Pesta pernikahan di area golf itu telah usai. Para tamu undangan juga sudah meninggalkan area pesta. Dari kejauhan tampak Maeera sedang berjalan tertatih-tatih ditemani beberapa asisten rumah tangga. Ia tengah diantarkan ke sebuah mansion mewah di tepi pantai, di bagian lain dari lapangan golf itu.
Mansion milik keluarga Liong ini, memiliki desain arsitektur modern dengan bagian depan sepenuhnya berdinding kaca. Bangunan utama mansion di kelilingi oleh kanal air yang dipenuhi oleh bunga teratai dan bunga lili yang cantik.
Begitu memasuki mansion, Maeera dibuat terkagum-kagum dengan besar dan luasnya rumah itu. Suasana di dalam mansion terlihat sangat nyaman dengan desain interior fresh, unik, dan penuh estetika.Setelah menaiki tangga berbentuk spiral menuju lantai dua, Maeera tiba di sebuah kamar berukuran super besar dengan dua daun pintu berwarna putih. "Mari Nona silahkan masuk," kata seorang asisten rumah tangga sembari membuka pintu kamar.Di dalam kamar terdapat tempat tidur ukuran besar menghadap ke jendela yang memiliki pemandangan langsung ke laut.
Berjarak beberapa meter dari tempat tidur, terdapat rak buku beserta meja dan sepasang kursi untuk bersantai dan membaca. Ada pula televisi besar dengan sofa malas di depannya.
Begitu Maeera masuk ke dalam kamar, para asisten itu langsung menutup pintu dan pergi.Sadar dirinya terjebak di dalam kamar, Maeera segera balik badan dan mencoba membuka pintu. Tapi usahanya sia-sia, pintu itu sepertinya dikunci dari luar.
Gin tampak duduk di atas tempat tidur sembari mencoba membuka penutup matanya, ia terlihat kesulitan. "Hai, tolong bantu aku membuka ini," pinta Gin pada Maeera.
Maeera yang sedari tadi masih berdiri di depan pintu, baru sadar jika suami palsunya itu sudah berada di dalam kamar. Diliriknya pria buta itu, tampak ia memang sedang kesulitan membuka penutup matanya.
Merasa kasihan, Maeera memutuskan untuk membantunya.
"Hah ... kenapa aku harus terjebak di sini," gumam Maeera sembari berjalan mendekati Gin.
Didekatinya Gin dari arah samping, terlihat pria tampan itu memiliki rambut yang sangat halus dan punggung yang bidang. Dengan hati-hati Maeera mencoba melepas ikatan penutup mata yang ternyata cukup kencang.
"Apa kau benar-benar tidak bisa melihat?" tanya Maeera membuka pembicaraan, mencoba mencairkan suasana.
"Hemm ... " jawab Gin singkat.
"Sejak kapan?" tanya Maeera lagi.
"Sejak beberapa tahun lalu," jawab Gin.
Karena masih penasaran dengan apa yang terjadi pada suami palsunya itu, Maeera kembali bertanya, "Karena apa?"
"Kecelakaan," jawab Gin sembari tersenyum kecil.
"Oh ... maaf, aku tak tau" kata Maeera dengan nada menyesal. Tapi lagi-lagi Gin hanya tersenyum.
"Ah ... akhirnya bisa juga!" kata Maeera dengan nada gembira. Ia lepaskan kain penutup mata itu, kemudian ia letakkan diatas telapak tangan Gin. Saat meletakkan kain itu ke tangan Gin, tanpa sengaja pandangan mata keduanya saling bertemu.
"Deg ... deg ... deg ... " dada Maeera tiba-tiba berdegup kencang. Ada getar-getar aneh tak jelas di dalam dirinya. Tak ingin larut dalam suasana, Maeera segera mengalihkan perhatiannya.
"Apa kau tau, kau memiliki mata yang sangat indah," puji Maeera saat melihat iris mata Gin yang berwarna biru seperti batu safir.
Gin tersenyum, ia kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Maeera hingga wajah keduanya kini hanya berjarak beberapa senti.
"Apa kamu juga tau, kamu juga sangat cantik," ucap Gin sembari tersenyum lebar.
Mendengar pujian sedekat itu dari seorang pria tampan, muka Maeera langsung merah padam, detak jantungnya semakin tak terkendali. Ia langsung balik badan dan menjauh dari Gin.
"Ah ... hari ini panas sekali, aku ingin mandi," kata Maeera sembari menggerakkan kedua tangannya mencoba mengusir pikiran kotornya. Ia kemudian melepas maskernya dan mencoba membuka ritsleting gaun pengantinnya.
"Tunggu dulu, apa kau akan tetap berada di sini saat aku mandi dan ganti baju?" tanya Maeera tanpa menoleh ke arah Gin.
"Ini kamarku, ke mana aku harus pergi?" jawab Gin. "Tenang saja, aku tak akan mengintipmu mandi, aku buta!" imbuhnya.
"Ah, benar juga! aku hampir lupa jika dia tak dapat melihat. Ini sebuah keberuntungan, artinya aku bisa pergi meninggalkan rumah ini dengan mudah," gumam Maeera dalam hati sembari mengecup cincin berlian yang terselip di jarinya.
Tiba-tiba sebuah ide gila muncul di otak Maeera. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Gin saat dia mengatakan bahwa dirinya bukanlah wanita yang seharusnya ia nikahi.
"Hai ... apa yang akan kau lakukan jika kau tau aku bukan orang yang seharusnya kau nikahi," tanya Maeera sembari kembali berjalan mendekati Gin.
"Maksudku, ah ... bagaimana aku menjelaskannya. Sebenarnya aku bukan orang yang seharusnya menjadi istrimu, ada orang lain. Aku menggantikan posisinya secara tak sengaja," kata Maeera coba menjelaskan.
"Aku? ... aku tak akan melakukan apapun," jawab Gin singkat sembari membuka kancing tuxedo-nya satu per satu.
"Eh, tapi bagaimana jika keluargamu tau jika aku bukan orang yang seharusnya menikah denganmu," tanya Maeera lagi.
Sembari melepas bagian luar tuxedo-nya, Gin menjawab. "Mungkin mereka akan memenjarakanmu."
Mendengar jawaban itu, perasaan Maeera seketika langsung berubah menjadi tak tenang. Ia mulai takut jika besok pagi keluarga Gin datang maka mereka akan tahu yang sebenarnya.
Itu artinya pagi-pagi sebelum matahari terbit, ia harus sudah kabur dari tempat itu.
Bersembunyi dibalik mobil Land Rover warna putih, tangan Avani gemetar memegang pistol Colt M1911A1. Ia ketakutan. Wajah putihnya terlihat pucat pasi dengan rambut yang acak-acakan. Bagian bawah gaun pengantinnya kini sudah berubah warna dari putih menjadi cokelat kemerahan.Di tengah heningnya malam, terdengar suara langkah kaki mendekat kearahnya. Diintipnya suara itu melalui celah mobil. Terlihat seseorang memakai setelan berwarna hitam dan membawa pistol, sedang berjalan mendekat ke arahnya. Sadar dirinya dalam bahaya, detak jantung Avani meningkat pesat, tangannya makin gemetar. Ditariknya pelatuk pistol yang ia bawa, ia todongkan pistol itu ke depan dengan posisi siap menembak. "Aku pasti bisa!" kata Avani dalam hati menyemangati dirinya sendiri. Benar saja, seorang pria memakai jas hitam yang sedari tadi mengendap-endap, muncul dari belakang mobil dan langsung menodongkan pistol ke arahnya. Avani yang sejak tadi sudah bersiap-siap untuk
"Bagaimana caraku keluar? .... emm ... bagaimana—caraku—keluar ... aaa ... bagaimana caraku keluar dari tempat ini?" teriak Maeera sembari mencipakkan air di dalam bathtube.Berendam di bathtube besar nan nyaman, dengan busa dan kelopak bunga mawar bertebaran, pikiran Maeera justru melayang kemana-mana.Pikirannya masih kacau memikirkan bagaimana cara keluar dari tempat itu.Tak hanya itu, ia juga perlu mencari cara agar tuan muda keluarga Liong, Gin Yuta, tak curiga jika dirinya bukanlah pengantin wanita yang sesungguhnya."Perlu berakting, ya! Aku perlu berakting agar tidak ketahuan," kata Maeera sambil mengangguk-anggukkan kepala."Pria bernama Gin itu buta, jadi dia tak akan tahu jika aku bukan istrinya yang sebenarnya. Dia bisa ditipu, aku hanya perlu membuatnya tidak curiga padaku,""Hemmm ... ya-ya, aku pasti bisa melakukannya," kata Maeera penuh semangat.&n
Malam sudah mulai larut, jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul 22:00. Tapi Maeera masih sibuk membongkar lemari barang milik Gin Yuta. Entah apa yang dicarinya. Padahal beberapa jam sebelumnya ia telah memantapkan diri untuk tidur lebih awal karena tak ingin bangun kesiangan yang bisa membuat rencananya untuk kabur gagal."Istriku, kau di mana? Kemarilah, tidur di sini?" pinta Gin sembari meraba-raba area di sekitar tempat tidurnya."Aku di sini, aku masih sibuk, kau tidur saja dulu," kata Maeera yang sedang sibuk membongkar lemari barang milik Gin. Ia sedang mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk tempat menyimpan cincin permatanya. Cincin itu terlalu longgar di jarinya sehingga ia takut cincin itu akan hilang."Kau sibuk?" tanya Gin dengan dahi berkerut penuh tanda tanya."Bukankah kau sedang cuti kerja? Apa aku perlu menelpon direktur Mao untuk mengalihkan semu
Bangunan itu terletak di sebuah pulau pribadi seluas 780 hektare dan berjarak kira-kira 250 mil dari daratan utama. Tembok setinggi tujuh kaki dibangun mengelilingi pulau lengkap dengan lampu sorot, mercusuar, serta rumah jaga, cabana, dan gua bunker.Orang-orang menyebut pulau itu dengan sebutan pulau pribadi Koch. Tempat mafia Ko yang bernama lengkap Koch Leung dan putranya Rin Leung tinggal. Tempat itu bahkan tak tergambar di peta dan tak terdeteksi di GPS karena keberadaannya yang sangat dirahasiakan.Untuk bisa sampai ke pulau pribadi Koch, seseorang harus menggunakan kapal atau helikopter sebagai moda transportasi. Terdapat sebuah dermaga dan helipad sebagai tempat bersandar dan mendarat.Di pulau berpasir putih itu, sebuah bangunan dengan desain mirip kastil kerajaan eropa, menjadi tempat tinggal utama keluarga Leung.Dilihat dari luar, bangunan besar itu memiliki
Avani mondar-mandir di depan pintu memikirkan bagaimana caran mendapatkan ponsel. Sembari menggigit ujung jarinya, otaknya terus befikir. Tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya."Oh ya! ... mungkin mereka punya," kata Avani sambil kembali membuka pintu dan menghampiri kedua penjaga.Melihat Avani kembali membuka pintu dan keluar kamar, kedua pria penjaga itu tiba-tiba langsung bersikap sigap."Emm ... apa kalian membawa ponsel? Apa aku boleh meminjamnya sebentar. Aku ingin menghubungi seseorang," tanya Avani dengan nada bicara sok akrab.Kedua pria itu kembali saling melempar pandangan kemudian menjawab, "Tidak ada ponsel, silahkan kembali," kata keduanya secara bersamaan sembari menarik pelan tubuh Avani ke belakang dan kembali menutup pintu.Mendengar jawaban kompak dari kedua pria itu, Avani hanya bisa terbengong. Ia tak percaya jika dirinya bahkan tak diizinkan untuk meminjam
Avani terus berteriak meronta-ronta saat dirinya diseret kembali ke kamar. Ia mengamuk dan terus memberontak. "Lepaskan tangan kalian!," Avani berteriak sambil mencoba melepas tangannya yang dipegang kuat oleh anak buah Rin. Ia tak ingin kembali ke kamar besar itu, ia tak ingin kembali dikurung. Hari ini, ia seharusnya terbang ke Amerika dan melakukan wawancara kerja di sana. Tapi yang terjadi, dirinya justru terjebak di tempat aneh yang sama sekali tak ia kenal. "Tunggu saja, aku bisa memasukkan kalian semua ke penjara," kata Avani mengancam. Tapi, anak buah Rin tetap tak bergeming. Mereka tetap membawa gadis bermata kecil itu kembali ke kamar dan menguncinya di dalam. "Kalian semua, keluarkan aku! Biarkan aku pulang!" teriak Avani sambil menggedor-gedor pintu. "Aaaargghhh! " Avani menghentakkan kakinya, kesal. Ia merasa begitu marah, frustrasi dan putus asa. Sebagai wanita karir yang sukses, memiliki
Kediaman Lotus Hall pagi-pagi sudah terlihat sibuk. Sederet asisten rumah tangga terlihat sudah mulai membersihkan mansion mewah itu. Semua orang sudah bangun dan sibuk bekerja, kecuali Maeera.Gadis miskin itu masih tertidur pulas di atas ranjang. Ia terlihat begitu lelah setelah semalaman bergadang menjaga kewarasannya agar tak tergoda oleh putra mahkota grup Liong, Gin Yuta.Tapi tidur lelapnya mulai terganggu saat ia merasakan sesuatu yang samar-samar berhembus di wajahnya. Sesuatu yang lembut, hangat dan harum, mirip seperti hembusan nafas.Dengan mata yang masih sepenuhnya terpejam, ia meraba-raba sekitar mencoba mencari tau apa yang mengganggu tidurnya. Tangannya berhenti saat menyentuh sesuatu yang lembut dan lembab."Apa ini?" gumam Maeera dengan mata masih terpejam.Penasaran, Maeera membuka sedikit matanya melihat apa yang ia dapatkan. Ternyata, wajah tampan tuan muda Gin. Terkejut dengan apa yang ia pegang, tangan Maeera
Maeera berjalan cepat menuju ke kamar suami palsunya, Gin Yuta. Jantungnya berdegup kencang. Ia panik dan ketakutan karena ada keluarga Gin yang datang dan memanggilnya dengan nama Avani. "Sayang, apa obatnya sudah kau temukan," tanya Gin begitu mendengar pintu kamar dibuka. "Belum, ini aku sedang mencarinya," jawab Maeera panik sambil berlari menuju ruang baca. Mendengar jawaban Maeera, Gin hanya mengangguk pelan. Tak lama pintu kembali dibuka. Seorang pria tampan memakai coat panjang berwarna hitam, berkacamata, datang sembari membawa tas kerja. Ia tampak sangat rapi dan berwibawa. Dua buah lesung pipit terlihat menghiasi wajahnya setiap kali ia tersenyum. "Pagi tuan muda ... oh kemana istrimu, aku tadi melihatnya. Tapi dia kabur begitu aku sapa," tanya pria itu dengan nada kebingungan sembari celingukan mencari keberadaan Maeera yang ia kira Avani. Gin tersenyum kecil lalu berkata,
'Nuuutttttt .... ' suara ponsel berdering memanggil. Tak lama panggilan itu tersambung. "Halo asisten Eri! Apa kau sudah mengurus berkas tanah dan rumah di desa yang kuberikan padamu," tanya Gin pada asistennya itu melalui sambungan telepon. Maeera seketika terperanjat mendengar kata rumah dan tanah di desa. Ia sangat yakin jika yang dibicarakan Gin Yuta dan asisten Eri adalah rumah dan tanahnya di desa. Pria gila itu pasti melakukan ini untuk memberikan tekanan padanya.Sadar rumah dan tanahnya tak lagi aman, Maeera buru-buru menyela pembicaraan Gin Yuta dengan asisten Eri untuk menenangkan keadaan. "Aku tak memiliki hubungan apa pun dengan adik tirimu, sungguh!!!" ucap Maeera dengan suara bergetar. Ia mencoba meyakinkan Gin Yuta bahwa ia benar-benar tak memiliki hubungan apa pun dengan Kai Yuta. Gin berheti berbicara, menutupi separuh teleponnya dengan tangannya, lalu menoleh ke arah Maeera dengan tatapan kecewa. . "Kau bahkan masih terus berbohong. Seberharga itukah hubungan
Setibanya di mansion.Gin menggenggam erat pergelangan tangan Maeera, menarik paksa gadis itu keluar dari dalam mobil, lalu menggelandangnya masuk ke dalam mansion. "Pulangkan semua orang di mansion kecuali penjaga!!" seru Gin pada asisten Eri yang berjalan mengekor di belakangnya dengan wajah penuh kekhawatiran. "Memulangkan mereka semua??" tanya asisten Eri mencoba mengulang perintah bosnya. Gin menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya ke belakang, menatap asistennya itu dengan wajah dingin."Apa ada masalah dengan perintahku?!!" tanya Gin Yuta dengan raut wajah tak senang. Asisten Eri terdiam. Ia bergegas menggelengkan kepala cepat. "Tidak. Tidak ada tuan. Baik akan segera saya laksanakan," jawab pria berkacamata itu. Berjalan cepat, asisten Eri meninggalkan bosnya menuju area lain dari mansion.Sementara itu, di sisi lain, Maeera, hanya bisa diam melihat perangai dingin suami palsunya.Ia tak bisa berbuat apa-apa karena merasa berada dipihak yang salah. Maeera sadar, ia te
"Berandall!!! Berani-beraninya kau menyentuh istriku!!!" umpat Gin Yuta sembari mencengkeram erat kerah baju Kai yang kini terkapar tak berdaya di depannya. Kai tersenyum tipis mengangkat salah satu sudut bibirnya, saat tahu sosok menghajarnya membabi buta itu ternyata adalah kakak tirinya, Gin Yuta.Ia menyipitkan matanya, menatap kakak tirinya yang terlihat kalap itu dengan hina. "Kenapa??!! Kenapa aku tak boleh menyentuhnya. Dia bukan istrimu, kau tahu itu," tanya Kai mencoba mempertanyakan sikap possesif kakaknya. Gin menggeram menatap tajam Kai Yuta. Giginya mengatup erat dan rapat menahan amarah yang membuncah di dada. Ia mencoba menahan emosi, tak ingin kepalan tangannya kembali melayang ke wajah saudara tirinya."Aku sudah memperingatkanmu. Jangan campuri urusanku!!" bentak Gin sembari terus mencengkeram erat kerah baju Kai Yuta. Kai tertawa lirih mendengar perkataan kakak tirinya."Aku tak pernah mencampuri urusanmu!! Aku hanya mengurusi Maeera, karena dia wanitaku!" teg
Di dalam mobil. Gin meremas lembar-lembar foto di tangannya. Foto-foto yang memperlihatkan kemesraan antara adik tirinya, Kai Yuta dan istri palsunya, Maeera, yang baru saja diberikan oleh ibu tirinya, nyonya Isihiika. Geram, wajah tampan Gin berubah menjadi garang, penuh kemarahan. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. "Jadwalkan ulang perjalananku ke Singapura!!" perintah Gin pada asisten Eri yang tengah sibuk menyetir mobil. "Tapi tuan, ini ... ??" "Jangan membantah!!" bentak Gin dengan suara keras, memotong kata-kata asisten Eri. Seketika asisten Eri langsung diam dan mengangguk pelan. "Baik tuan muda," jawab asisten Eri dengan gugup. Ini adalah kali pertama, selama lima tahun bekerja sebagai asisten pribadinya, Gin membentak dirinya dengan kasar. Melihat bagaimana reaksi bosnya, asisten Eri sangat yakin, jika pria tampan itu saat ini sedang sangat kalut dan gelisah. "Cepat cari di mana dia berada!!" perintah Gin. Ia mengambil ponsel di dalam saku jasnya dan langsun
Akhir pekan akhirnya tiba. Tuan muda pewaris grup Liong, Gin Yuta, terlihat sudah berpakaian rapi, memakai setelan jas berwarna hitam, berkacamata. Ia berdiri tegak di samping sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di depan mansion Lotus Hall. Pintu mobil sudah terbuka, dengan seorang pria berdiri memegangi pintunya. Disamping Gin, berdiri Maeera, yang terlihat masih kumal dan acak-acakan. Gadis itu, terlihat seperti baru bangun tidur dan langsung di seret ke luar untuk berpamitan dengan suaminya. Lebih tepatnya, suami palsunya, yang hendak pergi dinas ke Singapura. "Aku akan pergi selama beberapa hari. Kau! Jangan pergi kemana pun dan jangan buat masalah apa pun selama aku pergi. Mengerti!!!" gertak Rin Gin dengan nada setengah mengancam, pada Maeera yang berdiri di sampingnya. "Hemmm ... Aku mengerti. Kau tak perlu khawatir!" ucap Maeera asal-asalan sembari menggaruk-garuk pelan rambutnya yang masih acak-acakan. Ia terlihat malas mendengar omelan suami palsunya di pagi-pagi
Avani terbangun.Bau harum masakan yang menusuk-nusuk hidungnya, membuat gadis cantik itu tak lagi bisa memejamkan mata. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia mencoba mengamati keadaan sekitar.Terkejut!! ia mendapati dirinya kini berada di sebuah ruangan kecil berukuran 3x4 meter dengan dinding batu bata merah yang belum di plester. "Di mana aku?" gumam gadis cantik itu lirih. Ia memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. "Di mana ini?" tanyanya lirih sembari mengamati keadaan sekitar dengan lebih seksama. Terlihat, ia kini berada di sebuah kamar yang cukup kecil dan sempit. Dindingnya masih berupa batu bara merah yang belum di plester, kasar dan bergelombang di sana-sini.Di sudut kamar terlihat sebuah lemari kayu tua berukuran besar dengan kaca berbentuk oval di bagian depannya. Di samping lemari, sebuah pintu yang ditutupi gorden warna merah, terlihat melambai-lambai pelan di tiup angin. Gorden itu terlihat kusam dan kotor, seperti tak pernah di cuci berminggu-ming
Di ruang kerja Rin. Bau alkohol bercampur dengan obat-obatan, berbaur menjadi satu dengan aroma buku-buku lama dan kayu-kayu tua, menciptakan aroma khas yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. Bertelanjang dada, Rin duduk di sofa di dekat jendela, menghadap ke arah luar. Mata tajamnya, mengamati sekumpulan burung gereja yang sedang terbang rendah di antara pohon-pohon palem yang di tanam di luar manor. Mereka tampak gembira dan tanpa beban. Matahari, terlihat mulai condong ke arah barat, menyisakan siluet panjang di kaca jendela yang menghadap ke arah luar, menyinari tato naga yang ada bagian atas punggung kanan Rin Leung yang menjalar hingga ke lengan dan dada bagian depan. Weilu, duduk di belakang Rin. Pria muda itulah terlihat sibuk menuangkan cairan infus ke dalam baskom kecil yang di dalamnya terdapat sebuah handuk yang biasa digunakan untuk menyeka tubuh. Dengan penuh ke hati-hatian, pria muda itu mengambil handuk kecil itu, memerasnya, kemudian dengan perlahan dan hati
"Plak .... " Sebuah sabetan rotan, membekas merah di punggung Rin Leung. Ia meringis menahan sakit. "Plak ... Plak ... Plak ... " Tiga buah sabetan rotan kembali mendarat di punggungnya. Terlihat jelas sudah ada lebih dari sepuluh sabetan rotan membekas di punggung mafia muda itu. "Plak .... " sebuah sabetan rotan kembali menyentak punggungnya. Ia menggertakkan giginya dengan keras dan mengepalkan tangannya erat untuk menahan sakit. Para mafia yang ada di alun-alun itu, ikut meringis menahan sakit setiap kali rotan itu menyentuh kulit punggung Rin. Mereka seakan ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh sang ketua. "Plak, plak ... " Dua buah sabetan rotan datang bertubi-tubi membuat darah segar, merembes keluar dari dada kanannya yang terluka. Rin membungkuk kesakitan setiap kali rotan itu mengenai punggung kanannya yang segaris dengan luka dadanya. Tak ada yang berani menolongnya. Ini adalah sebuah hukuman, yang harus ia terima. Dan sang ayah sendiri, tuan Koch Leung, yang m
Sore hari di tengah Samudra Hindia yang damai. Laut terlihat tenang, tanpa gelombang. Mirip sebuah cermin raksasa besar yang memantulkan cahaya kuning keemasan, dari hasil pembiasan cahaya matahari yang hampir tenggelam. Di ufuk barat, matahari terlihat seperti bola api raksasa berwarna merah kekuningan yang sedang terbakar dan tenggelam di telan lautan.Bola api raksasa itu, kini sudah separuh perjalanan dan sebentar lagi akan benar-benar tenggelam, menyisakan semburat warna jingga ke emasan di kaki-kaki langit jelang akhir hidupnya. Berdiam seorang diri di atas perahu kecilnya, Avani membiarkan angin laut yang berhembus pelan memainkan rambut panjangnya.Ia hanya duduk meringkuk diam termenung. Kakinya yang panjang, ia tekuk ke belakang, kemudian ia peluk erat dengan kedua tangannya. Perlahan, ia rebahkan kepalanya ke atas lutut, sembari menatap kosong heningnya lautan yang sunyi dan sepi. Ia biarkan perahu kecil itu terombang-ambing dan mengapung tanpa arah dan tujuan, karena s