Sebuah pernikahan bertema pesta kebun digelar secara eksklusif di sebuah area private golf. Para tamu undangan mengenakan dress code warna putih tampak saling bercengkerama hangat. Wajah dan penampilan mereka menunjukkan jika mereka semua berasal dari kalangan atas.
Tak ada tamu yang memiliki tampang miskin. Setiap tamu yang datang bahkan harus menunjukkan kartu undangan berbentuk card yang memiliki microchips di atasnya. Microchips ini menyimpan data tamu undangan berupa wajah, nama dan pekerjaan. Data itu kemudian dicocokan dengan data yang ada di komputer. Jika data tak sama maka tamu tersebut tak dapat masuk.
Berbicara soal tempat pesta, "Weh ... jangan tanya!" Area privat golf milik keluarga Liong ini dibangun di tepi pantai di atas tanah seluas 320 hektar. Tak tanggung-tanggung, lapangan golf ini didesain langsung oleh seorang pemain golf profesional dari Australia yang menjadi rekan bisnis keluarga mereka.
Selain lapangan golf, area ini juga memiliki sebuah mansion besar nan mewah dengan infinity edge pool yang menghadap langsung ke laut. Mansion dilengkapi dengan sebuah minibar, jacuzzi pribadi, serta ruang perawatan spa dan pijat pribadi.
Di bagian utara lapangan golf, terdapat sebuah landasan helipad dan sebuah landasan pesawat terbang berikut garasi untuk menyimpan pesawat. Pesawat yang diparkir bukan hanya sekedar pesawat jet pribadi ukuran kecil, tetapi pesawat penumpang Boeing 707.
Tak jauh dari landasan pesawat, terdapat pacuan kuda lengkap dengan padang rumput liar serta istal atau kandang kudanya.
Di bagian selatan area golf, terdapat sebuah taman yang dipenuhi pohon plum dan pohon persik, dengan danau buatan seluas 45 ribu meter di tengah-tengahnya. Saat musim bunga, area taman ini memiliki vibes layaknya taman-taman di Jepang atau Korea.
Terdapat gapura besar berwarna putih dengan dua lapis gerbang di bagian depan. Lapisan pertama berupa gerbang besi berukir tebal, sedangkan lapisan kedua berupa gerbang kayu dengan ukuran super jumbo.
Di kedua sisi gerbang, terdapat dua pos pemeriksaan yang masing-masing pos dijaga oleh tiga orang. Dua orang berjaga di pos, sedangkan satu lagi berjaga di depan pintu.
Untuk bisa sampai ke bangunan utama, seseorang perlu menyusuri jalan sepanjang 500 meter dari gerbang utama.
Semua kemewahan ini hanya keluarga Liong yang mampu memilikinya. Itupun bukan aset utama melainkan hanya sebagian kecil dari aset properti mereka.
*****
Diapit dua orang berjas hitam berwajah garang, Maeera hanya bisa duduk terdiam, pikirannya melayang kemana-mana. "Apa aku sudah ditangkap oleh anak buah mafia Ko? Jika bukan anak buah mafia Ko, siapa mereka? Uh ... apa yang harus aku lakukan?" ucap Maeera dalam hati.
Kuku jarinya tak henti-hentinya ia mainkan untuk menghilangkan kegelisahan.
"Tolong, bisa hentikan itu Nona," kata pria di sampingnya dengan raut muka jengkel. Pria itu merasa terganggu dengan bunyi kuku Maeera. Mendengar ucapan itu, Maeera langsung menghentikan aktivitasnya dan diam.
Tak lama berselang, sedan hitam itupun berhenti di sebuah gedung besar dengan padang rumput hijau membentang luas di sekitarnya.
"Mari Nona," kata pria besar itu sembari membukakan pintu mobil dan mengulurkan tangan. Maeera yang kebingungan hanya bisa mengikuti semua instruksi pria itu.
Turun dari mobil, Maeera dibuat terkagum-kagum dengan pemandangan yang dilihatnya. Sebuah hamparan padang rumput hijau yang luas dengan view laut biru di depannya.
"Wow indah sekali ... apa mafia Ko sekaya ini?" batin Maeera dalam hati.
Belum puas menikmati semua pemandangan indah itu, tiba-tiba seorang wanita paruh baya dengan setelan blazer warna hitam dan celana panjang berwarna senada, menyambutnya lalu menggiringnya masuk ke dalam gedung.
"Mari Nona kami akan merapikan pakaian Anda," kata wanita itu.
Begitu masuk kedalam gedung, beberapa orang wanita langsung berbaris menyambut kedatangannya. Mereka membungkukkan badan memberi hormat, kemudian memakaikan sepatu, merapikan kembali rambutnya dan menutupinya dengan veil pengantin.
"Wah, apakah pernikahan seorang mafia selalu seperti ini," batin Maeera dalam hati.
Setelah merapikan penampilannya, perempuan-perempuan itu kemudian mengantarnya keluar gedung.
Begitu keluar, mata Maeera langsung disambut sebuah wedding venue yang sangat indah, elegan dan romantis di area terbuka di tepi laut. Warna putih mendominasi setiap sudutnya. Mulai dari meja, kursi, hingga altar. Warna putih tampak cantik dan menyatu indah dengan hamparan padang rumput yang berwarna hijau.
Di ujung wedding venue, tepat di tepi pantai, terlihat sebuah altar dari kayu mahoni yang ditutupi kelambu panjang berwarna putih dan dihiasi berbagai jenis bunga dengan warna senada. Kelambu itu tampak melambai-lambai setiap kali diterpa angin pantai yang berhembus.
Altar pernikahan itu, diletakan tepat di bawah pohon Kamboja berukuran besar yang sedang berbunga. Setiap kali angin bertiup, bunga-bunga Kamboja yang sudah tua mulai jatuh berguguran di atas altar. Sangat romantis karena itu adalah satu-satunya pohon Kamboja di lapangan golf ini.
Para tamu undangan, duduk di atas kursi yang ditata rapi di sepanjang jalan menuju altar dengan latar belakang hamparan rumput hijau yang membentang luas.
Karpet putih dengan taburan bunga mawar dengan warna senada, membentang panjang mulai dari gedung rias hingga altar.
Sungguh sebuah pesta pernikahan impian ....
Tapi semua keindahan itu langsung ambyar saat Maeera melihat baliho besar bertuliskan 'Happy Wedding Gin & Avani' beserta foto seorang pria dan wanita.
Melihat baliho besar itu, Maeera langsung sadar bahwa ia berada di pesta pernikahan yang salah. Ini jelas bukan pesta pernikahannya.
"Tunggu dulu! pernikahan siapa ini?" tanya Maeera dalam hati.
Melihat dirinya berada di pesta pernikahan yang salah, Maeera pun langsung balik badan mencoba menjauh dari pesta. Tapi baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba seseorang dari arah belakang menarik dan menggandeng tangannya secara paksa.
"Dasar anak nakal, mau ke mana kamu heh ... " kata pria itu sembari memaksa Maeera balik badan dan kembali berjalan menuju wedding venue.
Maeera yang terkejut, spontan berusaha melepaskan pegangan pria itu, tapi usahanya sia-sia karena pria itu jauh lebih kuat.
"Ayah tak akan membiarkanmu kabur lagi. Hari ini kamu harus menikah," ucap pria itu sambil meletakkan tangan Maeera di atas lengan tangannya dan menariknya berjalan menuju altar.
"Jika pernikahan ini gagal, Ayah akan bunuh diri," kata pria itu mengancam.
"Tapi aku bukan putrimu?" kata Maeera mencoba menjelaskan.
"Kalo begitu, aku juga bukan Ayahmu," jawab pria itu tak peduli sambil terus berjalan lurus menuju altar.
Maeera kini hanya bisa pasrah. Tak mungkin baginya untuk kabur di saat mata semua tamu undangan kini tertuju padanya.
Di kejauhan diatas altar, seorang pria berkulit putih dengan tubuh tinggi proporsional, tampak sedang menunggunya. Dia adalah tuan muda Gin, pewaris grup Liong.
Penampilannya rapi dengan rambut belah tengah dan berponi di bagian depan. Mengenakan tuxedo warna putih dan memakai masker, pria itu menutupi matanya dengan selembar kain tipis berwarna putih. Tampak seorang ajudan berjas hitam berdiri menemani di sampingnya.
"Tunggu dulu! Apakah pengantin prianya buta?" tanya Maeera dalam hati begitu melihat penampilan pengantin pria.
"Iya, sepertinya memang buta!" kata Maeera lagi mencoba meyakinkan pemikirannya sendiri.
"Biar begitu dia sangat tampan ... " belanya sembari menganggukkan kepala tanda setuju.
Meski wajahnya tak begitu terlihat karena tertutup masker, tapi ada aura tampan dan berkarakter Gin sudah memancar dari cara dia membawakan diri.
Secara penampilan, Gin memiliki fisik seperti artis Korea "Park Seo Joon". Rahangnya tajam dengan bentuk dagu yang lancip dan meruncing. Tulang hidungnya tinggi dengan alis mata tebal dan rapi.
Melihat penampilan pengantin pria yang begitu mengintimidasi, bulu kuduk Maeera langsung berdiri. Ia merasa benar-benar tak pantas dan merasa sangat bersalah kepada pengantin wanita yang asli. Ingin rasanya ia berlari dan berteriak bahwa dirinya bukanlah pengantin yang asli. Kini ia menyesali keputusannya kabur dan ingin kembali pulang saja dan menikah dengan Rin yang berandal.Tapi penyesalan Maeera tak berlangsung lama, sepasang cincin berlian yang berkilaun di atas meja altar, segera mengalihkan perhatiannya.
Melihat betapa besar dan indahnya cincin berlian itu, jiwa miskin Maeera seketika meronta-ronta. Keinginannya untuk segera kabur tiba-tiba hilang. Kini Maeera mendapatkan ide brilian, ia berencana mengamankan cincin itu dan membawanya kabur begitu pesta usai.
*****
Matahari mulai terbenam di ufuk barat, cahaya jingga tampak menyemburat di antara kaki-kaki langit. Disaksikan oleh deburan ombak Samudra Hindia dan diiringi lagu "Canon in D Major-Johann Pachelbell" sumpah pernikahan itupun terucap.
“Saya Gin Yuta, berjanji untuk setia kepadamu, dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup sampai maut memisahkan kita. Bersediakah engkau menjadi istriku dalam suka maupun duka?" ucap Gin sembari memegang tangan Maeera dan menyelipkan sebuah cincin disana.Maeera tampak kebingungan untuk menjawab pertanyaan itu. Jika dia menjawab 'Ya', dia bukanlah pengantin wanita yang asli. Tapi jika dia menjawab 'Tidak' maka semua orang yang ada di sana akan langsung curiga padanya. Ia mungkin akan langsung ditangkap, diinterogasi dan dimasukkan ke dalam penjara karena dianggap berbohong.Di tengah kebingungannya itu, ayah palsunya memberinya kode untuk segera menjawab 'Ya' atau jika tidak dia akan bunuh diri di tempat.
Dengan perasaan jengkel, Maeera pun melakukan apa yang diinstruksikan ayah palsunya itu.
"Iya ... aku bersedia," jawab Maeera singkat sembari menyematkan cincin di jari mempelai pria.
Semua tamu undangan langsung bertepuk tangan begitu Maeera menyematkan cincin ke tangan Gin. Semua orang tampak gembira, tentu saja, kecuali Maeera.
Avani berteriak meronta-ronta ketika segerombolan pria berjas hitam menangkapnya secara paksa dan memasukkannya ke dalam mobil Jeep warna hitam. Meski kedua kaki dan tangannya sudah diikat, tapi para pria berjas hitam itu masih kewalahan menangani Avani yang memberontak.Tak ingin mengambil risiko sang pengantin wanita kembali kabur, salah satu pria berjas hitam memutuskan untuk memukul tengkuk Avani hingga wanita cantik itu pingsan."Akhirnya diam juga," kata salah satu di antara mereka sembari bernapas lega.Tiga pria lainnya nampak terkejut melihat teman mereka berani memukul calon menantu mafia Ko hingga pingsan. Mata mereka menyelidik sembari mengangkat salah satu alis seakan mempertanyakan tindakan temannya itu.Si pria berjas hitam yang memukul Avani tampak kebingungan dengan tatapan menyelidik teman-temannya."Apa ... aku hanya memukulnya pelan. Dia tidak akan mati bukan?" tanya pria itu denga
Pesta pernikahan di area golf itu telah usai. Para tamu undangan juga sudah meninggalkan area pesta. Dari kejauhan tampak Maeera sedang berjalan tertatih-tatih ditemani beberapa asisten rumah tangga. Ia tengah diantarkan ke sebuah mansion mewah di tepi pantai, di bagian lain dari lapangan golf itu.Mansion milik keluarga Liong ini, memiliki desain arsitektur modern dengan bagian depan sepenuhnya berdinding kaca. Bangunan utama mansion di kelilingi oleh kanal air yang dipenuhi oleh bunga teratai dan bunga lili yang cantik.Begitu memasuki mansion, Maeera dibuat terkagum-kagum dengan besar dan luasnya rumah itu. Suasana di dalam mansion terlihat sangat nyaman dengan desain interior fresh, unik, dan penuh estetika.Setelah menaiki tangga berbentuk spiral menuju lantai dua, Maeera tiba di sebuah kamar berukuran super besar dengan dua daun pintu berwarna putih."Mari Nona silahkan
Bersembunyi dibalik mobil Land Rover warna putih, tangan Avani gemetar memegang pistol Colt M1911A1. Ia ketakutan. Wajah putihnya terlihat pucat pasi dengan rambut yang acak-acakan. Bagian bawah gaun pengantinnya kini sudah berubah warna dari putih menjadi cokelat kemerahan.Di tengah heningnya malam, terdengar suara langkah kaki mendekat kearahnya. Diintipnya suara itu melalui celah mobil. Terlihat seseorang memakai setelan berwarna hitam dan membawa pistol, sedang berjalan mendekat ke arahnya. Sadar dirinya dalam bahaya, detak jantung Avani meningkat pesat, tangannya makin gemetar. Ditariknya pelatuk pistol yang ia bawa, ia todongkan pistol itu ke depan dengan posisi siap menembak. "Aku pasti bisa!" kata Avani dalam hati menyemangati dirinya sendiri. Benar saja, seorang pria memakai jas hitam yang sedari tadi mengendap-endap, muncul dari belakang mobil dan langsung menodongkan pistol ke arahnya. Avani yang sejak tadi sudah bersiap-siap untuk
"Bagaimana caraku keluar? .... emm ... bagaimana—caraku—keluar ... aaa ... bagaimana caraku keluar dari tempat ini?" teriak Maeera sembari mencipakkan air di dalam bathtube.Berendam di bathtube besar nan nyaman, dengan busa dan kelopak bunga mawar bertebaran, pikiran Maeera justru melayang kemana-mana.Pikirannya masih kacau memikirkan bagaimana cara keluar dari tempat itu.Tak hanya itu, ia juga perlu mencari cara agar tuan muda keluarga Liong, Gin Yuta, tak curiga jika dirinya bukanlah pengantin wanita yang sesungguhnya."Perlu berakting, ya! Aku perlu berakting agar tidak ketahuan," kata Maeera sambil mengangguk-anggukkan kepala."Pria bernama Gin itu buta, jadi dia tak akan tahu jika aku bukan istrinya yang sebenarnya. Dia bisa ditipu, aku hanya perlu membuatnya tidak curiga padaku,""Hemmm ... ya-ya, aku pasti bisa melakukannya," kata Maeera penuh semangat.&n
Malam sudah mulai larut, jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul 22:00. Tapi Maeera masih sibuk membongkar lemari barang milik Gin Yuta. Entah apa yang dicarinya. Padahal beberapa jam sebelumnya ia telah memantapkan diri untuk tidur lebih awal karena tak ingin bangun kesiangan yang bisa membuat rencananya untuk kabur gagal."Istriku, kau di mana? Kemarilah, tidur di sini?" pinta Gin sembari meraba-raba area di sekitar tempat tidurnya."Aku di sini, aku masih sibuk, kau tidur saja dulu," kata Maeera yang sedang sibuk membongkar lemari barang milik Gin. Ia sedang mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk tempat menyimpan cincin permatanya. Cincin itu terlalu longgar di jarinya sehingga ia takut cincin itu akan hilang."Kau sibuk?" tanya Gin dengan dahi berkerut penuh tanda tanya."Bukankah kau sedang cuti kerja? Apa aku perlu menelpon direktur Mao untuk mengalihkan semu
Bangunan itu terletak di sebuah pulau pribadi seluas 780 hektare dan berjarak kira-kira 250 mil dari daratan utama. Tembok setinggi tujuh kaki dibangun mengelilingi pulau lengkap dengan lampu sorot, mercusuar, serta rumah jaga, cabana, dan gua bunker.Orang-orang menyebut pulau itu dengan sebutan pulau pribadi Koch. Tempat mafia Ko yang bernama lengkap Koch Leung dan putranya Rin Leung tinggal. Tempat itu bahkan tak tergambar di peta dan tak terdeteksi di GPS karena keberadaannya yang sangat dirahasiakan.Untuk bisa sampai ke pulau pribadi Koch, seseorang harus menggunakan kapal atau helikopter sebagai moda transportasi. Terdapat sebuah dermaga dan helipad sebagai tempat bersandar dan mendarat.Di pulau berpasir putih itu, sebuah bangunan dengan desain mirip kastil kerajaan eropa, menjadi tempat tinggal utama keluarga Leung.Dilihat dari luar, bangunan besar itu memiliki
Avani mondar-mandir di depan pintu memikirkan bagaimana caran mendapatkan ponsel. Sembari menggigit ujung jarinya, otaknya terus befikir. Tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya."Oh ya! ... mungkin mereka punya," kata Avani sambil kembali membuka pintu dan menghampiri kedua penjaga.Melihat Avani kembali membuka pintu dan keluar kamar, kedua pria penjaga itu tiba-tiba langsung bersikap sigap."Emm ... apa kalian membawa ponsel? Apa aku boleh meminjamnya sebentar. Aku ingin menghubungi seseorang," tanya Avani dengan nada bicara sok akrab.Kedua pria itu kembali saling melempar pandangan kemudian menjawab, "Tidak ada ponsel, silahkan kembali," kata keduanya secara bersamaan sembari menarik pelan tubuh Avani ke belakang dan kembali menutup pintu.Mendengar jawaban kompak dari kedua pria itu, Avani hanya bisa terbengong. Ia tak percaya jika dirinya bahkan tak diizinkan untuk meminjam
Avani terus berteriak meronta-ronta saat dirinya diseret kembali ke kamar. Ia mengamuk dan terus memberontak. "Lepaskan tangan kalian!," Avani berteriak sambil mencoba melepas tangannya yang dipegang kuat oleh anak buah Rin. Ia tak ingin kembali ke kamar besar itu, ia tak ingin kembali dikurung. Hari ini, ia seharusnya terbang ke Amerika dan melakukan wawancara kerja di sana. Tapi yang terjadi, dirinya justru terjebak di tempat aneh yang sama sekali tak ia kenal. "Tunggu saja, aku bisa memasukkan kalian semua ke penjara," kata Avani mengancam. Tapi, anak buah Rin tetap tak bergeming. Mereka tetap membawa gadis bermata kecil itu kembali ke kamar dan menguncinya di dalam. "Kalian semua, keluarkan aku! Biarkan aku pulang!" teriak Avani sambil menggedor-gedor pintu. "Aaaargghhh! " Avani menghentakkan kakinya, kesal. Ia merasa begitu marah, frustrasi dan putus asa. Sebagai wanita karir yang sukses, memiliki
'Nuuutttttt .... ' suara ponsel berdering memanggil. Tak lama panggilan itu tersambung. "Halo asisten Eri! Apa kau sudah mengurus berkas tanah dan rumah di desa yang kuberikan padamu," tanya Gin pada asistennya itu melalui sambungan telepon. Maeera seketika terperanjat mendengar kata rumah dan tanah di desa. Ia sangat yakin jika yang dibicarakan Gin Yuta dan asisten Eri adalah rumah dan tanahnya di desa. Pria gila itu pasti melakukan ini untuk memberikan tekanan padanya.Sadar rumah dan tanahnya tak lagi aman, Maeera buru-buru menyela pembicaraan Gin Yuta dengan asisten Eri untuk menenangkan keadaan. "Aku tak memiliki hubungan apa pun dengan adik tirimu, sungguh!!!" ucap Maeera dengan suara bergetar. Ia mencoba meyakinkan Gin Yuta bahwa ia benar-benar tak memiliki hubungan apa pun dengan Kai Yuta. Gin berheti berbicara, menutupi separuh teleponnya dengan tangannya, lalu menoleh ke arah Maeera dengan tatapan kecewa. . "Kau bahkan masih terus berbohong. Seberharga itukah hubungan
Setibanya di mansion.Gin menggenggam erat pergelangan tangan Maeera, menarik paksa gadis itu keluar dari dalam mobil, lalu menggelandangnya masuk ke dalam mansion. "Pulangkan semua orang di mansion kecuali penjaga!!" seru Gin pada asisten Eri yang berjalan mengekor di belakangnya dengan wajah penuh kekhawatiran. "Memulangkan mereka semua??" tanya asisten Eri mencoba mengulang perintah bosnya. Gin menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya ke belakang, menatap asistennya itu dengan wajah dingin."Apa ada masalah dengan perintahku?!!" tanya Gin Yuta dengan raut wajah tak senang. Asisten Eri terdiam. Ia bergegas menggelengkan kepala cepat. "Tidak. Tidak ada tuan. Baik akan segera saya laksanakan," jawab pria berkacamata itu. Berjalan cepat, asisten Eri meninggalkan bosnya menuju area lain dari mansion.Sementara itu, di sisi lain, Maeera, hanya bisa diam melihat perangai dingin suami palsunya.Ia tak bisa berbuat apa-apa karena merasa berada dipihak yang salah. Maeera sadar, ia te
"Berandall!!! Berani-beraninya kau menyentuh istriku!!!" umpat Gin Yuta sembari mencengkeram erat kerah baju Kai yang kini terkapar tak berdaya di depannya. Kai tersenyum tipis mengangkat salah satu sudut bibirnya, saat tahu sosok menghajarnya membabi buta itu ternyata adalah kakak tirinya, Gin Yuta.Ia menyipitkan matanya, menatap kakak tirinya yang terlihat kalap itu dengan hina. "Kenapa??!! Kenapa aku tak boleh menyentuhnya. Dia bukan istrimu, kau tahu itu," tanya Kai mencoba mempertanyakan sikap possesif kakaknya. Gin menggeram menatap tajam Kai Yuta. Giginya mengatup erat dan rapat menahan amarah yang membuncah di dada. Ia mencoba menahan emosi, tak ingin kepalan tangannya kembali melayang ke wajah saudara tirinya."Aku sudah memperingatkanmu. Jangan campuri urusanku!!" bentak Gin sembari terus mencengkeram erat kerah baju Kai Yuta. Kai tertawa lirih mendengar perkataan kakak tirinya."Aku tak pernah mencampuri urusanmu!! Aku hanya mengurusi Maeera, karena dia wanitaku!" teg
Di dalam mobil. Gin meremas lembar-lembar foto di tangannya. Foto-foto yang memperlihatkan kemesraan antara adik tirinya, Kai Yuta dan istri palsunya, Maeera, yang baru saja diberikan oleh ibu tirinya, nyonya Isihiika. Geram, wajah tampan Gin berubah menjadi garang, penuh kemarahan. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. "Jadwalkan ulang perjalananku ke Singapura!!" perintah Gin pada asisten Eri yang tengah sibuk menyetir mobil. "Tapi tuan, ini ... ??" "Jangan membantah!!" bentak Gin dengan suara keras, memotong kata-kata asisten Eri. Seketika asisten Eri langsung diam dan mengangguk pelan. "Baik tuan muda," jawab asisten Eri dengan gugup. Ini adalah kali pertama, selama lima tahun bekerja sebagai asisten pribadinya, Gin membentak dirinya dengan kasar. Melihat bagaimana reaksi bosnya, asisten Eri sangat yakin, jika pria tampan itu saat ini sedang sangat kalut dan gelisah. "Cepat cari di mana dia berada!!" perintah Gin. Ia mengambil ponsel di dalam saku jasnya dan langsun
Akhir pekan akhirnya tiba. Tuan muda pewaris grup Liong, Gin Yuta, terlihat sudah berpakaian rapi, memakai setelan jas berwarna hitam, berkacamata. Ia berdiri tegak di samping sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di depan mansion Lotus Hall. Pintu mobil sudah terbuka, dengan seorang pria berdiri memegangi pintunya. Disamping Gin, berdiri Maeera, yang terlihat masih kumal dan acak-acakan. Gadis itu, terlihat seperti baru bangun tidur dan langsung di seret ke luar untuk berpamitan dengan suaminya. Lebih tepatnya, suami palsunya, yang hendak pergi dinas ke Singapura. "Aku akan pergi selama beberapa hari. Kau! Jangan pergi kemana pun dan jangan buat masalah apa pun selama aku pergi. Mengerti!!!" gertak Rin Gin dengan nada setengah mengancam, pada Maeera yang berdiri di sampingnya. "Hemmm ... Aku mengerti. Kau tak perlu khawatir!" ucap Maeera asal-asalan sembari menggaruk-garuk pelan rambutnya yang masih acak-acakan. Ia terlihat malas mendengar omelan suami palsunya di pagi-pagi
Avani terbangun.Bau harum masakan yang menusuk-nusuk hidungnya, membuat gadis cantik itu tak lagi bisa memejamkan mata. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia mencoba mengamati keadaan sekitar.Terkejut!! ia mendapati dirinya kini berada di sebuah ruangan kecil berukuran 3x4 meter dengan dinding batu bata merah yang belum di plester. "Di mana aku?" gumam gadis cantik itu lirih. Ia memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. "Di mana ini?" tanyanya lirih sembari mengamati keadaan sekitar dengan lebih seksama. Terlihat, ia kini berada di sebuah kamar yang cukup kecil dan sempit. Dindingnya masih berupa batu bara merah yang belum di plester, kasar dan bergelombang di sana-sini.Di sudut kamar terlihat sebuah lemari kayu tua berukuran besar dengan kaca berbentuk oval di bagian depannya. Di samping lemari, sebuah pintu yang ditutupi gorden warna merah, terlihat melambai-lambai pelan di tiup angin. Gorden itu terlihat kusam dan kotor, seperti tak pernah di cuci berminggu-ming
Di ruang kerja Rin. Bau alkohol bercampur dengan obat-obatan, berbaur menjadi satu dengan aroma buku-buku lama dan kayu-kayu tua, menciptakan aroma khas yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. Bertelanjang dada, Rin duduk di sofa di dekat jendela, menghadap ke arah luar. Mata tajamnya, mengamati sekumpulan burung gereja yang sedang terbang rendah di antara pohon-pohon palem yang di tanam di luar manor. Mereka tampak gembira dan tanpa beban. Matahari, terlihat mulai condong ke arah barat, menyisakan siluet panjang di kaca jendela yang menghadap ke arah luar, menyinari tato naga yang ada bagian atas punggung kanan Rin Leung yang menjalar hingga ke lengan dan dada bagian depan. Weilu, duduk di belakang Rin. Pria muda itulah terlihat sibuk menuangkan cairan infus ke dalam baskom kecil yang di dalamnya terdapat sebuah handuk yang biasa digunakan untuk menyeka tubuh. Dengan penuh ke hati-hatian, pria muda itu mengambil handuk kecil itu, memerasnya, kemudian dengan perlahan dan hati
"Plak .... " Sebuah sabetan rotan, membekas merah di punggung Rin Leung. Ia meringis menahan sakit. "Plak ... Plak ... Plak ... " Tiga buah sabetan rotan kembali mendarat di punggungnya. Terlihat jelas sudah ada lebih dari sepuluh sabetan rotan membekas di punggung mafia muda itu. "Plak .... " sebuah sabetan rotan kembali menyentak punggungnya. Ia menggertakkan giginya dengan keras dan mengepalkan tangannya erat untuk menahan sakit. Para mafia yang ada di alun-alun itu, ikut meringis menahan sakit setiap kali rotan itu menyentuh kulit punggung Rin. Mereka seakan ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh sang ketua. "Plak, plak ... " Dua buah sabetan rotan datang bertubi-tubi membuat darah segar, merembes keluar dari dada kanannya yang terluka. Rin membungkuk kesakitan setiap kali rotan itu mengenai punggung kanannya yang segaris dengan luka dadanya. Tak ada yang berani menolongnya. Ini adalah sebuah hukuman, yang harus ia terima. Dan sang ayah sendiri, tuan Koch Leung, yang m
Sore hari di tengah Samudra Hindia yang damai. Laut terlihat tenang, tanpa gelombang. Mirip sebuah cermin raksasa besar yang memantulkan cahaya kuning keemasan, dari hasil pembiasan cahaya matahari yang hampir tenggelam. Di ufuk barat, matahari terlihat seperti bola api raksasa berwarna merah kekuningan yang sedang terbakar dan tenggelam di telan lautan.Bola api raksasa itu, kini sudah separuh perjalanan dan sebentar lagi akan benar-benar tenggelam, menyisakan semburat warna jingga ke emasan di kaki-kaki langit jelang akhir hidupnya. Berdiam seorang diri di atas perahu kecilnya, Avani membiarkan angin laut yang berhembus pelan memainkan rambut panjangnya.Ia hanya duduk meringkuk diam termenung. Kakinya yang panjang, ia tekuk ke belakang, kemudian ia peluk erat dengan kedua tangannya. Perlahan, ia rebahkan kepalanya ke atas lutut, sembari menatap kosong heningnya lautan yang sunyi dan sepi. Ia biarkan perahu kecil itu terombang-ambing dan mengapung tanpa arah dan tujuan, karena s