Avani berteriak meronta-ronta ketika segerombolan pria berjas hitam menangkapnya secara paksa dan memasukkannya ke dalam mobil Jeep warna hitam. Meski kedua kaki dan tangannya sudah diikat, tapi para pria berjas hitam itu masih kewalahan menangani Avani yang memberontak.
Tak ingin mengambil risiko sang pengantin wanita kembali kabur, salah satu pria berjas hitam memutuskan untuk memukul tengkuk Avani hingga wanita cantik itu pingsan."Akhirnya diam juga," kata salah satu di antara mereka sembari bernapas lega. Tiga pria lainnya nampak terkejut melihat teman mereka berani memukul calon menantu mafia Ko hingga pingsan. Mata mereka menyelidik sembari mengangkat salah satu alis seakan mempertanyakan tindakan temannya itu.Si pria berjas hitam yang memukul Avani tampak kebingungan dengan tatapan menyelidik teman-temannya. "Apa ... aku hanya memukulnya pelan. Dia tidak akan mati bukan?" tanya pria itu dengan nada panik. Ketiga pria lainnya serempak mengangkat bahu, menggelengkan kepala seraya mengacungkan jempol.*****Sebuah mobil Jeep hitam keluaran terbaru, melaju pelan memasuki area parkir sebuah hotel bergaya Eropa lama di pinggiran kota. Meksipun dari luar hotel terlihat tua dan kuno, namun begitu masuk ke dalam, bangunan hotel itu ternyata sangat besar dan mewah.Bagian dalam hotel didesain dengan nuansa hangat dan alami. Sentuhan warna emas dan cokelat pada furnitur banyak menghiasi ruangan sehingga menampilkan kesan mahal sekaligus cozy.Memasuki hotel, para tamu akan disambut dengan sebuah lobi super besar dengan gaya arsitektur Eropa abad pertengahan. Pilar-pilar besar tampak berdiri kokoh menyangga langit-langit hotel. Di langit-langit lobi, tampak lukisan "Cupid diatas awan surga" yang dilukis oleh pelukis kenamaan era 1900-an yang masih terawat dengan sangat baik. Lampu gantung kristal bergaya Victoria yang terbuat dari kaca berukir rumit serta dilapisi perunggu dan emas, tampak menggantung mewah di tengah-tengah ruangan di antara jendela-jendela berukuran besar di bagian depan lobi. Jendela-jendela ini memperlihatkan pemandangan laut dan tebing yang indah di sekitar hotel. Tirai-tirai besar panjang tampak menjuntai hingga ke lantai dengan karpet persia yang lembut menjadi alasnya. Meja dan kursi dari kayu Ek berwarna cokelat tua, tampak ditata secara rapi dan berkelompok. Di mana setiap kelompok terdiri dari satu meja berbentuk lingkaran dengan lima kursi yang mengelilinginya.Dengan pencahayaan yang didominasi warna kuning, lobi besar itu disulap menjadi aula pernikahan. Nuansa merah sebagai lambang keberuntungan, tampak mendominasi ruangan. Mulai dari tirai jendela, hiasan lampu, hingga bucket bunga, semua berwarna merah.
Sayang tak ada altar pernikahan, yang ada hanyalah sebuah sofa berwana merah dengan meja panjang di depannya yang dipenuhi bucket bunga mawar merah, lilin berbentuk hati dan dua botol red wine beserta gelasnya
Avani terbangun oleh suara berisik di sekitarnya. Suara orang-orang tertawa keras dan berbicara menggunakan bahasa kasar dan kotor, bercampur dengan bau alkohol dan sampanye yang menusuk hidung membuatnya siuman.
"Di mana ini ... ?" ucap Avani begitu terbangun dari pingsannya. Ia merasakan kepalanya masih pusing dan pandangannya masih sedikit kabur.
Setelah tersadar sepenuhnya, barulah Avani mulai melihat ke sekeliling untuk memastikan di mana ia sekarang. Betapa terkejutnya Avani saat menyadari dirinya kini berada di sebuah pesta dengan dekorasi warna merah memenuhi ruang.
"Pesta siapa ini?" tanya Avani lirih.Terlihat tamu undangan semuanya adalah pria. Mereka memakai setelan jas berwarna hitam, lengkap dengan dasi warna hitam dan topi fedora yang juga berwarna hitam. Mereka tampak menikmati pesta sembari bercengkerama, tertawa dan minum-minum."Lihat! ... pengantin perempuan kita ternyata telah bangun," ucap seorang pria tua yang tiba-tiba muncul dari belakang tempat duduknya.Para tamu undangan yang awalnya berisik dan rusuh, langsung diam seketika saat pria itu datang.
Pria itu berbadan tegap memakai tuxedo warna hitam, dengan topi trilby berwarna senada. Mengapit tongkat kayu berwarna cokelat tua, asap dari rokok cerutu tampak mengepul di ujung bibirnya. Suasana hening dan tegang langsung menyergap ketika pria tua itu berbicara. Para tamu undangan terlihat duduk rapi, dengan raut wajah tegang tanpa senyuman. Semua mata tamu kini fokus melihat dirinya yang baru saja sadar dari pingsan. Bagi Avani ini, pesta ini terlihat mirip sebuah pesta pemakaman dibandingkan pesta pernikahan karena terlalu sunyi dan tegang."Gadis ini adalah menantuku, mulai sekarang dia secara resmi menjadi istri putraku satu-satunya yang tampan ini. Apakah kalian setuju?" tanya pria itu kepada tamu undangan. Serempak para tamu undangan menjawab "Setuju! ... ""Beri salam kepada nyonya besar kalian," kata pria itu sembari memegang pundak Avina dengan erat dan menepuknya beberapa kali. "Salam nyonya besar, selamat atas pernikahannya dengan tuan besar Rin," ucap para tamu undangan serempak sambil membungkukkan badan.Avani yang tak tau harus berbuat apa dan bersikap bagaimana karena semuanya terjadi secara tiba-tiba, memilih ikut membungkukkan badan tanda terimakasih. "Kalo begitu, nikmati pesta kalian," kata pria tua itu lalu pergi meninggalkan kerumunan. Begitu pria tua itu pergi, Avani langsung menegakkan badannya mengalihkan pandangannya ke samping untuk melihat bagaimana rupa pria yang dinikahkan dengannya. Di sampingnya, duduk seorang pria berwajah dingin nan tampan. Pria itu memakai tuxedo hitam lengkap dengan dasi kupu-kupu berwarna senada. Penampilannya sangat rapi dan klimis dengan rambut disisir kebelakang dan diberi pomade. Bau parfum mahal tercium dari tubuhnya.Pria itu terlihat memainkan korek api lighter di tangan kirinya. Pandangannya lurus kedepan melihat sekelompok orang yang juga sedang menatapnya.
Saat melihat wajah pria itu, hal pertama yang terlintas di pikiran Avani adalah sosok "Vincenzo Cassano". Mafia tampan dari drama terkenal Korea. Sosok yang tampan, manis, namun sangat mematikan. Aura badass seorang gangster mafia, memancar sangat kuat dari dirinya sehingga membuat jantung Avina berdegup kencang.
Avani melihat pria itu dengan mata tak berkedip, baru kali ini ia melihat pria setampan dan se-macho itu. Tulang rahangnya sangat tegas, dengan leher panjang dan jakun yang menonjol. Tulang hidungnya tinggi dengan mata kecil yang tajam. Tulang pipinya tinggi dengan alis mata yang tebal dan rapi.
"O, apakah dia yang bernama Rin? Apakah dia suami ku? Oh ... bukan-bukan semua ini kesalahan," bisik Avani mencoba menyadarkan diri dari kehaluan."Tapi beruntung sekali wanita yang menikahinya ... Dia tampan sekali ... " ucap Avani dalam hati. Matanya masih belum lepas mengagumi betapa tampannya wajah pria itu.
"Aku tau diriku sangat tampan, tapi berhenti menatapku seperti itu," ucap Rin dengan nada datar. Pandangannya masih tetap lurus ke depan tanpa menoleh sedikitpun.
Merasa disindir, Avani pun segera mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Tiba-tiba, 'Dor ... ' suara letusan senjata api terdengar menggelegar memecah keriuhan pesta. Sekelompok orang tak dikenal memakai pakaian serba hitam, melakukan penyerangan dengan merangsek masuk ke hotel secara paksa. Mereka menghancurkan barang-barang dan menembaki orang-orang di aula pernikahan secara membabi buta.
Beberapa orang langsung terkapar di lantai, darah segar mengalir membasahi lantai hotel. Suasana pesta pernikahan seketika langsung berubah menjadi arena pertempuran dan baku tembak. Para tamu yang datang langsung mengeluarkan pistol dari saku celana belakang mereka dan melakukan perlawanan. Ini adalah pertempuran antar gangster.Avani seketika syok melihat semua pemandangan itu. Ini adalah kali pertama dalam hidupnya, melihat aksi tembak-tembakan secara nyata. Biasanya ia hanya menemui adegan seperti ini di film atau game. Ini juga kali pertama ia melihat seseorang pergi ke pesta pernikahan dengan membawa pistol di saku baju mereka.
"Pyar ... " sebuah peluru tepat mengenai botol wine yang ada di depannya, peluru itu kemudian menembus sandaran sofa tepat di samping ia duduk. Beruntung, pria di sampingnya bereaksi cepat dengan segera menariknya kebelakang sofa agar tak terkena pantulan peluru.
Avina terkejut setengah mati, bibirnya bergetar hebat. Keringat dingin keluar dari seluruh tubuhnya. Hampir saja nyawanya hilang di tempat yang sama sekali tak ia kenal. Kini ia merasa menyesal telah meninggalkan pesta pernikahannya yang damai dan indah dengan keluarga Liong. Meskipun nantinya ia akan memiliki suami buta, tapi setidaknya nyawanya tak terancam seperti ini. Avani merasa sangat bersalah dengan apa yang sudah terjadi. Kini ia sadar jika semuanya telah hancur. Pertama, ia kemungkinan besar akan gagal untuk pergi wawancara ke Amerika besok. Kedua, orang tuanya pasti akan panik mencarinya karena dirinya tak bisa dihubungi. Untuk itu ia memutuskan akan jujur kepada pria di depannya, bahwa dirinya bukanlah pengantin yang sesungguhnya."Hei ... aku ingin mengatakan sesuatu," kata Avina sembari bersembunyi di balik punggung Rin. "Apa?" jawab Rin tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu keluar. Tangan kanannya sibuk memegang pistol, sedangkan tangan kirinya memegang erat tangan Avani. Matanya sibuk mengawasi keadaan. Suara tembakan terdengar di sana-sini memecah kesunyian malam. Adegan ini mirip di film-film laga yang kerap Avani tonton, tapi kali ini dia adalah pemeran utamanya Di tengah suasana yang tak menentu itu, Avani membuat sebuah pernyataan mengejutkan." Hei, jujur aku bukan istrimu, maksud ku, aku bukan gadis yang seharusnya kau nikahi. Kau salah orang, bukan-bukan, anak buahmu yang salah menangkap orang," kata Avani mencoba menjelaskan keadaan.
"Coba lihat wajahku?" kata Avani sembari membuka maskernya. Rin menoleh ke belakang kemudian melihat sekilas wajah Avani. Tanpa berkata sepatah katapun, ia kembali melihat ke depan memfokuskan pandangannya ke arah pintu keluar.Sebuah tembakan kembali menyasar tempat persembunyian mereka, beruntung tembakan itu meleset dan hanya mengenai tiang besi penyangga pintu.
"Shit! ... " kata Rin mengumpat sambil melepaskan sebuah tembakan balasan ke arah peluru itu berasal."Hei ... kau mendengar ucapan ku? aku bukan pengantinmu, jadi bisakah kau mengantarku pulang?" kata Avina dengan suara setengah berteriak karena suaranya nyaris hilang tertelan oleh bunyi tembakan."Ayo ... " kata Rin sembari menggenggam erat tangan Avani dan menariknya menuju pintu keluar. " Tunggu dulu, kita mau ke mana, hei ... hei ... kita mau ke mana. Tolong pulangkan aku. Aku tak ingin mati di sini, kau mendengar ucapanku," teriak Avina sembari berlari mengikuti langkah kaki Rin menuju pintu keluar. Sesampainya di pintu keluar, Rin yang masih menggenggam erat tangan Avani, membawa wanita cantik itu bersembunyi di belakang sebuah mobil Land Rover warna putih. Mobil itu cukup tersembunyi dan cukup kuat untuk menahan tembakan."Tetap di sini jangan pergi kemanapun, aku akan kembali," kata Rin sambil menatap mata Avani dalam-dalam. Avani yang ditatap seperti itu, jantungnya langsung berdegup kencang dan wajahnya merah padam. Ia sangat malu." Kau mendengar ucapanku?" tanya Rin lagi."Emm..." jawab Avani sembari menganggukkan kepala. "Bawa ini! siapapun yang mendekatimu selain aku, tarik pelatuk ini dan tembak dia," kata Rin sembari menyerahkan pistol miliknya kepada Avani.Ia kemudian pergi meninggalkan Avani. Berjalan mengendap-endap ke arah belakang hotel dan menghilang di antara tembok.
Pesta pernikahan di area golf itu telah usai. Para tamu undangan juga sudah meninggalkan area pesta. Dari kejauhan tampak Maeera sedang berjalan tertatih-tatih ditemani beberapa asisten rumah tangga. Ia tengah diantarkan ke sebuah mansion mewah di tepi pantai, di bagian lain dari lapangan golf itu.Mansion milik keluarga Liong ini, memiliki desain arsitektur modern dengan bagian depan sepenuhnya berdinding kaca. Bangunan utama mansion di kelilingi oleh kanal air yang dipenuhi oleh bunga teratai dan bunga lili yang cantik.Begitu memasuki mansion, Maeera dibuat terkagum-kagum dengan besar dan luasnya rumah itu. Suasana di dalam mansion terlihat sangat nyaman dengan desain interior fresh, unik, dan penuh estetika.Setelah menaiki tangga berbentuk spiral menuju lantai dua, Maeera tiba di sebuah kamar berukuran super besar dengan dua daun pintu berwarna putih."Mari Nona silahkan
Bersembunyi dibalik mobil Land Rover warna putih, tangan Avani gemetar memegang pistol Colt M1911A1. Ia ketakutan. Wajah putihnya terlihat pucat pasi dengan rambut yang acak-acakan. Bagian bawah gaun pengantinnya kini sudah berubah warna dari putih menjadi cokelat kemerahan.Di tengah heningnya malam, terdengar suara langkah kaki mendekat kearahnya. Diintipnya suara itu melalui celah mobil. Terlihat seseorang memakai setelan berwarna hitam dan membawa pistol, sedang berjalan mendekat ke arahnya. Sadar dirinya dalam bahaya, detak jantung Avani meningkat pesat, tangannya makin gemetar. Ditariknya pelatuk pistol yang ia bawa, ia todongkan pistol itu ke depan dengan posisi siap menembak. "Aku pasti bisa!" kata Avani dalam hati menyemangati dirinya sendiri. Benar saja, seorang pria memakai jas hitam yang sedari tadi mengendap-endap, muncul dari belakang mobil dan langsung menodongkan pistol ke arahnya. Avani yang sejak tadi sudah bersiap-siap untuk
"Bagaimana caraku keluar? .... emm ... bagaimana—caraku—keluar ... aaa ... bagaimana caraku keluar dari tempat ini?" teriak Maeera sembari mencipakkan air di dalam bathtube.Berendam di bathtube besar nan nyaman, dengan busa dan kelopak bunga mawar bertebaran, pikiran Maeera justru melayang kemana-mana.Pikirannya masih kacau memikirkan bagaimana cara keluar dari tempat itu.Tak hanya itu, ia juga perlu mencari cara agar tuan muda keluarga Liong, Gin Yuta, tak curiga jika dirinya bukanlah pengantin wanita yang sesungguhnya."Perlu berakting, ya! Aku perlu berakting agar tidak ketahuan," kata Maeera sambil mengangguk-anggukkan kepala."Pria bernama Gin itu buta, jadi dia tak akan tahu jika aku bukan istrinya yang sebenarnya. Dia bisa ditipu, aku hanya perlu membuatnya tidak curiga padaku,""Hemmm ... ya-ya, aku pasti bisa melakukannya," kata Maeera penuh semangat.&n
Malam sudah mulai larut, jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul 22:00. Tapi Maeera masih sibuk membongkar lemari barang milik Gin Yuta. Entah apa yang dicarinya. Padahal beberapa jam sebelumnya ia telah memantapkan diri untuk tidur lebih awal karena tak ingin bangun kesiangan yang bisa membuat rencananya untuk kabur gagal."Istriku, kau di mana? Kemarilah, tidur di sini?" pinta Gin sembari meraba-raba area di sekitar tempat tidurnya."Aku di sini, aku masih sibuk, kau tidur saja dulu," kata Maeera yang sedang sibuk membongkar lemari barang milik Gin. Ia sedang mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk tempat menyimpan cincin permatanya. Cincin itu terlalu longgar di jarinya sehingga ia takut cincin itu akan hilang."Kau sibuk?" tanya Gin dengan dahi berkerut penuh tanda tanya."Bukankah kau sedang cuti kerja? Apa aku perlu menelpon direktur Mao untuk mengalihkan semu
Bangunan itu terletak di sebuah pulau pribadi seluas 780 hektare dan berjarak kira-kira 250 mil dari daratan utama. Tembok setinggi tujuh kaki dibangun mengelilingi pulau lengkap dengan lampu sorot, mercusuar, serta rumah jaga, cabana, dan gua bunker.Orang-orang menyebut pulau itu dengan sebutan pulau pribadi Koch. Tempat mafia Ko yang bernama lengkap Koch Leung dan putranya Rin Leung tinggal. Tempat itu bahkan tak tergambar di peta dan tak terdeteksi di GPS karena keberadaannya yang sangat dirahasiakan.Untuk bisa sampai ke pulau pribadi Koch, seseorang harus menggunakan kapal atau helikopter sebagai moda transportasi. Terdapat sebuah dermaga dan helipad sebagai tempat bersandar dan mendarat.Di pulau berpasir putih itu, sebuah bangunan dengan desain mirip kastil kerajaan eropa, menjadi tempat tinggal utama keluarga Leung.Dilihat dari luar, bangunan besar itu memiliki
Avani mondar-mandir di depan pintu memikirkan bagaimana caran mendapatkan ponsel. Sembari menggigit ujung jarinya, otaknya terus befikir. Tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya."Oh ya! ... mungkin mereka punya," kata Avani sambil kembali membuka pintu dan menghampiri kedua penjaga.Melihat Avani kembali membuka pintu dan keluar kamar, kedua pria penjaga itu tiba-tiba langsung bersikap sigap."Emm ... apa kalian membawa ponsel? Apa aku boleh meminjamnya sebentar. Aku ingin menghubungi seseorang," tanya Avani dengan nada bicara sok akrab.Kedua pria itu kembali saling melempar pandangan kemudian menjawab, "Tidak ada ponsel, silahkan kembali," kata keduanya secara bersamaan sembari menarik pelan tubuh Avani ke belakang dan kembali menutup pintu.Mendengar jawaban kompak dari kedua pria itu, Avani hanya bisa terbengong. Ia tak percaya jika dirinya bahkan tak diizinkan untuk meminjam
Avani terus berteriak meronta-ronta saat dirinya diseret kembali ke kamar. Ia mengamuk dan terus memberontak. "Lepaskan tangan kalian!," Avani berteriak sambil mencoba melepas tangannya yang dipegang kuat oleh anak buah Rin. Ia tak ingin kembali ke kamar besar itu, ia tak ingin kembali dikurung. Hari ini, ia seharusnya terbang ke Amerika dan melakukan wawancara kerja di sana. Tapi yang terjadi, dirinya justru terjebak di tempat aneh yang sama sekali tak ia kenal. "Tunggu saja, aku bisa memasukkan kalian semua ke penjara," kata Avani mengancam. Tapi, anak buah Rin tetap tak bergeming. Mereka tetap membawa gadis bermata kecil itu kembali ke kamar dan menguncinya di dalam. "Kalian semua, keluarkan aku! Biarkan aku pulang!" teriak Avani sambil menggedor-gedor pintu. "Aaaargghhh! " Avani menghentakkan kakinya, kesal. Ia merasa begitu marah, frustrasi dan putus asa. Sebagai wanita karir yang sukses, memiliki
Kediaman Lotus Hall pagi-pagi sudah terlihat sibuk. Sederet asisten rumah tangga terlihat sudah mulai membersihkan mansion mewah itu. Semua orang sudah bangun dan sibuk bekerja, kecuali Maeera.Gadis miskin itu masih tertidur pulas di atas ranjang. Ia terlihat begitu lelah setelah semalaman bergadang menjaga kewarasannya agar tak tergoda oleh putra mahkota grup Liong, Gin Yuta.Tapi tidur lelapnya mulai terganggu saat ia merasakan sesuatu yang samar-samar berhembus di wajahnya. Sesuatu yang lembut, hangat dan harum, mirip seperti hembusan nafas.Dengan mata yang masih sepenuhnya terpejam, ia meraba-raba sekitar mencoba mencari tau apa yang mengganggu tidurnya. Tangannya berhenti saat menyentuh sesuatu yang lembut dan lembab."Apa ini?" gumam Maeera dengan mata masih terpejam.Penasaran, Maeera membuka sedikit matanya melihat apa yang ia dapatkan. Ternyata, wajah tampan tuan muda Gin. Terkejut dengan apa yang ia pegang, tangan Maeera
'Nuuutttttt .... ' suara ponsel berdering memanggil. Tak lama panggilan itu tersambung. "Halo asisten Eri! Apa kau sudah mengurus berkas tanah dan rumah di desa yang kuberikan padamu," tanya Gin pada asistennya itu melalui sambungan telepon. Maeera seketika terperanjat mendengar kata rumah dan tanah di desa. Ia sangat yakin jika yang dibicarakan Gin Yuta dan asisten Eri adalah rumah dan tanahnya di desa. Pria gila itu pasti melakukan ini untuk memberikan tekanan padanya.Sadar rumah dan tanahnya tak lagi aman, Maeera buru-buru menyela pembicaraan Gin Yuta dengan asisten Eri untuk menenangkan keadaan. "Aku tak memiliki hubungan apa pun dengan adik tirimu, sungguh!!!" ucap Maeera dengan suara bergetar. Ia mencoba meyakinkan Gin Yuta bahwa ia benar-benar tak memiliki hubungan apa pun dengan Kai Yuta. Gin berheti berbicara, menutupi separuh teleponnya dengan tangannya, lalu menoleh ke arah Maeera dengan tatapan kecewa. . "Kau bahkan masih terus berbohong. Seberharga itukah hubungan
Setibanya di mansion.Gin menggenggam erat pergelangan tangan Maeera, menarik paksa gadis itu keluar dari dalam mobil, lalu menggelandangnya masuk ke dalam mansion. "Pulangkan semua orang di mansion kecuali penjaga!!" seru Gin pada asisten Eri yang berjalan mengekor di belakangnya dengan wajah penuh kekhawatiran. "Memulangkan mereka semua??" tanya asisten Eri mencoba mengulang perintah bosnya. Gin menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya ke belakang, menatap asistennya itu dengan wajah dingin."Apa ada masalah dengan perintahku?!!" tanya Gin Yuta dengan raut wajah tak senang. Asisten Eri terdiam. Ia bergegas menggelengkan kepala cepat. "Tidak. Tidak ada tuan. Baik akan segera saya laksanakan," jawab pria berkacamata itu. Berjalan cepat, asisten Eri meninggalkan bosnya menuju area lain dari mansion.Sementara itu, di sisi lain, Maeera, hanya bisa diam melihat perangai dingin suami palsunya.Ia tak bisa berbuat apa-apa karena merasa berada dipihak yang salah. Maeera sadar, ia te
"Berandall!!! Berani-beraninya kau menyentuh istriku!!!" umpat Gin Yuta sembari mencengkeram erat kerah baju Kai yang kini terkapar tak berdaya di depannya. Kai tersenyum tipis mengangkat salah satu sudut bibirnya, saat tahu sosok menghajarnya membabi buta itu ternyata adalah kakak tirinya, Gin Yuta.Ia menyipitkan matanya, menatap kakak tirinya yang terlihat kalap itu dengan hina. "Kenapa??!! Kenapa aku tak boleh menyentuhnya. Dia bukan istrimu, kau tahu itu," tanya Kai mencoba mempertanyakan sikap possesif kakaknya. Gin menggeram menatap tajam Kai Yuta. Giginya mengatup erat dan rapat menahan amarah yang membuncah di dada. Ia mencoba menahan emosi, tak ingin kepalan tangannya kembali melayang ke wajah saudara tirinya."Aku sudah memperingatkanmu. Jangan campuri urusanku!!" bentak Gin sembari terus mencengkeram erat kerah baju Kai Yuta. Kai tertawa lirih mendengar perkataan kakak tirinya."Aku tak pernah mencampuri urusanmu!! Aku hanya mengurusi Maeera, karena dia wanitaku!" teg
Di dalam mobil. Gin meremas lembar-lembar foto di tangannya. Foto-foto yang memperlihatkan kemesraan antara adik tirinya, Kai Yuta dan istri palsunya, Maeera, yang baru saja diberikan oleh ibu tirinya, nyonya Isihiika. Geram, wajah tampan Gin berubah menjadi garang, penuh kemarahan. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. "Jadwalkan ulang perjalananku ke Singapura!!" perintah Gin pada asisten Eri yang tengah sibuk menyetir mobil. "Tapi tuan, ini ... ??" "Jangan membantah!!" bentak Gin dengan suara keras, memotong kata-kata asisten Eri. Seketika asisten Eri langsung diam dan mengangguk pelan. "Baik tuan muda," jawab asisten Eri dengan gugup. Ini adalah kali pertama, selama lima tahun bekerja sebagai asisten pribadinya, Gin membentak dirinya dengan kasar. Melihat bagaimana reaksi bosnya, asisten Eri sangat yakin, jika pria tampan itu saat ini sedang sangat kalut dan gelisah. "Cepat cari di mana dia berada!!" perintah Gin. Ia mengambil ponsel di dalam saku jasnya dan langsun
Akhir pekan akhirnya tiba. Tuan muda pewaris grup Liong, Gin Yuta, terlihat sudah berpakaian rapi, memakai setelan jas berwarna hitam, berkacamata. Ia berdiri tegak di samping sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di depan mansion Lotus Hall. Pintu mobil sudah terbuka, dengan seorang pria berdiri memegangi pintunya. Disamping Gin, berdiri Maeera, yang terlihat masih kumal dan acak-acakan. Gadis itu, terlihat seperti baru bangun tidur dan langsung di seret ke luar untuk berpamitan dengan suaminya. Lebih tepatnya, suami palsunya, yang hendak pergi dinas ke Singapura. "Aku akan pergi selama beberapa hari. Kau! Jangan pergi kemana pun dan jangan buat masalah apa pun selama aku pergi. Mengerti!!!" gertak Rin Gin dengan nada setengah mengancam, pada Maeera yang berdiri di sampingnya. "Hemmm ... Aku mengerti. Kau tak perlu khawatir!" ucap Maeera asal-asalan sembari menggaruk-garuk pelan rambutnya yang masih acak-acakan. Ia terlihat malas mendengar omelan suami palsunya di pagi-pagi
Avani terbangun.Bau harum masakan yang menusuk-nusuk hidungnya, membuat gadis cantik itu tak lagi bisa memejamkan mata. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia mencoba mengamati keadaan sekitar.Terkejut!! ia mendapati dirinya kini berada di sebuah ruangan kecil berukuran 3x4 meter dengan dinding batu bata merah yang belum di plester. "Di mana aku?" gumam gadis cantik itu lirih. Ia memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. "Di mana ini?" tanyanya lirih sembari mengamati keadaan sekitar dengan lebih seksama. Terlihat, ia kini berada di sebuah kamar yang cukup kecil dan sempit. Dindingnya masih berupa batu bara merah yang belum di plester, kasar dan bergelombang di sana-sini.Di sudut kamar terlihat sebuah lemari kayu tua berukuran besar dengan kaca berbentuk oval di bagian depannya. Di samping lemari, sebuah pintu yang ditutupi gorden warna merah, terlihat melambai-lambai pelan di tiup angin. Gorden itu terlihat kusam dan kotor, seperti tak pernah di cuci berminggu-ming
Di ruang kerja Rin. Bau alkohol bercampur dengan obat-obatan, berbaur menjadi satu dengan aroma buku-buku lama dan kayu-kayu tua, menciptakan aroma khas yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. Bertelanjang dada, Rin duduk di sofa di dekat jendela, menghadap ke arah luar. Mata tajamnya, mengamati sekumpulan burung gereja yang sedang terbang rendah di antara pohon-pohon palem yang di tanam di luar manor. Mereka tampak gembira dan tanpa beban. Matahari, terlihat mulai condong ke arah barat, menyisakan siluet panjang di kaca jendela yang menghadap ke arah luar, menyinari tato naga yang ada bagian atas punggung kanan Rin Leung yang menjalar hingga ke lengan dan dada bagian depan. Weilu, duduk di belakang Rin. Pria muda itulah terlihat sibuk menuangkan cairan infus ke dalam baskom kecil yang di dalamnya terdapat sebuah handuk yang biasa digunakan untuk menyeka tubuh. Dengan penuh ke hati-hatian, pria muda itu mengambil handuk kecil itu, memerasnya, kemudian dengan perlahan dan hati
"Plak .... " Sebuah sabetan rotan, membekas merah di punggung Rin Leung. Ia meringis menahan sakit. "Plak ... Plak ... Plak ... " Tiga buah sabetan rotan kembali mendarat di punggungnya. Terlihat jelas sudah ada lebih dari sepuluh sabetan rotan membekas di punggung mafia muda itu. "Plak .... " sebuah sabetan rotan kembali menyentak punggungnya. Ia menggertakkan giginya dengan keras dan mengepalkan tangannya erat untuk menahan sakit. Para mafia yang ada di alun-alun itu, ikut meringis menahan sakit setiap kali rotan itu menyentuh kulit punggung Rin. Mereka seakan ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh sang ketua. "Plak, plak ... " Dua buah sabetan rotan datang bertubi-tubi membuat darah segar, merembes keluar dari dada kanannya yang terluka. Rin membungkuk kesakitan setiap kali rotan itu mengenai punggung kanannya yang segaris dengan luka dadanya. Tak ada yang berani menolongnya. Ini adalah sebuah hukuman, yang harus ia terima. Dan sang ayah sendiri, tuan Koch Leung, yang m
Sore hari di tengah Samudra Hindia yang damai. Laut terlihat tenang, tanpa gelombang. Mirip sebuah cermin raksasa besar yang memantulkan cahaya kuning keemasan, dari hasil pembiasan cahaya matahari yang hampir tenggelam. Di ufuk barat, matahari terlihat seperti bola api raksasa berwarna merah kekuningan yang sedang terbakar dan tenggelam di telan lautan.Bola api raksasa itu, kini sudah separuh perjalanan dan sebentar lagi akan benar-benar tenggelam, menyisakan semburat warna jingga ke emasan di kaki-kaki langit jelang akhir hidupnya. Berdiam seorang diri di atas perahu kecilnya, Avani membiarkan angin laut yang berhembus pelan memainkan rambut panjangnya.Ia hanya duduk meringkuk diam termenung. Kakinya yang panjang, ia tekuk ke belakang, kemudian ia peluk erat dengan kedua tangannya. Perlahan, ia rebahkan kepalanya ke atas lutut, sembari menatap kosong heningnya lautan yang sunyi dan sepi. Ia biarkan perahu kecil itu terombang-ambing dan mengapung tanpa arah dan tujuan, karena s