunyai rencana lain jika keluarga Rama memilih damai. "Baiklah, Pa, Ma. Saya bersedia berdamai dengan beberapa syarat.""Katakan apa saja syarat jalan damainya, papa dan mama akan usahakan, Na.""Pertama saya ingin bertanya pada papa dan mama, apakah papa dan mama jug