Sepertinya aku benar-benar sudah menaruh hati pada Kak Daffa. Pagi, saat dia melewatiku tanpa pakaian, jantung ini berdebar lembut. Tanpa sadar aku mengamati setiap lekuk otot-ototnya. Pria yang berlilitkan handuk itu berkulit putih. Tubuhnya tampak segar dan membawa harum. Rambut dan wajah basahny
BAB 34 Cinta. Kenapa begitu sulit menyadarinya? Kedekatan kami dari sejak aku kecil seolah menyamarkan bahwa perasaan itu memang ada. Perangainya yang buruk dan karakternya yang kurang baik, membuatku selalu merendahkan personalnya. Seakan cinta haram baginya. Kini. Setelah wajah itu mengisi panda
Semangat banget mau ke salon. Mau mempercantik diri lalu pamer sama Kak Daffa. Siapa tahu dia juga jadi cinta beneran. Aku bersama tiga teman jalan ke salon sehabis kuliah siang ini. Mereka dengan suka cita mau mengantar karena kujanjikan bayar perawatan mereka juga. Enak, sih, jadi istri Kak Daff
BAB 35 Aku memasuki ruang yang ada di samping ruang kerja Om Handri. Tempat yang dulu digunakan untuk menginterogasiku saat diculik. Pada sofa besar itu, Om Handri sedang duduk ditemani istrinya. “Papi panggil Risa?” Aku bertanya sambil mengawasi suasana, ada kotak hitam berpita putih teronggok d
Sebuah ruang kecil dengan satu sofa mengarah pada TV layar datar 52 inci. Di belakangnya ada lukisan kapal pesiar yang berlayar di lautan hijau. Gorden lebar berwarna cream dan brown mengisi dua sudut dinding sekaligus pintu kaca lebar di sisi kanan. Pintu kaca itu terbuka, membawa suara desau angin
BAB 36 “Kak.” “Hm … kenapa?” “Balik, yuk!” “Kenapa?” “Ngantuk.” “Emang udah kenyang?” “Udah, ah.” “Ya, udah.” Kak Daffa minum dan mengusap bibirnya dengan tisu. Aku melakukan hal yang sama lalu kami balik kamar. Di vila, pemandangan sudah berbeda. Banyak lilin aromaterapi dan bunga. Aku da
“Kenapa gak ngomong dari dulu?” “Mana gue berani!” “Gue pikir lo cintanya sama Andre.” “Udah gak lagi!” Aku membuang bantal yang lain. Malu mendera. Aku menyembunyikan wajah di antara dua lengan yang memeluk lutut. Takut cinta bertepuk sebelah tangan. Kak Daffa menarik salah satu tanganku. Meng
BAB 37 Dulu. Papa dan Kak Mandala pernah menanam bambu di kebun kakek yang ada di Magelang sana. Kondisi lahannya memang curam serupa jurang karena kampung halaman Papa berada di kaki gunung Sumbing. Papa menanam pohon itu untuk mencegah longsor. Setahun, dua tahun. Ketika kami kembali mudik lebar