POV RAFKA"Jangan ... kumohon hentikan ... tolong ... siapa pun tolong aku ...."Lagi.Kudengar rintihan serta racauan meluncur dari mulut Purnama. Perempuan yang telah aku nikahi delapan tahun silam, kini terbaring tak berdaya di atas ranjang besi.Kakinya terpaksa diikat, pun dengan kedua tangannya. Purnama sangat sulit dikendalikan. Entah apa yang sudah membuatnya begitu kacau. Jika tidak diikat seperti sekarang, ia pasti akan kembali berbuat nekat.Aku hanya bisa menemaninya di sisi ranjang besi dalam ruangan berukuran 4 x 4 m saat ini. Aku tidak tahu, apa yang membuat Purnama seakan mengingat lagi trauma masa lalunya. Trauma yang susah payah kusembuhkan. Trauma yang telah hilang sejak bayi kecilnya lahir.Namun seingatku, Purnama mulai kacau setelah kedatangan Bang Elang ke rumah kecil kami, yang tanpa aba-aba langsung menghajarku hingga wajahku memar.Purnama tiba-tiba mengamuk saat m
Bang Elang terkapar di tanah. Nampak dia memegangi pipinya yang baru saja aku hadiahi tinju. Aku masih berdiri di hadapannya, menunggu Bang Elang bangkit Dan mungkin akan berbalik menyerangku. Namun itu tidak terjadi, terlihat dia hanya terlentang di tanah dan menatapku dengan penuh harap. Pipinya seketika memar saking kerasnya tinju yang kulayangkan, namun tidak ada tanda-tanda ia akan membalasku."Pukul Abang, Raf! Kamu bisa tampar Abang atau apapun. Lempar Abang dengan batu pun tidak apa-apa, lakukan saja, Abang terima. Abang tidak akan melawan kamu. Kamu berhak melakukan itu, mungkin dengan begitu bisa mengurangi kemarahan kamu pada Abang. Dan dengan begitu pula kamu bisa mengabulkan permintaan Abang agar membiarkan Purnama dan Belfania bersama dengan Abang," ujarnya dengan lirih. Tidak kulihat emosi yang biasanya selalu meluap-meluap dalam diri Bang Elang."Aku bilang enggak! Aku tidak akan membiarkan Purnama dan Belfania bersama abang. Mohon ampun Bang, mohon ampun kepada Tuhan,
~Pagi menjelang.Aku kembali harus meninggalkan Belfania di tempat penitipan anak dengan berat hati, karena aku harus segera bergegas ke rumah sakit jiwa dan memeriksa kondisi dari Purnama.Jalanan lengang pagi hari ini membuatku hanya berjalan kaki saja untuk menuju rumah sakit. Hanya sekitar 10 menit berjalan kaki, aku pun telah tiba di depan gerbang dari bangunan khusus para penderita gangguan kejiwaan itu.Aku membawa langkahku dengan cepat melewati gerbang hingga tiba di halaman luas dari rumah sakit jiwa ini.Langkahku seketika terhenti ketika kaki ini baru saja menapaki halaman rumah sakit. Satu pemandangan di taman depan rumah sakit ini mengejutkan penglihatan.Mataku melebar sempurna melihatnya. Kubawa langkah kaki begitu lebar menuju taman depan di halaman ini. Entah keajaiban dari mana namun apa yang kulihat pagi ini sangatlah membuatku syok.Bagaimana tidak?Kurang lebih 2 bulan setengah aku bolak-b
Bang Elang menggeleng. "Abang mendatangi ustad bukan dukun! Bukan jampi-jampi yang Abang berikan, tetapi doa tulus dan doa ketenangan yang akan menyusup ke dasar hati Purnama," jelasnya.Demi apa pun, aku melongo mendengarnya. Betulkah seperti itu? Apa mungkin? Aku bertanya-tanya sendiri. Hal itukah memang luput dari pemikiranku? Aku terlalu sibuk mengobati Purnama dengan tindakan medis dan aku lupa, jika Purnama memang terluka batin bukan lahir.Ya Allah ... Aku sendiri sering meminta Belfa berdoa untuk kesembuhan Purnama. Tapi aku sendiri seolah melupakan ikhtiar lain yang seharusnya kulakukan."Sekali lagi Abang mohon sama kamu, Raf, berikan Abang kesempatan untuk bisa hidup bersama Purnama dan juga Belfania. Jangan kamu biarkan seumur hidup Abang, hanya dipenuhi oleh rasa sesal mendalam. Abang mohon maaf berikan Abang kesempatan itu,"ucap Bang Elang kemudian memohon hal yang sama kembali.Aku lantas menoleh menatap wajah tampannya. R
BAB 18.POV PURNAMA~Mataku terbuka seketika. Langit-langit plafon berwarna putih menyapa penglihatan ini pertama kalinya. Aku mengangkat kedua tangan, dimana terdapat kelopak mawar merah yang wanginya masih bisa kuhidu.Entah di mana ini, karena seluruh ruangan ini berwarna putih dan berukuran lebih kecil dari kamar tidur di rumahku sendiri.Hari ini, tubuhku terasa lebih ringan. Ada setitik perasaan yang membuat hati ini terasa lebih tenang, entah apa yang telah terjadi padaku, aku hanya ingat jika sebelum hari ini aku selalu diliputi rasa takut dan cemas. Rasa marah, kesal serta benci.Namun hari ini, rasa yang selalu melanda dan menguasai diriku itu seolah tidak ada lagi. Aku sendiri pun tidak mengerti apa yang sudah terjadi dan apa yang telah menimpa dalam diriku.Pintu mirip jeruji besi yang menutupi ruangan ini terdengar dibuka. Sontak aku pun menoleh. Kulihat seorang perempuan berpakaian perawat masuk bersama Rafka. Apa mungkin ini di rumah sakit? Tapi aku tidak menemukan per
~Malam perlahan merangkak. Hawa dingin mulai menyelimuti. Hanya detak jarum jam yang terdengar dalam kamar saat ini.Belfania Sudah terlelap di sampingku, matanya terpejam rapat dengan dengkuran halus yang mulai terdengar teratur. Aku perlahan bangkit dari samping Belfania, kubenahi selimut hingga menutupi sampai dadanya. Dengan hati-hati aku beringsut turun dari tempat tidur, jangan sampai menimbulkan gerakan dan membuat putri kecilku itu justru terbangun.Kubawa langkah menjauh dari tempat tidur berjalan menuju pintu kamar lalu ke luar. Seharian ini aku menghabiskan waktu berdua bersama Belfania, dia teramat merindukanku katanya. Begitu lamakah aku pergi meninggalkannya?Setelah pintu kamar tertutup. Gegas Aku berjalan menuju ruang depan mendekat pada media lukis yang ditutupi kain putih. Di mana nampak dihinggapi debu, pertanda jika rumah ini benar-benar tidak terjamah tangan manusia entah untuk berapa lama.Aku menyibak kain putih it
Aku hanya bisa menghela napas sejenak dan terdiam setelah Rafka berucap demikian. Membuat hanya keheningan yang tercipta antara aku dan RafkaTok Tok Tok!Sampai kemudian terdengar ketukan dari arah pintu depan. Aku melihat pada jam dinding di ruangan ini di mana jarum pendeknya menunjuk pada angka sembilan."Biar aku saja yang buka kamu cepat-cepat ke kamar dan temani Belfania di sana!" Rafka mencegahku yang sudah berdiri dan akan membuka pintu. Rafka bangkit dengan cepat dari sofanya.Dia melangkah lebar menuju pintu memutar kembali anak kunci lalu membuka daun pintu. Bukannya membuka lebar-lebar agar aku tahu siapa yang datang, Rafka justru cepat-cepat keluar dan menutup pintunya rapat-rapat."Siapa yang datang?" gumamku bertanya.Aku lantas membawa langkah menjauh dari media lukis. Berjalan pelan menuju jendela di samping kusen pintu, menyibak gorden hingga terlihat jika Rafka sedang berhadapan dengan seorang pria di teras sa
BAB 20POV PURNAMA."Setelah semua yang kamu lakukan? Baru malam ini kamu mendatangiku? Setelah puluhan purnama aku lalui dengan kepiluan. Setelah hanya kesakitan yang menemani hari-hariku. Baru hari ini kamu menampakkan wajahmu di depanku?" Aku bertanya datar pada lelaki yang bahkan belum kuketahui namanya."Maaf, mohon maafkan aku ...," ujarnya dengan lirih.Wajah itu penuh dengan pengharapan. Wajah itu begitu memelas. Sama seperti saat aku memelas kepercayaan Ibu dan Bapak yang tidak kudapati sebelum benar-benar terusir."Maafmu tidak dapat mengubah apa-apa," ucapku kemudian."Aku tahu. Tapi setidaknya, aku sudah mencoba meminta maaf pada kamu. Mungkin maaf ini hanya sia-sia, tapi aku sendiri tidak tahu apa yang bisa kulakukan selain meminta maaf terhadap kamu," ucapnya lagi."Sudahlah, Bang. Aku minta sekali lagi pada abang, lebih baik Abang pergi dari sini sekarang dan jangan pernah lagi menampakkan wajah Abang di sini. Aku tidak bisa kembali pada Fanisa, aku memang mencintainya
"Kenapa, Dek?" Mas Rafka datang menyusul. Suaranya pun terdengar khawatir karena aku memang berteriak memanggilnya tadi.Aku menggeleng dengan air mata yang sudah berjatuhan. Tanganku terulur menunduk pada Bang Elang yang berada di atas tempat tidurnya. Tidak mampu untuk bersuara, hanya bisa menunjuk sambil terus menangis. Berharap apa yang kulihat, hanya sebuah mimpi buruk saja.Mas Rafka sudah mendekat dan berdiri di samping kasur., sedangkan aku terduduk di depan lemari. Kulihat Mas Rafka memeriksa kondisi Bang Elang. Mulai dari menempatkan jarinya di ujung hidung Bang Elang. Memeriksa denyut pada lehernya, kemudian pergelangan tangan.Terlihat suamiku itu menggeleng sembari menghela napas. Kemudian mengambil cermin kecil dari selama laci nakas. Menempelkan pada wajah terutama bagian hidung Bang Elang beberapa saat. Lalu menariknya dan mengangkat ke atas."Innalilahi wa Inna ilaihi rooji'un ... tidak ada jejak napas, artinya bang Elang sudah tiada," ucap Mas Rafka sembari mengusap
POV Fanisa 💞💞💞Seratus hari berlalu sejak meninggalnya Purnama, kesedihan dan kehampaan atas kepergiannya kian terasa. Apalagi sore tadi, baru saja selesai acara pengajian memperingati seratus harinya. Luka ini kian dalam terasa. Mengingatkan pada sosok Purnama yang begitu shalehah semasa hidup. Benar-benar perhiasan dunia yang dimiliki Bang Elang.Tidak ada yang baik-baik saja usia kepergiannya hari itu. Kepergian yang dirasa mendadak dan begitu tiba-tiba, karena Bang Elang mengatakan bahwa perempuan jelita itu sudah sembuh dari sakit yang pernah diderita. Tapi ternyata, kematian itu benar-benar sebuah rahasia yang paling dekat pada setiap makhluk yang bernyawa.Hari-hari setelah Purnama tiada, kami semua merasa benar-benar terpuruk. Aku dan Belfania seperti kehilangan gairah hidup. Kami sangat bersedih tetapi Mas Rafka mampu menguatkan dan menghibur kamu.Sementara Bang Elang, bahkan hingga hari ini, dia tidak lagi seperti Abang yang kukenal. Dia tidka banyak bicara padaku dan M
Bersama linangan airmata, aku memetik mawar-mawar indah yang bermekaran pagi hari ini. Mawar yang mekar sempurna dan begitu cantik ini tidak bisa dilihat lagi oleh Purnama. Mawar-mawar ini justru akan mengantarnya ke pemakaman."Bang, kita harus segera ke makam." Rafka merangkul pundakku.Aku pun hanya bisa mengangguk. Kelopak mawar sudah selesai aku kumpulkan meski hanya dalam kresek. Gegas aku masuk ke dalam rumah dan keranda mayat sudah siap untuk diangkat.Hatiku hancur dan air mata tak hentinya luruh membasahi wajahku."Kalau Abang tidak sanggup, biar aku dan remaja mesjid saja yang menggotong kerandanya, Bang." Rafka kembali berucap.Namun aku cepat-cepat menggeleng. "Jangan, Raf. Biar abang saja." Aku pun melangkah gontai mendekati keranda. Mengumpulkan segenap kekuatan untuk turut serta menggotong keranda berisikan jasad istriku.Purnama wafat. Dia menghembuskan napas terakhir saat sedang bersujud. Setelah aku memanggil d
Dua Minggu berlalu, masa penyembuhan pasca operasi yang dilakukan Purnama terbilang cepat. Perempuan berstatus istriku itu sekarang sudah bisa beraktifitas di rumah walau terbatas. Bukan, bukan terbatas. Tetapi aku lah yang membatasi. Andai tidak kucegah, Purnama tidak lah mau diam.Seperti pagi ini, karena pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan, Purnama pasti berada di halaman. Merawat mawar-mawar yang sempat layu dan kering karena tak tersentuh olehku. Hingga kini, tanaman-tanaman itu mulai segar kembali."Kasihan, bunga-bunga ini hampir mati. Pasti kamu tidak merawatnya 'kan?" ucap Purnama yang sedang membongkar satu tanaman dalam pot berukuran kecil.Aku yang berdiri di sampingnya tak ayal mengangguk. "Bagaimana lagi? Kamu lebih penting dari sekedar bunga-bunga ini," jawabku cepat.Hanya helaan napas yang terdengar dari Purnama. Tangannya masih sibuk dengan tanaman yang sudah kering kerontang karena telah mati itu. Hingga satu pot sudah kos
Lampu ruangan operasi menyala. Artinya, sebuah tindakan sedang berlangsung di dalam sana. Setelah tiga hari menunggu, operasi Purnama pun dijadwalkan malam ini. Setelah sebelumnya menjalani puasa selama delapan jam, kini Purnama menjalani operasi yang sudah kami sepakati.Fanisa menemaniku. Duduk di samping kananku mengisi ruang tunggu. Sedangkan Rafka, harus menemani Belfania dalam pagelaran seni yang diikutinya.Detik demi detik berlalu, dan tindakan operasi belum juga selesai. Hatiku rasanya tak karuan selama menunggu. Fanisa berulangkali menepuk pahaku, karena aku tak bisa diam. Terus menggerakkan kaki sebagai luapan rasa gelisahku."Abang mau ke mushola. Kamu jaga di sini, ya?" ucapku seraya berdiri dengan cepat."Iya, Bang."Aku pun melangkah pergi. Menuju mushola yang terpisah dengan gedung rumah sakit tetapi masih satu area. Mengambil wudhu, cepat-cepat aku menunaikan shalat hajat. Zikir dan wirid tak henti kulafalkan seiring deng
Hari demi hari aku lalui bersama Purnama. Hingga berganti bulan dan aku dengan setia menemani berikhtiar untuk mencapai kesembuhannya. Namun, sudah hampir enam bulan kami jalani, kondisi Purnama tidak kunjung membaik. Bobot tubuhnya justru kian menyusut. Badannya yang mungil makin terlihat kurus. Pasca kemo, helaian demi helaian rambutnya berjatuhan. Rambutnya yang pendek, kian tipis saja sekarang. Satu bulan terakhir, ia bahkan harus memakai kursi roda saat berada di rumah. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda akan kesembuhannya.Hari ini, pemeriksaan kembali dilakukan. Aku dan Purnama berada di ruangan dokter untuk mengetahui hasil pemeriksaannya."Jaringan kankernya semakin meluas. Kemo yang dilakukan tidak begitu efektif, karena sejak penyakit ini diketahui, sudah masuk stadium empat yang artinya sudah cukup parah," jelas sang dokter membuat hati ini rasanya tercabik-cabik."Kalau operasi bagaimana, Dok?" tanyaku lemas.Dokter berkacamata di ha
"Purnama kenapa? Sakit apa?" tanya Fanisa yang baru saja datang. Dia adalah orang pertama yang kuhubungi, setelah Purnama masuk ruang IGD lima belas menit lalu.Aku menggeleng pelan. "Masih ditangani," jawabku lesu.Fanisa menghempas bobotnya di sebelahku. Dia menepuk-nepuk pundakku. Seolah menyalurkan ketenangan. Aku menunduk. Mengusap wajah dengan kedua tangan seraya menarik napas panjang. Sebelum kemudian aku menoleh pada Fanisa."Apa kamu tahu sebelumnya, Purnama mengidap sakit apa?" tanyaku kepada Fanisa.Adik perempuanku itu nampak diam seolah tengah berpikir, sampai kemudian ia menggeleng. "Aku dan Mas Rafka gak tahu, Bang. Tapi sempat Purnama juga pingsan saat dia menginap di rumah kami waktu itu. Setelah sholat Subuh. Saat itu dia menolak untuk diperiksa. Meskipun aku dan Mas Rafka terus membujuk dan memaksa. Sampai akhirnya dia kembali ke pondok dan aku gak pernah tahu Purnama itu sakit apa," jelasnya kemudian.Aku pun terdiam.
19.Tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Namun tanpa aba-aba, mataku seketika ringan terbuka. Tersadar dan melihat Purnama masih berada di atas dadaku.Aku menoleh untuk melihat jam duduk di atas nakas. Rupanya pukul tiga dini hari. Sejak tinggal di pondok, bangun dini hari seperti ini sudah menjadi kebiasaanku.Purnama nampak masih lelap. Sangat terpaksa aku harus menggeser kepalanya dengan hati-hati sampai akhirnya berpindah ke bantal. Kutatap sejenak wajah cantiknya saat tertidur, hingga bibirku tersenyum karenanya.Pelan-pelan aku bangkit. Gerakanku amat pelan sampai kemudian berhasil turun dari kasur. Karena aku tidak ingin mengganggu tidurnya.Lekas aku ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Berdiam sejenak sebelum kemudian mengambil wudhu. Sehingga wajah ini terasa lebih segar setelah terkena air. Membiarkan wajah ini tetap basah, gegas aku keluar.Langkahku terhenti di depan pintu kamar mandi. Kulihat Purnama ju
18.Aku menarik diri. Namun di luar dugaan, ternyata Purnama sudah membuka matanya kembali. Aku menunduk dan tak ayak pandangan kami pun bertemu. Tanganku yang seharusnya membelai anak rambut di keningnya, kini justru menangkup pipi Purnama.Jarak kami begitu dekat. Aku bahkan tak bisa berkedip menatapnya dari jarak sedekat ini. Hingga kurasakan telapak tangan Purnama menyentuh pipiku. Dia mengusapnya, membuatku kian menundukkan kepala. Aku benar-benar terbawa suasana.Hidung mancungnya bahkan telah beradu dengan ujung hidungku. Pandangan kami masih saling mengunci, aku memiringkan kepala, hingga menemukan posisi yang pas untuk kemudian mendaratkan bibirku di bibirnya.Aku butuh tali, untuk mengikat jantungku yang seperti akan melompat meninggalkan tempatnya.Ini ciuman pertamaku.Rasanya begitu hangat dan menggetarkan hati.Tidak ada hal lebih yang kulakukan. Hanya membiarkan bibir kami saling menempel. Begini saja, ali