PERNIKAHAN
- Kecewa Vanya memberengut. Mak Sri yang melihat dari dapur tergesa menghampiri dan membantu Puspa memunguti nasi. Vanya memang tidak menyukai Puspa. Semenjak mereka dipertemukan pertama kali dan dikenalkan sebagai calon istri papanya., Vanya sudah menunjukkan kebenciannya. Berbeda dengan Sonny. Sekarang sang adik yang duduk di kelas empat SD sudah mulai dekat dengan ibu tirinya. "Bunda, untuk acara Parents Day besok. Bunda, saja yang datang ke sekolah, ya. Teman-teman Sonny juga mamanya yang datang. Biasanya kan Mbak Tika yang dampingi Sonny. Sekarang Bunda saja, ya." Sambil makan bocah lelaki itu memandang Puspa. Puspa tidak langsung menjawab. Dia memandang Bram yang tengah makan. Namun suaminya diam saja. "Biar Mbak Tika saja, Dek. Dia sudah biasa dampingi kamu," jawab Vanya. Tika ini salah satu staf di gudang. Sudah bekerja lama dengan papa mereka. "Kan kita sudah punya Bunda, Kak. Sonny juga ingin didampingi seorang ibu. Mau kan, Bun?" Tatapan Sonny pada Puspa penuh harapan. Rasanya Puspa tidak tega bilang tidak. Tapi kenapa suaminya diam saja. Puspa tidak berani membuat keputusan setelah kejadian tadi malam. "Nggak apa-apa kalau Bunda nggak mau. Biar Mbak Tika saja." Sonny menunduk dengan wajah kecewa. "Iya, saya akan mendampingimu untuk acara besok," jawab Puspa dengan suara pelan. Tidak sampai hati melihat Sonny sedih. Sebulan ini ia sudah terbiasa membahasakan dirinya dengan sebutan 'bunda', tapi pagi ini Puspa menyebut dirinya dengan kata 'saya'. "Dih, kepedean!" Vanya berkata lirih seraya melirik tajam pada Puspa. "Vanya, jaga bicaramu." Bram kembali menegur putrinya. Gadis remaja itu langsung diam. Dia sebenarnya takut dengan sang papa, tapi tidak bisa menahan diri juga setiap kali berhadapan dengan Puspa. Vanya sangat membencinya. Selesai makan, Vanya yang sudah duduk di kelas 8 segera bangkit dan berpamitan. Meski enggan, dia terpaksa menyalami ibu tirinya. "Ayo, Dek. Mbak tunggu di depan." Sonny menyudahi sarapan. Kemudian pamitan, mencium tangan papanya dan Puspa dengan takzim. Mereka berangkat ke sekolah di antar oleh salah seorang karyawan gudang. Bram adalah pemilik penggilingan padi terbesar di pinggiran kota kecil mereka. Memproses dan mengemas beras dan kedelai premium kualitas ekspor. Karyawannya puluhan orang yang mengurusi tiga gudang. Lelaki yang menyelesaikan pendidikan S2-nya di luar negeri itu adalah anak tunggal keluarga terpandang. Jadi semua bisnis diwariskan padanya. Istri Wira Bramasta telah meninggal empat tahun yang lalu karena sakit. Sementara Puspa adalah putri kedua dari kepala desa di daerah mereka. Baru wisuda S1 sebulan sebelum menikah. "Segera bersiap, kita ke rumah orang tuamu pagi ini." Bram bicara tanpa memandang sang istri. Pria itu bangkit dan meninggalkan Puspa di meja makan sendirian. Tenggorokan Puspa terasa tersekat. Buru-buru meraih gelas dan minum beberapa teguk. Pada akhirnya apa yang ditakutkan terjadi. Bram marah setelah mereka melewati malam pernikahan yang telah tertunda sebulan ini. Perempuan itu menyusul sang suami yang sibuk memeriksa pembukuan di ruang kerjanya. "Kalau kamu sudah siap. Kita pergi sekarang." Bram menutup buku kemudian melangkah ke luar ruangan. Namun Puspa menahan lengannya. "Maaf, Mas. Kasih aku waktu untuk bicara sebentar." Bram kembali duduk di kursinya. Pria pendiam itu terlihat semakin dingin. Puspa duduk di kursi depan sang suami dan mereka hanya dipisahkan oleh meja kerja. Beberapa kali Puspa menelan saliva. Dadanya terasa sesak dan netranya berembun. "Maafkan saya. Mungkin saya memang bukan perempuan baik-baik. Saya juga nggak memiliki keberanian untuk jujur sebelum kita menikah. Tapi saya mohon, jangan beritahu tentang hal ini pada orang tua saya. Bisakah kita mencari alasan yang lain jika Mas Bram ingin menceraikan saya." "Setelah kamu membohongiku, sekarang kamu mau mengaturku, Puspa! Kamu tahu, aku paling tidak suka didustai. Tiada maaf untuk orang yang berani mengkhianatiku. "Kenapa kamu jadi perempuan begitu murahan? Menjaga kehormatan sendiri saja tidak bisa. Bagaimana kamu akan menjaga harga diri suami dan keluargamu?" Kalimat itu menusuk tepat di ulu hatinya. Namun Puspa yang biasa melawan siapapun yang merendahkannya, kini diam tak berkutik. Air matanya mengalir ke pipi. "Aku ingin bertemu ayahmu. Orang yang sangat bangga dan mengagungkan kesucian putrinya. Kita berangkat sekarang!" Bram bangkit dari duduknya. Namun pada saat yang bersamaan, pintu ruangannya di ketuk dari luar. Puspa buru-buru menghapus air mata supaya orang lain tidak melihatnya menangis. Next .... Selamat membaca 🥰PERNIKAHAN - Keguguran "Kamu tunggu di sini dan jangan sentuh apapun," ucap Bram kemudian meninggalkan Puspa di ruang kerja. Menemui staf yang membutuhkan tanda tangannya.Meski tertunda, Puspa tidak bisa bernapas lega. Justru debaran di dadanya semakin hebat. Apa yang akan terjadi setelah ini. Jika sampai Bram memberitahu ayah dan ibunya lantas sang suami menceraikannya, keluarga akan menjadi bahan pergunjingan di masyarakat. Apalagi ayahnya sangat dihormati oleh warga desa. Menjabat kepala desa dua periode, karena Pak Fathir sangat baik dan amanah.Puspa akan mencoreng nama baik keluarganya yang terjaga dengan baik selama ini, karena pernikahannya yang hanya seumur jagung. Takut sekali Puspa menghadapinya.Air mata kembali menetes. Mengingat peristiwa kelam yang mati-matian ingin dikuburnya. Semakin ingin dilupakan, semakin segar dalam ingatan.Berulang kali ia menarik nafas dalam-dalam. Pandangannya terpaku pada meja sudut ruangan. Ada foto seorang perempuan yang terjaga rapi. Ca
Puspa pucat dan berkeringat. Padahal suhu dalam ruangan cukup dingin. Bahkan ia hanya sanggup menunduk dan tidak berani memandang sang suami dan kedua orang tuanya yang tengah berbincang. Sore itu Pak Fathir dan istrinya menyambangi Bu Dewi setelah dikabari oleh Puspa siang tadi.Ia khawatir kalau Bram akan mengungkapkan amarahnya. Walaupun jelas itu tidak mungkin dilakukan dihadapan mamanya yang tengah sakit. Nyatanya sampai kedua orang tuanya pamitan, Bram tidak membahasnya. Puspa lega, meski semua ini hanya sementara sampai mama mertuanya kembali pulih. ***L***"Mas, ini baju ganti untukmu." Puspa menggeser ransel berisi pakaian suaminya.Bram yang tengah fokus di layar laptop, hanya melirik sekilas. Puspa menghampiri ibu mertuanya yang tengah mendengarkan cerita Sony. Tadi dari sekolah, Puspa langsung mengajak anak tirinya ke rumah sakit."Seneng ya didampingi Bunda?" Bu Dewi mengusap pipi sang cucu."Seneng dong, Uti. Semua teman-teman Sony didampingi ibunya. Selama ini Sony ka
PERNIKAHAN - Puspa Keguguran? Puspa tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Dua hari yang lalu dia kebingungan saat tahu positif hamil. Bagaimana cara memberitahu suaminya? Sedangkan Bram sangat dingin dan mendiamkannya. Kalau diberitahu apakah Bram percaya kalau itu anaknya? Harusnya Bram percaya. Sebab di hari pernikahan mereka Puspa sedang haid dan suaminya tahu hal itu. Kemudian Bram ke Semarang selama lima hari. Setelah pulang Sony sakit typus dan mesti opname. Setelah suasana stabil, suatu malam menjadi milik mereka. Dirinya memang salah. Tapi Puspa hanya berusaha menutup aibnya sendiri. Luka yang pernah membuatnya putus asa dan putus harapan. Berharap mendapatkan sandaran, tapi suami yang berpengalaman tahu dan tidak bisa terima. "Kenapa tadi kamu nggak cerita kalau lagi hamil?" tanya Pipit yang membantunya minum air putih. Puspa tidak harus di kuret karena janinnya yang baru berumur sekitar empat minggu sudah luruh semua. Dia hanya perlu minum obat dan istirahat. "Ma
Ponsel Pipit berdering dan gadis itu keluar dari kamar perawatan. Air mata Puspa kembali tumpah. Sesalnya begitu dalam. Seharusnya dia jujur saja sejak awal. Kehilangan Bram sebelum pernikahan terjadi, tentu lebih baik daripada menjalani keadaan seperti ini. Dirinya serasa sangat tidak berharga di hadapan lelaki rupawan itu. Tentu Bram menyesal. Kenapa setelah kehilangan bidadari, sekarang mendapatkan perempuan sehina dirinya. Malam sebelum keberangkatan Bram ke Surabaya, ia mendapati lelaki itu termenung di ruang kerja. Menghadap foto keluarganya yang masih tergantung di dinding. Foto-foto mantan istrinya masih terpasang rapi di kamar anak-anak dan ruang kerjanya. Kalau di dinding ruang keluarga sudah diturunkan semua. Dirinya bukan pengganti wanita itu. Karena selamanya Sandra tidak akan pernah tergantikan. Istilahnya sekarang, Bram hanya melanjutkan hidup dengan menikahinya. Semua sudah habis untuk orang lama. Kalimat yang pernah seliweran dan ia baca di beranda akun media so
PERNIKAHAN- Serba Salah Suaminya pulang malah membuat Puspa bingung harus bagaimana. Menyambutnya atau pura-pura tidak tahu. Serba salah sampai tubuh Puspa gemetar.Suara langkah kaki Bram melewati teras. Sedangkan Puspa masih mematung dengan wajah pias. Ketika hendak melangkah untuk menyambut Bram ke ruang tamu, kakinya terhenti saat mendengar suara Vanya dan Sony lebih dulu menyambut papa mereka."Kukira Papa pulang sore." Suara Vanya terdengar. Gadis itu baru pulang sekolah beberapa menit yang lalu."Kerjaan papa sudah selesai, makanya buru-buru pulang.""Besok Sony ada pertandingan sepakbola antar sekolahan di stadion, Pa. Papa, bisa nganterin nggak? Bunda sakit soalnya."Dada Puspa berdesir mendengar Sony memberitahu papanya. Jantung berdentum hebat menunggu apa reaksi sang suami."Sakit apa?" Pertanyaan datar Bram."Masuk angin katanya.""Oke. Papa mau mandi dulu. Nanti malam sambil makan, kita ngobrol lagi."Puspa mundur ke belakang supaya tidak terlihat oleh Bram yang melang
Bram menanyakan kondisi sang mama. Wanita itu mengeluhkan beberapa hal. Membuat Bram khawatir. Semakin hari, kesehatan sang mama kian menurun. Tapi wanita itu tetap keukeh tidak mau diajak tinggal di rumahnya. Bertahan di rumah joglo mereka yang berarsitektur klasik. Rumah yang menerapkan nilai-nilai filosofi Jawa pada setiap bagian rumah. Sangat kontras dengan rumah yang dibangun oleh Bram. Rumah bergaya modern dengan sedikit sentuhan scandinavian. Almarhumah sang istri yang menentukan konsep rumahnya.Menjelang salat magrib, Bram dan Puspa kembali ke rumah. Mereka melangkah tanpa percakapan apa-apa.Makan malam di dominasi cerita anak-anak tentang kegiatan mereka selama papanya tidak di rumah. Puspa hanya mendengarkan sambil memaksa diri untuk menelan makanan. Sesaknya dada, membuat tidak berselera untuk makan. Seharian tadi lebih banyak minum air putih dan melewatkan makan siang.Setelah selesai makan malam, Bram menghampiri Puspa yang baru selesai mengemas meja. "Kutunggu di luar.
PERNIKAHAN- Tidak Percaya Diri "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Bram yang mendapati Puspa duduk sambil menulis sesuatu di buku. Namun setelah menyadari kehadirannya, Puspa buru-buru menutup bukunya. Tentu Puspa sangat terkejut. Apalagi dia hanya menyalakan lampu belajar yang menyinari meja saja. Kehadiran Bram yang berdiri menjulang di belakangnya membuat kaget."Nggak apa-apa," jawab Puspa gugup."Sudah malam. Tidurlah. Kamu sedang sakit, kan? Jangan tidur di luar. Aku tidak ingin anak-anak terganggu dengan permasalahan antara aku dan kamu." Bram kembali melangkah ke kamarnya setelah selesai bicara.Untuk beberapa saat, Puspa diam menatap dinding yang gelap di depannya. Lantas berdiri dan masuk kamar yang sama. Berbaring miring seperti biasa.Bram memikirkan perasaan anak-anaknya, bukan perasaannya. Wajar bukan, dirinya hanya orang baru yang saat ini dianggap sebagai penipu.***L***"Kita tahu kan Pak Bos gimana orangnya. Dia paling nggak suka dicurangi seperti semalam. Bisa-
Puspa meletakkan piring di depan suaminya. Dia juga duduk untuk sarapan. Kalau tidak ingat harus minum obat, rasanya malas untuk makan."Mas, aku minta waktu untuk bicara. Nggak harus sekarang, selonggarnya mas saja." Puspa bicara pelan dan hati-hati. Sekarang atau nanti, ia harus memberikan penjelasan. Entah diterima atau tidak. Namun Puspa sangat pesimis melihat sikap Bram yang dingin. Bram hanya mengangguk tanpa bersuara apapun. Makan belum selesai, seorang karyawan kantor muncul dari pintu dapur dengan wajah tegang. Tampaknya ada yang urgent.Pria kepercayaan Bram masuk setelah dipanggil. Ternyata truk yang mengirimkan barang ke pelabuhan mengalami kerusakan di jalan tol. Bram langsung meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan nasinya.Puspa menghela nafas panjang. Nasi serasa enggan untuk ditelan. Apakah Bram akan mendengarkannya nanti? Apa dia akan ditinggalkan atau dirinya yang harus pergi dengan kerelaan hati. Masih terbayang kemegahan pernikahan mereka dua bulan yang lalu.