PERNIKAHAN
- Kecewa "Kenapa kamu diam? Jawab siapa laki-laki itu?" Suara Bram begitu dingin. Namun tatapannya tajam, bak mata elang yang sedang mengintai mangsa. Bram yang tidak banyak bicara terlihat sangat marah karena sang istri tidak mau jujur. Puspa membeku menatap keluar jendela kamar yang terbuka. Angin malam berembus masuk. Jemarinya yang bertaut di atas pangkuan terasa dingin dan gemetar. Apa ia harus menceritakan kelamnya peristiwa itu? Dia pikir, Bram tidak akan mempermasalahkannya. Kemarin malam usai momen sakral itu hingga sore tadi sang suami diam saja. Puspa tenang. Dipikirnya Bram bisa menerima apa adanya. Tapi malam ini, sang suami mengajaknya bicara di kamar. "Kenapa kamu tidak mau mengatakan sejak awal? Kamu sengaja ingin menjebakku?" Hening. "Kamu memang mau menipuku." Bram bangkit dari duduknya. Berdiri tegak di hadapan Puspa dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapan penuh kemarahan tak beralih dari wanita cantik yang memucat itu. "Aku memang duda. Usiaku tak muda lagi. Namun pantang bagiku untuk ditipu. Kamu tahu apa konsekuensinya bagi orang yang sengaja mempermainkanku, Puspa?" Puspa masih bungkam. Jemarinya yang gemetar dengan cepat menghapus air mata yang merambat ke pipi. "Katakan siapa lelaki yang melakukan itu padamu? Kekasihmu? Teman kuliahmu? Atau kamu memang sengaja menjualnya pada orang yang sanggup membayar mahal. Bukankah itu biasa dilakukan oleh gadis yang ingin mendapatkan uang banyak secara instan?" Kilatan mata lelaki itu menunjukkan habisnya kesabaran. Dia sudah menuntut penjelasan pada istrinya sejak tadi. Namun ucapan itu begitu tajam menusuk ke dasar hati. Semurah itukah dia di mata lelaki yang baru sebulan menjadi suaminya? "Jadi ini alasan gadis berumur dua puluh tiga tahun, mau menikah denganku yang sudah berumur tiga puluh sembilan tahun. Setuju menikah denganku untuk menutupi aibmu? Kamu salah memilih orang, Puspa. Pantang bagiku untuk ditipu. Kecuali kamu mau jujur sebelumnya. Selain untuk menutupi aibmu, apa kamu juga mengincar supaya hidup enak dengan menjadi istriku?" Puspa terhenyak. Ini jauh lebih menyakitkan daripada kata menjual diri tadi. Harga dirinya terbanting, hancur berkeping-keping. "Maaf," ucap Puspa dengan bibir bergetar. "Katakan, siapa orang itu?" Bram setengah berteriak. "Hanya masa lalu." Akhirnya Puspa menjawab dengan suara lirih. Bram menyeringai. "Dan aku yang kamu jadikan korban akhibat perbuatan masa lalumu. Kenapa kamu tidak memberitahuku sejak awal?" Puspa diam. Tubuhnya terasa dingin oleh embusan angin malam yang menerobos jendela kamar yang terbuka. Jantungnya berpacu hebat. Takut, khawatir, dan malu tentu saja. Tak ada yang kehormatan yang bisa dipersembahkan kepada suaminya. Ah, kenapa dia terlalu berani masuk ke dalam kehidupan lelaki ini. "Aku ingin bertemu orang tuamu." Bram berkata datar dan mulai melunak. Mendengar kalimat itu membuat Puspa mengangkat wajah. Memberanikan diri membalas tatapan pria tegap yang menjadi suaminya. Bagaimana ia menjelaskan. Orang tuanya tidak tahu apa-apa. Apa Bram akan menceraikannya di usia pernikahan mereka yang baru sebulan? "Bagiku ini tentang harga diri. Kamu sudah berani membohongiku. Besok pagi, kita pergi menemui ayah dan ibumu." Selesai bicara pria tampan itu meninggalkan kamar. Dan tidak kembali lagi hingga pagi. ***L*** Puspa tergesa turun ke lantai bawah. Mak Sri, pembantu di rumah itu sudah selesai menyiapkan sarapan. Pagi ini Puspa terlambat turun karena tidak bisa tidur semalaman. Dengan cekatan ia mengambilkan nasi untuk suami dan dua anak tirinya. "Nggak usah. Saya bisa ngambil sendiri." Vanya, si sulung yang berumur lima belas tahun menggeser piringnya. Nasi di centong yang dituangkan Puspa jatuh ke meja. "Vanya. Nggak sopan itu!" hardik Bram pada putrinya.PERNIKAHAN - Kecewa Vanya memberengut. Mak Sri yang melihat dari dapur tergesa menghampiri dan membantu Puspa memunguti nasi. Vanya memang tidak menyukai Puspa. Semenjak mereka dipertemukan pertama kali dan dikenalkan sebagai calon istri papanya., Vanya sudah menunjukkan kebenciannya. Berbeda dengan Sonny. Sekarang sang adik yang duduk di kelas empat SD sudah mulai dekat dengan ibu tirinya. "Bunda, untuk acara Parents Day besok. Bunda, saja yang datang ke sekolah, ya. Teman-teman Sonny juga mamanya yang datang. Biasanya kan Mbak Tika yang dampingi Sonny. Sekarang Bunda saja, ya." Sambil makan bocah lelaki itu memandang Puspa. Puspa tidak langsung menjawab. Dia memandang Bram yang tengah makan. Namun suaminya diam saja. "Biar Mbak Tika saja, Dek. Dia sudah biasa dampingi kamu," jawab Vanya. Tika ini salah satu staf di gudang. Sudah bekerja lama dengan papa mereka. "Kan kita sudah punya Bunda, Kak. Sonny juga ingin didampingi seorang ibu. Mau kan, Bun?" Tatapan Sonny pada Pus
PERNIKAHAN - Keguguran "Kamu tunggu di sini dan jangan sentuh apapun," ucap Bram kemudian meninggalkan Puspa di ruang kerja. Menemui staf yang membutuhkan tanda tangannya.Meski tertunda, Puspa tidak bisa bernapas lega. Justru debaran di dadanya semakin hebat. Apa yang akan terjadi setelah ini. Jika sampai Bram memberitahu ayah dan ibunya lantas sang suami menceraikannya, keluarga akan menjadi bahan pergunjingan di masyarakat. Apalagi ayahnya sangat dihormati oleh warga desa. Menjabat kepala desa dua periode, karena Pak Fathir sangat baik dan amanah.Puspa akan mencoreng nama baik keluarganya yang terjaga dengan baik selama ini, karena pernikahannya yang hanya seumur jagung. Takut sekali Puspa menghadapinya.Air mata kembali menetes. Mengingat peristiwa kelam yang mati-matian ingin dikuburnya. Semakin ingin dilupakan, semakin segar dalam ingatan.Berulang kali ia menarik nafas dalam-dalam. Pandangannya terpaku pada meja sudut ruangan. Ada foto seorang perempuan yang terjaga rapi. Ca
Puspa pucat dan berkeringat. Padahal suhu dalam ruangan cukup dingin. Bahkan ia hanya sanggup menunduk dan tidak berani memandang sang suami dan kedua orang tuanya yang tengah berbincang. Sore itu Pak Fathir dan istrinya menyambangi Bu Dewi setelah dikabari oleh Puspa siang tadi.Ia khawatir kalau Bram akan mengungkapkan amarahnya. Walaupun jelas itu tidak mungkin dilakukan dihadapan mamanya yang tengah sakit. Nyatanya sampai kedua orang tuanya pamitan, Bram tidak membahasnya. Puspa lega, meski semua ini hanya sementara sampai mama mertuanya kembali pulih. ***L***"Mas, ini baju ganti untukmu." Puspa menggeser ransel berisi pakaian suaminya.Bram yang tengah fokus di layar laptop, hanya melirik sekilas. Puspa menghampiri ibu mertuanya yang tengah mendengarkan cerita Sony. Tadi dari sekolah, Puspa langsung mengajak anak tirinya ke rumah sakit."Seneng ya didampingi Bunda?" Bu Dewi mengusap pipi sang cucu."Seneng dong, Uti. Semua teman-teman Sony didampingi ibunya. Selama ini Sony ka
PERNIKAHAN - Puspa Keguguran? Puspa tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Dua hari yang lalu dia kebingungan saat tahu positif hamil. Bagaimana cara memberitahu suaminya? Sedangkan Bram sangat dingin dan mendiamkannya. Kalau diberitahu apakah Bram percaya kalau itu anaknya? Harusnya Bram percaya. Sebab di hari pernikahan mereka Puspa sedang haid dan suaminya tahu hal itu. Kemudian Bram ke Semarang selama lima hari. Setelah pulang Sony sakit typus dan mesti opname. Setelah suasana stabil, suatu malam menjadi milik mereka. Dirinya memang salah. Tapi Puspa hanya berusaha menutup aibnya sendiri. Luka yang pernah membuatnya putus asa dan putus harapan. Berharap mendapatkan sandaran, tapi suami yang berpengalaman tahu dan tidak bisa terima. "Kenapa tadi kamu nggak cerita kalau lagi hamil?" tanya Pipit yang membantunya minum air putih. Puspa tidak harus di kuret karena janinnya yang baru berumur sekitar empat minggu sudah luruh semua. Dia hanya perlu minum obat dan istirahat. "Ma
Ponsel Pipit berdering dan gadis itu keluar dari kamar perawatan. Air mata Puspa kembali tumpah. Sesalnya begitu dalam. Seharusnya dia jujur saja sejak awal. Kehilangan Bram sebelum pernikahan terjadi, tentu lebih baik daripada menjalani keadaan seperti ini. Dirinya serasa sangat tidak berharga di hadapan lelaki rupawan itu. Tentu Bram menyesal. Kenapa setelah kehilangan bidadari, sekarang mendapatkan perempuan sehina dirinya. Malam sebelum keberangkatan Bram ke Surabaya, ia mendapati lelaki itu termenung di ruang kerja. Menghadap foto keluarganya yang masih tergantung di dinding. Foto-foto mantan istrinya masih terpasang rapi di kamar anak-anak dan ruang kerjanya. Kalau di dinding ruang keluarga sudah diturunkan semua. Dirinya bukan pengganti wanita itu. Karena selamanya Sandra tidak akan pernah tergantikan. Istilahnya sekarang, Bram hanya melanjutkan hidup dengan menikahinya. Semua sudah habis untuk orang lama. Kalimat yang pernah seliweran dan ia baca di beranda akun media so
PERNIKAHAN- Serba Salah Suaminya pulang malah membuat Puspa bingung harus bagaimana. Menyambutnya atau pura-pura tidak tahu. Serba salah sampai tubuh Puspa gemetar.Suara langkah kaki Bram melewati teras. Sedangkan Puspa masih mematung dengan wajah pias. Ketika hendak melangkah untuk menyambut Bram ke ruang tamu, kakinya terhenti saat mendengar suara Vanya dan Sony lebih dulu menyambut papa mereka."Kukira Papa pulang sore." Suara Vanya terdengar. Gadis itu baru pulang sekolah beberapa menit yang lalu."Kerjaan papa sudah selesai, makanya buru-buru pulang.""Besok Sony ada pertandingan sepakbola antar sekolahan di stadion, Pa. Papa, bisa nganterin nggak? Bunda sakit soalnya."Dada Puspa berdesir mendengar Sony memberitahu papanya. Jantung berdentum hebat menunggu apa reaksi sang suami."Sakit apa?" Pertanyaan datar Bram."Masuk angin katanya.""Oke. Papa mau mandi dulu. Nanti malam sambil makan, kita ngobrol lagi."Puspa mundur ke belakang supaya tidak terlihat oleh Bram yang melang
Bram menanyakan kondisi sang mama. Wanita itu mengeluhkan beberapa hal. Membuat Bram khawatir. Semakin hari, kesehatan sang mama kian menurun. Tapi wanita itu tetap keukeh tidak mau diajak tinggal di rumahnya. Bertahan di rumah joglo mereka yang berarsitektur klasik. Rumah yang menerapkan nilai-nilai filosofi Jawa pada setiap bagian rumah. Sangat kontras dengan rumah yang dibangun oleh Bram. Rumah bergaya modern dengan sedikit sentuhan scandinavian. Almarhumah sang istri yang menentukan konsep rumahnya.Menjelang salat magrib, Bram dan Puspa kembali ke rumah. Mereka melangkah tanpa percakapan apa-apa.Makan malam di dominasi cerita anak-anak tentang kegiatan mereka selama papanya tidak di rumah. Puspa hanya mendengarkan sambil memaksa diri untuk menelan makanan. Sesaknya dada, membuat tidak berselera untuk makan. Seharian tadi lebih banyak minum air putih dan melewatkan makan siang.Setelah selesai makan malam, Bram menghampiri Puspa yang baru selesai mengemas meja. "Kutunggu di luar.
PERNIKAHAN- Tidak Percaya Diri "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Bram yang mendapati Puspa duduk sambil menulis sesuatu di buku. Namun setelah menyadari kehadirannya, Puspa buru-buru menutup bukunya. Tentu Puspa sangat terkejut. Apalagi dia hanya menyalakan lampu belajar yang menyinari meja saja. Kehadiran Bram yang berdiri menjulang di belakangnya membuat kaget."Nggak apa-apa," jawab Puspa gugup."Sudah malam. Tidurlah. Kamu sedang sakit, kan? Jangan tidur di luar. Aku tidak ingin anak-anak terganggu dengan permasalahan antara aku dan kamu." Bram kembali melangkah ke kamarnya setelah selesai bicara.Untuk beberapa saat, Puspa diam menatap dinding yang gelap di depannya. Lantas berdiri dan masuk kamar yang sama. Berbaring miring seperti biasa.Bram memikirkan perasaan anak-anaknya, bukan perasaannya. Wajar bukan, dirinya hanya orang baru yang saat ini dianggap sebagai penipu.***L***"Kita tahu kan Pak Bos gimana orangnya. Dia paling nggak suka dicurangi seperti semalam. Bisa-