Beberapa saat sebelum nya, Rama duduk di belakang kemudi sambil menunggu Dita keluar dari kampus. [Honey, aku sudah menunggu kamu di depan kampus.]Rama menunggu beberapa saat sampai tanda centang berubah biru. [Lho, Mas. Sudah mau jemput aku? Aku masih nugas sama nongkrong di kafe kampus.][Iya. Aku kan sebenarnya pulang jam 3 sore. Tapi selalu pulang lebih lama karena mengambil lemburan. Hari ini aku ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan kamu. Yuk, Honey, cepetan ya. Katanya kamu sudah beli lingerie?]Di kafe tempat nongkrong, Dita tersenyum sambil menatap ponsel nya. [Oke, Mas. Aku keluar sekarang.]Dita segera membereskan buku dan netbook nya dan memasukkan nya ke dalam tas. Lalu bergegas ke pelataran parkiran kampus mencari Rama. Hati Dita berdebar saat membuka pintu mobil Rama. Digenggamnya erat-erat tas nya yang berisi lingerie warna hitam miliknya. Dita dan Rama saling menatap sejenak. Keduanya tersenyum saat Rama membelai pipi Dita. "Kamu cantik sekali!""Hm, maka
"Pak polisi! Tolong bawa saja kedua orang ini! Karena saya tidak mau berdamai dengan mereka!" ujar Nana geram. Polisi menarik tangan Dita sehingga menjauh dari Nana. Dita hampir terjerembab di lantai kamar. Rama buru-buru bergegas menolongnya. Dita menatap wajah Rama dengan tatapan sedih. "Mas, tolong katakan pada mbak Nana agar melepaskan kita. Bukankah kita adalah saudara? Tolong Mas, aku nggak mau di penjara," ujar Dita menghiba. Rama mengangguk lalu mendekat ke arah Nana. "Sayang, aku khilaf. Kami khilaf. Aku akui kami bersalah. Tapi mengingat pernikahan kita yang hampir 2 tahun dan anak kita yang akan lahir, kumohon maafkan aku. Aku berjanji kalau kamu memberikan aku kesempatan kedua, aku akan lebih mencintai dan menyayangimu. Aku ingin berdamai dengan kamu, Na. Kamu masih mencintai aku kan?" tanya Rama menghiba. Rama menatap intens mata Nana. Mencoba untuk membuat istri nya iba sehingga mau memaafkan perlakuan nya. "Seharusnya kamu memikirkan tentang hal ini lebih dulu se
Suasana hening sejenak. "Ehem, Nak Nana." Kali ini giliran papa mertua Nana yang angkat bicara. "Ya, Pa?""Papa dan Mama sangat menyayangi mu. Papa juga menyayangkan perselingkuhan yang dilakukan oleh Rama. Tapi Papa tidak mau anak sulung papa di penjara. Jadi.. Papa minta padamu untuk menawarkan jalan damai. Apapun yang kamu minta pasti papa kabulkan, asalkan kamu mau mencabut tuntutan kamu pada Rama. Papa membawa pengacara untuk memudahkan kasus ini, Na. Biarlah Rama menyadari kesalahannya di rumah papa bukan di penjara," ujar papa mertua Nana. Nana menghela napas panjang. Sebenarnya dia ingin melihat suami dan adik kandung nya dipenjara agar mengalami rasa sakit lebih daripada yang dirasakan nya. Tapi dia juga mempunyai rencana lain jika keluarga Rama memilih damai. "Baiklah, Pa, Ma. Saya bersedia berdamai dengan beberapa syarat.""Katakan apa saja syarat jalan damainya, papa dan mama akan usahakan, Na.""Pertama saya ingin bertanya pada papa dan mama, apakah papa dan mama jug
"Huhuhu, mbak Nana jahat! Teganya dia memasukkan aku ke sini!" gumam Dita lirih diantara isak tangis. Dia baru berhenti menangis saat sebuah suara mengagetkan nya. "Heh, Lu jangan menangis saja! Brisik! Gue hajar juga ya ntar kalo nggak bisa diam!"Dita menoleh ke asal suara. "Memang nya tahanan ini hanya punya kamu? Kesel! Jangan seenaknya nyuruh-nyuruh orang!" desis Dita kesal. Dia sangat kesal dengan Nana dan sedang ingin melampiaskan kemarahannya. Dita baru saja menyelesaikan kalimat nya saat teman di tahanannya itu mendelik dan menarik rambut panjang nya. "Astaga! Lepasin! Sakit tahu!" teriak Dita galak. Tapi tahanan yang satu sel dengan Dita itu tidak melepaskan tangannya. Dia justru semakin erat menjambak rambut Dita. Dita pun membalas menjambak rambut teman satu sel nya dengan sekuat tenaga. "Lepasin b r e n g s e k!""Nggak! LU yang b r en g sek! Lu kan ditahan di sini atas kasus ku mpul k ebo kan?! Cih, dasar murahan! Aku ini paling benci valakor!"Dita terperanjat mend
Yanuar mengangguk-anggukkan kepala nya. "Baiklah, silakan dulu tanda tangan di kertas bermateri ini," ujar Yanuar sambil mengulurkan selembar kertas bermaterai dan pena ke arah Dita. 'Baiklah, tidak apa-apa jika sekarang aku kehilangan uang. Toh, nanti jika aku dan mas Rama menikah, aku juga akan dinafkahi oleh mas Rama dan bisa banyak uang lagi,' batin Dita riang. *** Nana tersenyum saat pengacara nya menyerahkan surat kesepakatan dari Yanuar. "Satu masalah sudah terselesaikan. Sekarang bu Nana harus siap untuk melakukan sidang mediasi pertama di pengadilan agama." Nana mengangguk antusias. "Saya sudah siap, Pak. Insyallah. Kapan jadwal sidang mediasi itu?" "Tiga hari lagi. Jadi bu Nana kalau bisa datang dulu untuk pertama kali. Nanti kalau ada jadwal sidang-sidang yang lain, biar saya yang maju," ujar pengacara Nana. *** "Na, kamu baik-baik saja kan?" tanya Rinta saat melihat mata Nana yang sembab. "Yah, begitu lah. Sekarang aku melalui malam sendiri. Aku sebenarnya
"Astaga! Kamu percaya diri sekali ya! Saya mengajak kamu dan Rama untuk bertemu di sini bertujuan agar kalian putus saja dan jangan pernah bertemu lagi!" ujar Mama Rama dengan wajah kesal. "Astaga! Apa?!"Wajah Dita tampak terkejut. Dia menatap orang tua Rama dengan pandangan tak percaya. "Kenapa kalian begitu tega? Kalian kan sudah berumur, seharusnya kalian bisa lebih bijaksana hubungan ku dan mas Rama!" ujar Dita kesal. Rama mendelik mendengar ucapan Dita. "Dita, yang sopan kalau ngomong sama orang tua apalagi orang tuaku," desis Rama. "Mas, tapi mas harus bertanggung jawab terhadapku. Kita kan sudah melakukan hal itu, Mas?" ujar Dita dengan wajah memelas. "Masa kamu tega sih meninggalkan aku setelah semua milikku kuserahkan padamu?" sambung Dita lagi. "Makanya jangan gampangan kalau jadi perempuan! Aku tidak habis pikir kenapa kamu setega itu pada kakak kamu?! Kakak kamu itu terlalu baik untuk kamu! Ck, kamu memang perempuan yang nggak tahu terima kasih. Sudah gampangan, tid
Namun nahas sekali, baru saja dia hendak masuk ke warung, mendadak seseorang dari belakang mencopet dompet Dita. Dia pun berteriak meminta tolong. "Astaga! Tolong! Tolong! Copeeet!!!"Dita berseru panik sambil berusaha berlari mengejar dan meneriaki copet itu. Sementara kakinya gemetaran karena lapar dan lelah, sehingga dia tidak fokus jika ada baru berukuran sedang di hadapannya. Bruuukkkk!Dita pun terjatuh, lutut dan telapak tangannya yang tergores pasir dan kerikil di depan warung padang menjadi lecet dan terluka. Rasa perih di lutut dan telapak tangan, diperparah dengan rasa lapar dan rasa malu membuat Dita menangis sekaligus berteriak meminta tolong dengan suara serak. "Tolong...tolong! Copet! Hhhhhh! Hhhhhh!" seru Dita sambil mencoba untuk duduk dan membersihkan lutut dan telapak tangannya. Beberapa orang mengejar copet itu. Beberapa lainnya menolong Dita untuk berdiri dan istirahat di trotoar. Dita menangis sesenggukan. Ponselnya masih aman karena berada di saku lain. S
"Karena itu direktur perusahaan ini memutuskan untuk memberikan kamu SP 1 yang berkonsekuensi berkurang nya gaji perbulan kamu dan memotong jatah cuti tahunan kamu," ujar Om Rama sambil mengeluarkan selembar amplop dari saku jasnya. Rama seketika mendelik mendengar nya. Dia menerima amplop berwarna cokelat itu dan membaca isinya. "Astaga, Om! Aku kemarin khilaf! Sungguh! Kenapa menjadi seserius ini?" tanya Rama kaget. Om Rama hanya menatap erat- erat wajah keponakan nya dengan serius. "Makanya Om tidak mau selingkuh karena harga selingkuh itu mahal! Gara-gara kenikmatan sesaat dan sesat, kamu kehilangan rumah, anak, istri, bahkan bisa jadi juga kamu kehilangan pekerjaan yang telah kamu bangun dengan susah payah," sahut Om Rama. Rama menelan ludah saat melihat pemangkasan gajinya sebanyak dua puluh lima persen. "Om, sampai kapan gaji saya dipotong? Uhm, kapan gaji saya menjadi normal?" tanya Rama lagi. "Yah, itu kebijaksanaan direktur. Makanya kamu bekerja yang giat dan capailah