Share

Hamilkah Riana?

Penulis: Srirama Adafi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-23 12:51:30

Awan menghitam menutup semburat jingga di batas cakrawala. Lampu-lampu jalanan mulai mengambil alih tugas sang mentari. Rintik mulai turun menemaniku memacu sepeda motor dengan kecepatan cukup tinggi. 

Cukup sudah permainan ini. Biarlah pernikahan ini harus berakhir. Aku menyerah. Aku kalah. Biarlah kepingan hati ini kupunguti seorang diri. Pada saatnya nanti waktu akan membuatnya utuh kembali.

Aku tak jadi ke toko. Tiba di rumah langsung kuambil koper ukuran besar yang selama ini nyaris tak tersentuh di lemari bagian bawah. Kubuka resletingnya dengan kasar. Kemudian kulempar semua baju-baju Mas Ilham ke dalam. Kuluapkan emosi di hati dengan menarik kasar baju-baju itu dari lemari. Seolah aku sedang membuang Mas Ilham yang telah menghianati pernikahan ini.

Tak ada air mata lagi. Tekadku sudah bulat untuk mengakhiri semua. Aku benci dibohongi. Aku benci dikhianati. Aku benci dipermainkan. Pernikahan adalah janji kepada Sang Pencipta bukan hanya kata-kata tanpa makna. Jika ini takdir yang harus dijalani, aku siap.

Kutarik koper besar itu keluar dengan penuh emosi. Tak terasa berat sama sekali. Hingga harus terhenti karena tubuhku menabrak seseorang. Siapa lagi kalau bukan lelaki itu. Aku segera berbalik menatapnya tajam. 

"Bunda, ap ... apa ini?" tanyanya dengan mimik wajah sendu. Tak tahukah dia bahwa aku sangat muak melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu?

"Seperti yang kamu lihat. Silahkan pergi dari rumah ini dan segera urus perceraian kita!" perintahku dengan nada datar dan tegas.

"Bunda, ... ."

"Kalau kamu enggak mau mengurus perceraian kita, aku akan mengurusnya sendiri."

"Bunda, Bunda, please jangan cerai!" rengeknya sambil bersimpuh memegang tanganku.

Kutarik jemariku tapi dia terlalu erat memegangnya. "Lepaskan, Mas!"

"Enggak, Nda. Ayah enggak akan melepaskan Bunda. Ayah mencintai Bunda, sungguh. Yang tadi Bunda lihat di jalan, Bunda salah paham."

"Ck!" decakku kesal.

"Aku muak, tahu enggak?" bentakku sambil berusaha melepaskan tangan.

"Nda, please dengarkan Ayah dulu!"

"Kamu tahu, dari dulu aku paling benci dibohongi. Sedikitpun aku enggak tertarik dengan dramamu, Mas."

"Bunda, please. Ayah berusaha menyelesaikan masalah yang telah Ayah buat, Nda. Beri Ayah kesempatan!"

"Cukup, Mas. Aku enggak sanggup. Ini terlalu sakit untukku." Buliran itu kembali menganak sungai membasahi pipiku. Sungguh dikhianati itu rasanya teramat sakit. Entah kata apa yang pas untuk mengungkapkan rasa sakitnya.

"Ayah mohon maaf, Nda. Ayah minta maaf!" isaknya dengan menyandarkan keningnya dilututku.

"Ayah janji akan perbaiki semua, Nda. Ayah janji."

"Tolong beri Ayah kesempatan, Nda! Please! Jangan bercerai!"

Dadaku terasa sesak. Akhirnya tengisku pecah dan tubuh ini luruh ke lantai. Kubiarkan suara tangisku mengisi kehampaan rumah ini. Kutumpahkan semua beban bersama suara tangis yang mengoyak jiwa.

Aku tergugu entah berapa lama. Mas Ilham masih setia di sisiku. Sungguh aku pun tak rela, rumah tangga yang selama ini aku perjuangkan harus hancur tak bersisa. Bagaimana nasib Delia? Mampukah aku berperan ganda sebagai orang tua? Rasanya begitu pelik. Nyatanya pernikahan tak sesederhana bermain game, jika sudah kalah maka akan berakhir begitu saja dengan mudahnya.

Aku tergugu. Hatiku begitu pilu. Aku tak pernah siap untuk ujian seperti ini. Ini terlalu berat. Sungguh sangat berat. Membiarkan rumah tangga yang selama ini susah payah kubina hancur begitu saja. Melepaskan seseorang yang selama ini sangat aku cinta. Merelakan pernikahan ini usai begitu saja.

Setelah tangisku reda, Mas Ilham membimbingku duduk di sofa. Hatiku begitu kacau. Kupalingkan wajah sambil menggigit ujung jari. Rasanya aku tak ingin melihat wajah lelaki itu lagi. Saat melihatnya rasanya luka itu kembali terbuka.

Dia beranjak pergi. Aku masih mematung dengan pikiran seperti benang kusut. Tak lama langkah kaki itu terdengar mendekat kembali dengan aroma teh melati yang selama ini jadi favorit kami.

"Bunda minum dulu, ya!"

Aku tak menerima cangkir yang dia berikan. Rasanya hatiku sudah beku. Aku tak ingin lagi mempedulikan apapun. Apalagi perasaannya.

Lelaki itu meletakkan cangkir teh di meja. Kemudian bersimpuh di lantai tepat di depanku.

"Bunda bersikap seperti apapun Ayah terima, Nda. Karena Ayah memang Ayah salah."

Tangannya kembali meraih jemariku tapi langsung kutarik seketika.

"Maafin Ayah, Nda. Please!" ucapnya sambil mencium lututku. Sungguh aku sudah tak peduli dengan apapun yang dia lakukan.

"Yang kamu pikir itu sebenarnya apa, Mas? Kamu meminta maaf seperti itu kemudian setelahnya kamu kembali bersama Riana. Kamu pikir aku enggak punya rasa?" bentakku.

"Tadi Ayah meminta Riana untuk pulang ke kampung, Nda. Yang bunda lihat tadi Ayah sedang antar dia beli tiket."

"Emang dia enggak bisa beli tiket sendiri?"

"Bagaimanapun semua salah Ayah, Nda. Dia korban ketamakan Ayah."

"Ya sudah, silahkan kasihani dia dan ceraikan aku!"

"Nda, please. Jangan hancurkan apa yang telah susah payah kita bangun!"

"Bukankah kamu sendiri yang sudah menghancurkan semua?"

"Ayah akan berusaha perbaiki semua, Nda. Please beri Ayah kesempatan!"

"Sepertinya aku enggak bisa."

"Ayah akan menunggu."

Kutinggalkan dia untuk melaksanakan sholat mahrib. Kuadukan semua pada Sang Pemilik hati. Jujur aku memang bimbang harus bagaimana. Haruskah aku kehilangan semua yang telah aku punya? Jujur hidup tak melulu soal harta. Bercerai dengan Mas Ilham tak membuatku miskin harta, tapi hatiku? Puluhan tahun ada cinta Mas Ilham bersemayam disana. Pasti tak akan mudah untuk menghapus rasa yang tersisa. 

Pukul delapan sebenarnya masih terlalu sore untuk tidur. Tapi aku tak ingin berinteraksi dengan lelaki itu di luar. Mata ini masih tak bisa terpejam. Kuambil ponsel dan kubuka aplikasi f******k. Aku bukan pengguna yang aktif berstatus ria, hanya sesekali kubuka untuk membaca status-status teman-teman saja.

Kubuka akun Riana. Dia juga jarang membuat status. Hanya beberapa teman yang menandainya sebagai pengisi profilnya. Aku terpaku pada foto yang dia unggah. Foto kita saat liburan di pantai. Aku terlihat belum siap masih menoleh kesamping, sedang disampingku Mas Ilham tersenyum bahagia tangannya dikalungkan di leher Delia. Kemudian Riana juga terlihat sama, tersenyum manis dengan tangan dia letakkan di pundak kiri Delia. Hatiku nyeri, nyatanya di foto itu aku terlihat bukan siapa-siapa. Seperti merekalah keluarga yang sebenarnya.

Foto-foto lain juga terlihat betapa bahagianya mereka bertiga. Saat itu memang aku lebih memilih berteduh di gazebo menyaksikan mereka asyik bermain. Nyatanya setelah kebusukan mereka terungkap sungguh foto-foto yang bahkan beberapa aku sendiri yang mengambilnya sangat menyakitkan dipandang mata. Siapa aku bagi mereka? Bahkan mereka terlihat seperti keluarga yang sangat bahagia.

Nyeri. Hatiku kembali nyeri. Rasa tak rela melihat mereka nantinya akan hidup bahagia mengacaukan segalanya. Aku sungguh tak rela. Aku tak mau munafik, pasti akan sangat menyakitkan melihat mereka hidup bahagia sedang aku masih berusaha menyembuhkan luka. Merana. Harta benda tak akan membuatku sungguh-sungguh bahagia. Mereka hanya bisa menjadi pelipur lara, tapi bukan sumber bahagia.

Bisakah aku mencoba kembali memulai semua bersama Mas Ilham? Sedang luka ini masih menganga. Benarkah waktu bisa menyembuhkannya? Dan semua kembali seperti semula. Bisakah?

Suara pintu dibuka membuyarkan lamunanku. Pelan lelaki itu mendekat ke ranjang. "Bunda belum tidur?" tanyanya kemudian duduk di bibir ranjang. Bibirku terkunci rapat. Aku begitu enggan meladeni basa basi lelaki ini. Sungguh kini hatiku hanya terisi rasa benci. Benarkah aku tak mencintainya lagi? Tapi mengapa saat melihat foto-foto mereka aku tak rela?

"Nda, maaf, tapi Ayah harus tanyakan ini sama Bunda."

Lelaki itu menoleh ke arah pintu beberapa saat, kemudian menunduk menatap jemarinya yang saling bertaut.

"Khem." 

Entah apa yang akan dia sampaikan. Kelihatannya begitu berat.

"Besok kan ... eemh ... besok kan Riana pulang, apa dari toko enggak akan beri dia ... ." Dia tak melanjutkan ucapannya, tapi aku tahu arah tujuannya.

Aku masih diam. Meskipun aku sudah memiliki jawabannya.

Rasanya semua ini seperti mimpi. Aku pun berharap ini hanya mimpi. Sungguh. Hubungan yang selama ini begitu baik. Aku bahkan menganggap gadis itu seperti adikku sendiri. Setiap saat kulibatkan dia agar dia tak merasa kesepian jauh dari keluarga. Pulang dari toko pun dia pasti ke rumah bersama kami, kemudian menyiapkan makanan untuk makan malam bersama. Benar-benar seperti keluarga. Bahkan kadang dia menginap di rumah ini. Tak menyangka akhirnya akan seperti ini. Mereka lupa diri.

"Maumu bagaimana?" Sengaja kupancing dia.

"Ayah ngikut Bunda aja mau gimana. Ayah sudah melakukan kesalahan besar, Ayah tak berhak mengambil keputusan apapun tanpa persetujuan Bunda."

Bagaimanapun, dulu gadis itu aku yang memintanya untuk ikut kami. Dia yang ragu dengan kehidupan di kota besar aku yakinkan sedemikian rupa. Aku tak tega melihat keluarganya. Mengingat Mak Jum dengan suaminya sungguh aku benar-benar tak tega. 

"Besok pulang sekolah kita antar dia." Entah bagaimana kata-kata itu terucap begitu saja. 

.

Senja kali ini menunjukkan kecantikannya. Semburatnya tak lagi tertutup awan gelap seperti hari-hari sebelumnya. Suasana jalanan pun lebih padat dari biasanya. Hangat menerpa wajah yang tak tertutup kaca helm. Nyatanya hatiku masih beku hingga detik ini. 

Suasana kost Riana masih lengang. Mungkin penghuninya masih berkutat dengan segudang aktifitasnya. Mantap langkah kakiku menuju satu kamar yang sangat aku hafal. Baru sekali mengetuk, pintu itu dengan cepat terbuka. Wajah yang awalnya terlihat antusias saat membuka pintu, tiba-tiba langsung menunduk lesu. Mungkin yang dia harap adalah lelaki itu, bukan aku.

Tatapanku menyapu ruangan yang kini tampak lengang. Barang-barang yang biasa tertata rapi kini telah dikemas pemiliknya. Hanya tinggal kasur busa ukuran singgel yang tergeletak tanpa seprei, di sebelahnya 2 kursi dan meja kecil tanpa taplak yang biasanya menghiasi. Kamar yang sebelumnya sangat girly ini menjadi suram.

"Masuk, Mba!" 

Akhirnya dia mampu bersuara. Tanpa menjawab aku melenggang dan duduk di kursi besi kecil. Menatap jendela kaca yang kini tak bergordin lagi. Sungguh aku tak tertarik sama sekali untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Tak hanya hatiku, ternyata bibirku pun beku oleh kecurangan mereka.

"Hooekmm!"

Terkejut aku mendengar suara Riana kemudian menoleh kearahnya yang kini menutup mulut dan memegang perut lalu berlari ke kamar mandi. Meski pintu tertutup rapat namun jelas sekali terdengar dia muntah-muntah membuat dadaku bergemuruh tak karuan. Berbagai pikiran buruk menari-nari di kepala. Seolah mengolok kekalahan telakku. Mungkinkah Riana hamil? Ya Robbi aku tak sanggup.

Gadis itu keluar sambil menunduk. Kali ini bibirku mampu bersuara, "kamu hamil?" tanyaku dengan nada sadis.

"E ... eng ... enggak, Mba."

"Kenapa sampai muntah-muntah begitu?" ucapku masih dengan nada yang sama.

"Masuk angin, Mba," lirihnya hampir tak terdengar.

Kupandangi perempuan dengan kepala menunduk itu dari ujung kaki sampai kepala. Mungkin grogi, dia memilin ujung jilbabnya.

Suasana kamar terasa lebih tegang setelah Riana muntah tadi. Pikiranku benar-benar tak karuan dibuatnya. Bagaimana kalau sampai Riana hamil? Mungkinkah Mas Ilham masih mau meninggalkannya, sedang selama ini dia sangat menginginkan anak lagi. Terutama anak laki-laki. Entah kenapa tubuhku menjadi begitu lemas seolah tak bertulang.

Suara pintu terdengar diketuk dari luar. Canggung Riana membukakan pintu. Wajah lelaki itu muncul kemudian lembut menatapku. 

"Bunda sudah dari tadi?"

Meskipun sikapnya sedikit canggung, tapi lelaki itu berusaha terlihat biasa padaku.

Suasana kamar begitu hening tanpa ada yang bersuara lagi. Kemudian Mas Ilham mengajak untuk berangkat mengantar Riana ke kampung. 

Sepanjang perjalanan tak satupun dari kami mengeluarkan suara. Hanya Mas Ilham yang sekali menawarkan istirahat untuk makan. Tapi aku enggan menyahut dan Riana pun hanya diam. 

Ya robbi, siapa yang menyangka gadis pendiam ini tega menghancurkan rumah tangga orang? Dia yang kutahu selama ini begitu baik, sering membantuku mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sering mengajak Delia bermain saat mendapat libur dari asrama. Ternyata dibalik kebaikannya itu karena dia mencintai suamiku.

Yang paling membuatku merasa sangat terbohongi, mereka berdua bisa bersikap biasa seolah tak ada hubungan apa-apa. Sehingga saat kami sekeluarga jalan-jalan pun tak masalah aku selalu menyetujui usul Mas Ilham atau Delia untuk mengajaknya. Tapi dengan teganya dia menikamku.

Delapan jam perjalanan terasa begitu lama. Pukul satu dini hari kami sampai di kampung. Kami mengantar Riana sampai halaman kemudian ke rumah orang tuaku. Besok pagi baru aku akan bicara dengan keluarga Riana.

Orang tuaku begitu terkejut dengan kedatangan kami tanpa mengabari terlebih dahulu. Wajah yang masih kusut karena baru bangun tidur itu berbinar dan kaget. Setelah bersalaman dan saling berpelukkan baru Ibu menegur kami, "kok tidak telepon dulu? Kan Ibu sama Bapak bisa siap-siap dulu. Delia enggak ikut?"

"Enggak, Buk. Belum libur."

"Aduh, piye to iki?"

Ibu malah kebingungan sendiri. Ekspresinya mampu membuatku tersenyum lagi setelah beberapa hari terakhir ini bibirku beku.

"Piye opo to, Buk. La wong anake pulang bukane seneng kok malah bingung?" (Gimana apanya, Bu? Anaknya pulang bukannya senang kok malah bingung?)

"La Ibu durung nyiapi opo-opo, Nduk." (Ibu belum menyiapkan apa-apa, Nak.)

"Sudah-sudah, Bu. Kami enggak diajak masuk ta?"

"Oh iya, iya. Masuk-masuk Nak Ilham!" ajak Ibu sambil menggandeng lengan menantunya itu. Disusul aku dan bapak.

Setelah membuatkan teh panas, ibu langsung merapikan kamarku sewaktu gadis. Aku membuntutinya yang sibuk berbenah. Sungguh ingin kumenangis memeluk wanita yang kini sudah cukup tua ini, tapi aku tak mau menambah beban pikirannya. Biarlah orang tuaku tahunya semua baik-baik saja. Aku tak ingin menambahi beban pikiran di masa tua mereka.

"Nduk, ra ono opo-opo, to?" (Nak, enggak ada apa-apa, kan?)

Akhirnya Ibu bertanya juga. Aku yakin perasaan orang tuaku sangat tidak karuan. Anaknya pulang dini hari begini bahkan bisa dibilang masih tengah malam tanpa memberi kabar terlebih dahulu.

"Enggak, Bu. Cuma ngantar Riana."

"La ngopo si Riana iku muleh?" (Kenapa Riana pulang?)

"Hhhmmm Ibu ini, ya pasti banyak alasannya lah, Bu. Pingin ketemu orang tuanya kayak Mayang mungkin. Emang Ibu enggak kangen sama Mayang?" sengaja kualihkan pembicaraan kami agar Ibu tidak tanya-tanya lebih jauh lagi.

"Yo kangen to, Nduk. Iku bapake Riana yo ngono-ngono wae, Nduk. Durung ono perkembangane. Mesakne."

(Ya kangaen, Nak. Itu bapak Riana juga masih seperti itu, Nak. Belum ada perkembangan. Kasian.)

Aku cuma mangut-mangut tak ingin membahas tentang mereka. Takut tak bisa menahan diri dan akhirnya orang tuaku akan tahu masalah kami.

.

Udara begitu segar saat kubuka jendeka dan disapa oleh terpaanya pada wajah. Hijau dedaunan menambah sejuk suasana. Seekor induk ayam tampak mengais-ngais tanah direcoki anak-anaknya yang masih bulat. Si Blaki kucing peliharaan Ibu duduk mengawasi. Lama sekali aku tak menikmati pemandangan seperti ini walau sering berkunjung kesini.

Pintu kayu berderit, Mas Ilham muncul dari baliknya. Tampak dia mengenakan kaos abu-abu polos dengan celana jeans selutut. Rambutnya masih basah digosok-gosok dengan handuk biru kecil.

Mas Ilham memang cukup tampan. Mungkin sebenarnya tak serasi saat bersanding denganku yang biasa saja. Bahkan hampir semua teman-temanku mengatakan aku sangat beruntung bisa menjadi istri lelaki lembut dan tampan seperti Mas Ilham. Tapi itu dulu sebelum dia berhianat.

"Bunda mandi dulu gih, airnya seger banget lo!" ucapnya sambil mencium pucuk kepalaku.

Enggan menjawab aku berlalu ke luar kamar. Perasaanku masih beku padanya. Entah kapan akan bisa mencair lagi. Dan hari ini aku harus menghindarinya agar orang tuaku tak curiga.

.

Rumah dengan dinding kayu mulai lapuk itu tampak begitu sepi. Jika Riana tak berulah tak mungkin tega aku memulangkannya. Setan memang selalu membuat manusia sengsara. Benarkah ini semua salah setan? Bukankah karena manusianya yang tidak bisa bersyukur? 

Mas Ilham mengetuk pintu dan mengucap salam. Tak lama perempuan dengan tubuh kurus mengenakan kebaya biru kusam dan kain jarik sebagai bawahannya tergopoh membuka pintu. Bibirnya tersenyum lebar melihat kedatangan kami. Mata tuanya berbinar terlihat sangat bahagia. Mungkin dia belum mengetahui bahwa kami akan mengembalikan Riana.

"Mba Mayang, Mas Ilham silahkan masuk!" perintahnya tanpa melepas senyum dan binar bahagianya.

Ruangan itu masih sama. Kursi kayu panjang reot berada di sebelah pintu masuk. Meja cukup lebar membuat ruangan semakin sempit. Kemudian ranjang kayu kecil berada di seberangnya. Tampak tubuh kurus tergolek tak berdaya di atasnya.

"Ba Ayang," ucapnya sambil berusaha tersenyum ketika aku menghampiri untuk bersalaman dengannya.

Melihat kondisi keluarga ini hatiku kembali tersentuh. Bagaimana jika Riana tak bekerja lagi? Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Sawah mereka sudah tak punya. Hanya tinggal tanah sepetak tempat tinggal mereka ini harta yang mereka punya. Ya robbi, hatiku gerimis memikirkan nasib mereka.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
pantas aja suami mu yg selingkuh selama 1,5 th krn khikaf, ternyata kau selain g pandai merawat diri juga lemot,tolol,plin plan dan banyak drama. matilah kau njing
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu jangan teroengaruh dgn keadaan Riana dia udah banyak ngambil duit kmu minta k ilham dn ilham selalu ngasi brp pun yg Riana minta .kmu jangan mau bujuk rayu ilham .bisa aja setiap 1 minggu se x pasti dtng k rmh Riana ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Teka-Teki Lamaran

    Gadis dengan wajah putih itu menunduk setelah meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Dia duduk di sebelah ibunya."Lho Riana kok diam saja? Persilahkan Mba Mayang sama Mas Ilham lho!" tegur Mak Jum pada Riana yang hanya diam."Monggo, monggo Mas, Mba! Cuma teh hangat ini. Maaf, kami enggak bisa ngasih suguhan apa-apa," ucap Mak Jum selanjutnya dengan senyum mengembang. Aku hanya diam tak merespon ucapannya. Fokusku lebih ke benda-benda di pojok ruangan rumah ini. Sepertinya sebentar lagi Mak Jum mau merenovasi rumahnya. Ada bertumpuk barang-barang bangunan seperti keramik, semen dan lain-lainnya. Sekilas meskipun ruangan ini terlihat sama namun ada beberapa barang yang berbeda. Sekarang ada televisi di depan tempat tidur ayah Riana dengan ukuran lumayan besar.Begitu pandaikah mereka mengatur keuangan? Atau uang yang selama ini untuk berobat Ayah Riana tak mereka gunakan seperti pesanku?"Iya, Bu terima kasih." Suara Mas Ilham membuyarkan segala perhitungan di kepalaku. Jujur aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-15
  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Aroma Parfum

    Puluhan tahun bersama nyatanya kini lelaki di sampingku ini terasa asing. Seolah aku tak lagi mengenalnya. Kepercayaan yang dulu kuberikan sepenuhnya menjadi bumerang yang menyerang pernikahan kami.Aku masih tak percaya dengan jawaban Mas Ilham. Aku masih memikirkan tentang lamaran itu. Dan itu sangat mengganggu. Kepercayaan pada lelaki di sampingku ini menguap entah kemana. Yang ada hanya curiga sehingga membuat hati semakin tidak tenang.Tiba di rumah entah mengapa aku merasa enggan. Merasa tidak nyaman. Dulu rumah ini selalu menjadi tempat ternyaman setelah seharian berkutat dengan segudang aktifitas. Kini melihat sesuatu yang ada di rumah ini menjadi menjijikan. Seperti ada noda bekas perbuatan terkutuk mereka menempel di mana-mana, di setiap benda. Menyisakan rasa jijik yang luar biasa."Aku ingin mengganti semua barang yang ada di rumah ini," ucapku tegas pada Mas Ilham.Lelaki yang sedang berjalan di depanku langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Sungguh dita

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-17
  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Doa Delia

    "Delia tadi sama Ayah habis jalan-jalan kemana?" korekku. Sungguh aroma parfum ini sangat menggangguku.Delia tak langsung menjawab. Dia menatapku sejenak kemudian menunduk. "Cuma keliling kota aja kok, Nda.""Oh, enggak minta sesuatu nih sama Ayah?" Aku menengok sekilas ke arah Delia kemudian fokus lagi ke jalanan. Aku benar-benar merasa ada yang lain pada Delia. Anak itu menatap keluar jendela tak seperti biasa."Kan sudah belanja sama Bunda.""Oh iya, nanti mau makan malam sama apa, Sayang?""Apapun, Nda. Yang penting masakan Bunda. Delia kangen masakan Bunda.""Oh ya?" Aku terkejut dengan jawaban Delia. Padahal dulu dia sering komentar kalau masakanku tidak enak. Kemanisan lah, kurang gurih lah. Kemudian dibandingkan dengan cewek tak tahu diri itu. Itu sebabnya selama ini aku jarang sekali memasak. Aku lebih suka beli. Apa mungkin sekarang Delia sudah lebih dewasa sehingga tahu bagaimana menjaga perasaan Bundanya? "Katanya masakan Bunda enggak enak?" candaku."Tapi kan Bundaku, j

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-17
  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Mencoba Meredam Rasa

    Sore ini hujan mengguyur kota dengan derasnya. Sesekali kilat menyambar diikuti petir yang menggelegar. Aku sedikit khawatir Mas Ilham masih belum pulang dari toko. Apalagi tadi mobil aku yang bawa dan dia aku minta pakai motor.Kusibukkan diri dengan membuat teh panas untuk menemani mengoreksi hasil ulangan harian anak-anak. Beberapa lembar telah berpindah dari tumpukan di sebelah kiri yang belum dikoreksi ke sebelah kanan yang sudah dikoreksi.Kuhirup aroma teh melati kesukaan untuk merilekskan pikiran. Melihat jawaban anak-anak didikku kadang membuat dahi mengernyit heran. Berkali-kali kujelaskan detail dengan cara panjang ataupun cara sederhana tapi beberapa masih saja asal menjawab soal.Kehidupan sehari-hari pun sebenarnya juga demikian. Seperti anak-anak di bangku sekolah yang diberi materi pelajaran. Ada yang membuatnya menjadi semakin tahu dan menerapkan dalam kehidupannya. Ada yang masa bodoh. Ada juga yang tak mau tahu dan kehidupannya semakin terpuruk.Kupikir seperti itul

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Jeng Titin

    Senyum terkembang di bibir Mas Ilham saat aku membuka mata. Tampaknya sejak tadi lelaki itu sedang mengamati wajahku."Selamat pagi, Sayang," ucapnya diikuti kecupan di puncak kepala.Aku hanya tersenyum dengan tingkahnya. Dalam hati aku memohon, semoga kebahagiaan ini abadi. Tak ada lagi drama orang ketiga dalam kehidupan kami."Makasih ya, Nda, buat semuanya." Kini lengannya menjadi bantal yang kembali nyaman untukku. Sebelah tangannya mengelus jemariku."Terima kasih juga, sudah mau sabar menunggu Bunda.""Apapun akan Ayah lakukan, Sayang.""Ya sudah, Bunda mau mandi dulu. Bentar lagi subuh.""Mandi bareng ya, Nda?" bisiknya nakal."Ish!"Pagi ini bunga-bunga di taman belakang rumah tampak basah. Hujan semalam membuat mereka tampak segar. Sebentar lagi saat mentari mulai menghangat kelopak-kelopak itu akan bermekaran menunjukkan kecantikannya. Sengaja kubuka lebar-lebar dua daun pintu yang menghubungkan dapur dengan taman belakang agar udara segarnya bisa menemaniku memasak."Biki

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Firasat

    "Nda, Ayah pamit ke rumah Ibu dulu ya? Tadi Ibu telpon katanya Sintya butuh uang buat bayar praktek."Aku masih fokus pada layar laptop di depanku. "Iya, salam buat Ibu ya?"Sintya adik Mas Ilham, saat ini sedang kuliah kebidanan. Sedikit banyak kami memang membantu biaya kuliahnya. Selain karena Ayah Mas Ilham sudah berpulang, kondisi ekonomi mereka pun pas-pasan. Itu sebabnya Mas Ilham hanya lulusan SMP. Dulu Mas Ilham bekerja di percetakan milik teman Ayahnya. Di situ kami sering bertemu saat aku masih kuliah."Ya sudah, Ayah berangkat dulu. Nanti kalau Bunda sudah ngantuk tidur duluan aja ya? Ayah bawa kunci rumah kok.""Heem.""Ini ATMnya Ayah bawa ya, Nda.""Ya, hati-hati!"Terdengan suara pintu kamar tertutup. Aku kembali fokus mengerjakan analisis evaluasi. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Belum lama ini aku dimutasi ke SMP lain. Jaraknya lumayan jauh dari rumah. Hampir satu jam perjalanan. Semakin sedikit waktuku di rumah. Semakin lelah juga badan ini tiap hari harus b

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Berdusta Lagi

    Steak di piring kini bersih tak bersisa. Cita rasa steak di kedai Jeng Hani teman zumbaku benar-benar mantap. Bumbunya khas, pas dan meresap. Dagingnya juga empuk. Mantap pokoknya. Benar-benar memanjakan lidah.Pantas saja saat jam makan siang seperti sekarang ini semua tempat penuh dengan pengunjung. Meskipun begitu suasana di dalam kedai ini tidak panas sama sekali. Karena beberapa jendela kayu lebar tanpa daun berjejer menyuguhkan pemandangan sungai dan hijau pepohonan. Pas sekali dengan dekorasi yang mengusung tema alam. Pengunjung akan merasa nyaman bersantai setelah perut terisi di kedai ini.Tawa canda teman-teman arisanku pun semakin menjadi setelah menikmati steak. Apa saja hal yang dibahas akan terdengar lucu dan menarik. Apalagi dengan kepiawaian Jeng Sony ketika menirukan ekspresi wajah seseorang. Pecahlah tawa teman-teman semua.Aku yang notabennya tak pandai bergaul dan tak banyak bicara, cukup mengikuti alur cerita mereka. Ikut tertawa dan sesekali menimpali.Sepuluh i

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Manusia Rakus

    Tajam mata ini menatap manik hitam perempuan sundal itu. Lekat. Sembari tangan ini membuka pintu mobil, mata ini masih lurus menghunus tajam. Langkah lebar ini membuat jarak kami terkikis. Kini wanita durjana itu, gundik itu, tepat di depanku. Ya dialah Riana.Istighfar terus kugaungkan dalam dada agar diri ini terhindar dari perbuatan anarkis. Mempermalukan diri sendiri. Jika kuturuti kata hati, sungguh aku ingin menjambak rambutnya, mencakar-cakar wajahnya, bahkan mencekiknya sampai tak bisa bernafas lagi. Tapi sekali lagi aku harus bisa mengendalikan diri.Kusipitkan sebelah mata menatapnya sengit. Mata gundik itu terlihat mengembun. Sesekali beralih menatap bocah laki-laki yang menggenggam jemarinya. Persis tikus di hadapan kucing. Tak bernyali."Luar biasa sekali kamu, Riana." Kupindai gundik itu dari ujung kaki hingga kepala dengan senyum merendahkan."Apa kamu benar-benar tak punya hati?"Gundik itu hanya mematung menatap jemari yang bertaut dengan bocah di sampingnya. Bocah it

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21

Bab terbaru

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Ending

    Ada rasa nyeri di dalam sini. Mataku kini bahkan sudah dipenuhi kaca-kaca mendengar bentakan Mas Yudis. Semudah itukah dia membenciku? Percaya pada Tantenya yang bicaranya pun tidak seratus persen benar.Ingin kusegera pergi dari ruangan itu kalau tidak mengingat seringai kemenangan Tante Desi. Tidak. Akan kutunjukkan pada Tante Desi. Tak semudah itu dia mengusirku dari kehidupan Mas Yudis."Mas Yudis!" seru Adista. Sejak tadi adik Mas Yudis ini memegangi lenganku."Kalau Mas ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi sejak awal sampai detik ini, tanya sama aku. Aku yang paling tahu semuanya, Mas.""Maksud kamu?" tanya Mas Yudis. Aku paham, dia pasti tak mengerti.Melihat kebingungan di wajah Mas Yudis kini aku mengerti. Kenapa dia bisa langsung emosi seperti tadi. Bagaimana tidak, dia yang tak tahu apa-apa. Bahkan sejak sadar dari koma dia buta. Tiba-tiba mendengar berita seperti yang Tante Desi katakan. Apalagi selama ini Tante Desi ibaratnya pengganti ibu baginya.Perlahan panas yang t

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Provokasi Tante Desi

    "Sintya, maaf, mas memilih jalan ini. Mas sudah bingung tak tahu lagi harus bagaimana. Mendengarmu berkali-kali didatangi orang BANK. Bahkan mereka mengancam mau menyita rumah ibu. Mas cuma bisa bingung sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa. Mas tak ingin rumah ibu sampai disita BANK.Mas kira sebelumnya, suami Mayang yang katanya kaya itu nyuruh mas datang ke rumahnya, mau bantuin bayar hutang. Ternyata cuma omong kosong doang. Sok-sokan ngajari masmu ini buat nego ke BANK. Dia pikir pihak BANK mau tahu dengan kesusahan mas? Omong kosong doang bisanya. Belagu!Makanya mas akhirnya menerima perintah Daniel. Dia bilang mau lunasin hutang-hutang mas kalau mas berhasil melenyapkan Yudis yang belagu itu.Sialnya dia enggak mati. Malah tambah nyusahin pakai acara buta segala.Sintya, kalau mas meninggal, otomatis hutang di BANK lunas ditanggung pihak asuransi. Kamu tinggal urus surat kematian mas aja. Terus diajuin ke BANKnya. Sekarang kalian bisa hidup tenang. Tanpa dikejar-kejar penagi

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Remasan Kertas

    Telingaku masih berdenging terngiang ucapan Delia. Sehingga saat Bi Sumi mengangsurkan secangkir teh yang asapnya masih mengepul ke hadapanku beberapa saat hanya kuabaikan. Kabar yang baru saja aku dengar benar-benar seperti mencabut paksa nyawaku."Mas Ilham bunuh diri?" gumamku bertanya pada diri sendiri.Kurasakan punggungku diusap-usap. Aku menoleh. Hilda yang melakukannya."Kamu tenang, May! Mungkin sudah garis takdirnya seperti itu," ucapnya berusaha menenangkanku. Mangangsurkan secangkir teh yang tadi dipegang Bi Sumi. Kusesap sedikit. Tetapi tetap saja, hati ini rasanya tak ikhlas mendengar akhir hayat dari orang yang belasan tahun pernah membersamaiku setragis ini. Bahkan orang itu adalah ayah dari anakku.Bagaimanapun sungguh, meskipun ia telah sedemikian parah melukaiku, aku ingin saat kita telah berpisah seperti ini, entah aku ataupun dia bisa hidup bahagia ke depannya. Bersama-sama berperan serta dalam tumbuh kembang Delia putri kami. Tetapi ini ....? Oh, Tuhan, apa yan

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Tak Akan Tenang di Sana

    "Bunda!" Suara Delia terdengar serak dan lirih saat aku mengangkat teleponnya."Iya, Sayang. Ada apa? Apa yang terjadi?" cecarku karena begitu khawatir mendengarnya menangis.Delia tak menjawab. Hanya terdengar suara sedu sedannya saja."Del?" panggilku seraya beranjak dari kursi tunggu. Perasaanku jadi tak tenang. Apa yang terjadi pada putriku di rumah?Hilda yang duduk di sampingku menyentuh lenganku dengan tatapan penuh tanya. Aku hanya menggeleng sambil menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanyaku lagi. Kakiku melangkah menjauh dari Hilda dan yang lainnya."Nda, Delia sudah jahat," ucapnya sambil menangis tersedu."Jahat kenapa, Sayang?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Tak mengerti arah pembicaraan Delia.Lagi-lagi tak ada jawaban. Hanya sedu sedan Delia yang terdengar di ujung telepon. Tuhan, apa yang terjadi pada anakku?Hatiku berdebar tak karuan. Gelisah. Memikirkan berbagai hal buruk yang mungkin terjadi pada Delia. Ingin rasanya segera berlari ke rumah. Tetapi bagaima

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Bertubi Kabar Baik

    "Mana janda itu? Mana?"Terdengar teriakan seseorang di lantai bawah. Bergegas kuserahkan Farel pada Mba Kiki. Kemudian dengan langkah lebar menuju asal suara itu.Dari tangga kulihat Tante Desi berdiri berkacak pinggang. Mulutnya memaki dengan suara yang memekakan telinga."Di situ kamu rupanya. Turun!" teriaknya kepadaku saat aku menuruni tangga.Mau apalagi wanita itu memaki-maki di rumah ini?Dengan hati membara kupercepat langkah mendekati wanita paruh baya itu."Ada perlu apa Tante ke sini?" tanyaku tak kalah sengit. Aku tak suka orang lain seenaknya saja menghinaku. Padahal tak ada kesalahanku padanya."Kurang ajar memang kamu, ya! Gimana bisa Yudis ketemu wanita pembawa sial sepertimu!" makinya sambil telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arahku.Aku berdecih sambil membuang muka mendengar makiannya. Jika ada Mas Yudis di sini, masihkah wanita ini menghinaku begini?Kutarik nafas dalam-dalam kemudian kembali menatap wanita itu. "Tante, maaf, saya cape baru saja sampai rumah. Katakan

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Menyeaallah Sampai Mati

    "Kenapa Bunda enggak jujur sama aku?" Delia menatapku dengan kaca-kaca di mata saat aku baru saja memasuki kamar.Aku tertegun memandangnya. Mungkinkah Delia tahu tentang Mas Ilham?"Kenapa, Nda?" Kaca-kaca bening itu kini luruh mengaliri pipinya."Sayang!" Hanya itu yang terucap dari bibirku. Tak tahu harus berkata apa."Kenapa Bunda enggak bilang sama Delia?" Tubuh putriku bergetar oleh tangis.Kurengkuh dia dalam pelukan. Kuusap lembut rambut yang memanjang sampai punggungnya."Kenapa, Nda? Kenapa Delia harus punya Ayah jahat seperti dia? Kenapa, Nda?" Delia tergugu dalam pelukanku."Delia enggak mau punya Ayah seperti dia, Nda! Delia enggak mau!"Hatiku pedih. Mas Ilham tak henti-hentinya membuat anaknya terluka. Kenapa putriku harus terluka berkali-kali seperti ini, Tuhan? Dia tak salah apa-apa."Nda, tolong buat Delia bukan lagi anak dari penjahat seperti dia, Nda!"Hatiku sakit melihat anakku terluka begini. Ibu mana yang tak terluka melihat nasib anaknya begini menderita."Ma

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Bisa Gila

    "Aku buta, Dek. Apa kamu enggak malu punya suami sepertiku?" tanya Mas Yudis serak.Aku menggeleng tegas seolah Mas Yudis melihatku. "Enggak, Mas. Mas jangan berpikir seperti itu!""Tapi bagaimana aku bisa menjaga kalian? Sedang menjaga diriku saja sekarang aku enggak bisa." Suara Mas Yudis terdengar bergetar.Kuhela nafas panjang. Mengeratkan genggaman tangan Mas Yudis. "Kita akan saling menjaga, Mas. Aku akan jadi matamu. Kita pasti mampu melalui ini.""Maafkan aku, Dek. Aku pasti akan banyak sekali merepotkanmu." Air mata Mas Yudis semakin deras."Enggak, Mas. Itu memang kewajibanku sebagai istri. Mas enggak usah banyak pikiran, ya! Sekarang yang terpenting Mas sehat dulu." Kupaksa bibir ini mengulas senyum padahal Mas Yudis tak melihatnya.Mas Yudis mengangguk. Kemudian kami saling diam. Aku benar-benar marah pada Mas Ilham, Daniel dan Nirmala. Sungguh mereka bukan manusia. Tega mereka mencelakakan orang lain. Aku bertekad besok akan menemui mereka."Dek!" panggil Mas Yudis memec

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Kalian Harus Membayarnya

    Lututku lemas menyaksikan layar monitor dengan garis naik turun tak beraturan. Tanganku memegang erat besi brankar Mas Yudis. Menahan tubuh agar tidak ambruk."Selamatkan suamiku, Ya Allah! Jangan dulu Kau ambil dia!" lirihku diiringi derai air mata.Waktu berlalu begitu lambat. Jantungku seperti dicengkeram kuat oleh ketakutan yang teramat sangat."Bangun, Mas!" lirihku.Dokter dan perawat masih sibuk melakukan berbagai tindakan pada suamiku. Seunur hidup ini pertama kali aku begitu merasa takut kehilangan.Apa Mas Yudis dikirim Tuhan dalam hidupku untuk mengobati luka di hatiku? Kemudian setelah sembuh Dia mengambil Mas Yudis kembali?Jangan, Tuhan! Aku tak siap kehilangannya. Baru sekejap kebahagiaan ini aku rasa. Jangan ambil dia dulu!Entah berapa menit waktu berlalu. Berangsur garis-garis di layar monitor kembali stabil. Dokter terlihat menghela nafas lega.Hari terus berlalu. Mas Yudis masih belum menunjukkan perkembangan kondisinya. Setiap hari rutinitasku masih sama. Masih te

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Selamatkan Suamiku

    Wajahnya langsung menunduk saat mata kami bertemu. Entah malu atau merasa bersalah. Tubuhku segera bangkit mendekati pria dengan bekas luka bakar di wajahnya."Mas Ilham?" tanyaku dengan perasaan marah membuncah.Mataku tajam menguliti pria dengan kedua tangan disatukan dengan borgol itu. Ingin kubunuh pria di depanku ini rasanya. Apa masalahnya sampai tega mencelakai Mas Yudis?Hilda memegangi lenganku yang menegang. Sahabatku pasti takut aku kalap. Sedang kita berada di kantor polisi."Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega mencelakakan suamiku?" seruku.Mas Ilham hanya tertunduk diam."Jawab, Baj*ngan!" bentakku. "Belum puas dengan semua yang sudah kamu lakukan padaku dan Delia?"Kodorong kasar pundak Mas Ilham. Membuat tubuhnya itu terhuyung. Wajah penuh dengan bekas luka bakar itu masih terus menunduk."Jawab, Mas!" bentakku lagi."M ... maaf, Dek. Aku terpaksa. Aku ... aku butuh uang," akunya."Begini caramu mencari uang sekarang?" tanyaku geram. "Kurang baik apa selama ini Mas Yudis sam

DMCA.com Protection Status