POV RARA
Entah sudah berapa lama aku berdiri disini menatapi hamparan air yang menggenang dibawah jembatan, aku lelah dengan semua pelik ini, aku sudah terlalu mencintai mas Feri, bahkan aku tidak peduli itu pelampiasan hasratnya atau apa,, yang jelas hadirnya adalah sesuatu yang berharga untukku. Untuk pertama kalinya aku tidak suka dengan mba Ina. Kenapa dia pulih diwaktu yang salah, aku bahkan belum bisa menikmati waktu sedikit lebih lama dengan mas Feri, jika aku ingin meminta, aku ingin mengulang waktu itu dan tak akan menyia-nyiakan kesempatan berduaan dengannya, dan hari ini aku akan bawa mati kenangan ini, aku sudah bahagia bersama kenangan bersama mas Feri yang hanya beberapa jam itu. Aku mengenggam sebuah janji yang aku yakini tidak akan pernah dia ingkari tapi dalam sekejap janji itu goyah dan bahkan ingkar.“Maafkan Rara…. Rara juga harus pergi mas,”ujarku.sedikit aku melangkah pada besi penghalang. Jembatan air mataku merintik deras saat memejamkPOV INA. TRAKT Bunyi pintu rumah terbuka, sudah sebulan lamanya kami meninggalkan rumah ini dan berbulan madu. Ke Thailand. Tentu saja aku sangat rindu suasana rumah dengan kehidupan baruku yang normal. “Istirahatlah sayang, kamu pasti capekkan” ujar mas Feri. Aku merebah di sofa sembari mengangguk. “Mas apa Rara sudah menghubungimu”tanyaku menghentikan langkah mas Feri, “Belum sayang, kamu ada perlu apa sama Rara?”Tanyanya seolah tak suka. “Sepertinya sebulan ini dia tidak datangi rumah,”ucapku pelan sembari menyapu setiap sudut yang masih tampak seperti sebelumnya. “Mungkin dia lebih suka berlama-lama di bandung, ketimbang disini sendirian”ujarnya. Aku menghela nafas sedikit dan terfikir untuk menghubunginya, “Sayang kamu mau apa?”Tanya suamiku itu, aku menoleh padanya dengan tatapan datar “Ya, mau hubungi Rara lah mas, ini sudah satu bulan kita tidak meng
POV INA “Ina sayang?’’panggil mama dari bawah sontak aku beringsut dari tidur siangku dn coba temui mama. Mama pasti datang menanyakan pasal kenapa mas Feri yang datang kekantor. Trakt Bunyi pintu rumah terbuka, terkejut saat tiba-tiba mama memeluk dan meciumiku, “Ina sayang, bahagianya mama hari ini.”ujarnya. mataku membulat saat aku lihat wajah berseri mama. “Mama, ada apa? Girang banget hari ini?”tanyaku mama menarikku kedalam sambil cengingisan. “Ya tentulahh mama seneng, kamu dah pulih, dan baru-baru ini kalian berbulan madu. Dan pastinya nanti mama akan nimang cucu? Uuuuh mama dah gak sabar.’’ujarnya seketika hatiku hangat.. ‘’Ih mama aku kira apa, semoga ya ma, kita doakan saja, mama dah ketemu mas Feri tanyaku menghenyak di sofa, “Iya udah tadi, dan dia kasih tau mama segalanya nak, tentu saja mama lega sekali”ujarnya mendekat ikut menghenyak juga disampingku, aku menyu
POV INA. Yang tersayang Saudaraku Ina,,, Demi rasa rindu yang membubung hingga menyesakkan kerelung-relung hatiku. Aku tak bisa berbuat banyak selain hanya bisa merasakannya dan mengalir bersama Rindu ini. Aku mencintai keindahan yang mba lihat, pada anuugrah yang mba punya, rasa yang mba sentuh segalanya aku mencintai cinta yang ada pada hati mba Ina.. Ya, aku mencintai separuh jiwamu saudaraku, Sepertimu aku juga sesak saat berjauhan dengannya, namun kamu mengikatnya dengan ikatan halal sedangkan aku nmasih dalam simpul entah berantah, tapi begitupun tak sedikit mengurangi rasa cintaku padanya, Dia adalah keindahan itu sendiri, cukup satu detik bagiku untuk menancapkan senyumnya direlungku, tapi butuh seumur hidup bagiku untuk mencabut tancapan itu, maaf akan kelancanganku, yang memuji suamimu sebegini adanya, tapi benar saja, suamimu tlah bertahta bak dewa dihatiku. Tak tau, kapan kamu akan baca surat dengan pengakuan
POV FERI Malam itu aku mendengar keributan dari kamarnya Rara, aku tersintak dan bergegas melihat apa yang telah terjadi disana setauku Ina mengantarkan makanan untuk Rara lalu apa yang terjadi sekarang, dengan rasa cemas aku terus melangkah namun saat dipintu aku berpapasan dengan Ina yang tampak kesal. “sayang ada apa?’’Tanyaku istriku itu masuk kedalam pelukanku dan berkata. “Mas, Rara nyebelin hiks.” Bisiknya aku mengelus rambutnya dan berkata, “Kamu yang sabar ya,”lirihku melirik pintu kamar yang tampak berantakan dengan beling, aku mengecup dahinya dan beranjak masuk. Sedikit aku berdengus melihat makanan berserakan. “Kamu sama sekali tidak hargai usaha Ina dia sudah baik mengantarkan makanan untukmu.”ujarku Rara beringsut dan coba menggapai badanku mendekat, dia menangis lagi membenamkan wajahnya didadaku sedangkan dipintu bisa aku lihat Ina berdiri melihat kami, sedikit aku dorong bahu mungil Rara dan
Sesaat setelah mas Feri pergi, Rara menoleh padaku dengan sennyum nyengir, ku coba pandangi wajahnya dengan datar dan berkata. “Sepertinya kamu sudah pulih?”ucapku datar, Rara tampak Kikuk dan berjalan menghenyak di sofa. “Semalam mas Feri gak datangi Rara, bahkan mau kerja juga dia gak bilang ama Rara, jadi Rara paksain deh buat susul dia keluar kaamar.’’ujarnya Cemberut, aku menghela nafa sedikit dan ikut juga menghenyak disampingnya. “Rara sayang banget ya sama mas Feri?" Gadis itu hanya tersenyum tersimpul. Aku berusaha juga menarik ujung bibirku untuk tersenyum, “Maaf kalo mba banyak Tanya, kenapa bisa kamu begitu mencintainya?’’ucapku lagi, Rara sedikit memainkan bibirnya dan berkataa. “Ya karna Mas Feri juga sayang sama Rara. Mba tau, mas Feri pernah ngajak Rara ke puncak berduaan aja, dan Rara suka perlakuan mas Feri yang lembut dan romantic”celetuknya sembari senyum-senyum bisa aku lihat
Dari luar terdengar mba Ina berpapasan dengan pak Dokter saat di pintu , aku beranjak me ceknya sepertinya mba Ina baru saja datang dari luar sontaak aku heran dan bingung kemana mba Ina barusan, dia tak biasanya seperti ini berani pergi senndiri tanpa mas Feri, apa yang di cari keluar rumah sebegitu pentingkah, secara aku tau bagaimana mba Ina. “Bagas, bagaimana?”tanyany pada pak dokter. “Untuk sekarang, mungkin segitu dulu, besok aku akan kembali lagi. Tidak perlu ada yang di cemaskan Rara tidak depresi yang berlebihan, dia hanya perlu terapi beberapa kali dan akan pulih jadi kamu tenang aja.”ujarnya mendengarnya aku teranyuh dan nafasku tersengal, kenapa bisa orang-orang anggap aku sakit, aku baik-baik aja. Seolah-olah aku ini sakit jiwa saja melihat reaksi mereka. Aku kembali ke kamar dan menghempaskan badanku diatas kasur. Waktu rasanya teramat lamban berlalu. Tak sabar rasanya aku bisa melihat mas Feri dan mengadu padanya dengan semua keluhku.
POV FERI Entah bagaimana caranya aku mencoba untuk tidak kebawa perasaan dengan gadis ini. Jujur aku sangat miris sekali dengan keadaannya sekarang, kenapa dia seperti ini, sebegitu parahkah luka dan sayatan yang tergores dihatinya hingga ia menuruti keegoisanya dan menjadi seperti gadis kehilangan akal seperti sekarang. Aku terpaksa harus bersikap dingin padanya, karna jalan yang terbaik adalah aku harus menjauhinya. Ini memang tidak adil untuk Rara. Atas apa yang telah terjadi di hatinya. Karna memang aku begitu tau dan rasakan juga apa yang ia rasakan, tentunya dia pasti sangat kecewa dan terluka sekali atas hubungan yang baru saja terjalin dan senaknya saja aku gantung, tanpa ada kejelasan lagi. “Mas, kami semua dah nungguin, Rara mana?’’tanya istriku, aku menoleh ke belakang dan ikut juga. Menghenyak didepan Aldo, dan yang lainnya, “Bagas, terima kasih juga mau datang, hum, ini patut dirayakan, karna seumur- umur Ina tidak pernah ingin rumah
“Mas tolong jangan hindari Rara lagi..”ucapnya pelan dengan mata berkaca-kaca mengelus pipiku lembut. Aku mendegup dan untuk sejenak tak tau berkata apa. “Ra,…’’lirihku ucapanku dicegat karna Rara mengacungkan telunjuknya ke bibirku. Aku bungkam dengan menatap dalam manik matanya. “Rara tau, mas juga menyukai Rara.” Aku menarik nafas, dan coba cari cara agar bisa pergi dari sana, aku tidak bisa kebablasan lagi, yang ada aku hanya akan melukai gadis ini semakin parah nanti. Sedikit aku dorong bahunya. Dia meremas kemejaku dan membenamkan wajahnya didadaku. “Mas, aku tidak sakit. Aku hanya ingin kamu, apa yang salah dengan perasaanku. Bukankah kita sudah mengikat cinta kita, bagiku, itu tidak mudah saja terlepas. Kamu paham akukan hiks.”ujarnya, aku mendegup dan coba mengelus bahunya yang gemetar karna menangis, aku tidak bisa berkata apa-apa. Takut salah-salah ini gadis semakin rapuh. Apa aku berikan