Suara ketukan pintu terus mengusik ketenangan yang sedang berusaha aku ciptakan. Mas Ilham tak putus asa memanggilku, memohon maaf padaku. Jujur saat ini hatiku beku. Tapi tak ingin permasalahan ini menjadi konsumsi tetangga, akhirnya kubuka juga pintu untuknya.
Mas Ilham langsung meraih tanganku kemudian bersimpuh di kakiku. "Bunda, tolong dengarkan Ayah dulu, please!" ucapnya dengan menempelkan telapak tanganku di wajahnya.
"Tolong, Mas Ilham! Saya enggak mau menjadi tontonan!" Kuhentakan tanganku kemudian berlalu meninggalkannya yang terpaku di depan pintu.
Pantulan dicermin seolah mengolokku. Kuusap pelan kulit wajah ini. Kusam. Kata yang pas untuk menggambarkan kulit wajahku. Pori-pori yang terlihat lebar. Bekas jerawat di mana-mana. Di ujung mata pun mulai terlihat keriput. Mungkinkah faktor usia? Atau memang aku yang selama ini tak pernah peduli dengan penampilan.
Kubuka hijab yang tadi kukenakan saat membukakan pintu untuk Mas Ilham. Pelan jemari ini menyugar rambut yang entah sejak kapan terikat dengan ikat rambut berwarna merah yang sudah kendor. Kuurai rambut yang kini berbentuk ikal. Kusisir perlahan, beberapa kali sisir tersangkut dan aku harus pelan-pelan agar rambutku bisa tersisir semua.
Kuhembuskan nafas dengan berat. Memang penampilanku dan Riana bak langit dengan bumi. Riana yang muda dengan tubuh bak biola. Riana yang cantik dengan wajah bak pualam. Riana yang berambut lurus dan rapi.
Pantas saja Mas Ilham mabuk kepayang hingga lupa dosa dan keluarga. Sedangkal itukah cinta Mas Ilham untukku, untuk kami sekeluarga? Hanya karena seorang gadis jelita dia mampu menghianati janji suci kami.
Pipiku kembali basah. Deras air mata ini mengalir membuat wajah kusamku semakian tak karuan. Aku tergugu dalam pilu. Memikirkan nasib rumah tanggaku.
"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Haruskah rumah tangga yang kubangun dengan susah payah ini hancur begitu saja?"
Tangisku semakin pecah mengisi kekosongan kamar tempat biasa kami mencurahkan kasih sayang. Ada perasaan tidak rela membiarkan keringat darah dan air mata yang kupertaruhkan selama ini untuk rumah tangga kami terbuang sia-sia. Perjalanan yang telah kami tempuh selama lebih dari sepuluh tahun tidaklah mudah. Penuh tangis peluh dan kesabaran luar biasa. Haruskah kini kumenyerah begitu saja?
Mas Ilham yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu kini mendekat. Kemudian wajah lelaki itu terpantul oleh cermin di depanku. Wajah yang selama ini menjadi titik fokus hidupku. Tak pernah sedikitpun aku berpaling, terlintas sedikitpun tak pernah.
Benci menyeruak melihat wajah itu. Tiada lagi cinta yang dulu begitu besar untuknya. Semua terkubur oleh dalamnya luka sebab penghianatannya. Aku muak dengan ekspresi wajahnya. Entah itu sungguh-sungguh merasa bersalah atau sekedar sandiwara. Entah lah, rasa percaya itu menguap begitu saja.
"Nda!"
Dia berusaha menyentuh pundakku namun segera kutepis. Aku jijik dengan tangan yang telah ternoda oleh wanita lain.
"Maafin Ayah, Nda. Bunda boleh pukul Ayah sepuasnya. Lampiaskan seluruh emosi Bunda, Ayah terima, Nda."
Mendengar rentetan kata-katanya aku semakin muak. Dia pikir cukup aku memukulnya semua akan selesai? Luka di hatiku langsung hilang? Bahkan jika aku membunuhnya pun luka ini tak akan pernah sirna. Tak semudah itu. Penghianatan atas sebuah ketulusan adalah dosa yang paling besar bagiku.
"Tolong jangan panggil saya Bunda lagi. Aku jijik mendengarnya." Kupalingkan wajah agar tak bersitatap dengannya di cermin.
"Nda, Ayah tahu Ayah salah. Ayah mohon, maafkan kesalahan Ayah, Nda!"
"Mas Ilham, namaku Mayang. Bukan Bunda."
"Nda, silahkan hukum Ayah! Tapi jangan seperti ini! Ayah butuh Bunda, Ayah cinta sama Bunda. Ayah khilaf, Nda. Ayah hanya cinta sama Bunda."
"Ya allah, apa bumi ini benar-benar sudah terlalu tua sampai ada lelaki macam kamu, Mas?" Tanyaku dengan nada sinis disertai tatapan miring tak kalah sinis.
"Nda ... ."
"Cinta seperti apa yang kamu punya itu, hah?" Tajam kutatap bola matanya yang terlihat sendu.
"Nda, Ayah khilaf."
"Enggak adakah alasan lain yang lebih enak didengar?" Kubuang wajah, muak mendengar alasan klasiknya.
"Ayah benar-benar enggak ada niatan buat menghianati Bunda."
"Terus selama ini yang kamu lakukan itu apa namanya?"
"Semua terjadi begitu saja, Nda."
"Sejak kapan?"
"Sejak ... ."
"Masih mau berbohong?" sinisku.
"Enggak, Nda. Sekitar empat bulan setelah kedatangan Riana, Nda. Maafin Ayah, Nda."
"Astaghfirullah, sudah satu setengah tahun kalian main gila di belakangku?"
Tajam kutatap mata lelaki itu. Tak pernah kusangka sama sekali. Saking bodohnya aku atau saking pintarnya mereka memainkan sandiwara. Mungkin jika mereka berdua ikut casting sineteron, mereka bakal langsung menjadi peran utama.
Satu setengah tahun bukan waktu yang singkat. Selama ini mereka begitu baik padaku. Bersikap seolah tak ada apa-apa diantara mereka. Bahkan Riana sering membantu pekerjaan rumahku. Bahkan kadang menginap di sini. Oh, tunggu tunggu!
"Jadi rumah ini pun sudah kalian gunakan untuk main gila?"
Kutatap tajam lelaki yang hanya diam membisu.
"Di ruang mana?" Suaraku semakin meninggi.
"Maafin Ayah, Nda!"
Lelaki itu kini bersimpuh memegang lututku. Tapi aku terlanjur kecewa padanya. Teramat sangat kecewa. Kasar kuhentakkan kaki dan meninggalkannya.
"Ya Allah, rasanya begitu sakit," rintihku dalam hati sambil menekan dadaku kuat-kuat. Tak pernah kusangka, bahkan rumah ini pun telah mereka nodai dengan perbuatan hina mereka. Rumah yang kami beli dengan jerih payah, menabung sedikit demi sedikit, hingga puasa senin kamis agar bisa lebih berhemat, telah mereka kotori dengan perbuatan yang begitu hina.
Entah bagaimana aku ingin melampiaskan segala beban di dada. Ingin menjerit sepuasnya. Ingin berlari secepat-cepatnya. Bahkan ingin mati saat ini juga.
Tubuhku ambruk ke ranjang kamar tidur Delia. Kubenamkan wajah ke dalam bantal kemudian menangis meraung-raung. Rasanya teramat sakit. Entah apa kata yang bisa untuk menjelaskan rasa sakitnya. Sungguh aku ingin mati saja. Aku ingin mati agar tak merasakan sakit lagi. Aku tak kuat menahan lara yang mengoyak jiwa seperti ini. Mungkin aku bisa gila karenanya.
.
Pagi ini gerimis masih setia menemani. Jendela kaca kamar ini basah oleh tetesan airnya. Pandanganku lurus menatap tetes-tetes air dijendela yang luruh meninggalkan bekas di kaca. Nafasku berhembus kasar. Biasanya Mas Ilham selalu cerewet saat aku malas-malasan karena dingin. Minta dia untuk tetap memelukku dibalut selimut tebal. Tampaknya semua hanya akan jadi kenangan.
Kuberanjak dari tempat tidur. Melakukan aktifitas pagi seperti biasa dengan perasaan tak biasa. Kulihat Mas Ilham sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Tapi hati ini sudah terlanjur beku untuk melihat apapun kebaikan darinya. Kebaikan yang selama ini aku bangga-banggakan. Memiliki suami yang tak gengsi mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan menyiapkan sarapan untuk kami. Kemudian mengantarku sampai depan pintu saat berangkat mengajar. Senyumnya, perhatiannya, seluruh kebaikannya kini lenyap tak bersisa.
Setelah siap dengan seragam batik, aku mematut diri di depan cermin lebih lama dari biasanya. Mataku terlihat bengkak. Setelah memakai jilbab senada aku berniat langsung berangkat. Perutku terlalu penuh untuk bisa terisi sarapan buatan Mas Ilham.
Melihatku keluar kamar, lelaki itu tergopoh mengejarku. "Bunda sarapan dulu, ya? Ayah sudah siapin nasi goreng."
Aku bergeming tetap melangkah menuju garasi. "Nda, hujan. Ayah antar ya?" Lelaki itu berjalan mengekoriku. Aku masih membisu.
Mas Ilham meraih pundakku dan berdiri di depanku. "Nda, enggak apa-apa Bunda masih marah, tapi biarkan Ayah tetap antar Bunda, ya? Ayah enggak mau Bunda hujan-hujanan." bujuknya.
Jengah mendengar suara lelaki itu, langsung kupakai jas hujan dan menstater motor kupacu keluar rumah menuju sekolah tempatku mengajar.
Sepanjang perjalanan pikiranku melayang pada masa-masa perjuangan rumah tangga kami. Awal pernikahan, kami benar-benar harus berjuang demi sesuap nasi. Kami bukan berasal dari keluarga berada oleh karenanya harus berjuang keras untuk perekonomian keluarga.
Kami mengontrak di sebuah rumah kecil. Kemudian dengan uang sisa pernikahan kami gunakan untuk modal warung kelontong kecil-kecilan di teras rumah. Mas Ilham bekerja serabutan. Kadang ngojek dengan motor bututnya, bahkan buruh bangunan karena dia hanya punya ijazah SMP. Asal ada peluang menghasilkan uang yang halal dia mau kerjakan. Aku tak pernah protes seberapapun penghasilannya.
Sejak kelahiran Delia rezeki kami mulai membaik, uang dari sanak saudara kami kumpulkan kemudian digunakan untuk menyewa ruko di pinggir jalan untuk membuka toko sembako. Tak butuh waktu lama toko kami semakin ramai. Barang dagangan semakin kami lengkapi. Dengan membawa serta bayi Delia kami berkerja sama mengelola toko.
Aku memang bukan tipikal ibu rumah tangga yang bisa segalanya. Mengurus bayi dan ikut berjualan di toko membuatku tak pernah memasak dan mengurus rumah sendiri. Mas Ilham selalu turut serta dalam pekerjaan rumah tangga. Jika kami repot maka rumah memang seperti istana terbalik. Tapi tak pernah jadi masalah. Saat senggang maka kami akan bekerja sama membalikkan kembali istana kami yang sebelumnya porak poranda. Soal makanan dia pun tak pernah rewel. Sarapan nasi bungkus sambil membuka toko sudah cukup.
Menginjak satu tahun usia Delia, Mas Ilham dan orang tua kami mendukungku untuk mengikuti tes CPNS di kota tempat tinggal kami dan diterima. Sejak itu toko dikelola Mas Ilham dengan dibantu dua karyawan, Dika dan Toni. Aku hanya menerima laporan keuangan dan keluar masuk barang setiap hari. Meskipun mulai disibukkan dengan pekerjaan baru, aku tetap memantau kondisi toko.
Delia di rumah diasuh oleh tetanggaku, Mba Nanda. Suaminya yang buruh bangunan membuatnya ikut bekerja demi dapur tetap mengepul di saat harga-harga kebutuhan semakin meroket. Setelah Delia masuk SD kembali kami hidup tanpa bantuan ART. Karena Delia minta masuk sekolah yang berasrama.
Semua berjalan dengan baik. Kehidupan kami cukup bahagia. Aku sangat bersyukur untuk itu. Di mata teman-teman kami adalah pasangan sempurna. Ekonomi mapan, anak kami tumbuh sehat dan sholihah, kami berdua selalu kompak dan kemanapun selalu bersama. Seolah tak ada celah untuk orang ketiga. Tapi itu hanya sepertinya. Hingga akhirnya kemarin aku mengetahui semuanya.
Motor kuparkir bersamaan dengan motor-motor guru yang lain. Aku berjalan menyusuri koridor seperti mayat hidup. Sekedar untuk tersenyum menyambut anak-anak yang berebut tanganku pun begitu kaku.
Ruang guru seperti biasa terdengar riuh penuh canda rekan-rekan yang sudah hadir. Seperti biasa, aku mengucap salam dan bersalaman dengan mereka kemudian duduk di kursi kerjaku. Biasanya aku akan membaur bersama gurauan mereka. Tapi pagi ini jiwaku serasa tak menyatu dengan raga, entah melayang dimana.
.
Mendung masih menggelayut manja di langit jingga saat aku memacu motor dari sekolah menuju toko. Rutinitasku setiap hari. Jalanan padat merayap pada saat jam pulang kerja seperti ini. Dengan lincah aku menyalip beberapa mobil yang merayap pelan di depanku. Hingga tiba di perempatan dengan lampu merah menyala. Aku masih menyalip untuk bisa berada di posisi depan.
Menanti lampu hijau, aku menoleh sekeliling. Dan pedang itu kembali menghunus jantungku. Wajah cantik gadis itu tampak menatap kosong ke depan. Di sampingnya terlihat lelaki yang berkali-kali minta maaf padaku. Mereka belum menyadari posisiku tepat di samping mereka. Tak kusangka, sepercaya diri ini mereka pergi berdua dengan kaca mobil dibiarkan terbuka.
"Enak ya, kemana-mana pakai mobil tanpa bersusah payah membelinya," seruku. Ingin rasanya kujambak dan kutarik keluar perempuan tak tahu diri itu. Tapi aku tak ingin mempermalukan diri.
Mereka menoleh dengan mata melebar.
"Mba Mayang," lirih gadis tak perawan itu.
Aku hanya tersenyum sinis meninggalkan mereka yang masih bengong saat lampu hijau telah menyala. Sungguh hatiku hancur lebur. Lelaki itu yang tadi pagi sibuk membujukku, kini dengan entengnya pergi berdua dengan gundiknya. Lelaki macam apa sebenarnya dia Ya Robbi?
Awan menghitam menutup semburat jingga di batas cakrawala. Lampu-lampu jalanan mulai mengambil alih tugas sang mentari. Rintik mulai turun menemaniku memacu sepeda motor dengan kecepatan cukup tinggi. Cukup sudah permainan ini. Biarlah pernikahan ini harus berakhir. Aku menyerah. Aku kalah. Biarlah kepingan hati ini kupunguti seorang diri. Pada saatnya nanti waktu akan membuatnya utuh kembali.Aku tak jadi ke toko. Tiba di rumah langsung kuambil koper ukuran besar yang selama ini nyaris tak tersentuh di lemari bagian bawah. Kubuka resletingnya dengan kasar. Kemudian kulempar semua baju-baju Mas Ilham ke dalam. Kuluapkan emosi di hati dengan menarik kasar baju-baju itu dari lemari. Seolah aku sedang membuang Mas Ilham yang telah menghianati pernikahan ini.Tak ada air mata lagi. Tekadku sudah bulat untuk mengakhiri semua. Aku benci dibohongi. Aku benci dikhianati. Aku benci dipermainkan. Pernikahan adalah janji kepada Sang Pencipta bukan hanya kata-kata tanpa makna. Jika ini takdir ya
Gadis dengan wajah putih itu menunduk setelah meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Dia duduk di sebelah ibunya."Lho Riana kok diam saja? Persilahkan Mba Mayang sama Mas Ilham lho!" tegur Mak Jum pada Riana yang hanya diam."Monggo, monggo Mas, Mba! Cuma teh hangat ini. Maaf, kami enggak bisa ngasih suguhan apa-apa," ucap Mak Jum selanjutnya dengan senyum mengembang. Aku hanya diam tak merespon ucapannya. Fokusku lebih ke benda-benda di pojok ruangan rumah ini. Sepertinya sebentar lagi Mak Jum mau merenovasi rumahnya. Ada bertumpuk barang-barang bangunan seperti keramik, semen dan lain-lainnya. Sekilas meskipun ruangan ini terlihat sama namun ada beberapa barang yang berbeda. Sekarang ada televisi di depan tempat tidur ayah Riana dengan ukuran lumayan besar.Begitu pandaikah mereka mengatur keuangan? Atau uang yang selama ini untuk berobat Ayah Riana tak mereka gunakan seperti pesanku?"Iya, Bu terima kasih." Suara Mas Ilham membuyarkan segala perhitungan di kepalaku. Jujur aku
Puluhan tahun bersama nyatanya kini lelaki di sampingku ini terasa asing. Seolah aku tak lagi mengenalnya. Kepercayaan yang dulu kuberikan sepenuhnya menjadi bumerang yang menyerang pernikahan kami.Aku masih tak percaya dengan jawaban Mas Ilham. Aku masih memikirkan tentang lamaran itu. Dan itu sangat mengganggu. Kepercayaan pada lelaki di sampingku ini menguap entah kemana. Yang ada hanya curiga sehingga membuat hati semakin tidak tenang.Tiba di rumah entah mengapa aku merasa enggan. Merasa tidak nyaman. Dulu rumah ini selalu menjadi tempat ternyaman setelah seharian berkutat dengan segudang aktifitas. Kini melihat sesuatu yang ada di rumah ini menjadi menjijikan. Seperti ada noda bekas perbuatan terkutuk mereka menempel di mana-mana, di setiap benda. Menyisakan rasa jijik yang luar biasa."Aku ingin mengganti semua barang yang ada di rumah ini," ucapku tegas pada Mas Ilham.Lelaki yang sedang berjalan di depanku langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Sungguh dita
"Delia tadi sama Ayah habis jalan-jalan kemana?" korekku. Sungguh aroma parfum ini sangat menggangguku.Delia tak langsung menjawab. Dia menatapku sejenak kemudian menunduk. "Cuma keliling kota aja kok, Nda.""Oh, enggak minta sesuatu nih sama Ayah?" Aku menengok sekilas ke arah Delia kemudian fokus lagi ke jalanan. Aku benar-benar merasa ada yang lain pada Delia. Anak itu menatap keluar jendela tak seperti biasa."Kan sudah belanja sama Bunda.""Oh iya, nanti mau makan malam sama apa, Sayang?""Apapun, Nda. Yang penting masakan Bunda. Delia kangen masakan Bunda.""Oh ya?" Aku terkejut dengan jawaban Delia. Padahal dulu dia sering komentar kalau masakanku tidak enak. Kemanisan lah, kurang gurih lah. Kemudian dibandingkan dengan cewek tak tahu diri itu. Itu sebabnya selama ini aku jarang sekali memasak. Aku lebih suka beli. Apa mungkin sekarang Delia sudah lebih dewasa sehingga tahu bagaimana menjaga perasaan Bundanya? "Katanya masakan Bunda enggak enak?" candaku."Tapi kan Bundaku, j
Sore ini hujan mengguyur kota dengan derasnya. Sesekali kilat menyambar diikuti petir yang menggelegar. Aku sedikit khawatir Mas Ilham masih belum pulang dari toko. Apalagi tadi mobil aku yang bawa dan dia aku minta pakai motor.Kusibukkan diri dengan membuat teh panas untuk menemani mengoreksi hasil ulangan harian anak-anak. Beberapa lembar telah berpindah dari tumpukan di sebelah kiri yang belum dikoreksi ke sebelah kanan yang sudah dikoreksi.Kuhirup aroma teh melati kesukaan untuk merilekskan pikiran. Melihat jawaban anak-anak didikku kadang membuat dahi mengernyit heran. Berkali-kali kujelaskan detail dengan cara panjang ataupun cara sederhana tapi beberapa masih saja asal menjawab soal.Kehidupan sehari-hari pun sebenarnya juga demikian. Seperti anak-anak di bangku sekolah yang diberi materi pelajaran. Ada yang membuatnya menjadi semakin tahu dan menerapkan dalam kehidupannya. Ada yang masa bodoh. Ada juga yang tak mau tahu dan kehidupannya semakin terpuruk.Kupikir seperti itul
Senyum terkembang di bibir Mas Ilham saat aku membuka mata. Tampaknya sejak tadi lelaki itu sedang mengamati wajahku."Selamat pagi, Sayang," ucapnya diikuti kecupan di puncak kepala.Aku hanya tersenyum dengan tingkahnya. Dalam hati aku memohon, semoga kebahagiaan ini abadi. Tak ada lagi drama orang ketiga dalam kehidupan kami."Makasih ya, Nda, buat semuanya." Kini lengannya menjadi bantal yang kembali nyaman untukku. Sebelah tangannya mengelus jemariku."Terima kasih juga, sudah mau sabar menunggu Bunda.""Apapun akan Ayah lakukan, Sayang.""Ya sudah, Bunda mau mandi dulu. Bentar lagi subuh.""Mandi bareng ya, Nda?" bisiknya nakal."Ish!"Pagi ini bunga-bunga di taman belakang rumah tampak basah. Hujan semalam membuat mereka tampak segar. Sebentar lagi saat mentari mulai menghangat kelopak-kelopak itu akan bermekaran menunjukkan kecantikannya. Sengaja kubuka lebar-lebar dua daun pintu yang menghubungkan dapur dengan taman belakang agar udara segarnya bisa menemaniku memasak."Biki
"Nda, Ayah pamit ke rumah Ibu dulu ya? Tadi Ibu telpon katanya Sintya butuh uang buat bayar praktek."Aku masih fokus pada layar laptop di depanku. "Iya, salam buat Ibu ya?"Sintya adik Mas Ilham, saat ini sedang kuliah kebidanan. Sedikit banyak kami memang membantu biaya kuliahnya. Selain karena Ayah Mas Ilham sudah berpulang, kondisi ekonomi mereka pun pas-pasan. Itu sebabnya Mas Ilham hanya lulusan SMP. Dulu Mas Ilham bekerja di percetakan milik teman Ayahnya. Di situ kami sering bertemu saat aku masih kuliah."Ya sudah, Ayah berangkat dulu. Nanti kalau Bunda sudah ngantuk tidur duluan aja ya? Ayah bawa kunci rumah kok.""Heem.""Ini ATMnya Ayah bawa ya, Nda.""Ya, hati-hati!"Terdengan suara pintu kamar tertutup. Aku kembali fokus mengerjakan analisis evaluasi. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Belum lama ini aku dimutasi ke SMP lain. Jaraknya lumayan jauh dari rumah. Hampir satu jam perjalanan. Semakin sedikit waktuku di rumah. Semakin lelah juga badan ini tiap hari harus b
Steak di piring kini bersih tak bersisa. Cita rasa steak di kedai Jeng Hani teman zumbaku benar-benar mantap. Bumbunya khas, pas dan meresap. Dagingnya juga empuk. Mantap pokoknya. Benar-benar memanjakan lidah.Pantas saja saat jam makan siang seperti sekarang ini semua tempat penuh dengan pengunjung. Meskipun begitu suasana di dalam kedai ini tidak panas sama sekali. Karena beberapa jendela kayu lebar tanpa daun berjejer menyuguhkan pemandangan sungai dan hijau pepohonan. Pas sekali dengan dekorasi yang mengusung tema alam. Pengunjung akan merasa nyaman bersantai setelah perut terisi di kedai ini.Tawa canda teman-teman arisanku pun semakin menjadi setelah menikmati steak. Apa saja hal yang dibahas akan terdengar lucu dan menarik. Apalagi dengan kepiawaian Jeng Sony ketika menirukan ekspresi wajah seseorang. Pecahlah tawa teman-teman semua.Aku yang notabennya tak pandai bergaul dan tak banyak bicara, cukup mengikuti alur cerita mereka. Ikut tertawa dan sesekali menimpali.Sepuluh i
Ada rasa nyeri di dalam sini. Mataku kini bahkan sudah dipenuhi kaca-kaca mendengar bentakan Mas Yudis. Semudah itukah dia membenciku? Percaya pada Tantenya yang bicaranya pun tidak seratus persen benar.Ingin kusegera pergi dari ruangan itu kalau tidak mengingat seringai kemenangan Tante Desi. Tidak. Akan kutunjukkan pada Tante Desi. Tak semudah itu dia mengusirku dari kehidupan Mas Yudis."Mas Yudis!" seru Adista. Sejak tadi adik Mas Yudis ini memegangi lenganku."Kalau Mas ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi sejak awal sampai detik ini, tanya sama aku. Aku yang paling tahu semuanya, Mas.""Maksud kamu?" tanya Mas Yudis. Aku paham, dia pasti tak mengerti.Melihat kebingungan di wajah Mas Yudis kini aku mengerti. Kenapa dia bisa langsung emosi seperti tadi. Bagaimana tidak, dia yang tak tahu apa-apa. Bahkan sejak sadar dari koma dia buta. Tiba-tiba mendengar berita seperti yang Tante Desi katakan. Apalagi selama ini Tante Desi ibaratnya pengganti ibu baginya.Perlahan panas yang t
"Sintya, maaf, mas memilih jalan ini. Mas sudah bingung tak tahu lagi harus bagaimana. Mendengarmu berkali-kali didatangi orang BANK. Bahkan mereka mengancam mau menyita rumah ibu. Mas cuma bisa bingung sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa. Mas tak ingin rumah ibu sampai disita BANK.Mas kira sebelumnya, suami Mayang yang katanya kaya itu nyuruh mas datang ke rumahnya, mau bantuin bayar hutang. Ternyata cuma omong kosong doang. Sok-sokan ngajari masmu ini buat nego ke BANK. Dia pikir pihak BANK mau tahu dengan kesusahan mas? Omong kosong doang bisanya. Belagu!Makanya mas akhirnya menerima perintah Daniel. Dia bilang mau lunasin hutang-hutang mas kalau mas berhasil melenyapkan Yudis yang belagu itu.Sialnya dia enggak mati. Malah tambah nyusahin pakai acara buta segala.Sintya, kalau mas meninggal, otomatis hutang di BANK lunas ditanggung pihak asuransi. Kamu tinggal urus surat kematian mas aja. Terus diajuin ke BANKnya. Sekarang kalian bisa hidup tenang. Tanpa dikejar-kejar penagi
Telingaku masih berdenging terngiang ucapan Delia. Sehingga saat Bi Sumi mengangsurkan secangkir teh yang asapnya masih mengepul ke hadapanku beberapa saat hanya kuabaikan. Kabar yang baru saja aku dengar benar-benar seperti mencabut paksa nyawaku."Mas Ilham bunuh diri?" gumamku bertanya pada diri sendiri.Kurasakan punggungku diusap-usap. Aku menoleh. Hilda yang melakukannya."Kamu tenang, May! Mungkin sudah garis takdirnya seperti itu," ucapnya berusaha menenangkanku. Mangangsurkan secangkir teh yang tadi dipegang Bi Sumi. Kusesap sedikit. Tetapi tetap saja, hati ini rasanya tak ikhlas mendengar akhir hayat dari orang yang belasan tahun pernah membersamaiku setragis ini. Bahkan orang itu adalah ayah dari anakku.Bagaimanapun sungguh, meskipun ia telah sedemikian parah melukaiku, aku ingin saat kita telah berpisah seperti ini, entah aku ataupun dia bisa hidup bahagia ke depannya. Bersama-sama berperan serta dalam tumbuh kembang Delia putri kami. Tetapi ini ....? Oh, Tuhan, apa yan
"Bunda!" Suara Delia terdengar serak dan lirih saat aku mengangkat teleponnya."Iya, Sayang. Ada apa? Apa yang terjadi?" cecarku karena begitu khawatir mendengarnya menangis.Delia tak menjawab. Hanya terdengar suara sedu sedannya saja."Del?" panggilku seraya beranjak dari kursi tunggu. Perasaanku jadi tak tenang. Apa yang terjadi pada putriku di rumah?Hilda yang duduk di sampingku menyentuh lenganku dengan tatapan penuh tanya. Aku hanya menggeleng sambil menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanyaku lagi. Kakiku melangkah menjauh dari Hilda dan yang lainnya."Nda, Delia sudah jahat," ucapnya sambil menangis tersedu."Jahat kenapa, Sayang?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Tak mengerti arah pembicaraan Delia.Lagi-lagi tak ada jawaban. Hanya sedu sedan Delia yang terdengar di ujung telepon. Tuhan, apa yang terjadi pada anakku?Hatiku berdebar tak karuan. Gelisah. Memikirkan berbagai hal buruk yang mungkin terjadi pada Delia. Ingin rasanya segera berlari ke rumah. Tetapi bagaima
"Mana janda itu? Mana?"Terdengar teriakan seseorang di lantai bawah. Bergegas kuserahkan Farel pada Mba Kiki. Kemudian dengan langkah lebar menuju asal suara itu.Dari tangga kulihat Tante Desi berdiri berkacak pinggang. Mulutnya memaki dengan suara yang memekakan telinga."Di situ kamu rupanya. Turun!" teriaknya kepadaku saat aku menuruni tangga.Mau apalagi wanita itu memaki-maki di rumah ini?Dengan hati membara kupercepat langkah mendekati wanita paruh baya itu."Ada perlu apa Tante ke sini?" tanyaku tak kalah sengit. Aku tak suka orang lain seenaknya saja menghinaku. Padahal tak ada kesalahanku padanya."Kurang ajar memang kamu, ya! Gimana bisa Yudis ketemu wanita pembawa sial sepertimu!" makinya sambil telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arahku.Aku berdecih sambil membuang muka mendengar makiannya. Jika ada Mas Yudis di sini, masihkah wanita ini menghinaku begini?Kutarik nafas dalam-dalam kemudian kembali menatap wanita itu. "Tante, maaf, saya cape baru saja sampai rumah. Katakan
"Kenapa Bunda enggak jujur sama aku?" Delia menatapku dengan kaca-kaca di mata saat aku baru saja memasuki kamar.Aku tertegun memandangnya. Mungkinkah Delia tahu tentang Mas Ilham?"Kenapa, Nda?" Kaca-kaca bening itu kini luruh mengaliri pipinya."Sayang!" Hanya itu yang terucap dari bibirku. Tak tahu harus berkata apa."Kenapa Bunda enggak bilang sama Delia?" Tubuh putriku bergetar oleh tangis.Kurengkuh dia dalam pelukan. Kuusap lembut rambut yang memanjang sampai punggungnya."Kenapa, Nda? Kenapa Delia harus punya Ayah jahat seperti dia? Kenapa, Nda?" Delia tergugu dalam pelukanku."Delia enggak mau punya Ayah seperti dia, Nda! Delia enggak mau!"Hatiku pedih. Mas Ilham tak henti-hentinya membuat anaknya terluka. Kenapa putriku harus terluka berkali-kali seperti ini, Tuhan? Dia tak salah apa-apa."Nda, tolong buat Delia bukan lagi anak dari penjahat seperti dia, Nda!"Hatiku sakit melihat anakku terluka begini. Ibu mana yang tak terluka melihat nasib anaknya begini menderita."Ma
"Aku buta, Dek. Apa kamu enggak malu punya suami sepertiku?" tanya Mas Yudis serak.Aku menggeleng tegas seolah Mas Yudis melihatku. "Enggak, Mas. Mas jangan berpikir seperti itu!""Tapi bagaimana aku bisa menjaga kalian? Sedang menjaga diriku saja sekarang aku enggak bisa." Suara Mas Yudis terdengar bergetar.Kuhela nafas panjang. Mengeratkan genggaman tangan Mas Yudis. "Kita akan saling menjaga, Mas. Aku akan jadi matamu. Kita pasti mampu melalui ini.""Maafkan aku, Dek. Aku pasti akan banyak sekali merepotkanmu." Air mata Mas Yudis semakin deras."Enggak, Mas. Itu memang kewajibanku sebagai istri. Mas enggak usah banyak pikiran, ya! Sekarang yang terpenting Mas sehat dulu." Kupaksa bibir ini mengulas senyum padahal Mas Yudis tak melihatnya.Mas Yudis mengangguk. Kemudian kami saling diam. Aku benar-benar marah pada Mas Ilham, Daniel dan Nirmala. Sungguh mereka bukan manusia. Tega mereka mencelakakan orang lain. Aku bertekad besok akan menemui mereka."Dek!" panggil Mas Yudis memec
Lututku lemas menyaksikan layar monitor dengan garis naik turun tak beraturan. Tanganku memegang erat besi brankar Mas Yudis. Menahan tubuh agar tidak ambruk."Selamatkan suamiku, Ya Allah! Jangan dulu Kau ambil dia!" lirihku diiringi derai air mata.Waktu berlalu begitu lambat. Jantungku seperti dicengkeram kuat oleh ketakutan yang teramat sangat."Bangun, Mas!" lirihku.Dokter dan perawat masih sibuk melakukan berbagai tindakan pada suamiku. Seunur hidup ini pertama kali aku begitu merasa takut kehilangan.Apa Mas Yudis dikirim Tuhan dalam hidupku untuk mengobati luka di hatiku? Kemudian setelah sembuh Dia mengambil Mas Yudis kembali?Jangan, Tuhan! Aku tak siap kehilangannya. Baru sekejap kebahagiaan ini aku rasa. Jangan ambil dia dulu!Entah berapa menit waktu berlalu. Berangsur garis-garis di layar monitor kembali stabil. Dokter terlihat menghela nafas lega.Hari terus berlalu. Mas Yudis masih belum menunjukkan perkembangan kondisinya. Setiap hari rutinitasku masih sama. Masih te
Wajahnya langsung menunduk saat mata kami bertemu. Entah malu atau merasa bersalah. Tubuhku segera bangkit mendekati pria dengan bekas luka bakar di wajahnya."Mas Ilham?" tanyaku dengan perasaan marah membuncah.Mataku tajam menguliti pria dengan kedua tangan disatukan dengan borgol itu. Ingin kubunuh pria di depanku ini rasanya. Apa masalahnya sampai tega mencelakai Mas Yudis?Hilda memegangi lenganku yang menegang. Sahabatku pasti takut aku kalap. Sedang kita berada di kantor polisi."Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega mencelakakan suamiku?" seruku.Mas Ilham hanya tertunduk diam."Jawab, Baj*ngan!" bentakku. "Belum puas dengan semua yang sudah kamu lakukan padaku dan Delia?"Kodorong kasar pundak Mas Ilham. Membuat tubuhnya itu terhuyung. Wajah penuh dengan bekas luka bakar itu masih terus menunduk."Jawab, Mas!" bentakku lagi."M ... maaf, Dek. Aku terpaksa. Aku ... aku butuh uang," akunya."Begini caramu mencari uang sekarang?" tanyaku geram. "Kurang baik apa selama ini Mas Yudis sam