Karena minum kopi, mungkin. Sudah lewat jam dua belas malam, kantuk tak juga datang. Aku dan Kak Daffa tiduran di sofa masing-masing sambil nonton TV. Tayangan n*****x itu mempertontonkan film barat. “Belum ngantuk, Sa.” “Enggak.” “Mau nonton apa? Nah, ganti!” Dia menyerahkan remote. Aku langsun
BAB 19 “Gue mau … ambil bantal!” Dengan tubuh condong, Kak Daffa mengambil bantal putih yang ada di belakangku. Dia lalu berdiri dan pergi. “DAFFA!” Aku teriak. Membuang bantal yang lain ke punggungnya. Kurang asem itu orang, hampir saja jantungku jatuh. Pria berkaus hitam itu balik badan. Berjal
Sepuluh menit pas, aku keluar kamar mandi dengan piama handuk. Rambut digulung handuk putih. Sebelum dandan, aku mengeringkan rambut dengan hair dryer. “Jangan terlalu kering, biarkan agak basah!” Apa lelaki ini tidak bosan terus memerintahku untuk begitu dan begini? “Memangnya kenapa, sih?” “Bi
BAB 20 “Nyaman, ‘kan?” Kak Daffa mengerling. Kalau bukan karena uang, aku balas kau di sini, Kak. Aku mengangguk kecil dan tersenyum manis lalu menyandarkan kepala pada dadanya. Berasa anak kecil yang sedang dininabobokan. Kak Daffa membawaku masuk kamar. Tentulah ini kamar dia. Aku menempelkan w
Aku ternganga saat semua kado sudah terbuka. Kalau diuangkan, nominal ini semua mungkin ratusan juta. Ck,ck,ck! Baru sehari nikah gue udah sekaya ini. Ya, ampun. Ini baru yang namanya “nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan?” Aku tengok kanan-kiri. Mencari letak lemari? Tidak ada bentuk lemar
BAB 21 “Nah, dengerin! Jangan suka lihat orang sebelah mata! Siapa tahu di mata Tuhan dia lebih mulia. Harta yang kamu punya juga cuma ujian. Begitu kan maksudnya, Kak?” Aku bicara sambil menunjuk. Puas banget liat adik tiri diceramahi kakaknya. Fania melengos. “Dih, malah melengos. Gak sopan ba
Ada yang berbeda ketika aku bangun pagi ini. Saat alarm mulai terdengar, suara gerakan di dalam kamar ini pun turut mengisi telinga. Dalam gelapnya kamar, Kak Daffa baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya tanpa pakaian, hanya dililit handuk. Bau sabun menguar bersama langkahnya ke tengah kamar.
BAB 22 Kendaraan melaju santai membelah kota. Padatnya jalanan membuat laju mobil tersendat-sendat. Aku menatap kaca sambil sesekali meraba pipi. Bibir Kak Daffa terasa masih menempel di sisi kanan wajahku ini. Bekasnya berasa gak ilang-ilang. Keterlaluan tu orang, katanya gak bakal ngapa-ngapain.