POV FERI
Malam itu aku mendengar keributan dari kamarnya Rara, aku tersintak dan bergegas melihat apa yang telah terjadi disana setauku Ina mengantarkan makanan untuk Rara lalu apa yang terjadi sekarang, dengan rasa cemas aku terus melangkah namun saat dipintu aku berpapasan dengan Ina yang tampak kesal.“sayang ada apa?’’Tanyaku istriku itu masuk kedalam pelukanku dan berkata.“Mas, Rara nyebelin hiks.” Bisiknya aku mengelus rambutnya dan berkata,“Kamu yang sabar ya,”lirihku melirik pintu kamar yang tampak berantakan dengan beling, aku mengecup dahinya dan beranjak masuk. Sedikit aku berdengus melihat makanan berserakan.“Kamu sama sekali tidak hargai usaha Ina dia sudah baik mengantarkan makanan untukmu.”ujarku Rara beringsut dan coba menggapai badanku mendekat, dia menangis lagi membenamkan wajahnya didadaku sedangkan dipintu bisa aku lihat Ina berdiri melihat kami, sedikit aku dorong bahu mungil Rara danSesaat setelah mas Feri pergi, Rara menoleh padaku dengan sennyum nyengir, ku coba pandangi wajahnya dengan datar dan berkata. “Sepertinya kamu sudah pulih?”ucapku datar, Rara tampak Kikuk dan berjalan menghenyak di sofa. “Semalam mas Feri gak datangi Rara, bahkan mau kerja juga dia gak bilang ama Rara, jadi Rara paksain deh buat susul dia keluar kaamar.’’ujarnya Cemberut, aku menghela nafa sedikit dan ikut juga menghenyak disampingnya. “Rara sayang banget ya sama mas Feri?" Gadis itu hanya tersenyum tersimpul. Aku berusaha juga menarik ujung bibirku untuk tersenyum, “Maaf kalo mba banyak Tanya, kenapa bisa kamu begitu mencintainya?’’ucapku lagi, Rara sedikit memainkan bibirnya dan berkataa. “Ya karna Mas Feri juga sayang sama Rara. Mba tau, mas Feri pernah ngajak Rara ke puncak berduaan aja, dan Rara suka perlakuan mas Feri yang lembut dan romantic”celetuknya sembari senyum-senyum bisa aku lihat
Dari luar terdengar mba Ina berpapasan dengan pak Dokter saat di pintu , aku beranjak me ceknya sepertinya mba Ina baru saja datang dari luar sontaak aku heran dan bingung kemana mba Ina barusan, dia tak biasanya seperti ini berani pergi senndiri tanpa mas Feri, apa yang di cari keluar rumah sebegitu pentingkah, secara aku tau bagaimana mba Ina. “Bagas, bagaimana?”tanyany pada pak dokter. “Untuk sekarang, mungkin segitu dulu, besok aku akan kembali lagi. Tidak perlu ada yang di cemaskan Rara tidak depresi yang berlebihan, dia hanya perlu terapi beberapa kali dan akan pulih jadi kamu tenang aja.”ujarnya mendengarnya aku teranyuh dan nafasku tersengal, kenapa bisa orang-orang anggap aku sakit, aku baik-baik aja. Seolah-olah aku ini sakit jiwa saja melihat reaksi mereka. Aku kembali ke kamar dan menghempaskan badanku diatas kasur. Waktu rasanya teramat lamban berlalu. Tak sabar rasanya aku bisa melihat mas Feri dan mengadu padanya dengan semua keluhku.
POV FERI Entah bagaimana caranya aku mencoba untuk tidak kebawa perasaan dengan gadis ini. Jujur aku sangat miris sekali dengan keadaannya sekarang, kenapa dia seperti ini, sebegitu parahkah luka dan sayatan yang tergores dihatinya hingga ia menuruti keegoisanya dan menjadi seperti gadis kehilangan akal seperti sekarang. Aku terpaksa harus bersikap dingin padanya, karna jalan yang terbaik adalah aku harus menjauhinya. Ini memang tidak adil untuk Rara. Atas apa yang telah terjadi di hatinya. Karna memang aku begitu tau dan rasakan juga apa yang ia rasakan, tentunya dia pasti sangat kecewa dan terluka sekali atas hubungan yang baru saja terjalin dan senaknya saja aku gantung, tanpa ada kejelasan lagi. “Mas, kami semua dah nungguin, Rara mana?’’tanya istriku, aku menoleh ke belakang dan ikut juga. Menghenyak didepan Aldo, dan yang lainnya, “Bagas, terima kasih juga mau datang, hum, ini patut dirayakan, karna seumur- umur Ina tidak pernah ingin rumah
“Mas tolong jangan hindari Rara lagi..”ucapnya pelan dengan mata berkaca-kaca mengelus pipiku lembut. Aku mendegup dan untuk sejenak tak tau berkata apa. “Ra,…’’lirihku ucapanku dicegat karna Rara mengacungkan telunjuknya ke bibirku. Aku bungkam dengan menatap dalam manik matanya. “Rara tau, mas juga menyukai Rara.” Aku menarik nafas, dan coba cari cara agar bisa pergi dari sana, aku tidak bisa kebablasan lagi, yang ada aku hanya akan melukai gadis ini semakin parah nanti. Sedikit aku dorong bahunya. Dia meremas kemejaku dan membenamkan wajahnya didadaku. “Mas, aku tidak sakit. Aku hanya ingin kamu, apa yang salah dengan perasaanku. Bukankah kita sudah mengikat cinta kita, bagiku, itu tidak mudah saja terlepas. Kamu paham akukan hiks.”ujarnya, aku mendegup dan coba mengelus bahunya yang gemetar karna menangis, aku tidak bisa berkata apa-apa. Takut salah-salah ini gadis semakin rapuh. Apa aku berikan
Keesokan harinya aku banguun dengan pikiran pelik. Kejadian semalam kembai mengusik pikiranku, apa yang harus aku lakukan selain menuruti permainan ini. Aku hanya tidak mau ini lebih kacau. Semoga saja aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Dan berubah pikiran. “Sayang ayo buruan mandi, kita harus segera jalan jam sepuluh.”ujar Istriku sedikit aku tersintak dan bangun dari lamunanku bergerak kekamar mandi. Selesai berkemas aku menyusul mereka semua. Bisa aku lihat Aldo tampak bersusah payah untuk ngajak bicara Rara, namun aku coba alihkan pandangan dan fokus mau bantuin Ina berkemas, “Sayang, apa ada yang bisa mas bantu?”tanyaku sembari melirik Rara dan Aldo yang tengah cekcok, Ina juga memperhatikan mereka dan berkata. “Mas, kira-kira Rara bisa gak ya di luluhin sama Aldo?”Tanya Ina aku sedikit memainkan mulutku dan berkata. “Semoga saja.”singkatku. “Ih, aku bisa sendiri gak usah bantu, sana!”hardiknya. aku me
“Tolong jangan menangis lagi Ina, mas gak bisa melihat ini.”ucapnya lirih meremas bahuku sedikit aku kibas tangan mas Feri yang bertengker di bahuku kasar. Dia diam aku terus saja menangis. “Jadi, apa kamu punya solusi. Jujur aku rindu kita yang dulu? Tolong fikirkan ini Ina. Sebelum semua berantakan.”ujarnya aku makin sesegukan menangis dan sepertinya mas Feri harus memilih berlalu. Untuk sejenak aku terdiam dan coba memikirkan lagi, apa yang dikatakan mas Feri barusan. “Baiklahh aku akan kembalikan Rara ke tempat asalnya,’’bisikkku. Keesokan harinya. Di pagi hari, aku me cek kamar tamu, namun aku tak dapati mas Feri disana, aku tersintak saat di sapa Aldo yang sudah bersiap hendak pergi dari kamar satu lagi. “Al, semalam kamu liat mas Feri?’’ tanyaku sembari menunjuk pintu kamar, “Tidak,”mataku membulat saat teringat sesuatu bergegas aku datangi kamar Rara dan menyelonong masuk. “Mas.. “panggilk
POV FERI. Semoga saja kedepannya akan membaik seiring berjalannya waktu. Aku sangat lega sekali akhirnya Ina berikan keputusan juga, walau fikiranku masih terusik akan perasaan gadis itu setidaknya sekarang aku tidak berjuang sendiri untuk menjauhinya. Tatanan hidup keluargaku sekarang berantakan. Bahkan kalo boleh meminta. Aku ingin kembali kesituasi dimana saatbbelum terfikir olehku untuk membawa wanita lain kedalam rumah tanggaku. Flasback. “Kenapa Dian mendadak Resign.”ujarku pada sekretarisku, dengan kesal ada banyak pertemuan dan metting yang harus dilaksanakan Ini bisa berantakan, jika dia tidak datang esok hari, “Saya tidak tau pak. Sepertinya dia cukup punya alasan kenapa dia tiba-tiba mengundurkan diri.”ujarya menyodorkan koran ,aku memijit kepalaku dan berkata. “Aku tidak mau tau, bawa dia kembali atau carikan secepatnya pengganti untuk besok. Aku butuh asisten”ujarku. sekretsisku itu tampak mengan
Siangnya di gudang perusaahanku aku harus me cek satu-satu barang-barang produksi dua bulan belakngan sebenarnya, ini bisa tugas kurir tapi aku penaasarn cara kerja mereka di gudang akhirnya aku putuskan untuk mecek semua. Hingga sore berkunjung, aku kembali ke ruanganku untuk mencocokkan data dengan hasil yang ada di gudang tadi. Aku berusaha buru-buru karna Ina pasti nungguin dirumah. Dalam fokusku terdengar bunyi ponsel berdering, reflek aku ambil, yang aku yakini, Ina pasti dah nungguin aku dirumah. “Ya sayang? Bentar mas siapkan beberapa berkas dulu,”reflek kataku terlontar sejenaak dari sana Diam aku melirik kembali ponsel yang aku tempelkan didaun telingaku tadi dan aku terkejut saat melihat nomor baru. “Mas?”lirih eseorang yang begitu aku kenal suaranya, aku mendegup dan secepat kilat matikan panggilan itu, sedikit aku hela nafas dan membuangnya, sigap aku lihat panggilan terakhir dan memblokir nomor itu hingga menghapusnya, agar tidak bisa menghubung
POV AZZAM“ Pihak Shanum sama sekali tidak mengubris.” Ucap Naira melempar ponselnya ke atas ranjang, sejenak aku abaikan itu dan mencari pakaianku di lemari. Naira terus saja mendumel.“Udah ya Nai, jangan terlalu di pikirkan, ngabisin tenaga tau lebih baik kita bahas yang lain.’’“Tapi Kak,kayaknya kakak itu jauh lebih santai menghadapi ini?’’ Ucapnya tak habis pikir, sedikit aku menoleh pada Naira dan mengenakan piyama tidur.“Ya ampun Nai, kamu juga ngapain terlalu di pikirin? Lagi pula ini bisa di selesaikan, tanpa harus kamu buang-buang tenaga, karna kan kenyataannya, bayi itu bukan tanggung jawabku.’’ Geramku tak habis pikir, Naira terdiam sejenak dan tertunduk dengan manyun, aku menghela nafas panjang dan membuangnya, melihat istriku terdiam begitu aku mendekat padanya dan duduk di sampingnya.“Aku ak
POV INA.“Papa…,” panggilku saat mencari mas Feri di kamar, karna sibuk dengan urusan rumah, aku jadi sedikit mengabaikannya, aku melihat berkas dan laptop mas Feri di atas kasur namun bunyi mobilnya terdengar melaju keluar pagar.“Loh mas Feri mau kemana?’’ bisikku membuka jendela aku menoleh ke barang-barangnya di kasur mendekat dan menghenyak di kasur,“Mungkin mas Feri keluar sebentar, kalau ke kantor gak mungkin dia tinggalkan barang-barangnya.” Bisikku, aku memeriksa tas dan dan dompetnya, sedikit aku menautkan alis melihat ada kartu nama dokter spesialis,“Mas Feri, konsul pada dokter spesialis penyakit dalam buat apa?’’ bisikku coba mengotak atik semua berkas dan tasnya, namun aku tidak temukan apa-apa selain kartu nama itu, aku mulai cemas dan coba menghubunginya.Tuuuuuuut…..Panggilan itu tersambung dan
POV AZZAM.Ting nong…Bunyi bel bergema, Aku yang tengah menunggu Naira di ruang keluarga itu sedikit beringsut dan menoleh kea rah pintu, bisa aku lihat Art bergegas membukakan pintu. Aku juga menyusul karna aku tau itu papa, mama dan yang lainnya.“Siang papa..” sambutku pada keluargaku, dengan girang dua adik gadisku mengejar, akupun bersimpuh mendekap keduannya, mungkin mereka sangat merindukannku karna sudah beberapa minggu tidak bertemu.“Bang Azzam, Tata sangat merindukan bang Azzam.’’ Ucap bibir mungil salah satu dari mereka. Aku tersenyum manis dan mengacak rambut keduanya.“Abang Azzam, juga sangat merindukan kalian.”“Papa mama, ayo semua masuk.” Ajak Naira yang telaah turun dari kamarnya, aku berdiri dan mengajak mama masuk.“Ayo pa..”
POV RARA.Dengan langkah gontai aku temui mas Bagas di kliniknya, semenjak pertikaian itu dia tidak pernnah menemuiku kerumah tidak mau bicara denganku atau bahkan mengusirku, langkahku terhenti saat mendengar chanel televise yang di tonton mas Bagas adalah berita terbaru tentang Shanum, tampak media mengkrumini apartemen anakku itu, aku mendegup dan berniat hendak kembali mas Bagas pasti tidak senang dengan berita ini.“Kamu lihat, anak yang besar karna asuhanmu.”ucapnya tanpa menoleh akupun menghentikan langkahku dan menoleh padanya.“Dia hanya bisa buat malu keluarga.”geramnya, aku menghela nafas dan bersiap hendak pergi lagi, mengajak bicara mas Bagas dalam kondisi seperti ini juga tampaknya sia-sia lebih baik aku pergi sekarang.“ Kamu mau kemana?” cegatnya, langkahku kembali terhenti dan enggan menoleh.“
POV INA.Aku sangat di buat sibuk dengan acara yang akan mendatang, tapi tak mengapa demi Azzura aku harus lakukan semua ini, pesta pernikahan yang terbaik yang sesuai dengan impiannya."Mama sayang, mama dari mana sih."sambut putriku itu mendekap dan mencium pipi, sedikit aku berdengus dan tersenyum hangat."Mama habis dari gedung, dan kamu tau semua gedung itu bagus-bagus, mama jadi bingung mau sewa yang mana." ucapku, Zura sedikit manyun dan menghenyak di sofa."Kok mama gak ngajak?" aku menggeleng dan ikut juga menghenyak."Memang harus ya bawa kamu?""Ya iyalah, oh iya, mama tadi kekantor papa, papa mana?" tanyaku, aku sedikit melapas blezer dan meletakkan tas. 'papa lagi sibuk jadi mama pulang duluan oh iya, aanak-anak mana. Mama capek mau langsung istiraahat.""Ya udah mama istirahat aja, ma kalau baju pengantinyaya boleh gak Zura aja yang pilih bareng Vano?"tanya anakku, aku te
POV AZZAMPagi hari ini, kami tegah bersantai di ruang keluarga, selain menghibur mbak natsya yang tengah bersedih karna pengkhianatan Arga, Naira juga sedikit kurang enak badan, dan aku tak bisa kekantor melihat kondisinya."Selamat siang tuan nyonya." ucap Art, kemi semua menoleh."Ya ijah?""Itu nyonya, aden Arga pulang, dan dia-"ucapan Inem berhenti karna mbak Natsya berdiri, Naira yang tiduran di pahaku dari tadi juga beringsut untuk duduk"Apa mas Arga, membawa wanita itu?"bisiknya aku juga penasaran dan menoleh ke pintu, papa dan mama mertua juga tampak menyimak, hingga tak butuh waktu lama mereka bertiga masuk, dan tentunya bersama Shanum. Aku mendegup. Naira menggertakkan rahangnya dan berdiri, namun aku cegat dengan mencengkram lengannya."Sayang, jangan. Kita cukup nyimak saja."bisikku."Berani sekali dia, d
POV NAIRA.Kak Azzam tega sekali padaku, dia menyalahkan sikapku dan memperdulikan Shanum. Apa aku salah kalau aku menamparnya,“Ah sudahlah, aku bisa setres. Lebih baik sekarang aku temui mbak Natsya dulu di kamar.”bisikku sembari berjalan kekamar mbak natsya walau kesal dengan tingak dua pria dirumah ini yakni kak Azzam dan mas Arga, aku harus kasih perhatian pada mbakku, bagaimanapun sekarang dia sangat terpuruk sekali“Mbak….,’’ panggilku saat sudah sampai di pintu kamarnya, sedikit aku terheran karna kamarnya sunyi, aku mengerinyitkan dahi dan coba berfikir.“Apa mbak Nats, menemui mas Arga sekarang?”bisikku, aku membalik bergegas menuruni anak tangga dan berpapasan dengan papa dan mama di bawah.“Nai, kamu bukannya baru pulang ya kok pergi lagi?” tanya mama, aku sedikit menghela nafas dan berkata.
POV RARA.Sudah lelah aku mencari Shanum kemanapun, semalam dia pergi dari rumah karna marah padaku dan sekarang ini sudah hendak malam lagi,, nomornya belum lagi aktif aku sangat bingung sekali. Mana sekarang papinya sudah tidak peduli lagi padanya aku harus cari anakku kemana bahkan aku gak tau sekarang dia diimana, terkahir yang aku tau dia dekat dengan seorang pengusaha iparnya nya Azzam, mungkin aku bisa menghubungi Azzam?“Semoga saja aku masih punya kontaknya.”bisikku mengotak atik ponsel, namun aku kesal karna aku tidak punya kontak Azzam selain mas Feri.“Apa aku hubungi mas Feri? Tapikan nanti aku tanya apa? Mungkin aku bisa tanyakan nomor Azzam? Tapi apa nanti aku tidak dianggap sok akrab? Ah sialan sekali..”gerutuku sendiri akhirnya dengan ragu aku menghubungi juga nomor iitu.Tuuuuuuut.Aku gemetar saat panggilan itu tersambung
POV INA.Bahagia tak terhingga saat mas Feri rangkul dan peluk aku, menyaksikan kebahagian putrinya setelah sekian lama ia tampak merelakan Zura dengan orang yang tepat.“Akhirnya Zura menemukan seseorang yang sangat mencintainya,”lirihnya, bisa aku lihat ada yang terbendung di sudut matanya, aku terharu bersandar di bahu bidang suamiku itu.“Semoga selamanya kita akan tetap dapatkan kebahagiaan, jangan ada kesedihan lagi pah.”lirihku, mas Feri mengusap kepalaku dan mengecup keningku.“Hidup akan terus berjalan mama, suka duka itu pasti ada, hanya saja bagaimana kita menghadapinya.’’tuturnya aku tersenyum simpul dan berkata.“Dan aku ingin menjalani suka duka itu bersama Papa selamanya.’’ujarku mas Feri terkekeh kembali mendekapku erat.“Jangan manja, kamu ini tidak muda lagi. coba biasakan tanpa diriku.&rsq