POV INA.
Yang tersayang
Saudaraku Ina,,,
Demi rasa rindu yang membubung hingga menyesakkan kerelung-relung hatiku. Aku tak bisa berbuat banyak selain hanya bisa merasakannya dan mengalir bersama Rindu ini. Aku mencintai keindahan yang mba lihat, pada anuugrah yang mba punya, rasa yang mba sentuh segalanya aku mencintai cinta yang ada pada hati mba Ina..
Ya, aku mencintai separuh jiwamu saudaraku,
Sepertimu aku juga sesak saat berjauhan dengannya, namun kamu mengikatnya dengan ikatan halal sedangkan aku nmasih dalam simpul entah berantah, tapi begitupun tak sedikit mengurangi rasa cintaku padanya, Dia adalah keindahan itu sendiri, cukup satu detik bagiku untuk menancapkan senyumnya direlungku, tapi butuh seumur hidup bagiku untuk mencabut tancapan itu, maaf akan kelancanganku, yang memuji suamimu sebegini adanya, tapi benar saja, suamimu tlah bertahta bak dewa dihatiku.
Tak tau, kapan kamu akan baca surat dengan pengakuan
POV FERI Malam itu aku mendengar keributan dari kamarnya Rara, aku tersintak dan bergegas melihat apa yang telah terjadi disana setauku Ina mengantarkan makanan untuk Rara lalu apa yang terjadi sekarang, dengan rasa cemas aku terus melangkah namun saat dipintu aku berpapasan dengan Ina yang tampak kesal. “sayang ada apa?’’Tanyaku istriku itu masuk kedalam pelukanku dan berkata. “Mas, Rara nyebelin hiks.” Bisiknya aku mengelus rambutnya dan berkata, “Kamu yang sabar ya,”lirihku melirik pintu kamar yang tampak berantakan dengan beling, aku mengecup dahinya dan beranjak masuk. Sedikit aku berdengus melihat makanan berserakan. “Kamu sama sekali tidak hargai usaha Ina dia sudah baik mengantarkan makanan untukmu.”ujarku Rara beringsut dan coba menggapai badanku mendekat, dia menangis lagi membenamkan wajahnya didadaku sedangkan dipintu bisa aku lihat Ina berdiri melihat kami, sedikit aku dorong bahu mungil Rara dan
Sesaat setelah mas Feri pergi, Rara menoleh padaku dengan sennyum nyengir, ku coba pandangi wajahnya dengan datar dan berkata. “Sepertinya kamu sudah pulih?”ucapku datar, Rara tampak Kikuk dan berjalan menghenyak di sofa. “Semalam mas Feri gak datangi Rara, bahkan mau kerja juga dia gak bilang ama Rara, jadi Rara paksain deh buat susul dia keluar kaamar.’’ujarnya Cemberut, aku menghela nafa sedikit dan ikut juga menghenyak disampingnya. “Rara sayang banget ya sama mas Feri?" Gadis itu hanya tersenyum tersimpul. Aku berusaha juga menarik ujung bibirku untuk tersenyum, “Maaf kalo mba banyak Tanya, kenapa bisa kamu begitu mencintainya?’’ucapku lagi, Rara sedikit memainkan bibirnya dan berkataa. “Ya karna Mas Feri juga sayang sama Rara. Mba tau, mas Feri pernah ngajak Rara ke puncak berduaan aja, dan Rara suka perlakuan mas Feri yang lembut dan romantic”celetuknya sembari senyum-senyum bisa aku lihat
Dari luar terdengar mba Ina berpapasan dengan pak Dokter saat di pintu , aku beranjak me ceknya sepertinya mba Ina baru saja datang dari luar sontaak aku heran dan bingung kemana mba Ina barusan, dia tak biasanya seperti ini berani pergi senndiri tanpa mas Feri, apa yang di cari keluar rumah sebegitu pentingkah, secara aku tau bagaimana mba Ina. “Bagas, bagaimana?”tanyany pada pak dokter. “Untuk sekarang, mungkin segitu dulu, besok aku akan kembali lagi. Tidak perlu ada yang di cemaskan Rara tidak depresi yang berlebihan, dia hanya perlu terapi beberapa kali dan akan pulih jadi kamu tenang aja.”ujarnya mendengarnya aku teranyuh dan nafasku tersengal, kenapa bisa orang-orang anggap aku sakit, aku baik-baik aja. Seolah-olah aku ini sakit jiwa saja melihat reaksi mereka. Aku kembali ke kamar dan menghempaskan badanku diatas kasur. Waktu rasanya teramat lamban berlalu. Tak sabar rasanya aku bisa melihat mas Feri dan mengadu padanya dengan semua keluhku.
POV FERI Entah bagaimana caranya aku mencoba untuk tidak kebawa perasaan dengan gadis ini. Jujur aku sangat miris sekali dengan keadaannya sekarang, kenapa dia seperti ini, sebegitu parahkah luka dan sayatan yang tergores dihatinya hingga ia menuruti keegoisanya dan menjadi seperti gadis kehilangan akal seperti sekarang. Aku terpaksa harus bersikap dingin padanya, karna jalan yang terbaik adalah aku harus menjauhinya. Ini memang tidak adil untuk Rara. Atas apa yang telah terjadi di hatinya. Karna memang aku begitu tau dan rasakan juga apa yang ia rasakan, tentunya dia pasti sangat kecewa dan terluka sekali atas hubungan yang baru saja terjalin dan senaknya saja aku gantung, tanpa ada kejelasan lagi. “Mas, kami semua dah nungguin, Rara mana?’’tanya istriku, aku menoleh ke belakang dan ikut juga. Menghenyak didepan Aldo, dan yang lainnya, “Bagas, terima kasih juga mau datang, hum, ini patut dirayakan, karna seumur- umur Ina tidak pernah ingin rumah
“Mas tolong jangan hindari Rara lagi..”ucapnya pelan dengan mata berkaca-kaca mengelus pipiku lembut. Aku mendegup dan untuk sejenak tak tau berkata apa. “Ra,…’’lirihku ucapanku dicegat karna Rara mengacungkan telunjuknya ke bibirku. Aku bungkam dengan menatap dalam manik matanya. “Rara tau, mas juga menyukai Rara.” Aku menarik nafas, dan coba cari cara agar bisa pergi dari sana, aku tidak bisa kebablasan lagi, yang ada aku hanya akan melukai gadis ini semakin parah nanti. Sedikit aku dorong bahunya. Dia meremas kemejaku dan membenamkan wajahnya didadaku. “Mas, aku tidak sakit. Aku hanya ingin kamu, apa yang salah dengan perasaanku. Bukankah kita sudah mengikat cinta kita, bagiku, itu tidak mudah saja terlepas. Kamu paham akukan hiks.”ujarnya, aku mendegup dan coba mengelus bahunya yang gemetar karna menangis, aku tidak bisa berkata apa-apa. Takut salah-salah ini gadis semakin rapuh. Apa aku berikan
Keesokan harinya aku banguun dengan pikiran pelik. Kejadian semalam kembai mengusik pikiranku, apa yang harus aku lakukan selain menuruti permainan ini. Aku hanya tidak mau ini lebih kacau. Semoga saja aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Dan berubah pikiran. “Sayang ayo buruan mandi, kita harus segera jalan jam sepuluh.”ujar Istriku sedikit aku tersintak dan bangun dari lamunanku bergerak kekamar mandi. Selesai berkemas aku menyusul mereka semua. Bisa aku lihat Aldo tampak bersusah payah untuk ngajak bicara Rara, namun aku coba alihkan pandangan dan fokus mau bantuin Ina berkemas, “Sayang, apa ada yang bisa mas bantu?”tanyaku sembari melirik Rara dan Aldo yang tengah cekcok, Ina juga memperhatikan mereka dan berkata. “Mas, kira-kira Rara bisa gak ya di luluhin sama Aldo?”Tanya Ina aku sedikit memainkan mulutku dan berkata. “Semoga saja.”singkatku. “Ih, aku bisa sendiri gak usah bantu, sana!”hardiknya. aku me
“Tolong jangan menangis lagi Ina, mas gak bisa melihat ini.”ucapnya lirih meremas bahuku sedikit aku kibas tangan mas Feri yang bertengker di bahuku kasar. Dia diam aku terus saja menangis. “Jadi, apa kamu punya solusi. Jujur aku rindu kita yang dulu? Tolong fikirkan ini Ina. Sebelum semua berantakan.”ujarnya aku makin sesegukan menangis dan sepertinya mas Feri harus memilih berlalu. Untuk sejenak aku terdiam dan coba memikirkan lagi, apa yang dikatakan mas Feri barusan. “Baiklahh aku akan kembalikan Rara ke tempat asalnya,’’bisikkku. Keesokan harinya. Di pagi hari, aku me cek kamar tamu, namun aku tak dapati mas Feri disana, aku tersintak saat di sapa Aldo yang sudah bersiap hendak pergi dari kamar satu lagi. “Al, semalam kamu liat mas Feri?’’ tanyaku sembari menunjuk pintu kamar, “Tidak,”mataku membulat saat teringat sesuatu bergegas aku datangi kamar Rara dan menyelonong masuk. “Mas.. “panggilk
POV FERI. Semoga saja kedepannya akan membaik seiring berjalannya waktu. Aku sangat lega sekali akhirnya Ina berikan keputusan juga, walau fikiranku masih terusik akan perasaan gadis itu setidaknya sekarang aku tidak berjuang sendiri untuk menjauhinya. Tatanan hidup keluargaku sekarang berantakan. Bahkan kalo boleh meminta. Aku ingin kembali kesituasi dimana saatbbelum terfikir olehku untuk membawa wanita lain kedalam rumah tanggaku. Flasback. “Kenapa Dian mendadak Resign.”ujarku pada sekretarisku, dengan kesal ada banyak pertemuan dan metting yang harus dilaksanakan Ini bisa berantakan, jika dia tidak datang esok hari, “Saya tidak tau pak. Sepertinya dia cukup punya alasan kenapa dia tiba-tiba mengundurkan diri.”ujarya menyodorkan koran ,aku memijit kepalaku dan berkata. “Aku tidak mau tau, bawa dia kembali atau carikan secepatnya pengganti untuk besok. Aku butuh asisten”ujarku. sekretsisku itu tampak mengan