Kuhembuskan nafas kasar sembari tersenyum miris. Akhirnya aku sampai pada titik ini. Titik dimana aku harus merelakan rumah tangga yang kuperjuangkan segenap jiwa raga bermandikan peluh dan air mata kandas karena orang ketiga.
Semua berawal dari pesan singkat di posel Mas Ilham yang tak sengaja aku baca. Langit serasa runtuh. Oksigen di kamar ini seperti menguap. Dadaku sesak. Lututku lemas. Tenagaku lenyap seketika. Tubuhku luruh bersamaan dengan ponsel yang kugenggampun jatuh memecah keheningan kamar. Aku harap percakapan mesra dan vulgar dalam pesan di ponsel suamiku tidaklah nyata.
"Suara apa, Nda?"
Mendengar suara lelaki yang sudah lebih dari sepuluh tahun hidup bersamaku dada ini semakin bergemuruh. Emosi sampai ke ubun-ubun. Dada ini seakan mau meledak. Mataku memanas. Buliran bening itu berlomba keluar dari mata.
Lelaki berkaos putih itu masuk menatap benda yang kini terserak di lantai lalu beralih menatapku. Ada kilat terkejut di sorot itu. Mungkin menyadari sesuatu. Dia masih mematung di tempat yang sama. Kakinya soalah membeku melihat luka di mataku ataukah karena dosanya yang kini kutahu.
"Nda!" Lirih bibir itu memanggilku, lidahnya seolah kelu.
Aku masih asyik menari bersama luka yang tercipta. Terus terbayang rangkaian kata yang mengoyak jiwa. Tentang liarnya melodi cinta mereka. Gelora cinta yang membumbung tinggi hingga cakrawala. Suamiku telah abai akan dosa. Aku masih meraba, benarkah itu kata-kata yang keluar dari pikirannya?
"Ya Allah, nyatakah ini?" jerit yang hanya mampu sampai di tenggorokanku. Suamiku benarkah dia mampu menghianati pernikahan kami? Tubuhku tergugu bersama pilu yang bertalu. Isakku menyayat karena laku yang tak tahu malu.
Kutangkupkan kedua telapak tangan ini menutupi wajah. Tubuhku tersungkur. Aku berteriak sekeras yang kumampu. Berharap lara ini keluar berasa suara tangis yang menggema. Sesakit inikah ketika cinta yang kujaga akhirnya ternoda? Hatiku sekarat oleh kenyataan suami telah berbagi cinta.
"Nda!"
Kembali lirih suara itu menggetarkan gendang telinga. Tangan kokohnya kini manggapai kedua pundakku. Kutatap mata itu berharap ini semua tidak benar dan hanya salah paham. Tapi yang kudapati sorot mata itu menyiratkan rasa bersalah hingga kembali meremuk redamkan rasa di dada.
"Berapa kali?" Susah payah aku mengeluarkan suara yang tercekat oleh pedihnya luka yang menganga.
Bibir tipis itu masih membisu. Matanya tak lagi menatapku.
"Tiga jari?"
Hening tak ada jawaban.
"Lima jari?" tanyaku sambil membuka telapak tangan kananku.
"Nda!" lirihnya.
"Dua tangan?" cecarku.
"Nda ... ."
"Lima tangan?"
"Maafin Ayah!"
Suara tangisku kembali menggema. Tak pernah kusangka, lelaki lembut yang begitu aku cinta ini tega menghancurkan jiwa ragaku. Meluluh lantakkan perasaanku. Lelaki yang menjadi pusat hidupku selama ini mampu menghianati pernikahan kami. Sudahkah dia tak mencintaiku lagi?
Direngkuhnya tubuh yang kini terasa begitu ringkih ini. Kutumpahkan tangis ini di dadanya. Dada yang kini telah ternoda. Kubiarkan tubuh ini mengadu. Bahwa hati ini terlampau pilu.
"Siapa Riyan?" tanyaku datar setelah puas menumpahkan rasa.
"Dia ... dia ... Riana, Nda."
Bagai petir di siang bolong menyambar kepalaku. Kutatap wajah itu tak percaya. Riana? Gadis dari kampungku yang kami pekerjakan untuk menjaga toko sembako. Benarkah aku tak salah dengar?
"Riana?" tanyaku untuk memastikan tak salah dengar.
Lelaki itu mengangguk lemah kemudian tak mengangkat wajahnya lagi. Benar-benar tak kusangka, gadis pendiam itu menjadi duri dalam rumah tanggaku.
Ribuan pedang seperti menghunus jantungku. Sakit. Sakit sekali. Rasanya seperti mau mati. Bahkan udara di ruang kamar ini seolah menguap dan tak tersisa. Beginikah rasanya dihianati oleh orang-orang yang kupercayai? Gadis yang aku kasihi karena kondisi ekonomi keluarganya justru malah menikamku.
"Sejak kapan?" Aku masih menatapnya tak percaya.
Lelaki berkulit cokelat itu hanya diam. Kumandang azan mahrib memecah kesunyian diantara kami.
"Aku menunggu penjelasanmu."
Meskipun tubuh ini terasa tak bertulang, kucoba untuk bangkit tanpanya. Lemah kulangkahkan kaki ke dapur dan meminum air putih untuk membatalkan puasa. Perutku langsung kenyang hanya dengan segelas air putih. Sungguh selera makan yang tadi menggebu hingga kusiapkan berbagai makanan untuk buka puasa sunah yang rutin kami lakukan setiap senin dan kamis menguap begitu saja.
Lelaki itu tampak canggung saat berpapasan denganku untuk mengambil air minum yang sebelumnya sudah kutata di meja. Rumah ini hening tanpa suara.
Selesai solat mahrib sembari mengadukan segala pedih di hati kepada Sang Pemilik, aku bertekad menemui Riana. Gadis yang mampu membuat hati Mas Ilham berpaling. Bahkan tak mengingat dosa lagi. Kukenakan hijab hitam lebar kemudian melangkah keluar kamar. Tak terlihat Mas Ilham di ruangan lainnya.
Hawa dingin menerpa wajah saat kulajukan motor membelah jalanan yang masih padat. Langit terlihat mendung, sesekali guntur terdengar seolah menyampaikan pesan akan datangnya hujan.
Sepuluh menit berlalu, aku tiba di kost Riana. Gerbang masih terbuka lebar. Sengaja kuparkir motor di sebelah gerbang. Langkah kaki ini menyusuri halaman yang cukup luas. Nuasna asri terasa sekali. Beberapa pohon cemara berdiri di depan kamar-kamar kost itu. Kemudian bunga warna-warni pun menghiasi halaman yang ditumbuhi rumput yang tertata rapi.
Pandanganku fokus pada satu kamar. Tampak pintu kayu itu tertutup rapat. Remang cahaya terlihat dari balik gorden.
Pelan langkah ini mendekat. Entah mengapa kali ini perasaanku sangat tidak enak. Apalagi terdengar obrolan lirih yang tidak jelas di telingaku. Mungkinkah Mas Ilham di dalam? Hatiku ketar-ketir. Takut melihat sesuatu yang bisa melukaiku lebih dalam. Tapi aku ingin memastikan. Tanpa kuketuk, kubuka pintu kayu itu dengan cepat.
Dua pasang mata itu membelalak melihat kadatanganku. Dengan cepat rengkuhan itu mereka uraikan. Kini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku masih mematung di depan pintu dengan emosi laksana ombak samudera. Siap menerjang siapa saja. Dadaku panas. Kutahan genangan yang siap tumpah ruah. Lelakiku benar-benar terbang terlampau tinggi.
"Bunda, kita bisa bicarakan semua baik-baik." Lelaki itu beranjak mengikis jarak denganku. Kedua tangannya memegang kedua pundakku namun aku masih bergeming menatap lurus pada gadis yang kini menunduk di hadapanku. Lelehan air mata ini tak bisa kutahan lagi demi menyaksikan penghianatan dua manusia yang selama ini aku kasihi.
"Bunda ... ."
"Tega kalian?" Suaraku dingin seperti belati siap menikam.
"Kurang apa aku sama kamu, perempuan murahan?" Teriakku tanpa bisa lagi dikendalikan.
"Bunda, tolong tenang, Nda!" bujuk Mas Ilham pelan.
"Tolong, jangan panggil aku seperti itu! Aku jijik mendengarnya."
"Nda ... ."
"Tolong diam, Mas!" ucapku dengan emosi yang mau meledak.
Rasanya ingin kuhancurkan kamar Riana saat itu juga. Ingin kubunuh mereka berdua saat itu juga. Bahkan mereka matipun takkan mengurangi rasa sakit yang mereka torehkan di hati.Suasana kamar berukuran 3x3 itu begitu panas. Meski di luar udara menusuk tulang.
"Kurang apa aku sama kamu? Jawab, perempuan murahan!" teriakku. Ku tatap tajam gadis dua puluh tahun itu. Dia hanya diam menundukkan kepala. Kini dia memang jauh berbeda saat awal kuboyong dari kampung. Kulitnya kini putih, rambutnya kini rapi dan lurus. Dia pun semakin pandai bersolek. Sayangnya hatinya tak secantik rupanya.
Melihatnya mengenakan atasan panjang bunga-bunga dan bawahan celana jeans ketat, ada perasaan jijik di hatiku. Dijanjikan apa gadis ini hingga mau dijadikan gundik oleh lelaki itu.
"Kamu dijanjikan apa sampai mau nyerahin keprawanan kamu sama suami orang?"
Tak ada sahutan. Mereka berdua masih membisu.
"Oh, apa sebelum kesini kamu memang sudah biasa dipakai orang?" Teriakku.
"Bunda!" Mas Ilham membentakku.
"Oh, sekarang sudah mulai bisa membentakku? Demi gundik itu?"
"Bunda, dengarkan Ayah dulu! Semua salah Ayah."
"Sudah tahu salah kenapa dilakukan?" bentakku.
"Ayah khilaf, Nda."
"Khilaf? Khilaf kamu bilang? Khilaf apa yang berkali-kali? Khilaf apa doyan?" Tatapanku tajam seolah ingin musnahkan manusia ini saat itu juga.
Kuhempaskan kedua tangan. Sekuat tenaga berusaha menetralkan emosi yang memuncak ingin segera dilampiaskan.
Kutarik nafas panjang. "Maaf, Mas, mulai malam ini kamu enggak usah pulang ke rumah lagi. Tolong urus perceraian kita secepatnya!"
Kemudian kutatap lagi gadis tak perawan itu. "Silahkan kamu pungut suami bekasku, Murahan!"
"Bunda, tolong jangan seperti ini! Dengarkan Ayah dulu!"
"Dengerin kamu mau belain gundik kamu itu. Oh ya, mulai besok kalian berdua enggak usah ke toko lagi."
"Nda, Bunda!"
Tak kuhiraukan panggilan Mas Ilham. Segera kuterobos deras hujan yang malam itu membasahi bumi. Langit seolah tahu bahwa hatiku butuh kesejukan. Langit seakan tahu bahwa air mataku harus dikaburkan oleh derasnya hujan. Hingga tak perlu ada yang tahu bahwa sebenarnya saat ini aku menangis. Hatiku menjerit.
Di teras rumah tampak lelaki itu berdiri dengan kondisi basah kuyup sepertiku. Tapi hatiku terlanjur beku. Penghianatan mereka seperti serdadu yang tanpa ampun menghujam jantungku. Jika bisa aku meminta, aku ingin mati saat itu juga.
"Nda!"
Tak kupedulikan lelaki yang telah memporak porandakan semua. Langsung kutuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Guyuran hangat air shower ternyata masih tak mampu membuat hatiku tenang. Meski kuhabiskan waktu entah berapa lama. Tapi rasa ini masih ada, masih sama, masih sangat terluka.
Ketukan dari luar mulai kudengar. Lelaki yang tak ingin lagi kudengar suaranya itu tak henti-hentinya memanggil. Sungguh, rasa sakit ini entah kapan mampu menghilang dari hati. Mampukah aku memaafkan penghianatan ini demi rumah tanggaku? Demi Delia anakku?
Suara ketukan pintu terus mengusik ketenangan yang sedang berusaha aku ciptakan. Mas Ilham tak putus asa memanggilku, memohon maaf padaku. Jujur saat ini hatiku beku. Tapi tak ingin permasalahan ini menjadi konsumsi tetangga, akhirnya kubuka juga pintu untuknya.Mas Ilham langsung meraih tanganku kemudian bersimpuh di kakiku. "Bunda, tolong dengarkan Ayah dulu, please!" ucapnya dengan menempelkan telapak tanganku di wajahnya."Tolong, Mas Ilham! Saya enggak mau menjadi tontonan!" Kuhentakan tanganku kemudian berlalu meninggalkannya yang terpaku di depan pintu.Pantulan dicermin seolah mengolokku. Kuusap pelan kulit wajah ini. Kusam. Kata yang pas untuk menggambarkan kulit wajahku. Pori-pori yang terlihat lebar. Bekas jerawat di mana-mana. Di ujung mata pun mulai terlihat keriput. Mungkinkah faktor usia? Atau memang aku yang selama ini tak pernah peduli dengan penampilan.Kubuka hijab yang tadi kukenakan saat membukakan pintu untuk Mas Ilham. Pelan jemari ini menyugar rambut yang entah
Awan menghitam menutup semburat jingga di batas cakrawala. Lampu-lampu jalanan mulai mengambil alih tugas sang mentari. Rintik mulai turun menemaniku memacu sepeda motor dengan kecepatan cukup tinggi. Cukup sudah permainan ini. Biarlah pernikahan ini harus berakhir. Aku menyerah. Aku kalah. Biarlah kepingan hati ini kupunguti seorang diri. Pada saatnya nanti waktu akan membuatnya utuh kembali.Aku tak jadi ke toko. Tiba di rumah langsung kuambil koper ukuran besar yang selama ini nyaris tak tersentuh di lemari bagian bawah. Kubuka resletingnya dengan kasar. Kemudian kulempar semua baju-baju Mas Ilham ke dalam. Kuluapkan emosi di hati dengan menarik kasar baju-baju itu dari lemari. Seolah aku sedang membuang Mas Ilham yang telah menghianati pernikahan ini.Tak ada air mata lagi. Tekadku sudah bulat untuk mengakhiri semua. Aku benci dibohongi. Aku benci dikhianati. Aku benci dipermainkan. Pernikahan adalah janji kepada Sang Pencipta bukan hanya kata-kata tanpa makna. Jika ini takdir ya
Gadis dengan wajah putih itu menunduk setelah meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Dia duduk di sebelah ibunya."Lho Riana kok diam saja? Persilahkan Mba Mayang sama Mas Ilham lho!" tegur Mak Jum pada Riana yang hanya diam."Monggo, monggo Mas, Mba! Cuma teh hangat ini. Maaf, kami enggak bisa ngasih suguhan apa-apa," ucap Mak Jum selanjutnya dengan senyum mengembang. Aku hanya diam tak merespon ucapannya. Fokusku lebih ke benda-benda di pojok ruangan rumah ini. Sepertinya sebentar lagi Mak Jum mau merenovasi rumahnya. Ada bertumpuk barang-barang bangunan seperti keramik, semen dan lain-lainnya. Sekilas meskipun ruangan ini terlihat sama namun ada beberapa barang yang berbeda. Sekarang ada televisi di depan tempat tidur ayah Riana dengan ukuran lumayan besar.Begitu pandaikah mereka mengatur keuangan? Atau uang yang selama ini untuk berobat Ayah Riana tak mereka gunakan seperti pesanku?"Iya, Bu terima kasih." Suara Mas Ilham membuyarkan segala perhitungan di kepalaku. Jujur aku
Puluhan tahun bersama nyatanya kini lelaki di sampingku ini terasa asing. Seolah aku tak lagi mengenalnya. Kepercayaan yang dulu kuberikan sepenuhnya menjadi bumerang yang menyerang pernikahan kami.Aku masih tak percaya dengan jawaban Mas Ilham. Aku masih memikirkan tentang lamaran itu. Dan itu sangat mengganggu. Kepercayaan pada lelaki di sampingku ini menguap entah kemana. Yang ada hanya curiga sehingga membuat hati semakin tidak tenang.Tiba di rumah entah mengapa aku merasa enggan. Merasa tidak nyaman. Dulu rumah ini selalu menjadi tempat ternyaman setelah seharian berkutat dengan segudang aktifitas. Kini melihat sesuatu yang ada di rumah ini menjadi menjijikan. Seperti ada noda bekas perbuatan terkutuk mereka menempel di mana-mana, di setiap benda. Menyisakan rasa jijik yang luar biasa."Aku ingin mengganti semua barang yang ada di rumah ini," ucapku tegas pada Mas Ilham.Lelaki yang sedang berjalan di depanku langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Sungguh dita
"Delia tadi sama Ayah habis jalan-jalan kemana?" korekku. Sungguh aroma parfum ini sangat menggangguku.Delia tak langsung menjawab. Dia menatapku sejenak kemudian menunduk. "Cuma keliling kota aja kok, Nda.""Oh, enggak minta sesuatu nih sama Ayah?" Aku menengok sekilas ke arah Delia kemudian fokus lagi ke jalanan. Aku benar-benar merasa ada yang lain pada Delia. Anak itu menatap keluar jendela tak seperti biasa."Kan sudah belanja sama Bunda.""Oh iya, nanti mau makan malam sama apa, Sayang?""Apapun, Nda. Yang penting masakan Bunda. Delia kangen masakan Bunda.""Oh ya?" Aku terkejut dengan jawaban Delia. Padahal dulu dia sering komentar kalau masakanku tidak enak. Kemanisan lah, kurang gurih lah. Kemudian dibandingkan dengan cewek tak tahu diri itu. Itu sebabnya selama ini aku jarang sekali memasak. Aku lebih suka beli. Apa mungkin sekarang Delia sudah lebih dewasa sehingga tahu bagaimana menjaga perasaan Bundanya? "Katanya masakan Bunda enggak enak?" candaku."Tapi kan Bundaku, j
Sore ini hujan mengguyur kota dengan derasnya. Sesekali kilat menyambar diikuti petir yang menggelegar. Aku sedikit khawatir Mas Ilham masih belum pulang dari toko. Apalagi tadi mobil aku yang bawa dan dia aku minta pakai motor.Kusibukkan diri dengan membuat teh panas untuk menemani mengoreksi hasil ulangan harian anak-anak. Beberapa lembar telah berpindah dari tumpukan di sebelah kiri yang belum dikoreksi ke sebelah kanan yang sudah dikoreksi.Kuhirup aroma teh melati kesukaan untuk merilekskan pikiran. Melihat jawaban anak-anak didikku kadang membuat dahi mengernyit heran. Berkali-kali kujelaskan detail dengan cara panjang ataupun cara sederhana tapi beberapa masih saja asal menjawab soal.Kehidupan sehari-hari pun sebenarnya juga demikian. Seperti anak-anak di bangku sekolah yang diberi materi pelajaran. Ada yang membuatnya menjadi semakin tahu dan menerapkan dalam kehidupannya. Ada yang masa bodoh. Ada juga yang tak mau tahu dan kehidupannya semakin terpuruk.Kupikir seperti itul
Senyum terkembang di bibir Mas Ilham saat aku membuka mata. Tampaknya sejak tadi lelaki itu sedang mengamati wajahku."Selamat pagi, Sayang," ucapnya diikuti kecupan di puncak kepala.Aku hanya tersenyum dengan tingkahnya. Dalam hati aku memohon, semoga kebahagiaan ini abadi. Tak ada lagi drama orang ketiga dalam kehidupan kami."Makasih ya, Nda, buat semuanya." Kini lengannya menjadi bantal yang kembali nyaman untukku. Sebelah tangannya mengelus jemariku."Terima kasih juga, sudah mau sabar menunggu Bunda.""Apapun akan Ayah lakukan, Sayang.""Ya sudah, Bunda mau mandi dulu. Bentar lagi subuh.""Mandi bareng ya, Nda?" bisiknya nakal."Ish!"Pagi ini bunga-bunga di taman belakang rumah tampak basah. Hujan semalam membuat mereka tampak segar. Sebentar lagi saat mentari mulai menghangat kelopak-kelopak itu akan bermekaran menunjukkan kecantikannya. Sengaja kubuka lebar-lebar dua daun pintu yang menghubungkan dapur dengan taman belakang agar udara segarnya bisa menemaniku memasak."Biki
"Nda, Ayah pamit ke rumah Ibu dulu ya? Tadi Ibu telpon katanya Sintya butuh uang buat bayar praktek."Aku masih fokus pada layar laptop di depanku. "Iya, salam buat Ibu ya?"Sintya adik Mas Ilham, saat ini sedang kuliah kebidanan. Sedikit banyak kami memang membantu biaya kuliahnya. Selain karena Ayah Mas Ilham sudah berpulang, kondisi ekonomi mereka pun pas-pasan. Itu sebabnya Mas Ilham hanya lulusan SMP. Dulu Mas Ilham bekerja di percetakan milik teman Ayahnya. Di situ kami sering bertemu saat aku masih kuliah."Ya sudah, Ayah berangkat dulu. Nanti kalau Bunda sudah ngantuk tidur duluan aja ya? Ayah bawa kunci rumah kok.""Heem.""Ini ATMnya Ayah bawa ya, Nda.""Ya, hati-hati!"Terdengan suara pintu kamar tertutup. Aku kembali fokus mengerjakan analisis evaluasi. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Belum lama ini aku dimutasi ke SMP lain. Jaraknya lumayan jauh dari rumah. Hampir satu jam perjalanan. Semakin sedikit waktuku di rumah. Semakin lelah juga badan ini tiap hari harus b
Ada rasa nyeri di dalam sini. Mataku kini bahkan sudah dipenuhi kaca-kaca mendengar bentakan Mas Yudis. Semudah itukah dia membenciku? Percaya pada Tantenya yang bicaranya pun tidak seratus persen benar.Ingin kusegera pergi dari ruangan itu kalau tidak mengingat seringai kemenangan Tante Desi. Tidak. Akan kutunjukkan pada Tante Desi. Tak semudah itu dia mengusirku dari kehidupan Mas Yudis."Mas Yudis!" seru Adista. Sejak tadi adik Mas Yudis ini memegangi lenganku."Kalau Mas ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi sejak awal sampai detik ini, tanya sama aku. Aku yang paling tahu semuanya, Mas.""Maksud kamu?" tanya Mas Yudis. Aku paham, dia pasti tak mengerti.Melihat kebingungan di wajah Mas Yudis kini aku mengerti. Kenapa dia bisa langsung emosi seperti tadi. Bagaimana tidak, dia yang tak tahu apa-apa. Bahkan sejak sadar dari koma dia buta. Tiba-tiba mendengar berita seperti yang Tante Desi katakan. Apalagi selama ini Tante Desi ibaratnya pengganti ibu baginya.Perlahan panas yang t
"Sintya, maaf, mas memilih jalan ini. Mas sudah bingung tak tahu lagi harus bagaimana. Mendengarmu berkali-kali didatangi orang BANK. Bahkan mereka mengancam mau menyita rumah ibu. Mas cuma bisa bingung sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa. Mas tak ingin rumah ibu sampai disita BANK.Mas kira sebelumnya, suami Mayang yang katanya kaya itu nyuruh mas datang ke rumahnya, mau bantuin bayar hutang. Ternyata cuma omong kosong doang. Sok-sokan ngajari masmu ini buat nego ke BANK. Dia pikir pihak BANK mau tahu dengan kesusahan mas? Omong kosong doang bisanya. Belagu!Makanya mas akhirnya menerima perintah Daniel. Dia bilang mau lunasin hutang-hutang mas kalau mas berhasil melenyapkan Yudis yang belagu itu.Sialnya dia enggak mati. Malah tambah nyusahin pakai acara buta segala.Sintya, kalau mas meninggal, otomatis hutang di BANK lunas ditanggung pihak asuransi. Kamu tinggal urus surat kematian mas aja. Terus diajuin ke BANKnya. Sekarang kalian bisa hidup tenang. Tanpa dikejar-kejar penagi
Telingaku masih berdenging terngiang ucapan Delia. Sehingga saat Bi Sumi mengangsurkan secangkir teh yang asapnya masih mengepul ke hadapanku beberapa saat hanya kuabaikan. Kabar yang baru saja aku dengar benar-benar seperti mencabut paksa nyawaku."Mas Ilham bunuh diri?" gumamku bertanya pada diri sendiri.Kurasakan punggungku diusap-usap. Aku menoleh. Hilda yang melakukannya."Kamu tenang, May! Mungkin sudah garis takdirnya seperti itu," ucapnya berusaha menenangkanku. Mangangsurkan secangkir teh yang tadi dipegang Bi Sumi. Kusesap sedikit. Tetapi tetap saja, hati ini rasanya tak ikhlas mendengar akhir hayat dari orang yang belasan tahun pernah membersamaiku setragis ini. Bahkan orang itu adalah ayah dari anakku.Bagaimanapun sungguh, meskipun ia telah sedemikian parah melukaiku, aku ingin saat kita telah berpisah seperti ini, entah aku ataupun dia bisa hidup bahagia ke depannya. Bersama-sama berperan serta dalam tumbuh kembang Delia putri kami. Tetapi ini ....? Oh, Tuhan, apa yan
"Bunda!" Suara Delia terdengar serak dan lirih saat aku mengangkat teleponnya."Iya, Sayang. Ada apa? Apa yang terjadi?" cecarku karena begitu khawatir mendengarnya menangis.Delia tak menjawab. Hanya terdengar suara sedu sedannya saja."Del?" panggilku seraya beranjak dari kursi tunggu. Perasaanku jadi tak tenang. Apa yang terjadi pada putriku di rumah?Hilda yang duduk di sampingku menyentuh lenganku dengan tatapan penuh tanya. Aku hanya menggeleng sambil menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanyaku lagi. Kakiku melangkah menjauh dari Hilda dan yang lainnya."Nda, Delia sudah jahat," ucapnya sambil menangis tersedu."Jahat kenapa, Sayang?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Tak mengerti arah pembicaraan Delia.Lagi-lagi tak ada jawaban. Hanya sedu sedan Delia yang terdengar di ujung telepon. Tuhan, apa yang terjadi pada anakku?Hatiku berdebar tak karuan. Gelisah. Memikirkan berbagai hal buruk yang mungkin terjadi pada Delia. Ingin rasanya segera berlari ke rumah. Tetapi bagaima
"Mana janda itu? Mana?"Terdengar teriakan seseorang di lantai bawah. Bergegas kuserahkan Farel pada Mba Kiki. Kemudian dengan langkah lebar menuju asal suara itu.Dari tangga kulihat Tante Desi berdiri berkacak pinggang. Mulutnya memaki dengan suara yang memekakan telinga."Di situ kamu rupanya. Turun!" teriaknya kepadaku saat aku menuruni tangga.Mau apalagi wanita itu memaki-maki di rumah ini?Dengan hati membara kupercepat langkah mendekati wanita paruh baya itu."Ada perlu apa Tante ke sini?" tanyaku tak kalah sengit. Aku tak suka orang lain seenaknya saja menghinaku. Padahal tak ada kesalahanku padanya."Kurang ajar memang kamu, ya! Gimana bisa Yudis ketemu wanita pembawa sial sepertimu!" makinya sambil telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arahku.Aku berdecih sambil membuang muka mendengar makiannya. Jika ada Mas Yudis di sini, masihkah wanita ini menghinaku begini?Kutarik nafas dalam-dalam kemudian kembali menatap wanita itu. "Tante, maaf, saya cape baru saja sampai rumah. Katakan
"Kenapa Bunda enggak jujur sama aku?" Delia menatapku dengan kaca-kaca di mata saat aku baru saja memasuki kamar.Aku tertegun memandangnya. Mungkinkah Delia tahu tentang Mas Ilham?"Kenapa, Nda?" Kaca-kaca bening itu kini luruh mengaliri pipinya."Sayang!" Hanya itu yang terucap dari bibirku. Tak tahu harus berkata apa."Kenapa Bunda enggak bilang sama Delia?" Tubuh putriku bergetar oleh tangis.Kurengkuh dia dalam pelukan. Kuusap lembut rambut yang memanjang sampai punggungnya."Kenapa, Nda? Kenapa Delia harus punya Ayah jahat seperti dia? Kenapa, Nda?" Delia tergugu dalam pelukanku."Delia enggak mau punya Ayah seperti dia, Nda! Delia enggak mau!"Hatiku pedih. Mas Ilham tak henti-hentinya membuat anaknya terluka. Kenapa putriku harus terluka berkali-kali seperti ini, Tuhan? Dia tak salah apa-apa."Nda, tolong buat Delia bukan lagi anak dari penjahat seperti dia, Nda!"Hatiku sakit melihat anakku terluka begini. Ibu mana yang tak terluka melihat nasib anaknya begini menderita."Ma
"Aku buta, Dek. Apa kamu enggak malu punya suami sepertiku?" tanya Mas Yudis serak.Aku menggeleng tegas seolah Mas Yudis melihatku. "Enggak, Mas. Mas jangan berpikir seperti itu!""Tapi bagaimana aku bisa menjaga kalian? Sedang menjaga diriku saja sekarang aku enggak bisa." Suara Mas Yudis terdengar bergetar.Kuhela nafas panjang. Mengeratkan genggaman tangan Mas Yudis. "Kita akan saling menjaga, Mas. Aku akan jadi matamu. Kita pasti mampu melalui ini.""Maafkan aku, Dek. Aku pasti akan banyak sekali merepotkanmu." Air mata Mas Yudis semakin deras."Enggak, Mas. Itu memang kewajibanku sebagai istri. Mas enggak usah banyak pikiran, ya! Sekarang yang terpenting Mas sehat dulu." Kupaksa bibir ini mengulas senyum padahal Mas Yudis tak melihatnya.Mas Yudis mengangguk. Kemudian kami saling diam. Aku benar-benar marah pada Mas Ilham, Daniel dan Nirmala. Sungguh mereka bukan manusia. Tega mereka mencelakakan orang lain. Aku bertekad besok akan menemui mereka."Dek!" panggil Mas Yudis memec
Lututku lemas menyaksikan layar monitor dengan garis naik turun tak beraturan. Tanganku memegang erat besi brankar Mas Yudis. Menahan tubuh agar tidak ambruk."Selamatkan suamiku, Ya Allah! Jangan dulu Kau ambil dia!" lirihku diiringi derai air mata.Waktu berlalu begitu lambat. Jantungku seperti dicengkeram kuat oleh ketakutan yang teramat sangat."Bangun, Mas!" lirihku.Dokter dan perawat masih sibuk melakukan berbagai tindakan pada suamiku. Seunur hidup ini pertama kali aku begitu merasa takut kehilangan.Apa Mas Yudis dikirim Tuhan dalam hidupku untuk mengobati luka di hatiku? Kemudian setelah sembuh Dia mengambil Mas Yudis kembali?Jangan, Tuhan! Aku tak siap kehilangannya. Baru sekejap kebahagiaan ini aku rasa. Jangan ambil dia dulu!Entah berapa menit waktu berlalu. Berangsur garis-garis di layar monitor kembali stabil. Dokter terlihat menghela nafas lega.Hari terus berlalu. Mas Yudis masih belum menunjukkan perkembangan kondisinya. Setiap hari rutinitasku masih sama. Masih te
Wajahnya langsung menunduk saat mata kami bertemu. Entah malu atau merasa bersalah. Tubuhku segera bangkit mendekati pria dengan bekas luka bakar di wajahnya."Mas Ilham?" tanyaku dengan perasaan marah membuncah.Mataku tajam menguliti pria dengan kedua tangan disatukan dengan borgol itu. Ingin kubunuh pria di depanku ini rasanya. Apa masalahnya sampai tega mencelakai Mas Yudis?Hilda memegangi lenganku yang menegang. Sahabatku pasti takut aku kalap. Sedang kita berada di kantor polisi."Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega mencelakakan suamiku?" seruku.Mas Ilham hanya tertunduk diam."Jawab, Baj*ngan!" bentakku. "Belum puas dengan semua yang sudah kamu lakukan padaku dan Delia?"Kodorong kasar pundak Mas Ilham. Membuat tubuhnya itu terhuyung. Wajah penuh dengan bekas luka bakar itu masih terus menunduk."Jawab, Mas!" bentakku lagi."M ... maaf, Dek. Aku terpaksa. Aku ... aku butuh uang," akunya."Begini caramu mencari uang sekarang?" tanyaku geram. "Kurang baik apa selama ini Mas Yudis sam