Perjalanan Jakarta—Tasik kami lalui berdua di mobil sambil sesekali bercanda. Semakin memasuki daerah Jawa Barat, jalanan lurus mulai berliku. Naik turun bukit. Pemandangan kota berganti pedesaan asri. Sawah, kebun, dan lahan sayur. Aku tidur beberapa saat. Kembali bangun ketika jalanan sudah benar
Waktu berlanjut. Tidak ada yang berbeda. Semua berjalan sesuai rencana. Aku sedang disibukkan survey ruko. Jika ada lokasi tepat, Kak Daffa akan membelinya dan otomatis langsung bisa dijalankan. Targetnya bulan ini upah kerjaku itu bisa beroperasi. Aku pulang ngampus dijemput sopir kantor. Naik dul
Sepertinya aku benar-benar sudah menaruh hati pada Kak Daffa. Pagi, saat dia melewatiku tanpa pakaian, jantung ini berdebar lembut. Tanpa sadar aku mengamati setiap lekuk otot-ototnya. Pria yang berlilitkan handuk itu berkulit putih. Tubuhnya tampak segar dan membawa harum. Rambut dan wajah basahny
BAB 34 Cinta. Kenapa begitu sulit menyadarinya? Kedekatan kami dari sejak aku kecil seolah menyamarkan bahwa perasaan itu memang ada. Perangainya yang buruk dan karakternya yang kurang baik, membuatku selalu merendahkan personalnya. Seakan cinta haram baginya. Kini. Setelah wajah itu mengisi panda
Semangat banget mau ke salon. Mau mempercantik diri lalu pamer sama Kak Daffa. Siapa tahu dia juga jadi cinta beneran. Aku bersama tiga teman jalan ke salon sehabis kuliah siang ini. Mereka dengan suka cita mau mengantar karena kujanjikan bayar perawatan mereka juga. Enak, sih, jadi istri Kak Daff
BAB 35 Aku memasuki ruang yang ada di samping ruang kerja Om Handri. Tempat yang dulu digunakan untuk menginterogasiku saat diculik. Pada sofa besar itu, Om Handri sedang duduk ditemani istrinya. “Papi panggil Risa?” Aku bertanya sambil mengawasi suasana, ada kotak hitam berpita putih teronggok d
Sebuah ruang kecil dengan satu sofa mengarah pada TV layar datar 52 inci. Di belakangnya ada lukisan kapal pesiar yang berlayar di lautan hijau. Gorden lebar berwarna cream dan brown mengisi dua sudut dinding sekaligus pintu kaca lebar di sisi kanan. Pintu kaca itu terbuka, membawa suara desau angin
BAB 36 “Kak.” “Hm … kenapa?” “Balik, yuk!” “Kenapa?” “Ngantuk.” “Emang udah kenyang?” “Udah, ah.” “Ya, udah.” Kak Daffa minum dan mengusap bibirnya dengan tisu. Aku melakukan hal yang sama lalu kami balik kamar. Di vila, pemandangan sudah berbeda. Banyak lilin aromaterapi dan bunga. Aku da