"Apa kau tidak capek berdiri terus?"
Berrand mengangguk segera, walau dalam gerakan yang pelan, tanpa menoleh ke arah Lauren. "Tidak."
"Bagaimana keadaan dia sesungguhnya?"
Berrand masih memusatkan objek pandang paa si sosok wanita asing dengan tatapan tajam, namun ekspresi datar. Bahkan, tidak terbaca emosi yang Berrand sedang rasakan.
"Entahlah ... belum pasti."
Berrand menoleh ke arah Lauren, kali ini. "Apa maksudmu menjawab seperti itu?" Kecurigaan pun muncul.
"Kau sungguh tidak tahu siapa dia?"
Berrand menggeleng kecil, dilakukan sekali saja. "Tidak," jawabnya dengan nada datar.
"Kapan kau menemukan dia di depan?"
"Aku lupa," sahut Berrand jujur. Karena, ia memang tidak ingat sedikit pun kapan waktunya.
"Dia tidak mengalami luka-luka yang parah di wajah atau badannya, hanya lecet-lecet."
Berrand tak bereaksi apa-apa atas laporan pemeriksaan yang dilakukan oleh Lauren Dominiq, sahabatnya berprofesi dokter.
Arah pandang terpusat lagi ke sosok wanita asing di tempat tidur. Entah mengapa, seperti ada magnet menariknya.
Belum ada satu pun tanda yang menunjukkan wanita itu akan segera bangun, tak pergerakan yang diperlihatkan. Benar-benar tak sadar.
"Aku rasa kau harus membawanya ke rumah sakit."
"Untuk memastikan dia tidak ada luka parah di bagian-bagian tubuh yang vital." Lauren menambahkan.
"Misalkan ada kemungkinan gegar otak, masalah di jantung atau dada. Atau alat vital lain." Lauren memperjelas.
"Kalau sampai terjadi, akan berbahaya bagi wanita itu."
Sedetik selepas sang sahabat selesai berkata, Berrand pun mengalihkan atensi ke Lauren. Ia menajamkan tatapan. Menunjukkan jika ide sahabatnya ditolak mentah-mentah.
"Tidak." Berrand menjawab tegas.
"Kau tidak akan membawanya diperiksa ke rumah sakit? Yang benar saja, Berr."
Berrand mengangguk kembali, sekali saja. Gerakannya lebih pelan. "Tidak."
Banyak alasan tentu yang melatarbelakangi keengganannya melakukan perintah dari Lauren, terutama berurusan dengan pihak kepolisian nantinya. Pasti akan terjadi.
Identitas wanita itu belum dapat diketahui hingga sekarang. Tentu, untuk melakukan pemeriksaan, dibutuhkan data-data yang valid. Dan, tak bisa diberikannya.
Sangat besar kemungkinan dituduh sebagai penculik. Bukan hal yang mustahil. Peluang rahasianya sudah lama disimpan, begitu bisa terbuka lebar terbongkar.
Akan berbahaya juga bagi kelangsungan bisnis-bisnisnya yang memang dijalur dark. Tidak akan bisa dipertaruhkan untuk seorang wanita.
"Kau akan membiarkannya di sini saja? Tidak akan kau antar ke rumah sakit, Berr?"
Berrand anggukan kepala dengan mantap. "Benar."
"Kau sedang bercanda, ya?"
"Apa susah untukmu mengantar ke rumah sakit? Jarak tidak jauh dari sini." Lauren meninggikan suara.
"Aku akan ikut ke rumah sakit bersamamu, Berr."
"Aku tidak mau." Berrand ikut tinggikan nada bicaranya.
"Jangan memaksaku," tegas Berrand kembali. Suara kian dingin. Begitu juga akan tatapan matanya.
"Kau yang jangan gila, Berr! Dia bisa dalam keadaan sekarat, kalau lambat penanganan."
Berrand menambah tajam lagi tatapannya ke arah Lauren. "Bukan urusanku."
Lalu, Berrand mulai melangkah menjauhi tempat tidur. Hendak keluar dari kamar tamu. Namun, Lauren mencegat di depan. Ditampakkan ekspresi yang nyalang.
Berrand pun tetap menunjukkan kedataran di wajah. Sorot mata pun belum berubah. Tajam diarahkan pada wanita itu.
"Berhentilah menjadi pria berhati dingin, Calon Adik Iparku!" Lauren berseru kesal.
"Berikan sedikit empatimu pada orang lain. Kau bukan tipe yang kejam, aku tahu."
Lauren mendelik galak. "Taruhannya adalah nyawa. Bagaimana nanti kalau dia mati?"
"Biarkan saja."
Lauren semakin membulatkan mata. "Kau bercanda lagi?"
"Tidak."
Tanpa menunggu reaksi atas jawaban singkatnya yang bernada sinis, Berrand pun berjalan keluar. Namun, tangannya diraih kembali oleh Lauren.
"Ada apa lagi?" Berrand menajamkan suara.
"Kau yang ada apa! Kau kenapa tiba-tiba tidak punya hati, Berr? Aku sama sekali tidak paham."
"Aku tahu sifatmu tidak seperti ini. Kau hari ini aneh."
Tepat setelah Lauren selesai melontarkan kata-kata pedas padanya, mulai dilangkahkan kaki. Enggan meladeni.
Tujuannya tentu masih sama seperti beberapa menit yang lalu, keluar dari kamar. Jika lebih lama di dekat Lauren, maka dirinya akan semakin banyak menerima sindiran.
"Tunggu dulu, Berr."
Berrand berhenti berjalan seketika karena permintaan kekasih kakak laki-lakinya itu. Walaupun, tengah merasa kesal pada Lauren, ia tetap mempunyai hormat..
"Kau punya rahasia dengan wanita itu?"
Berrand seketika mengangkat alis seraya melekatkan pandangan pada Lauren yang menatapnya curiga. Ia tak paham akan pertanyaan kekasih kakaknya itu.
"Apa maksudmu?" Berrand mengonfirmasi.
"Kau bersikap aneh hari ini, terutama pada wanita yang kau temukan di depan pintu rumahmu itu. Tapi. kau ta—"
Berrand mengikuti cepat gerakan bola mata Lauren, saat perubahan ekspresi terjadi di wajah wanita itu, raut kekagetan yang sangat nyata terlihat olehnya.
Berrand dilanda kekagetan seperti Lauren beberapa detik kemudian. Matanya membulat sempurna, memandang ke arah si wanita asing yang sudah siuman, sedang berusaha duduk.
"Dia siuman."
Tak seperti Lauren yang hanya mengentarai saja, Berrand bergegas menghampiri si wanita asing. Dilakukan secara refleks, mengikuti nalurinya saja.
Saat sudah naik ke tempat tidur, Berrand semakin mendekat ke arah wanita itu. Belum sempat dikatakan apa-apa, Berrand sudah menerima pelukan yang erat.
Tak lama kemudian, Berrand mendengar suara isakan. Tentu, berasal dari si wanita asing. Ia tertegun.
"Aku senang bisa melihatmu lagi, Suamiku."
Kembali, wanita itu pingsan dalam dekapannya.
Pukul tiga dini hari, lebih tiga puluh menit.Kurang lebih dua jam lagi yang tersisa, menuju pertunjukkan sunrise dan langit California kesukaannya dari atas balkon kamar.Berrand pun memutuskan memperpanjang waktunya untuk tak tidur, jika sampai nanti terlelap, maka tidak dapat diabadikannya momen sang fajar meninggalkan peraduan.Prediksi cuaca yang bagus, tanpa mendung, merupakan kesempatan bagus.Pasti akan dihasilkan pemandangan yang memanjakan mata. Berrand enggan untuk melewatkan.Kopi menjadi solusi guna mencegah kantuk. Memang tidak benar-benar berhasil hingga seratus persen bekerja dengan baik. Namun, yakin bisa bertahan sampai jam enam nanti.Berrand pun menikmati peracikan kopinya yang dilakukan seorang diri, walaupun rasa dihasilkan tidak akan sesempurna barista profesional.Namun, layak diminum. Berrand juga membuat dua buah pa
"Mr. Berrand ...,"Panggilan namanya dalam suara sopan dan segan oleh Arnen Louis, membuat perhatian segera dialihkan dari dokumen ke sosok salah satu ajudan terbaiknya itu. Arnen sedang berdiri di depan meja kerjanya."Kapan Lauren akan tiba di sini?" Langsung saja dilontarkan informasi yang ingin diketahui."Miss Lauren tidak mengangkat telepon.""Shitt!" umpat Berrand kesal, secara spontan.Suasana hatinya yang sudah buruk, semakin diperburuk oleh pemberitahuan tak dikendakinya. Jelas memicu emosi dan amarahnya menjadi tambah meluap."Mr. Bryan juga tidak bisa saya hubungi."Berrand tak menanggapi apa-apa kali ini untuk laporan diberikan oleh Arnen, tetapi kedua tangan semakin mengepal di meja. Rahang wajahnya juga tambah mengetat."Apa saya perlu menelepon dokter lain saja? Saya punya kenalan seorang dokter da—""Tidak perlu."
"Kau pasti lapar, ya?"Loura yang mulai kehilangan fokus penglihatan karena kepeningan menghantam kian kuat kepala, namun masih bisa dilihat si pemilik pertanyaan yang berdiri menjulang di hadapannya.Loura tidak sempat memberikan respons, tak ingin juga menyahut. Tapi, di tangannya sudah diletakkan sebuah bungkusan. Entah berisi apa."Aku kelebihan membeli burger. Aku rasa aku hanya akan makan satu. Jadi, ada sisa untukmu."Loura belum menunjukkan reaksi apa pun. Mulut dibungkam, padahal ia ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan
Loura sudah menunggu selama satu jam di kafe. Belum ada tanda-tanda tamu yang ditunggunya datang. Namun, Loura optimis akan tetap bisa bertemu. Harapannya sudah terlalu besar.Sudah belasan tahun cukup baginya menanti untuk mendapatkan informasi tepat soal Bear. Dan kali ini, ada kesempatan baginya untuk tahu.Loura bahkan sudah berandai-andai. Jika Bear memang masih hidup dengan keadaan yang baik, ia akan bahagia luar biasa.Tentu, menemui Bear adalah keinginan terbesar Loura selanjutnya. Permintaan maaf hendak ia lakukan secara langsung pada Bear.
"Jadi, dia tertangkap?" Berrand memastikan.Rahang wajah semakin mengeras, mendengar penjelasan dari salah satu anak buahnya di seberang telepon.Berrand sangat jelas tidak menyukai informasi yang didapatkan, tak sesuai akan rencana sudah dibuatnya.Berrand mengartikan kegagalan sebagai sebuah kelemahan. Untuk menutupi dan melampiaskan, maka ia akan murka."Apa kau bilang?" Berrand menggeretakkan gigi."Mereka mempunyai bukti yang kuat?" Nada suaranya semakin meninggi karena emosi."Shit!""Sialannn!" Berrand mengumpat lagi, lebih emosi.Selesai mengumpat dengan cukup kencang, Berrand pun bangun dari kursi kerjanya. Ia mengambil gelas berisi wine terlebih dulu, sebelum berjalan menuju ke balkon.Handphone dijauhkan dari telinga, tetapi tetap dipegang dengan erat di tangan kiri.Benda tersebut tak m
"Mr. Berrand ...,"Panggilan namanya dalam suara sopan dan segan oleh Arnen Louis, membuat perhatian segera dialihkan dari dokumen ke sosok salah satu ajudan terbaiknya itu. Arnen sedang berdiri di depan meja kerjanya."Kapan Lauren akan tiba di sini?" Langsung saja dilontarkan informasi yang ingin diketahui."Miss Lauren tidak mengangkat telepon.""Shitt!" umpat Berrand kesal, secara spontan.Suasana hatinya yang sudah buruk, semakin diperburuk oleh pemberitahuan tak dikendakinya. Jelas memicu emosi dan amarahnya menjadi tambah meluap."Mr. Bryan juga tidak bisa saya hubungi."Berrand tak menanggapi apa-apa kali ini untuk laporan diberikan oleh Arnen, tetapi kedua tangan semakin mengepal di meja. Rahang wajahnya juga tambah mengetat."Apa saya perlu menelepon dokter lain saja? Saya punya kenalan seorang dokter da—""Tidak perlu."
Pukul tiga dini hari, lebih tiga puluh menit.Kurang lebih dua jam lagi yang tersisa, menuju pertunjukkan sunrise dan langit California kesukaannya dari atas balkon kamar.Berrand pun memutuskan memperpanjang waktunya untuk tak tidur, jika sampai nanti terlelap, maka tidak dapat diabadikannya momen sang fajar meninggalkan peraduan.Prediksi cuaca yang bagus, tanpa mendung, merupakan kesempatan bagus.Pasti akan dihasilkan pemandangan yang memanjakan mata. Berrand enggan untuk melewatkan.Kopi menjadi solusi guna mencegah kantuk. Memang tidak benar-benar berhasil hingga seratus persen bekerja dengan baik. Namun, yakin bisa bertahan sampai jam enam nanti.Berrand pun menikmati peracikan kopinya yang dilakukan seorang diri, walaupun rasa dihasilkan tidak akan sesempurna barista profesional.Namun, layak diminum. Berrand juga membuat dua buah pa
"Apa kau tidak capek berdiri terus?"Berrand mengangguk segera, walau dalam gerakan yang pelan, tanpa menoleh ke arah Lauren. "Tidak.""Bagaimana keadaan dia sesungguhnya?"Berrand masih memusatkan objek pandang paa si sosok wanita asing dengan tatapan tajam, namun ekspresi datar. Bahkan, tidak terbaca emosi yang Berrand sedang rasakan."Entahlah ... belum pasti."Berrand menoleh ke arah Lauren, kali ini. "Apa maksudmu menjawab seperti itu?" Kecurigaan pun muncul."Kau sungguh tidak tahu siapa dia?"Berrand menggeleng kecil, dilakukan sekali saja. "Tidak," jawabnya dengan nada datar."Kapan kau menemukan dia di depan?""Aku lupa," sahut Berrand jujur. Karena, ia memang tidak ingat sedikit pun kapan waktunya."Dia tidak mengalami luka-luka yang parah di wajah atau badannya, hanya lecet-lecet."Berrand
"Jadi, dia tertangkap?" Berrand memastikan.Rahang wajah semakin mengeras, mendengar penjelasan dari salah satu anak buahnya di seberang telepon.Berrand sangat jelas tidak menyukai informasi yang didapatkan, tak sesuai akan rencana sudah dibuatnya.Berrand mengartikan kegagalan sebagai sebuah kelemahan. Untuk menutupi dan melampiaskan, maka ia akan murka."Apa kau bilang?" Berrand menggeretakkan gigi."Mereka mempunyai bukti yang kuat?" Nada suaranya semakin meninggi karena emosi."Shit!""Sialannn!" Berrand mengumpat lagi, lebih emosi.Selesai mengumpat dengan cukup kencang, Berrand pun bangun dari kursi kerjanya. Ia mengambil gelas berisi wine terlebih dulu, sebelum berjalan menuju ke balkon.Handphone dijauhkan dari telinga, tetapi tetap dipegang dengan erat di tangan kiri.Benda tersebut tak m
Loura sudah menunggu selama satu jam di kafe. Belum ada tanda-tanda tamu yang ditunggunya datang. Namun, Loura optimis akan tetap bisa bertemu. Harapannya sudah terlalu besar.Sudah belasan tahun cukup baginya menanti untuk mendapatkan informasi tepat soal Bear. Dan kali ini, ada kesempatan baginya untuk tahu.Loura bahkan sudah berandai-andai. Jika Bear memang masih hidup dengan keadaan yang baik, ia akan bahagia luar biasa.Tentu, menemui Bear adalah keinginan terbesar Loura selanjutnya. Permintaan maaf hendak ia lakukan secara langsung pada Bear.
"Kau pasti lapar, ya?"Loura yang mulai kehilangan fokus penglihatan karena kepeningan menghantam kian kuat kepala, namun masih bisa dilihat si pemilik pertanyaan yang berdiri menjulang di hadapannya.Loura tidak sempat memberikan respons, tak ingin juga menyahut. Tapi, di tangannya sudah diletakkan sebuah bungkusan. Entah berisi apa."Aku kelebihan membeli burger. Aku rasa aku hanya akan makan satu. Jadi, ada sisa untukmu."Loura belum menunjukkan reaksi apa pun. Mulut dibungkam, padahal ia ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan