POV INA
Entah bagaimana malam berlalu, aku masih bersandar rapuh di sudut ruangan ini, menyaksikan fajar mulai menampakkan cahayanya, aku berdiri dan berjalan melewati kaca belink yang berserakan di mana-mana. Sembari batinku tetap menangis, kemana sekarang akan aku langkahkan jalanku, saat jembatan kebahagiaanku sudah putus seperti ini, aku menghela nafas yang begitu terasa sangat berat.
“Mama…”lirihku menangis sesegukan, bergegas aku bersiap merapikan diri dan beranjak ke tempat mama,
Ting nong…
“Mama…”panggilku memencet-mencet tak butuh waktu lama mama membuka kan mata, sontak saja mata mama membulat melihat aku datang dengan keadaan kacau begitu, mataku sembab karna menangis dan ada sedikit lebam di sudut bibirku karna tamparan semalam.
“Ina? Apa yang terjadi?”lirih mama menggapai badanku , aku masuk kedalam pelukan mama sembari menangis sesegukan.
“Mama…hiks.&rd
POV FERI“Bagaimana dengan putri saya dok?’’tanya mama rania, saat dokter keluar dari ruangan Ina.“Tidak ada masalah serius, anak ibuk tengah mengandung dan dia hanya sedang kecapeka’an, coba atur lagi jam tidur dengan benar. Darahnya rendah sekali.”ujar dokter, mama Rania tampak terkejut dengana rasa syukur.“Benarkah Dok, syukurlah.”ucapnya dengan air mata merintik sedikit ia menoleh padaku dan bergegas masuk kedalam ruangan, menemui Ina sedangkan aku memilih beranjak ke taman untuk melepaskan sedikit penat hatiku. Aku teranyuh hebat saat mendengar ungkapan dokter tadi aku menghenyak di kursi taman sembari merintikkan air mata, bukannya bahagia mendengar kabar kehamilan ini aku malah dilema, aku tau betul itu adalah darah dagingku, apakah aku harus lanjutkan pernikahan ini walau ada duri seperti ini, aku tidak mau merasa seperti pecundang selamanya, tapi aku juga tidak boleh egois,
POV INA.Hari semakin larut setelah mengobrol banyak sama mama tadi, aku langsung beranjak kekamar tiduur untuk istiraahat, mas Feri tampak sibuk mengotak atik laptopnya, sedangkan kamar, masih berantakan masih sama seperti malam tadi, sigap aku mengambil sapu peralatan lain untuk membersihkannya sesekali, aku melirik mas Feri yang tampak tak peduli dengan keberadaanku, setelah selesai aku melangkah kekamar mandi untuk mengganti pakaiannku, aku terasa sangat lemes sekali karna masih sakit, kepalaku pening dan mencoba berusaha kembali keluar, sedikit aku hela nafas menguaatkann kaki beberapa langkah lagi untuk tempat tidur, aku tau mas Feri takkkan mau membantuku, langkahku oleng berusaha mendarat di atas kasur dengan cepat, dan aku lega juga bisa merebah sebentar menstabilkan kembali kepalaku yang pusing, sedikit aku hela nafas dan menarik selimut, namun karna selimutnya nyangkut di kakinya aku menoleh padanya,“Minta Ina selimutnya mas.”lirihku, dia
…………..“Mungkin aku harus temui Rara”bisikku beranjak, aku belum menemuinya semenjak hari itu, bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari hidupku, aku harus lihat perkembangannya sekarang.POV INA.Ting nong.Bunyi bel bergema mungkin mbok Lastri sudah sampai, kuusahakan berjalan keluar untuk membukakan pintu, asisten mama yang sudah tidak muda lagi itu tampak tersenyum.“Maaf Non, macet. Jadi makin lama deh datang.”ujarnya aku mengangguk dengan lemes dan mempersilahkan.“Gak apa-apa bik, istirahat bentar, abis itu langsung kedapur ya. Mas Feri belum sarapan.”ujarku.“Baik non”sigapnya, aku menghenyak di sofa denga rasa letih yang teramat sangat. Dalam lelahku merebah itu aku melihat mas Feri menuruni tangga, kucoba berdiri untuk menyambut,“Mas, kamu turun buat sarapan ya? Maaf mbok Lastri baru datang, aku gak kuat nyiu
Keesokan paginya setelah berberes aku turun kebawahh menghampiri mas Feri yang tiidur di atas sofa. Hatiku hangat dan beranjak kedapur menemui mbok Lastri.“Non, itu sarapanya udah, tapi itu the gak mbok bikin karna kemaren bikin gak di minum sama aden, nona Ina yang bikin aja ya”ujarnya, aku mengangguk.“Ya mbok biar Ina yang bikin.’’sahutku. Bergegas aku bikin karna gak tahan lama-lama di dapur. Kembali aku menemui mas Feri yang tengah berada di sofa,“Mas bangun, kamu tidurnya jam berapa sih mas, kesiangan gini.”ujarku mengellus sedikit pipinya dia tampak sedikit beringsut dan mengucek sedikit matanya.‘’Dah pagi…”ucapnya sembari menguap. Aku memaandangnya lekat dan berkata.“Kamu begadang ya semalaman?’’ujarku mas Feri coba turun dari sofa dan beranjak kekamr mandii.“Ini ya mas Tehnya aku tarok disini,”sorakku, dia tak menoleh dan tetap foku
Sore berkunjung kembali aku lihat mas Feri bersiap hendak pergi, kali ini aku diam tak mau mencegatnya lagi aku memilih membuntutinya dia sangat tidak nyaman dirumah sekarang, aku ingin tau selama ini dia kemana sih, kalo pergi-pergi bahkan sampai tidak pulang,Bergegas aku ambil kunci mobil dan mengikuti laju mobilnya mas Feri aku melihat mas Feri singgah di toko untuk membeli bingkisan, benakku berfikir kalo mas Feri akan menjenguk Rara di rumah sakit, aku gemetar dan tetap fokus mengikutinya, namun aku bingung dia terus melaju melewati jalan menuju RSJ itu. Apa jangan-jangan dia masih sibuk dengaan bisnis barunya karna memang, dia sangat ingin bekerja sendiri, aku bingung dan terus saja mengikutinya, hingga akhirnya aku melihat mas Feri berhenti disebuah kontrakan sederhana, dia turun dengan menjinjing bingkisan itu, mataku membulat saat meelihat wanita paruh baya menyambutnya dengan senang hati, aku gemetar dan mataku berkaca-kaca. Selama ini mas Feri membohongiku,
POV INADetik jam terus saja berdetik hingga malam semakin larut, aku masih terlungkup bangun dengan memeluk bantal, gundah mengingat sikap mas Feri akhir-akhir ini, apa yang harus aku lakukan supaya dia bisa seperti dulu lagi. Walau aku sebenarnya menolak mas Feri bebankan semua kesalahan ini padaku. Tapi tak apa saja. Apapun itu aku hanya ingin suamiku disini kembali seperti dulu lagi, ini akan sangat susah karna masalahnya memang terlalu fatal, aku bahkan ingin kembali kedetik itu dan membunuh saja semua keangkuhanku, aku tidak bisa berfikir dengan jernih, hingga aku harus menggadaikan cintaku pada mas Feri, ketulusanku tidak semurni kasih sayang suamiku, sekarang bagaimana saat kepercayaan dirinya terinjak-injak seperti ini, aku memang sangat bertanggung jawab akan semua gejolak yang ada dalam hatinya tapi aku bingung, apa yang bisa aku lakukan, perlahan air mataku merintik, mungkin aku juga harus bersikap seperti dia, karna memang dia sudah tak suka lagi melihatku,
POV INAAir mataku tak hentinya mengucur karna haru sepanjang jalan, sesampai dirumah kami berdua masuk bergandengan dan saling merangkul dalam pelukan hangat, sisa kebahagiaan tadi masih melekat erat melihat kami harmonis begitu mbok Lastri tampak heran. Karna memang semenjak dia datang aku dan mas Feri tidak pernah akur.“Duh seneng banget deh mbok liatnya, hari ini terasa berbeda.” Ujarnya aku dan mas Feri tersenyum, Mas Feri membawaku kedalam rangkulan dan berkata,“Tentu saja mbok, hari ini patut dirayakan, karna Ina mengandunng janin kembar.”ujarnya, mbok lastri tampak membulatkan mata dan mendekat.“Wah beneran non, nyonya Rania harus tau donk kalo begitu.”ucapnya girang , kami berdua mengangguk.“Kamu telpon mama gih mas?”ucapku, mas Feri tampak mengangguk.“Baik sayang.”ujarnya, aku menghenyak di sofa di iringi mbo Lastri.“Gak sabar non, mbok liat baby cewek b
POV FERISiang ini aku sangat sibuk di kantor, ada beberapa harus aku handle sebelum nanti aku kasih ke mama karna memang aku harus kembali pulang, Ina akhir-akhir sangat manja sekali, dia bisa-bisa bête dirumah kalo aku telat pulang. Dari luar ruangan asistenku datang membuyarkan fokusku.“Pak, mohon maaf, di luar ada Direkture Al company.”ujarnya sejenak aku menghentikan aktifitasku dan sedikit buang nafas,“Apa ada metting?”tanyaku.“Tidak, dia hanya ingin bertemu.”ujarnya, nafasku tersengal dan coba berkata dengan tegas.,“Ya sudah, suruh dia masuk.”ujarku. asistenku itu beranjak keluar dan tak lama setelahnya Aldo. Masuk aku memandanginya datar dan berkata.“Apa ada yang bisa saya bantu pak direkture,’’ujarku tanpa menoleh. Aldo terdengar mangatur nafas.“Ekhem..”desisny terdengar memperbaiki tenggorokan.“Kamu mengembalikan