Puluhan tahun bersama nyatanya kini lelaki di sampingku ini terasa asing. Seolah aku tak lagi mengenalnya. Kepercayaan yang dulu kuberikan sepenuhnya menjadi bumerang yang menyerang pernikahan kami.
Aku masih tak percaya dengan jawaban Mas Ilham. Aku masih memikirkan tentang lamaran itu. Dan itu sangat mengganggu. Kepercayaan pada lelaki di sampingku ini menguap entah kemana. Yang ada hanya curiga sehingga membuat hati semakin tidak tenang.Tiba di rumah entah mengapa aku merasa enggan. Merasa tidak nyaman. Dulu rumah ini selalu menjadi tempat ternyaman setelah seharian berkutat dengan segudang aktifitas. Kini melihat sesuatu yang ada di rumah ini menjadi menjijikan. Seperti ada noda bekas perbuatan terkutuk mereka menempel di mana-mana, di setiap benda. Menyisakan rasa jijik yang luar biasa."Aku ingin mengganti semua barang yang ada di rumah ini," ucapku tegas pada Mas Ilham.Lelaki yang sedang berjalan di depanku langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Sungguh ditatap seperti itupun aku muak, aku jijik. Nyatanya mata itu telah ia gunakan untuk menatap wanita lain. Aku langsung membuang muka tak suka."Enggak apa-apa, Nda. Besok ayah temani Bunda belanja.""Enggak usah, aku mau pergi sekarang. Tolong Mas Ilham minta tolong Pak Dodi, Pak Sarip, sama terserah siapa untuk mengeluarkan semua barang di rumah ini!""Bunda, kita baru aja sampai rumah loh. Apa Bunda enggak cape?""Aku jijik menempati bekas kalian."Tanpa menunggu tanggapan Mas Ilham aku langsung ke kamar mengambil simpanan logam mulia di brankas. Setelah menutupnya kembali segera kupesan taksi online."Mobil dan motor semua juga mau saya jual. Besok pagi tolong jual secepatnya! Enggak usah risaukan harganya untuk sebuah barang bekas dipakai perbuatan menjijikan," ucapku saat melewati Mas Ilham yang masih bengong.Butuh waktu beberapa hari rumah ini menjadi nyaman kembali. Dibantu beberapa tetangga akhirnya kudapati suasana rumah yang baru. Mulai dari tembok sampai sendok makan semua aku ganti dengan yang baru. Yang lama semua kuberikan cuma-cuma pada beberapa tetangga.Kendaraan juga telah aku ganti dengan yang baru. Aku ingin semua jejak Riana benar-benar hilang dari pandanganku. Meski aku tahu, bukan hal mudah menghapus bayang Riana dari hati Mas Ilham.Hari terus berganti namun hubungan kami masih berjarak. Kaku. Hambar. Meski dibuat sebiasa mungkin. Hati tak bisa mengingkari bahwa semua tak bisa sama lagi. Pikiran buruk terus menghantui. Rasa percayaku pada Mas Ilham belum juga bisa kembali. Setiap ada waktu aku selalu mengecek ponselnya. Setiap dia sedikit saja terlambat sampai rumah, kata-kata sinis penuh prasangka buruk keluar dari bibirku.Sering kudapati Mas Ilham duduk termenung. Kadang televisi yang menonton wajah murungnya. Kadang kopi yang ia buat sendiri pun sampai dingin tak nikmat lagi. Aku tak pernah menanyakan apa yang ada dipikirannya. Entah sesal atas perbuatannya, atau bisa jadi justru ia sedang memikirkan Riana.Saat ini kami seperti orang asing yang dipaksa tinggal dalam satu atap. Setidaknya itu yang aku rasakan. Bahkan sejak mengantar Riana hingga saat ini aku masih meminta untuk pisah ranjang. Mas Ilham menempati kamar tamu. Bulan terus berganti nyatanya luka ini masih enggan pergi.Aku menyadari dan merasakan sekali Mas Ilham terus berusaha memperbaiki semua. Apapun kata-kata pedas yang aku lontarkan, dia hanya diam, bahkan tak segan tersenyum dan bahkan menunjukkan rasa sayangnya padaku. Tapi bagaimana lagi nyatanya aku masih terluka. Bahkan saat melihat wajahnya. Ada gelenyar menyakitkan menusuk hati meskipun hanya melihat siluet tubuhya. Setiap tak sengaja aku tatap, nyeri terasa di hati. Bahwa tubuh itu telah terjamah wanita lain."Nda, sarapan dulu yuk! Ayah sudah bikin nasi goreng nih," seru Mas Ilham dari dapur saat aku mengenakan kaos kaki di ruang keluarga.Entah setan apa yang merasuki, aku sering sekali tak merespon ajakan Mas Ilham. Segera kuberlalu menuju garasi rumah dan berangkat ke sekolah. Kami tak pernah lagi makan bersama. Aku lebih suka sarapan dan makan siang di kantin. Walaupun setiap hari Mas Ilham memasak untukku. Bagaimanapun sikapku pada Mas Ilham nyatanya dia memang selalu sabar di depanku. Entah di belakang seperti apa. Bahkan aku amati semakin hari wajahnya semakin ceria meski segala ucapannya jarang sekali kutanggapi. Sekali kutanggapi hanya makian dan sindiran tajam yang keluar dari mulutku. Luka ini terlalu dalam dan entah kapan aku bisa kembali menjadi istri yang baik.Hingga tiba waktu Delia liburan semester. Seperti biasa setelah menelpon lewat telepon asrama hari berikutnya kami menjemput putri semata wayang kami. Setelah pembagian raport selesai aku dijemput Mas Ilham sekalian pulang dari toko.Begitu masuk mobil aku merasa ada yang berbeda. Aroma di dalamnya. Padahal aku pakai parfum mobil aroma coklat. Tapi aku mengendus aroma lain di sini."Mobil habis dipakai siapa?" tanyaku langsung ke inti."Oh enggak kok, Nda. Emh, itu Nda. Tadi habis dipakai Riko beli makan siang." Terdengar dari jawaban Mas Ilham seperti gugup."Beli makan siang pakai mobil? Sejak kapan mereka pakai-pakai mobil kita?" Rasanya tak masuk akal jawaban Mas Ilham. Karyawan toko semua punya motor dan setahuku mereka tak ada yang berani memakai mobil kami kalau bukan kami yang ajak pergi bersama."Itu Nda, tadi Riko ada cerita kalau dia lagi belajar nyetir. Jadi pas beli makan siang sekalian aja Ayah suruh nyoba bawa mobil.""Sendiri?""Emh, iya, Nda.""Ceroboh banget sih kamu, Mas! Anak baru belajar sudah dilepas sendiri? Kalau ada apa-apa kan kita juga yang repot. Lagian ini ada bau parfum cewek.""Oh, itu anu, Nda. Emh tadi Riko ajak temannya ke toko sekalian belanja. Temannya cewek tadi."Entah kenapa pikiranku tertuju pada Riana, ulat bulu yang sudah kami kembalikan ke asalnya. Lama memang sudah tak kami tahu kabarnya lagi. Sejak memulangkannya hampir setengah tahun lalu, semua kontaknya aku blokir. Termasuk di hp ataupun medsos Mas Ilham. Aku tak mau sesama ulat bulu ini berkomunikasi lagi."Terserahlah! Kalau sampai kamu mengulang kesalahan yang sama, kamu tahu sendiri konsekwensinya.""Iya, Sayang. Ayah enggak mungkin bawa-bawa cewek lain. Bunda ini curiga mulu deh sama Ayah." Mas Ilham mengelus-elus puncak kepalaku sambil tersenyum menatapku.**"Assalamualaikum, Bunda, Ayah!" Suara lembut putri kami mengalihkan perhatian kami yang sedang mengobrol dengan ustadzah yang menjadi wali Delia di asrama."Waalaikumsalam, bidadari Bunda," jawabku sambil tersenyum lebar menyambut putri kecilku yang shalihah. Delia mendekat dan langsung mencium tanganku kemudian kami berpelukan melepas rindu."Bunda kangeeeen banget.""Delia juga kangen banget sama Bunda."Kemudian kami mengurai pelukan dan dia langsung kepelukan ayahnya. Melihat kedekatan mereka membuat hatiku nyeri. Bagaimana aku bisa egois memisahkan mereka hanya karena perasaanku sendiri.Sepanjang perjalanan pulang Delia dan Mas Ilham terus berbincang dengan asyiknya. Tentang kegiatannya di sekolah, tentang teman-temannya, tentang semua hal. Aku hanya menimpali sesekali. Delia memang lebih dekat dengan Mas Ilham dari pada aku. Mungkin karena selama ini waktuku lebih banyak di sekolah, sedang Mas Ilham lebih fleksibel sehingga bisa selalu ada untuk Delia.Delia juga berulang menyebut nama Riana. Memang selama ini dia belum tahu kalau Riana telah kami pulangkan ke kampung. Ini liburan pertamannya tak ada Riana. "Toko lagi rame ya, Yah? Kok Mba Riana enggak ikut jemput aku?" tanya polos putriku. Delia juga begitu dekat dengan Riana. Karena saat liburan begini meski jarang ke sekolah aku memilih ikut ke toko daripada diam di rumah. Sebagai gantinya Riana lah yang menemani Delia di rumah sepanjang hari.Sekilas Mas Ilham menatapku yang mematung menghadap lurus kejalanan. Mendengar Delia menyebut nama Riana hatiku serasa hancur kembali. Bukan hanya Mas Ilham bahkan darah dagingku sendiri pun begitu mencintai cewek tak tahu diri itu."Mba Riana sudah pulang ke kampung, Sayang." "Kapan, Yah? Terus kapan balik ke sini lagi?" "Sudah lama dan ... enggak akan balik ke sini lagi.""Kenapa?""Mba Riana melakukan kesalahan, jadi Bunda enggak bisa memperkerjakan dia lagi," ucapku datar. Enggan mendengarkan drama panjang soal cewek tak tahu diri itu lagi."Kesalahan apa emangnya, Nda? Apa enggak bisa dimaafin? Allah aja pemaaf, masa kita mahluknya enggak memaafkan kesalahan sesama sih, Nda?" Putriku ini memang pandai sekali membujuk."Bunda sudah memaafkan, tapi Bunda enggak bisa lagi mempekerjakan dia lagi, Nak.""Kenapa, Nda? Mba Riana kan baik." Kulihat dari spion air mata telah menganak sungai di pipi gadisku. Aku memilih diam tak menanggapi.Sampai di rumah Delia langsung masuk kamar dan tak mau keluar lagi. Padahal rencananya kami mau makan malam di luar. Mas Ilham masuk membujuk Delia. Sampai lama dia tak kunjung keluar. Biasanya anak itu akan nurut jika dinasehati Ayahnya. Tapi sampai jam dinding menunjukkan pukul sembilan, Mas Ilham belum juga keluar.Aku mengendus aroma yang selama ini begitu kurindukan tapi juga begitu kubenci. Tidur kali ini aku merasa begitu nyaman setelah hampir setengah tahun lamanya aku jarang tidur dengan nyenyak. Aku sering terbangun dan membuka kamar tidur Mas Ilham pelan-pelan untuk memastikan dia benar-benar tidur atau sedang apa. Dan selama ini tak pernah kutemui hal yang mencurigakan. Bahkan hampir setiap Mas Ilham di rumah ponselnya selalu berada di meja ruang keluarga. Bahkan saat dia tidur.Tak lama aku merasa puncak kepalaku seperti dicium, kemudian rambutku dibelai lembut. Aku langsung tersadar dan membuka mata. Aku kaget sekali Mas Ilham tidur di sebelahku dan memelukku erat. Kontan saja aku langsung berontak dan duduk."Nda," lirih Mas Ilham menatapku dengan tatapan kecewa."Maaf, Ayah kangen banget sama Bunda."Aku masih diam bingung dengan apa yang terjadi. Yang kuingat tadi aku duduk di sofa menunggu Mas ilham membujuk Delia. Dan sekarang aku di kamar bahkan dipeluk Mas Ilham.Hampir enam bulan lamanya kita telah pisah ranjang. Sebagai manusia normal tentu hasrat itu ada. Tapi entah, hatiku masih belum bisa menerima."Maaf, aku belum bisa." Kutundukkan kepala. Di satu sisi aku merasa bersalah, namun disisi lain hatiku masih belum bisa menerima lelaki yang pernah menodai pernikahan kami.Perlahan Mas Ilham bangkit dan keluar dari kamar ini. Hatiku tak karuan saat mendengar pintu tertutup pelan. Sesakit ini rasa dihianati. Hingga rasa cinta yang dulu membuncah pun kini seperti tak ada lagi.Kutarik nafas panjang dan kuhembuskan dengan kasar. Tak pernah terlintas sedikitpun pernikahan kami menjadi seperti ini. Pelan kuturuni ranjang dan melangkah keluar. Jujur dalam hati aku ingin memastikan apa yang Mas Ilham lakukan.Begitu pintu kamar kubuka terlihat Mas Ilham menunduk di sofa dengan kedua tangan meremas rambut. Melihatku diambang pintu Mas Ilham langsung berdiri menatapku."Bunda ... .""Aku mau minum, haus." Kupotong ucapannya kemudian berlalu ke dapur.***"Nda, aku mau warna pink yang ini, ya?" ucap putriku ceria menunjukkan jilbab pink padaku. Aku mengangguk sambil tersenyum melihat senyum yang kini kembali terpancar dari bibirnya. Pagi tadi dia memang masih murung, tapi setelah kubujuk lalu kuajak jalan-jalan ke mall dia kembali ceria."Aku ambil dua ya, Nda?"Setelah dirasa cukup membeli barang-barang yang dibutuhkan, kami berdua kembali ke toko. Sekarang giliran aku yang di toko. Kata Delia Ayahnya mau ajak dia jalan-jalan. Baiklah.Tiba di parkiran depan toko Delia tak mau turun dari mobil, katanya, "biar Ayah enggak kelamaan, Nda." Maklumlah selama ini dia selalu di asrama, jadi begitu libur dia sangat semangat kalau diajak jalan-jalan."Ya sudah, Bunda ke toko dulu, ya?" Kukecup kening putriku kemudian turun dari mobil."Sudah, Nda?" Mas Ilham berdiri menyambutku."Kontaknya masih di mobil." Entah kenapa aku masih sering enggan menanggapinya. Komunikasi hanya hal-hal penting saja.Lelaki itu mengekor di belakangku. "Nda, Ayah pergi dulu ya?""Hhhm."Aktivitas di toko seperti biasa melayani para pelanggan. Hari ini toko cukup ramai. Banyak barang yang hampir habis."Ton, ambil barang-barang di gudang ya! Banyak yang pada habis ini.""Siap, Bu Bos." Begitulah mereka suka bercanda pada kami.Gudang ada di lantai dua. Sekaligus tempat untuk membuat laporan keuangan dan tempat istirahat juga. Aku membuka laptop melihat laporan keuangan dan list keluar masuk barang. Tak ada yang salah. Semua baik-baik saja. Plot-plot bulanan mulai untuk gaji karyawan, kebutuhan rumah, serta nafkah untuk orang tua kami juga semua oke. Nafkah untuk orang tuaku memang lebih sedikit dibanding orang tua Mas Ilham, karena Mas Ilham masih punya adik yang kuliah. Aku tak pernah mempermasalahkan soal uang. Misal sewaktu-waktu mereka butuh tambahan uang asal jelas mau untuk apa juga kami berikan. Aku ingin kemudahan materi yang kami dapatkan saat ini bisa bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kami."Ton, Pak Ilham kalau di toko sering keluar enggak?" Aku ingin memastikan kecurigaanku tentang parfum mobil. Meski Mas Ilham sudah menjelaskan tapi aku tak bisa percaya begitu saja. Mungkin ini yang disebut trauma."Eng eng enggak kok, Bu. Kalau enggak ada yang mendesak ja jarang keluar." Toni terlihat gugup, mungkin dia merasa aku mengintrogasinya. Bagaimanapun hubungan Mas Ilham dan Riana dulu sudah menjadi rahasia umum. Jadi mereka tahu apa yang terjadi pada keluarga kami.Kubuka laci-laci meja, takut seperti di film-film Mas Ilham menyembunyikan sesuatu di tempat kerja entah itu ponsel atau apapun. Tapi tak ada apapun. Kali ini aku merasa bersalah telah berprasangka buruk pada Mas Ilham gara-gara bau parfum teman Riko.Sekitar pukul lima Mas Ilham dan Delia kembali ke toko. Gadis berjilbab putih itu lagi-lagi tak mau keluar mobil. Mungkin tak ingin aku lama. Mas Ilham mendekat. "Bunda mau Ayah antar atau pulang sendiri?""Sendiri aja enggak apa-apa.""Ya sudah, nanti ayah pulang setelah toko tutup. Minta antar Toni atau siapalah nanti."Tanpa menjawab aku segera berlalu menuju parkiran. Mas Ilham mengikutiku dari belakang."Hati-hati ya, Sayang!" seru Mas Ilham.Begitu masuk mobil Delia menatapku entah. Wajahnya murung. Padahal tadi sebelum jalan-jalan dengan Mas Ilham dia begitu ceria dan bersemangat."Kamu kenapa, Sayang? Kok murung gitu? Bukannya seneng habis jalan-jalan?" Kutatap mata sendu itu sambil mengelus kepala berjilbannya.Mata sendu itu menatapku, tapi bibir itu tak tersenyum. Seperti sedang menggung beban berat. "Enggak kok, Nda.""Ya sudah, kita pulang ya? Sudah puas kan jalan-jalannya hari ini?"Putriku hanya mengangguk. Sepanjang perjalanan pun hanya diam menatap keluar jendela mobil. Entah apa yang terjadi tadi sehingga putriku jadi begini.Otakku tiba-tiba menyadari sesuatu. Parfum itu kembali tercium di mobilku. Parfum siapa sebenarnya ini?"Delia tadi sama Ayah habis jalan-jalan kemana?" korekku. Sungguh aroma parfum ini sangat menggangguku.Delia tak langsung menjawab. Dia menatapku sejenak kemudian menunduk. "Cuma keliling kota aja kok, Nda.""Oh, enggak minta sesuatu nih sama Ayah?" Aku menengok sekilas ke arah Delia kemudian fokus lagi ke jalanan. Aku benar-benar merasa ada yang lain pada Delia. Anak itu menatap keluar jendela tak seperti biasa."Kan sudah belanja sama Bunda.""Oh iya, nanti mau makan malam sama apa, Sayang?""Apapun, Nda. Yang penting masakan Bunda. Delia kangen masakan Bunda.""Oh ya?" Aku terkejut dengan jawaban Delia. Padahal dulu dia sering komentar kalau masakanku tidak enak. Kemanisan lah, kurang gurih lah. Kemudian dibandingkan dengan cewek tak tahu diri itu. Itu sebabnya selama ini aku jarang sekali memasak. Aku lebih suka beli. Apa mungkin sekarang Delia sudah lebih dewasa sehingga tahu bagaimana menjaga perasaan Bundanya? "Katanya masakan Bunda enggak enak?" candaku."Tapi kan Bundaku, j
Sore ini hujan mengguyur kota dengan derasnya. Sesekali kilat menyambar diikuti petir yang menggelegar. Aku sedikit khawatir Mas Ilham masih belum pulang dari toko. Apalagi tadi mobil aku yang bawa dan dia aku minta pakai motor.Kusibukkan diri dengan membuat teh panas untuk menemani mengoreksi hasil ulangan harian anak-anak. Beberapa lembar telah berpindah dari tumpukan di sebelah kiri yang belum dikoreksi ke sebelah kanan yang sudah dikoreksi.Kuhirup aroma teh melati kesukaan untuk merilekskan pikiran. Melihat jawaban anak-anak didikku kadang membuat dahi mengernyit heran. Berkali-kali kujelaskan detail dengan cara panjang ataupun cara sederhana tapi beberapa masih saja asal menjawab soal.Kehidupan sehari-hari pun sebenarnya juga demikian. Seperti anak-anak di bangku sekolah yang diberi materi pelajaran. Ada yang membuatnya menjadi semakin tahu dan menerapkan dalam kehidupannya. Ada yang masa bodoh. Ada juga yang tak mau tahu dan kehidupannya semakin terpuruk.Kupikir seperti itul
Senyum terkembang di bibir Mas Ilham saat aku membuka mata. Tampaknya sejak tadi lelaki itu sedang mengamati wajahku."Selamat pagi, Sayang," ucapnya diikuti kecupan di puncak kepala.Aku hanya tersenyum dengan tingkahnya. Dalam hati aku memohon, semoga kebahagiaan ini abadi. Tak ada lagi drama orang ketiga dalam kehidupan kami."Makasih ya, Nda, buat semuanya." Kini lengannya menjadi bantal yang kembali nyaman untukku. Sebelah tangannya mengelus jemariku."Terima kasih juga, sudah mau sabar menunggu Bunda.""Apapun akan Ayah lakukan, Sayang.""Ya sudah, Bunda mau mandi dulu. Bentar lagi subuh.""Mandi bareng ya, Nda?" bisiknya nakal."Ish!"Pagi ini bunga-bunga di taman belakang rumah tampak basah. Hujan semalam membuat mereka tampak segar. Sebentar lagi saat mentari mulai menghangat kelopak-kelopak itu akan bermekaran menunjukkan kecantikannya. Sengaja kubuka lebar-lebar dua daun pintu yang menghubungkan dapur dengan taman belakang agar udara segarnya bisa menemaniku memasak."Biki
"Nda, Ayah pamit ke rumah Ibu dulu ya? Tadi Ibu telpon katanya Sintya butuh uang buat bayar praktek."Aku masih fokus pada layar laptop di depanku. "Iya, salam buat Ibu ya?"Sintya adik Mas Ilham, saat ini sedang kuliah kebidanan. Sedikit banyak kami memang membantu biaya kuliahnya. Selain karena Ayah Mas Ilham sudah berpulang, kondisi ekonomi mereka pun pas-pasan. Itu sebabnya Mas Ilham hanya lulusan SMP. Dulu Mas Ilham bekerja di percetakan milik teman Ayahnya. Di situ kami sering bertemu saat aku masih kuliah."Ya sudah, Ayah berangkat dulu. Nanti kalau Bunda sudah ngantuk tidur duluan aja ya? Ayah bawa kunci rumah kok.""Heem.""Ini ATMnya Ayah bawa ya, Nda.""Ya, hati-hati!"Terdengan suara pintu kamar tertutup. Aku kembali fokus mengerjakan analisis evaluasi. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Belum lama ini aku dimutasi ke SMP lain. Jaraknya lumayan jauh dari rumah. Hampir satu jam perjalanan. Semakin sedikit waktuku di rumah. Semakin lelah juga badan ini tiap hari harus b
Steak di piring kini bersih tak bersisa. Cita rasa steak di kedai Jeng Hani teman zumbaku benar-benar mantap. Bumbunya khas, pas dan meresap. Dagingnya juga empuk. Mantap pokoknya. Benar-benar memanjakan lidah.Pantas saja saat jam makan siang seperti sekarang ini semua tempat penuh dengan pengunjung. Meskipun begitu suasana di dalam kedai ini tidak panas sama sekali. Karena beberapa jendela kayu lebar tanpa daun berjejer menyuguhkan pemandangan sungai dan hijau pepohonan. Pas sekali dengan dekorasi yang mengusung tema alam. Pengunjung akan merasa nyaman bersantai setelah perut terisi di kedai ini.Tawa canda teman-teman arisanku pun semakin menjadi setelah menikmati steak. Apa saja hal yang dibahas akan terdengar lucu dan menarik. Apalagi dengan kepiawaian Jeng Sony ketika menirukan ekspresi wajah seseorang. Pecahlah tawa teman-teman semua.Aku yang notabennya tak pandai bergaul dan tak banyak bicara, cukup mengikuti alur cerita mereka. Ikut tertawa dan sesekali menimpali.Sepuluh i
Tajam mata ini menatap manik hitam perempuan sundal itu. Lekat. Sembari tangan ini membuka pintu mobil, mata ini masih lurus menghunus tajam. Langkah lebar ini membuat jarak kami terkikis. Kini wanita durjana itu, gundik itu, tepat di depanku. Ya dialah Riana.Istighfar terus kugaungkan dalam dada agar diri ini terhindar dari perbuatan anarkis. Mempermalukan diri sendiri. Jika kuturuti kata hati, sungguh aku ingin menjambak rambutnya, mencakar-cakar wajahnya, bahkan mencekiknya sampai tak bisa bernafas lagi. Tapi sekali lagi aku harus bisa mengendalikan diri.Kusipitkan sebelah mata menatapnya sengit. Mata gundik itu terlihat mengembun. Sesekali beralih menatap bocah laki-laki yang menggenggam jemarinya. Persis tikus di hadapan kucing. Tak bernyali."Luar biasa sekali kamu, Riana." Kupindai gundik itu dari ujung kaki hingga kepala dengan senyum merendahkan."Apa kamu benar-benar tak punya hati?"Gundik itu hanya mematung menatap jemari yang bertaut dengan bocah di sampingnya. Bocah it
Pelan kutarik gorden menutup kaca kamar tidur utama rumah ini. Tak ada lagi pemandangan indah yang terlihat di sana. Hanya gorden warna abu tua. Persis seperti kondisi hatiku setelah menyaksikan seseorang yang telah lebih dari sepuluh tahun hidup denganku memilih pergi dari rumah setelah pertengkaran kami. Ini kali pertama dia melakukannya.Sekarang aku tahu bahwa segalanya telah berubah. Semua sikap manisnya selama ini adalah palsu. Sekedar topeng untuk menutupi kebusukannya. Bagaimana bisa aku sebodoh ini tak menyadari? Bahkan merasa pendusta itu begitu sabar dalam mencintai.Kini tabir telah terkuak. Jalan baru telah terbentang. Aku harus siap menjalaninya. Betapapun pahitnya. Meninggalkan sesuatu yang sungguh teramat berharga. Sebuah ikatan pernikahan.Kurebahkan raga yang teramat lelah. Berusaha memejamkan mata ditemani detak jarum jam penghapus sunyi. Entah berapa kali tubuh ini berubah posisi. Nyatanya kantuk tak juga menghampiri.Dada ini teramat perih. Memikirkan lelaki yang
"Delia putri Bunda, ada sesuatu yang mau Bunda sampaikan.""Apa, Nda?"Kuhela nafas sejenak. Lalu kembali berkata, "ini berita buruk bagi kita, tapi Bunda selalu berdoa agar Allah beri kebaikan di dalamnya.""Apa memangnya itu, Nda?" Delia terlihat khawatir dan penasaran.Kutarik nafas panjang. Kutata hati untuk menyampaikan berita ini pada putri semata wayangku."Bunda sama Ayah sebentar lagi akan bercerai, Sayang."Mata sendu itu menatapku dengan mata melebar. Dia pasti terkejut bahkan tak percaya dengan apa yang baru saja aku sampaikan."Ada satu hal yang membuat Ayah sama Bunda enggak lagi bisa bersama."Delia masih membisu. Aku tahu ini tak mudah untuknya. Pun sebenarnya juga tak mudah untukku. Tapi aku harap ini yang terbaik."Kadang apa yang menurut kita baik ternyata menurut Allah tidak, begitu juga sebaliknya. Kadang ada sesuatu hal yang menurut kita buruk tapi menurut Allah sebaliknya. Bunda harap meski ini hal yang menyakitkan, tapi ada kebaikan di baliknya."Air mata menga
Ada rasa nyeri di dalam sini. Mataku kini bahkan sudah dipenuhi kaca-kaca mendengar bentakan Mas Yudis. Semudah itukah dia membenciku? Percaya pada Tantenya yang bicaranya pun tidak seratus persen benar.Ingin kusegera pergi dari ruangan itu kalau tidak mengingat seringai kemenangan Tante Desi. Tidak. Akan kutunjukkan pada Tante Desi. Tak semudah itu dia mengusirku dari kehidupan Mas Yudis."Mas Yudis!" seru Adista. Sejak tadi adik Mas Yudis ini memegangi lenganku."Kalau Mas ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi sejak awal sampai detik ini, tanya sama aku. Aku yang paling tahu semuanya, Mas.""Maksud kamu?" tanya Mas Yudis. Aku paham, dia pasti tak mengerti.Melihat kebingungan di wajah Mas Yudis kini aku mengerti. Kenapa dia bisa langsung emosi seperti tadi. Bagaimana tidak, dia yang tak tahu apa-apa. Bahkan sejak sadar dari koma dia buta. Tiba-tiba mendengar berita seperti yang Tante Desi katakan. Apalagi selama ini Tante Desi ibaratnya pengganti ibu baginya.Perlahan panas yang t
"Sintya, maaf, mas memilih jalan ini. Mas sudah bingung tak tahu lagi harus bagaimana. Mendengarmu berkali-kali didatangi orang BANK. Bahkan mereka mengancam mau menyita rumah ibu. Mas cuma bisa bingung sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa. Mas tak ingin rumah ibu sampai disita BANK.Mas kira sebelumnya, suami Mayang yang katanya kaya itu nyuruh mas datang ke rumahnya, mau bantuin bayar hutang. Ternyata cuma omong kosong doang. Sok-sokan ngajari masmu ini buat nego ke BANK. Dia pikir pihak BANK mau tahu dengan kesusahan mas? Omong kosong doang bisanya. Belagu!Makanya mas akhirnya menerima perintah Daniel. Dia bilang mau lunasin hutang-hutang mas kalau mas berhasil melenyapkan Yudis yang belagu itu.Sialnya dia enggak mati. Malah tambah nyusahin pakai acara buta segala.Sintya, kalau mas meninggal, otomatis hutang di BANK lunas ditanggung pihak asuransi. Kamu tinggal urus surat kematian mas aja. Terus diajuin ke BANKnya. Sekarang kalian bisa hidup tenang. Tanpa dikejar-kejar penagi
Telingaku masih berdenging terngiang ucapan Delia. Sehingga saat Bi Sumi mengangsurkan secangkir teh yang asapnya masih mengepul ke hadapanku beberapa saat hanya kuabaikan. Kabar yang baru saja aku dengar benar-benar seperti mencabut paksa nyawaku."Mas Ilham bunuh diri?" gumamku bertanya pada diri sendiri.Kurasakan punggungku diusap-usap. Aku menoleh. Hilda yang melakukannya."Kamu tenang, May! Mungkin sudah garis takdirnya seperti itu," ucapnya berusaha menenangkanku. Mangangsurkan secangkir teh yang tadi dipegang Bi Sumi. Kusesap sedikit. Tetapi tetap saja, hati ini rasanya tak ikhlas mendengar akhir hayat dari orang yang belasan tahun pernah membersamaiku setragis ini. Bahkan orang itu adalah ayah dari anakku.Bagaimanapun sungguh, meskipun ia telah sedemikian parah melukaiku, aku ingin saat kita telah berpisah seperti ini, entah aku ataupun dia bisa hidup bahagia ke depannya. Bersama-sama berperan serta dalam tumbuh kembang Delia putri kami. Tetapi ini ....? Oh, Tuhan, apa yan
"Bunda!" Suara Delia terdengar serak dan lirih saat aku mengangkat teleponnya."Iya, Sayang. Ada apa? Apa yang terjadi?" cecarku karena begitu khawatir mendengarnya menangis.Delia tak menjawab. Hanya terdengar suara sedu sedannya saja."Del?" panggilku seraya beranjak dari kursi tunggu. Perasaanku jadi tak tenang. Apa yang terjadi pada putriku di rumah?Hilda yang duduk di sampingku menyentuh lenganku dengan tatapan penuh tanya. Aku hanya menggeleng sambil menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanyaku lagi. Kakiku melangkah menjauh dari Hilda dan yang lainnya."Nda, Delia sudah jahat," ucapnya sambil menangis tersedu."Jahat kenapa, Sayang?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Tak mengerti arah pembicaraan Delia.Lagi-lagi tak ada jawaban. Hanya sedu sedan Delia yang terdengar di ujung telepon. Tuhan, apa yang terjadi pada anakku?Hatiku berdebar tak karuan. Gelisah. Memikirkan berbagai hal buruk yang mungkin terjadi pada Delia. Ingin rasanya segera berlari ke rumah. Tetapi bagaima
"Mana janda itu? Mana?"Terdengar teriakan seseorang di lantai bawah. Bergegas kuserahkan Farel pada Mba Kiki. Kemudian dengan langkah lebar menuju asal suara itu.Dari tangga kulihat Tante Desi berdiri berkacak pinggang. Mulutnya memaki dengan suara yang memekakan telinga."Di situ kamu rupanya. Turun!" teriaknya kepadaku saat aku menuruni tangga.Mau apalagi wanita itu memaki-maki di rumah ini?Dengan hati membara kupercepat langkah mendekati wanita paruh baya itu."Ada perlu apa Tante ke sini?" tanyaku tak kalah sengit. Aku tak suka orang lain seenaknya saja menghinaku. Padahal tak ada kesalahanku padanya."Kurang ajar memang kamu, ya! Gimana bisa Yudis ketemu wanita pembawa sial sepertimu!" makinya sambil telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arahku.Aku berdecih sambil membuang muka mendengar makiannya. Jika ada Mas Yudis di sini, masihkah wanita ini menghinaku begini?Kutarik nafas dalam-dalam kemudian kembali menatap wanita itu. "Tante, maaf, saya cape baru saja sampai rumah. Katakan
"Kenapa Bunda enggak jujur sama aku?" Delia menatapku dengan kaca-kaca di mata saat aku baru saja memasuki kamar.Aku tertegun memandangnya. Mungkinkah Delia tahu tentang Mas Ilham?"Kenapa, Nda?" Kaca-kaca bening itu kini luruh mengaliri pipinya."Sayang!" Hanya itu yang terucap dari bibirku. Tak tahu harus berkata apa."Kenapa Bunda enggak bilang sama Delia?" Tubuh putriku bergetar oleh tangis.Kurengkuh dia dalam pelukan. Kuusap lembut rambut yang memanjang sampai punggungnya."Kenapa, Nda? Kenapa Delia harus punya Ayah jahat seperti dia? Kenapa, Nda?" Delia tergugu dalam pelukanku."Delia enggak mau punya Ayah seperti dia, Nda! Delia enggak mau!"Hatiku pedih. Mas Ilham tak henti-hentinya membuat anaknya terluka. Kenapa putriku harus terluka berkali-kali seperti ini, Tuhan? Dia tak salah apa-apa."Nda, tolong buat Delia bukan lagi anak dari penjahat seperti dia, Nda!"Hatiku sakit melihat anakku terluka begini. Ibu mana yang tak terluka melihat nasib anaknya begini menderita."Ma
"Aku buta, Dek. Apa kamu enggak malu punya suami sepertiku?" tanya Mas Yudis serak.Aku menggeleng tegas seolah Mas Yudis melihatku. "Enggak, Mas. Mas jangan berpikir seperti itu!""Tapi bagaimana aku bisa menjaga kalian? Sedang menjaga diriku saja sekarang aku enggak bisa." Suara Mas Yudis terdengar bergetar.Kuhela nafas panjang. Mengeratkan genggaman tangan Mas Yudis. "Kita akan saling menjaga, Mas. Aku akan jadi matamu. Kita pasti mampu melalui ini.""Maafkan aku, Dek. Aku pasti akan banyak sekali merepotkanmu." Air mata Mas Yudis semakin deras."Enggak, Mas. Itu memang kewajibanku sebagai istri. Mas enggak usah banyak pikiran, ya! Sekarang yang terpenting Mas sehat dulu." Kupaksa bibir ini mengulas senyum padahal Mas Yudis tak melihatnya.Mas Yudis mengangguk. Kemudian kami saling diam. Aku benar-benar marah pada Mas Ilham, Daniel dan Nirmala. Sungguh mereka bukan manusia. Tega mereka mencelakakan orang lain. Aku bertekad besok akan menemui mereka."Dek!" panggil Mas Yudis memec
Lututku lemas menyaksikan layar monitor dengan garis naik turun tak beraturan. Tanganku memegang erat besi brankar Mas Yudis. Menahan tubuh agar tidak ambruk."Selamatkan suamiku, Ya Allah! Jangan dulu Kau ambil dia!" lirihku diiringi derai air mata.Waktu berlalu begitu lambat. Jantungku seperti dicengkeram kuat oleh ketakutan yang teramat sangat."Bangun, Mas!" lirihku.Dokter dan perawat masih sibuk melakukan berbagai tindakan pada suamiku. Seunur hidup ini pertama kali aku begitu merasa takut kehilangan.Apa Mas Yudis dikirim Tuhan dalam hidupku untuk mengobati luka di hatiku? Kemudian setelah sembuh Dia mengambil Mas Yudis kembali?Jangan, Tuhan! Aku tak siap kehilangannya. Baru sekejap kebahagiaan ini aku rasa. Jangan ambil dia dulu!Entah berapa menit waktu berlalu. Berangsur garis-garis di layar monitor kembali stabil. Dokter terlihat menghela nafas lega.Hari terus berlalu. Mas Yudis masih belum menunjukkan perkembangan kondisinya. Setiap hari rutinitasku masih sama. Masih te
Wajahnya langsung menunduk saat mata kami bertemu. Entah malu atau merasa bersalah. Tubuhku segera bangkit mendekati pria dengan bekas luka bakar di wajahnya."Mas Ilham?" tanyaku dengan perasaan marah membuncah.Mataku tajam menguliti pria dengan kedua tangan disatukan dengan borgol itu. Ingin kubunuh pria di depanku ini rasanya. Apa masalahnya sampai tega mencelakai Mas Yudis?Hilda memegangi lenganku yang menegang. Sahabatku pasti takut aku kalap. Sedang kita berada di kantor polisi."Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega mencelakakan suamiku?" seruku.Mas Ilham hanya tertunduk diam."Jawab, Baj*ngan!" bentakku. "Belum puas dengan semua yang sudah kamu lakukan padaku dan Delia?"Kodorong kasar pundak Mas Ilham. Membuat tubuhnya itu terhuyung. Wajah penuh dengan bekas luka bakar itu masih terus menunduk."Jawab, Mas!" bentakku lagi."M ... maaf, Dek. Aku terpaksa. Aku ... aku butuh uang," akunya."Begini caramu mencari uang sekarang?" tanyaku geram. "Kurang baik apa selama ini Mas Yudis sam