"Mr. Berrand ...,"
Panggilan namanya dalam suara sopan dan segan oleh Arnen Louis, membuat perhatian segera dialihkan dari dokumen ke sosok salah satu ajudan terbaiknya itu. Arnen sedang berdiri di depan meja kerjanya.
"Kapan Lauren akan tiba di sini?" Langsung saja dilontarkan informasi yang ingin diketahui.
"Miss Lauren tidak mengangkat telepon."
"Shitt!" umpat Berrand kesal, secara spontan.
Suasana hatinya yang sudah buruk, semakin diperburuk oleh pemberitahuan tak dikendakinya. Jelas memicu emosi dan amarahnya menjadi tambah meluap.
"Mr. Bryan juga tidak bisa saya hubungi."
Berrand tak menanggapi apa-apa kali ini untuk laporan diberikan oleh Arnen, tetapi kedua tangan semakin mengepal di meja. Rahang wajahnya juga tambah mengetat.
"Apa saya perlu menelepon dokter lain saja? Saya punya kenalan seorang dokter da—"
"Tidak perlu." Berrand memotong cepat.
"Situasinya hanya akan bertambah bahaya, jika ada pihak lain yang terlibat," jelasnya.
"Kau boleh pergi sekarang. Aku akan coba menghubungi Lauren agar dia kemari."
Perintahnya hanya dibalas anggukan oleh sang ajudan. Sedetik kemudian, Arnen telah membalikkan badan, hendak pergi dari ruang kerjanya.
Namun, segera dipanggilnya kembali sang ajudan. Arnen menoleh, menunjukkan sikap siaga dan sigap.
"Tolong awasi dia dengan ketat."
"Tidak boleh timbul masalah karenanya. Pastikan juga dia tidak kabur dari sini." Berrand memberikan perintah.
"Aku mengandalkanmu untuk tugas ini." Berrand berkata tegas dan begitu serius. Tatapan mata kian tajam.
"Baik, Bos."
Berrand tak bereaksi apa-apa lagi. Arnen pun sudah benar-benar pergi, setelah memberikan sikap hormat terlebih dulu.
Untuk beberapa saat, Berrand melamun. Banyak hal yang muncul di dalam kepalanya secara bersamaan.
Dan, sejak sadarnya wanita mengaku bernama Loura Quinn, pikiran Berrand tidak tenang. Terus menerus dibayangi wanita itu.
Lebih tepatnya, setelah Loura menunjukkan sikap yang sama sekali tak pernah diduga-duga.
Terutama kekonyolan dirinya dianggap sebagai seorang suami oleh wanita itu. Benar-benar lelucon yang tak lucu.
"Sayang, aku merindukanmu."
Masih sangat diingat jelas kalimat diucapkan Loura Quinn dengan nada mesra. Tentu juga, tak ketinggalan, pelukan-pelukan yang dilakukan oleh wanita itu.
Yang paling membekas adalah ciuman sarat akan bara serta gairah dari Loura. Bibir wanita itu sangat manis.
Karena merupakan pengalaman pertama bagi Berrand?
Bukan.
Usianya sudah menginjak 30 tahun, tidaklah asing lagi tentang cumbuan ataupun seks dengan lawan jenis.
Beberapa kali sudah, dialami percintaan panas bersama para wanita di luar sana guna mendapatkan kepuasaan hasrat.
Berrand tipikal yang akan agresif dan berkuasa di ranjang, saat tidur bersama para wanita. Suka mendominasi juga.
Namun, saat berhadapan dengan Loura. Berrand tak bisa menunjukkan apa-apa, walau gairahnya terpancing oleh aksi yang ditunjukkan oleh wanita itu.
"Ada apa lagi, Arnen?"
Bukan hanya melemparkan pertanyaan, saat mendengar suara langkah kaki mendekati meja kerjanya, Berrand juga membuka mata yang baru beberapa detik dipejamkan.
Butuh beberapa kali kerjapan dilakukannya, bertujuan memberi kesadaran pada diri sendiri bahwa bukanlah Arnen.
Melainkan, si wanita asing. Loura Quinn.
Berrand masih enggan memercayai penglihatannya, namun tidak mungkin salah dalam menangkap objek.
"Kenapa kau di sini?" Berrand bertanya spontan.
"Harusnya aku yang bertanya begitu padamu. Hiks."
Memang, sejak beradu pandang dengan Loura Quinn, sudah disadari jika pelupuk mata wanita itu berair.
Namun, tetap tidak sangka bahwa tangisan Loura akan semakin kencang. Terdengar pilu juga di telinganya.
"Aku kira kau pergi kemana, aku mencarimu keliling sejak tadi. Aku kacau karena aku tidak menemukanmu."
"Aku cemas! Aku sangat takut kau pergi lagi! Hiks!"
Berrand langsung bereaksi atas teriakan histeris Loura, ia bangun dari kursi kerjanya. Lalu, menghampiri wanita itu.
Saat sudah berdiri di hadapan Loura, tangisan wanita itu semakin pecah, walau isakan coba untuk diredam.
Berrand tidak tahan melihat. Dipeluknya segera Loura Quinn. Tak ada penolakan dari wanita itu.
Namun, tidak juga dibalas dekapannya. Walau begitu, Berrand tetap memperkuat rengkuhannya.
"Maaf."
"Aku minta maaf." Berrand masih berujar lirih.
"Maaf, jika aku sudah membuatmu cemas." Berrand berkata dengan nada lebih sungguh-sungguh.
"Aku bisa merasakan kecemasanmu, Loura. Dan itu membuatku tidak bisa melihatmu seperti ini."
Berrand tak berkata apa-apa lagi. Stok kalimatnya sudah habis dikeluarkan. Tidak bisa memikirkan yang baru.
Jeda dibuat. Kesunyian tak benar-benar terjadi karena suara isakan Loura Quinn semakin mengencang.
Berrand bingung harus bagaimana menghentikan tangisan wanita itu. Ia memutuskan membiarkan saja.
"Kau ... kau ... jangan pergi ... lagi."
"Hiks. Aku tidak bisa ... tidak bisa kehilanganmu."
Berrand mengencangkan dekapan pada tubuh ramping Loura. Ia diselimuti rasa emosional yang bahkan dirinya tak paham kenapa harus dialaminya.
"Aku ingin kau bersamaku. Aku ... aku mencintaimu."
"Aku tidak akan pergi, Loura." Berrand berujar mantap.
Dirinya sendiri kebingungan, kenapa bisa balasan seperti itu dilontarkannya. Namun, tidak ada penyesalan yang dirasakan.
Anehnya lagi, bersama si wanita asing ini, Berrand mulai merasakan kenyamanan.
Belum pernah dialami sebelumnya.
"Terima kasih, Sayang. Aku mencintaimu."
Sudah berulang kali, Berrand mendengar pernyataan bernada lembut tersebut dari mulut seorang Loura Quinn.
Dan, selalu mampu mendatangkan desiran aneh ke dalam diri Berrand. Terutama masuk ke relung hatinya.
"Kau pasti lapar, ya?"Loura yang mulai kehilangan fokus penglihatan karena kepeningan menghantam kian kuat kepala, namun masih bisa dilihat si pemilik pertanyaan yang berdiri menjulang di hadapannya.Loura tidak sempat memberikan respons, tak ingin juga menyahut. Tapi, di tangannya sudah diletakkan sebuah bungkusan. Entah berisi apa."Aku kelebihan membeli burger. Aku rasa aku hanya akan makan satu. Jadi, ada sisa untukmu."Loura belum menunjukkan reaksi apa pun. Mulut dibungkam, padahal ia ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan
Loura sudah menunggu selama satu jam di kafe. Belum ada tanda-tanda tamu yang ditunggunya datang. Namun, Loura optimis akan tetap bisa bertemu. Harapannya sudah terlalu besar.Sudah belasan tahun cukup baginya menanti untuk mendapatkan informasi tepat soal Bear. Dan kali ini, ada kesempatan baginya untuk tahu.Loura bahkan sudah berandai-andai. Jika Bear memang masih hidup dengan keadaan yang baik, ia akan bahagia luar biasa.Tentu, menemui Bear adalah keinginan terbesar Loura selanjutnya. Permintaan maaf hendak ia lakukan secara langsung pada Bear.
"Jadi, dia tertangkap?" Berrand memastikan.Rahang wajah semakin mengeras, mendengar penjelasan dari salah satu anak buahnya di seberang telepon.Berrand sangat jelas tidak menyukai informasi yang didapatkan, tak sesuai akan rencana sudah dibuatnya.Berrand mengartikan kegagalan sebagai sebuah kelemahan. Untuk menutupi dan melampiaskan, maka ia akan murka."Apa kau bilang?" Berrand menggeretakkan gigi."Mereka mempunyai bukti yang kuat?" Nada suaranya semakin meninggi karena emosi."Shit!""Sialannn!" Berrand mengumpat lagi, lebih emosi.Selesai mengumpat dengan cukup kencang, Berrand pun bangun dari kursi kerjanya. Ia mengambil gelas berisi wine terlebih dulu, sebelum berjalan menuju ke balkon.Handphone dijauhkan dari telinga, tetapi tetap dipegang dengan erat di tangan kiri.Benda tersebut tak m
"Apa kau tidak capek berdiri terus?"Berrand mengangguk segera, walau dalam gerakan yang pelan, tanpa menoleh ke arah Lauren. "Tidak.""Bagaimana keadaan dia sesungguhnya?"Berrand masih memusatkan objek pandang paa si sosok wanita asing dengan tatapan tajam, namun ekspresi datar. Bahkan, tidak terbaca emosi yang Berrand sedang rasakan."Entahlah ... belum pasti."Berrand menoleh ke arah Lauren, kali ini. "Apa maksudmu menjawab seperti itu?" Kecurigaan pun muncul."Kau sungguh tidak tahu siapa dia?"Berrand menggeleng kecil, dilakukan sekali saja. "Tidak," jawabnya dengan nada datar."Kapan kau menemukan dia di depan?""Aku lupa," sahut Berrand jujur. Karena, ia memang tidak ingat sedikit pun kapan waktunya."Dia tidak mengalami luka-luka yang parah di wajah atau badannya, hanya lecet-lecet."Berrand
Pukul tiga dini hari, lebih tiga puluh menit.Kurang lebih dua jam lagi yang tersisa, menuju pertunjukkan sunrise dan langit California kesukaannya dari atas balkon kamar.Berrand pun memutuskan memperpanjang waktunya untuk tak tidur, jika sampai nanti terlelap, maka tidak dapat diabadikannya momen sang fajar meninggalkan peraduan.Prediksi cuaca yang bagus, tanpa mendung, merupakan kesempatan bagus.Pasti akan dihasilkan pemandangan yang memanjakan mata. Berrand enggan untuk melewatkan.Kopi menjadi solusi guna mencegah kantuk. Memang tidak benar-benar berhasil hingga seratus persen bekerja dengan baik. Namun, yakin bisa bertahan sampai jam enam nanti.Berrand pun menikmati peracikan kopinya yang dilakukan seorang diri, walaupun rasa dihasilkan tidak akan sesempurna barista profesional.Namun, layak diminum. Berrand juga membuat dua buah pa
"Mr. Berrand ...,"Panggilan namanya dalam suara sopan dan segan oleh Arnen Louis, membuat perhatian segera dialihkan dari dokumen ke sosok salah satu ajudan terbaiknya itu. Arnen sedang berdiri di depan meja kerjanya."Kapan Lauren akan tiba di sini?" Langsung saja dilontarkan informasi yang ingin diketahui."Miss Lauren tidak mengangkat telepon.""Shitt!" umpat Berrand kesal, secara spontan.Suasana hatinya yang sudah buruk, semakin diperburuk oleh pemberitahuan tak dikendakinya. Jelas memicu emosi dan amarahnya menjadi tambah meluap."Mr. Bryan juga tidak bisa saya hubungi."Berrand tak menanggapi apa-apa kali ini untuk laporan diberikan oleh Arnen, tetapi kedua tangan semakin mengepal di meja. Rahang wajahnya juga tambah mengetat."Apa saya perlu menelepon dokter lain saja? Saya punya kenalan seorang dokter da—""Tidak perlu."
Pukul tiga dini hari, lebih tiga puluh menit.Kurang lebih dua jam lagi yang tersisa, menuju pertunjukkan sunrise dan langit California kesukaannya dari atas balkon kamar.Berrand pun memutuskan memperpanjang waktunya untuk tak tidur, jika sampai nanti terlelap, maka tidak dapat diabadikannya momen sang fajar meninggalkan peraduan.Prediksi cuaca yang bagus, tanpa mendung, merupakan kesempatan bagus.Pasti akan dihasilkan pemandangan yang memanjakan mata. Berrand enggan untuk melewatkan.Kopi menjadi solusi guna mencegah kantuk. Memang tidak benar-benar berhasil hingga seratus persen bekerja dengan baik. Namun, yakin bisa bertahan sampai jam enam nanti.Berrand pun menikmati peracikan kopinya yang dilakukan seorang diri, walaupun rasa dihasilkan tidak akan sesempurna barista profesional.Namun, layak diminum. Berrand juga membuat dua buah pa
"Apa kau tidak capek berdiri terus?"Berrand mengangguk segera, walau dalam gerakan yang pelan, tanpa menoleh ke arah Lauren. "Tidak.""Bagaimana keadaan dia sesungguhnya?"Berrand masih memusatkan objek pandang paa si sosok wanita asing dengan tatapan tajam, namun ekspresi datar. Bahkan, tidak terbaca emosi yang Berrand sedang rasakan."Entahlah ... belum pasti."Berrand menoleh ke arah Lauren, kali ini. "Apa maksudmu menjawab seperti itu?" Kecurigaan pun muncul."Kau sungguh tidak tahu siapa dia?"Berrand menggeleng kecil, dilakukan sekali saja. "Tidak," jawabnya dengan nada datar."Kapan kau menemukan dia di depan?""Aku lupa," sahut Berrand jujur. Karena, ia memang tidak ingat sedikit pun kapan waktunya."Dia tidak mengalami luka-luka yang parah di wajah atau badannya, hanya lecet-lecet."Berrand
"Jadi, dia tertangkap?" Berrand memastikan.Rahang wajah semakin mengeras, mendengar penjelasan dari salah satu anak buahnya di seberang telepon.Berrand sangat jelas tidak menyukai informasi yang didapatkan, tak sesuai akan rencana sudah dibuatnya.Berrand mengartikan kegagalan sebagai sebuah kelemahan. Untuk menutupi dan melampiaskan, maka ia akan murka."Apa kau bilang?" Berrand menggeretakkan gigi."Mereka mempunyai bukti yang kuat?" Nada suaranya semakin meninggi karena emosi."Shit!""Sialannn!" Berrand mengumpat lagi, lebih emosi.Selesai mengumpat dengan cukup kencang, Berrand pun bangun dari kursi kerjanya. Ia mengambil gelas berisi wine terlebih dulu, sebelum berjalan menuju ke balkon.Handphone dijauhkan dari telinga, tetapi tetap dipegang dengan erat di tangan kiri.Benda tersebut tak m
Loura sudah menunggu selama satu jam di kafe. Belum ada tanda-tanda tamu yang ditunggunya datang. Namun, Loura optimis akan tetap bisa bertemu. Harapannya sudah terlalu besar.Sudah belasan tahun cukup baginya menanti untuk mendapatkan informasi tepat soal Bear. Dan kali ini, ada kesempatan baginya untuk tahu.Loura bahkan sudah berandai-andai. Jika Bear memang masih hidup dengan keadaan yang baik, ia akan bahagia luar biasa.Tentu, menemui Bear adalah keinginan terbesar Loura selanjutnya. Permintaan maaf hendak ia lakukan secara langsung pada Bear.
"Kau pasti lapar, ya?"Loura yang mulai kehilangan fokus penglihatan karena kepeningan menghantam kian kuat kepala, namun masih bisa dilihat si pemilik pertanyaan yang berdiri menjulang di hadapannya.Loura tidak sempat memberikan respons, tak ingin juga menyahut. Tapi, di tangannya sudah diletakkan sebuah bungkusan. Entah berisi apa."Aku kelebihan membeli burger. Aku rasa aku hanya akan makan satu. Jadi, ada sisa untukmu."Loura belum menunjukkan reaksi apa pun. Mulut dibungkam, padahal ia ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan